rohmans

Islam di Persimpangan Revolusi Industri 4.0.

Pada acara Dies Natalies UTM XVII (12/7/2018), Univesitas Trunojoyo Madura mengadakan rapat terbuka dengan tema “ UTM Sebagai Perguruan...

Hasil gambar untuk revolusi industri 4.0

Pada acara Dies Natalies UTM XVII (12/7/2018), Univesitas Trunojoyo Madura mengadakan rapat terbuka dengan tema “UTM Sebagai Perguruan Tinggi Berbasis Kluster Siap Menjawab Revolusi Industri 4.0'.  Setidaknya memberikan inspirasi penulis untuk mencoba menulis tentang Islam dan Revolusi Industri 4.0.
Masih teringat ditelinga kita fisikawan kawakan, Stephen Hawking, menghembuskan nafas terakhirnya di rumahnya di Cambridge, London, Inggris. Meninggalnya Hawking meninggalkan duka dan berbagai pernyataan kontroversinya yang diingat masyarakat dunia. Salah satu statement kontroversialnya adalah mengenai perkembangan teknologi yang disebut-sebut sebagai Revolution of Industry 4.0. Ia mengatakan bahwa dengan terciptanya teknologi Artificial Intelegence (AI), manusia telah sampai pada akhir proses evolusinya. Manusia, dengan kalimat tersirat, berhenti dan menyusut menuju kurva menurun, devolusi.
Pernyataan Hawking tersebut perlu untuk dapat dijadikan bahan  tadabbur  dan  tafakkur, mengapa Hawking hingga berkata seperti itu? Perkembangan teknologi sendiri telah menopang kehidupan Hawking semenjak ia kehilangan kemampuan berbicaranya sejak tahun 1980-an, dan melambungkan namanya dengan fasilitas-fasilitas tersebut.
Mengutip pendapat Dr.Zaki Mubarak” DILIHAT karakternya, adakalanya Islam dan revolusi industri 4.0 mengalami “pertempuran”. Pertempuran ini diakibatkan karena adanya persamaan dan perbedaan. Persamaan karena sama-sama menggunakan dunia “ghaib” sebagai ekosistemnya, perbedaannya karena yang satu sangat divine (ilahiah) yang satu sangat teknologis. Dampak dari keduanya sangat menjauhkan satu sama lain. Bila Islam yang dominan maka sesungguhnya harus menjauhi produk teknologis yang menjadi penciri revolusi industri, sebaliknya jika revolusi industri yang dominan maka manusia akan jauh dari sifat-sifat ilahiah yang diharuskan Islam. keduanya bagai air dan minyak, sama-sama cair namun memiliki objek yang sama (manusia) dan berdampak berlainan.
Dikotomi keduanya seolah menjadi perang dingin yang mulai menghangat. Beberapa contoh strategis mungkin bisa menggambarkan perang keduanya. Pesantren baik salaf maupun kholaf sudah mensinyalir dampak negative dari dunia revolusi industri 4.0 lebih besar ketimbang maslahatnya. Sehingga, gawai (gadget) di”haram”kan untuk digunakan dikalangan para santri. Mereka berpikir bahwa menetralisir produk teknologi akan menjadi santri berkacamata kuda (fokus) pada pelajaran Islam yang sangat “rote learning” (hapalan) dimana produk teknologi akan menjadi pengganggu paling besar.
Dunia revolusi industri yang lebih sederhana didefinisikan sebagai dunia “maya”, “virtual”, “online”, “daring” dan sejumlah akronim yang tersemat di dalamnya merupakan ekosistem yang tidak menjadikan agama dan norma sebagai instrument paling penting. Manusia yang menjadi objek teknologi akan dikontrol hidupnya, sehingga kecanduan yang dirasakan akan menjauhkan manusia dari agama yang dianutnya. Bisa jadi, secularism addict yang paling berbahaya adalah gawai dan sulit untuk dihindarkan. Perdagangan harus virtual, bisnis harus virtual, interkoneksi harus virtual, bahkan segala macam transaksi sudah harus menggunakan virtual. Tidak ada uang real berupa kertas atau koin, yang ada adalah sejumlah digit dengan berpindah dari nomor atau akun tertentu ke akun lainnya. Agama (Islam) tak hadir di dalamnya.
Di sini, akan kental perbedaan yang sangat jauh antara Islam yang harus real dengan revolusi industri 4.0 yang sangat virtual. Real membutuhkan hubungan manusia (hablum minannas) sedangakan industri 4.0 tidak membutuhkan hubungan itu. Ada banyak nilai dalam interaksi manusia, begitupula ada banyak norma, belief, budaya dari hasil interaksi di dalamnya. Nila-nilai inilah yang menjadi modal dasar agama sebagai sebuah “system of belief”. Dan hari ini, dengan dunia virtual semua hancur lebur berantakan. Agama diposisikan sebagai “other” dalam setiap insan manusia dalam revolusi industri 4.0 ini. Jadi, dari sinilah kita melihat adanya ketidak singronan antara agama (Islam) dengan revolusi Industri 4.0.
Revolusi Industri 4.0 dan Agama
Revolusi industri ini telah menjadi paradigma baru yang menghasilkan jenis pekerjaan yang baru, komunikasi sosial yang baru bahkan menciptakan dunia baru. Dunia ini melawan dan memenangkan kehidupan mainstream yang dahulu dianggap mapan.
Sejatinya sejak dahulu manusia hidup, terjadi perubahan-perubahan yang signifikan. Perubahan itu membutuhkan waktu yang sangat lama, sehingga menggunakan terminologi “revolusi” harus dihindari karena begitu lamanya. Mungkin lebih cocok terminology “evolusi” walaupun orang tidak setuju penggunaannya. Revolusi berarti perubahan yang cepat, walaupun cepat di sini memiliki indikator yang berbeda. Dalam konteks revolusi industri, kita tidak terlalu memerlukan waktu yang lama, mungkin dahulu ribuan tahun, terus ratusan tahun dan sekarang hanya butuh puluhan tahun. Saya berasumsi, revolusi masa yang akan datang cukup dengan satuan (digit) tahun.
Yang sedang diperbincangkan hangat dalam revolusi industri 4.0 adalah perubahan cara pandang serta implementasinya dalam bidang perdagangan, bisnis, komunikasi sosial, pengelolaan pemerintahan (e-government), pendidikan dan bidang lainnya. Perubahan itu diawali oleh kesadaran banyak pelaku usaha nomor wahid di Indonesia yang telah menginvestasikan rupiah mereka ke dunia virtual. Sebut saja keluarga Hartono dari Djarum, Antoni Salim dari BCA, atau keluarga James Ryadi. Contoh tersebut sudah memiliki banyak situs bisnis dengan menggunakan banyak platform bisnis, ada perdagangan, bisnis, pendidikan dan lainnya.
Hal ini pula yang tidak bisa kita tolak bahwa orang terkaya di dunia saat ini bukanlah yang memiliki pabrik real tetapi yang menggunakan ekosistem virtual sebagai basis bisnisnya. Pemilik amazon.com atau orang tersukses China Jack Ma dengan Alibaba.com-nya adalah fakta yang tak bisa terbantahkan menjadi orang paling sukses di dunia disamping Bill Gates dan Mark Zuckerberg. Fakta-fakta ini telah merubah paradigma hampir semua pelaku usaha untuk memindahkan bisnis real ke virtual, walaupun bisnis real masih tetap dijalankan.
Dalam konteks ini, agama disinyalir sebagai “pelaku” luar yang tidak memiliki kewenangan. Namun demikian, pelaku bisnis virtual “taat” tidak mau melepaskan dirinya dari agama. Oleh karena itulah maka muncul “pernikahan” dunia virtual dalam sudut pandang agama. Muncullah fikih kontemporer untuk melihat kecenderungan perubahan bisnis dalam dunia revolusi industri 4.0. dalam konteks agama Islam, hal ini tidak bisa langsung berhubungan dengan Qur’an sebagai sumber utama, karena terminologi dan latar Al Qur’an berbeda. Yang adalah hadits dan Qiyas. Ketika hadits dan Qiyas ini menjadi dasar, maka disinilah ada fleksibilitas hukum yang dinamis dalam memandang industri 4.0.
Ketika fikih dengan muamalah virtual ini dikaji dan diterapkan dalam bisnis virtual, maka para pelaku bisnis virtual ini mengalami ketenangan dan bahkan sampai kepada tingkat kepercayaan untuk mendapatkan “berkah”. Dalam konteks bisnis syariah, hal yang paling utama dalam bisnis adalah “keberkahan” dan tidak melanggar apa yang menjadi syariat Islam. Pelanggaran ini bisa disimpulkan dengan taat terhadap beberapa terminology seperti “tidak ghoror (menipu)”, “tidak mendholimi”, “antarodin (saling ridho)”, “kejelasan ijab-qabul” dan lain seterusnya. Beberapa konsep mumalah inilah berdampak kepada disiplin ilmu fikih baru dengan nama bisnis virtual syari’ah.
Islam di Persimpangan Revolusi Industri
Islam sebagai sebuah “system of belief” lebih dominan dalam konteks pendidikan. Memang ada Islam dalam konteks politik, budaya, sosial dan lain sebagainya, namun Islam sebagai konteks pendidikan lebih dominan ketimbang lainnya. Pendek kata berbicara Islam akan tidak jauh dari berbicara tentang pendidikan Islam. Memang ini seperti absurd, tapi itulah kenyataannya. Bila dunia politik mendekati Islam, maka simbolnya adalah politisi mendekati lembaga pendidikan islam semisal pesantren. Bila Islam dikaji dalam konteks sosial budaya, maka core dari kajiannya berawal dari lembaga pendidikannya. Pun demikian, bisnis Islami tidak terlepas dari kajian-kajian Islam di lembaga pendidikan Islam. Jadi Pendidikan Islam menjadi ruh dalam “Islam” itu sendiri.
Lalu, apa saja yang menjadi kekuatan dalam pendidikan Islam yang sedikit menjadi antitesa dengan revolusi Industri 4.0? Pendidikan Islam memiliki alasan kenapa revolusi Industri tidak berkelindan dengan sistem atau khasanah Islam sejak dahulu. Karena industri 4.0 ini adalah “binatang” baru, maka tidak menutup kemungkinan khasanah Islam membutuhkan waktu lama untuk beradaptasinya. Kemungkinan besar akan ada paradigma baru Islam (yang tentu saja bersumber dari khasanah Islam) untuk menghadapi revolusi industri ini, namun itu sulit untuk diprediksi. Beberapa alasan ini menjadi alasan sulitnya memprediksi paradigma baru itu.
Pertama relasi guru-murid, mursyid-murid, kyai-santri adalah hubungan kemanusiaan yang memiliki nilai strategis dalam Islam. Revolusi industri yang tidak lagi menghendaki ada relasi semacam kyai-santri dalam hubungan pendidikannya berdampak jelas terhadap degradasi nilai-nilai Islam yang penting. Sistem pendidikan ODL (online distance learning) yang dipromosikan oleh revolusi industri 4.0 tidak berkelindan dengan nilai Islam ini. Padahal, dalam relasi kedua subjek pendidikan ini (guru-murid, dst) terdapat nilai spiritual tinggi bernama “berkah/barokah”, “takdim” “kewalat” dan bahkan “laduni”. Nilai ini tidak ada di pendidikan virtual, padahal dalam dunia pendidikan Islam, justru nilai inilah yang sangat penting bahkan melebihi dari penguasaan konten pembelajaran sekalipun.
Kedua belajar tanpa guru, maka gurunya syeitan. Ini mungkin masih sama dengan soal pertama, namun ada perbedaan nilai terhadapnya dimana kepercayaan Islam dalam menuntut ilmu harus “bersanad” (referenced) dan tidak terputus pada sumber aslinya. Tingkat kehebatan keilmuan seseorang akan dilihat dari “kemutawatiran” sanad ilmu yang didapatkannya. Semakin bersanad, maka semakin valid keilmuannya. Inipun yang menjadi dasar dalam pendidikan modern saat ini, dimana referensi adalah hal paling penting dari sebuah ilmu. Namun dalam konteks dunia virtual hal ini sangat sulit ditempuh dimana “guru virtual” diganti dengan video, audio, atau modul yang dibuatnya. Bisa jadi gurunya adalah “tiruan”, “munafik”, “absurd”, “tidak valid” dan seterusnya. Ini akan ditolak dalam dunia pendidikan Islam. Dalam konteks Islam, guru itu tidak hanya keilmuannya tapi prilaku keseharian dan “aura” ilahiah yang melekat dalam dirinya yang harus dipelajari oleh murid. Virtual tidak menyajikan prilaku real dan aura ilahiah dalam diri gurunya, dan bila ini terjadi, maka “ruh” pendidikan Islam telah terkontaminasi.
Ketiga Pendidikan Islam membutuhkan konten yang otentik dengan tujuan memelihara dan mewariskan ilmu untuk generasi masa depan. Keotentikan dunia virtual tidak bisa divalidasi oleh hanya e-book, e-kitab, atau e-qur’an. Ada dimensi plagiasi yang tinggi serta ada dunia meniru dan memodifikasi yang hebat dalam dunia virtual. Orang bisa merubah konten akademik Islam dengan mudah melalui jaringan virtual. Ini akan membahayakan. Bisa jadi ketika tujuan memelihara dan mewariskan ilmu kepada generasi muda, maka satu perubahan konten keilmuan akan mengorbankan jutaan generasi muda. Inilah yang paling dihindari dari dunia pendidikan Islam. Belajar bersama guru dan konten yang otentik serta divalidasi oleh guru adalah hal mutlak yang dilakukan dalam proses belajarnya.
Keempat proses adopsi, adaptasi dan reflikasi dunia pendidikan Islam terhadap dunia virtual tidak mudah. Nilai kandungan pendidikan Islam yang tinggi tidak bisa diwakilkan dalam dunia virtual. Sentuhan kiai, guru dan aura ilahiah yang dimunculkan oleh pendidik dalam dunia Islam tidak bisa dimiliki oleh dunia virtual. Internet tidak bisa menggantikan posisi pendidik yang sarat dengan makna dan nilai. Internet yang hanya membutuhkan kuota dan alat akan mendegradasi pendidikan Islam. Mungkin yang bisa disampaikan adalah konten pendidikannya saja, namun dalam dimensi lain semacam sikap dan keterampilan, sepertinya virtual bukanlah solusi. Maka, Blended Learning adalah solusi pendidikan Islam, tentu saja dengan modifikasi yang memihak kepada khasanah pendidikan Islam yang telah lama hidup dan berkembang di masyarakat.
Akhirnya harus saya katakan, “bila saja pendidikan itu bertujuan untuk transfer of knowledge, maka teknologi adalah guru yang paling hebat. Tapi, dalam memanusiakan manusia, pendidikan model itu tidak cukup. Dan pendidikan tidak sekedar transfer of knowledge itulah yang selalu dipahami. ( al-tarbiatu ausa’u daairatan min al-ta’lim)

Related

Artikel 8025357754687988840

Post a Comment

emo-but-icon
:noprob:
:smile:
:shy:
:trope:
:sneered:
:happy:
:escort:
:rapt:
:love:
:heart:
:angry:
:hate:
:sad:
:sigh:
:disappointed:
:cry:
:fear:
:surprise:
:unbelieve:
:shit:
:like:
:dislike:
:clap:
:cuff:
:fist:
:ok:
:file:
:link:
:place:
:contact:

Follow Us

Profile

About Me
Dr. Abdurrohman S.Ag. M.EI
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura. . Selengkapnya

Total Pageviews

641411

Recent PostsRandomComments

Recent Posts

coba

/1qyOjT8yQASKRlwJQfDU-xR151FZd77ap/

CARA PRAKTIS MEMASUKAN FILE PDF KE DALAM BLOG

CARA PRAKTIS MEMASUKAN FILE PDF KE DALAM BLOGBlog adalah salah satu media yang bisa digunakan dalam pembelajaran. Masa pandemi ini blog merupakan salah media yang cukup efektif bagi guru untuk menyamp...

Random

Comments

Anonymous:

Nama :MustafidaNim : 230721100130Kelas : 1 E Ekonomi Syariah Email : mustafidatoufa@gmail.com

Anonymous:

Nama : Ahmad Farhan AthaullahNim : 230721100201Kelas : 1E Ekonomi SyariahEmail : ahmadfarhanathaullah@gmail.com

Anonymous:

Nama : Rivangga Nur ArdiansyahNIM : 230721100221Kelas : 1E Ekonomi SyariahEmail : rivangganurardiansyah@gmail.com

Anonymous:

Nama : Lailatul IstiqomahNIM : 203721100078Kelas : 1E Ekonomi syariah Email : istiqomaglailatul5@gmail.com

Kripik Singkong:

Nama : Khairun Nafi'ahNIM : 230721100061Kelas : 1E Ekonomi SyariahEmail : fialemper@gmail.com

Contact Us

Name

Email *

Message *

Populer

item