PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM YAHYA IBN UMAR
A. Biografi Singkat Yahya I bn Umar Yahya Ibn Umar merupakan salah seorang faquha mazhab Maliki. Ulama bern...
https://rohman-utm.blogspot.com/2011/10/pemikiran-ekonomi-islam-yahya-ibn-umar.html
A.
Biografi Singkat Yahya Ibn
Umar
Yahya Ibn Umar
merupakan salah seorang faquha mazhab Maliki. Ulama bernama lengkap Abu Bakar
Yahya Ibn Umar Ibn
Yusuf Al-Kananni Al-Andalusi ini lahir
pada tahun 213 H dan dibesarkan di Kordova, Spanyol. Yahya Ibn Umar wafat ketika berumur 76th pada tahun 289
H (901 M).
Seperti para cendekiawan Musim terdahulu, ia berkelana
ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu. Pada mulanya, ia singgah di Mesir dan
berguru kepada para pemuka sahabat Abdullah Ibn Wahab al-Maliki dan Ibn al-Qasim, seperti Ibnu
al-Kirwan Ramh dan Abu al-Zhahir Ibn
al-Sarh. Setelah itu, Yahya Ibn Umar
pindah ke Hijaz dan berguru, di antaranya, kepada Abu Mus’ab az-Zuhri.
Akhirnya, Yahya Ibn Umar menetap di
Qairuwan[1],
Afrika, dan menyempurnakan pendidikannya kepada seorang ahli ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya Ibn Sulaiman al-Farisi.[2]
Dalam perkembangan selanjutnya, Yahya Ibn Umar menjadi pengajar di Jami’ al-Qairuwan. Pada masa
hidupnya ini, terjadi konflik yang menajam antara fuqaha Malikiyah dengan
fuqaha Hanafiyah yang dipicu oleh persaingan memperebutkan pengaruh dalam pemerintahan. Yahya Ibn Umar terpaksa pergi dari Qairuwan dan menetap
di Sausah ketika Ibnu ‘Abdun, yang berusaha menyingkirkan para ulama
penentangnya, baik dengan ca ra
memenjarakan maupun membunuh, menjabat qadi
di negeri itu.
Setelah Ibnu ‘Abdun turun dari jabatannya, Ibrahim Ibn
Ahmad al-Aglabi menawarkan jabatan qadi kepada Yahya Ibn Umar. Namun, Yahya ibn Umar menolaknya dan memilih tetap tinggal di Sausah serta
mengajar di Jami’ al-Sabt hingga akhir hayatnya.
B.Karya Yahya
Ibn Umar
Semasa hidupnya, disamping aktif mengajar, Yahya Ibn Umar juga banyak menghasilkan karya tulis
hingga mencapai 40 juz. Diantara berbagai karyanya yang terkenal adalah al-Muntakhabah fi ikhtishar al-Mustakhirijah
fi al-Fiqh al-Maliki dan kitab Ahkam al-Suq.
Kitab Ahkam
al-Suq yang berasal dari benua Afrika pada abad ketiga Hijriyah ini
merupakan kitab pertama di Dunia Islam yang khusus membahas hisbah dan berbagai hukum pasar, satu penyajian
materi yang berbeda dari pembahasan-pembahasan fiqih pada umumnya.
Tentang kitab Ahkam
al-Suq, Yahya ibn Umar menyebutkan bahwa penulisan kitab ini
dilatarbelakangi oleh dua persoalan mendasar, yaitu pertama, hukum syara’ tentang perbedaan kesatuan timbangan dan
takaran perdagangan dalam satu
wilayah; kedua, hukum syara’ tentang
harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuan liberalisasi harga,
sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudaratan bagi para konsumen.
C.
Pemikiran Ekonomi Yahya Ibn Umar
Menurut Yahya Ibn
Umar, aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ketakwaan
seorang muslim kepada Allah Swt. Hal ini berarti bahwa ketakwaan merupakan asas
dalam perekonomian Islam, sekaligus faktor utama yang membedakan ekonomi Islam
dengan ekonomi konvensional. Oleh karena itu, di samping Alquran, setiap muslim
harus berpegang teguh pada sunnah dan mengikuti seluruh perintah Nabi Muhammad
saw. dalam melakukan setiap aktivitas ekonominya. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa
keberkahan akan selalu menyertai orang-orang yang bertakwa, sesuai dengan
firman Allah Swt.:
“Jikalau sekiranya penduduk
negerinegeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. [3]
Seperti yang telah disinggung, fokus perhatian Yahya
ibn Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang terefleksikan dalam pembahasan
tentang tas’ir (penetapan harga).
Penetapan harga (al-tas’ir) merupakan
tema sentral dalam kitab Ahkam al-Suq.
Penyusun buku tersebut, Imam Yahya Ibn Umar, berulang kali membahasnya di berbagai
tempat yang berbeda. Tampaknya, ia ingin
menyatakan bahwa eksistensi harga merupakan hal yang sangat penting dalam
sebuah transaksi dan pengabaian terhadapnya akan dapat menimbulkan kerusakan
dalam kehidupan masyarakat.
Pemerintah, sebagai institusi formal yang memikul
tanggung jawab menciptakan kesejahteraan umum, berhak melakukan intervensi
harga ketika terjadi suatu aktivitas yang dapat membahayakan kehidupan
masyarakat luas.
Yahya Ibn Umar
menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan intervensi, kecuali dalam dua
hal, yaitu:
Para
pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan tertentunya yang sangat dibutuhkan
masyarakat, sehingga dapat menimbulkan kemudaratan serta merusak mekanisme
pasar. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengeluarkan para pedagang tersebut dari
pasar serta menggantikannya dengan para pedagang yang lain berdasarkan
kemaslahatan dan kemanfaatan umum.
Para
pedagang melakukan praktik siyasah
al-ighraq atau banting harga (dumping)
yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan
stabilitas harga pasar[4].
Dalam hal ini, pemerintah berhak memerintahkan para pedagang tersebut untuk
menaikkan kembali harganya sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Apabila
mereka menolaknya, pemerintah berhak mengusir para pedagang tersebut dari
pasar. Hal ini pernah dipraktikkan Umar Ibn al-Khattab ketika mendapati seorang pedagang
kismis menjual barang dagangannya di bawah harga pasar. Ia memberikan pilihan
kepada pedagang tersebut, apakah menaikkan harga sesuai dengan standar yang
berlaku atau pergi dari pasar.
Pernyataan Yahya ibn Umar tersebut jelas
mengindikasikan bahwa hukum asal intervensi
pemerintah adalah haram. Intervensi baru dapat dilakukan jika dan hanya jika kesejahteraan masyarakat umum
terancam. Hal ini sesuai dengan tugas yang dibebankan kepada pemerintah dalam
mewujudkan keadilan sosial di setiap aspek kehidupan masyarakat, termasuk
ekonomi. Di samping itu, pendapatnya yang melarang praktik tas’ir (penetapan
harga) tersebut sekaligus menunjukkan bahwa sesungguhnya Yahya Ibn Umar mendukung kebebasan ekonomi, termasuk
kebebasan kepemilikan.
Sikap Rasulullah saw. yang menolak melakukan penetapan
harga juga merupakan indikasi awal bahwa dalam ekonomi Islam tidak hanya
terbatas mengatur kepemilikan khusus, tetapi juga menghormati dan menjaganya.
Tentu saja, kebebasan ekonomi yang dimaksud adalah bukan kebebasan mutlak seperti
yang dikenal dalam ekonomi konvensional, tetapi kebebasan yang terikat oleh
syariat Islam.
Pasar merupakan pusat terjadinya penyediaan (supply)
dan permintaan (demand) barang. Kedudukan pasar dalam Islam begitu
tinggi, sebab selain bidang pertanian dan perdagangan merupakan salah satu
profesi yang sangat dianjurkan oleh Islam. Karakteristik pasar Islam ialah di
dalamnya terdapat aturan, mekanisme dan nilai-nilai Islam yang dijadikan
standar aktifitas. Karakteristik inilah yang menjadi kekhasan Islam yang tidak
mengenal dikotomi ranah dunia dan akherat. Aktifitas bisnis yang berorientasi
materiil selalu diimbangi dengan kecintaan membelanjakan harta di jalan Allah
(spirituil). Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi kebebasan dalam
berekonomi. Sehingga Islam memberikan kebebasan kepada umatnya untuk melakukan
inovasi dan kreativitas dalam bermuamalah.
Dalam kondisi seperti ini, maka pemerintah di larang
melakukan intervensi terhadap harga. Pada pasal 5 ayat 1 dan 2 UU No. 5 Tahun
1999 mengindikasikan adanya larangan untuk melakukan persekongkolan dalam
rangka menetapkan harga di pasar. Berbicara tentang regulasi harga, tentu kita
ingat bahwa pengawasan harga muncul pertama kali pada zaman Rasulullah SAW.
Pada masa itu Rasulullah bertindak sebagai Hasib (pengawas). Kondisi saat itu,
masyarakat dihadapkan dalam kondisi harga yang melambung tinggi, sehingga
sahabat meminta Rasul untuk menurunkan harga. Namun demikian, Rasul menolak
permintaan sahabat tersebut. Rasul mengatakan
”Allah
mengakui adanya kelebihan dan kekurangan, Dia-lah pembuat harga berubah dan
menjadi harga sebenarnya, saya berdo’a agar Allah tidak
membiarkan ketidakadilan seseorang dalam darah atau hak milik.”
Dalam sebuah
hadith dinyatakan :
“ Dari Anas Ibn Malik,
para manusia (sahabat) berkata: Wahai Rasulullah telah terjadi lonjakan harga,
maka tetapkanlah harga bagi kami. Rasulullah menjawab: Sesungguhnya Allah-lah
penentu harga, penahan, yang memudahkan dan yang memberi rizki. Aku berharap
dapat bertemu dengan Allah dan tidak seorangpun dari kalian (boleh) menuntutku
karena kedzaliman dalam persoalan jiwa dan harta.”
Dari riwayat tersebut, dapatlah kiranya dipahami bahwa
penetapan harga secara eksplisit tidak diperkenankan oleh Rasul. Sebab dengan
penetapan harga akan memicu ketidakadilan baru. Jika harga ditetapkan jauh
lebih tinggi maka konsumen akan dirugikan, sebaliknya jika harga ditetapkan
sangat rendah, maka produsen yang akan dirugikan. Hadist di atas dilatar
belakangi oleh kondisi harga yang dalam prespektif Rasul masih bisa di jangkau
oleh masyarakat. Selain itu, penetapan harga adalah sesuatu yang sensitif,
sebab jika terjadi kesalahan dalam menetapkan harga maka akan melahirkan
ketidakadilan baru dalam kehidupan masyarakat. Pertanyaan yang muncul kemudian
adalah bagaimana jika harga komoditas tidak bisa terjangkau oleh daya beli
masyarakat. Dalam hal ini, jika kenaikan harga di pasar diakibatkan oleh ulah
para spekulan, sehingga menyebabkan instabilitas harga di pasar, pemerintah
sebagai institusi formal yang mempunyai tanggung jawab menciptakan
kesejahteraan umum.
Yahya ibn Umar menambahkan bahwa mekanisme harga itu
harus tunduk kepada kaidah-kaidah. Di antara kaidah-kaidah tersebut adalah
pemerintah berhak untuk melakukan intervensi ketika terjadi tindakan sewenang-wenang
dalam pasar yang dapat menimbulkan kemudaratan bagi masyarakat, termasuk ihtikar dan dumping. Dalam hal ini, pemerintah berhak mengeluarkan pelaku
tindakan itu dari pasar. Dengan demikian, hukuman yang diberikan terhadap
pelaku tindakan tersebut adalah berupa larangan melakukan aktivitas ekonominya di pasar,
bukan berupa hukuman maliyah.
a. Tentang Ihtikar (Monopoly’s
Rent-Seeking)
Monopoli atau ihtikar adalah menimbun
barang agar yang beredar di masyarakat berkurang, lalu harganya naik. Islam
secara tegas melarang praktek ihtikar[5],sebab
ihtikar dapat mengakibatkan terganggunya mekanisme pasar, dimana penjual akan
menjual sedikit barang dagangannya, sementara permintaan terhadap barang
tersebut sangat banyak, sehingga di pasar terjadi kelangkaan barang.
Berdasarkan hukum ekonomi, maka semakin sedikit persediaan barang di pasar,
maka harga barang semakin naik dan permintaan terhadap barang semakin berkurang.
Dalam kondisi seperti ini produsen dapat menjual barangnya dengan harga yang
lebih tinggi dari harga normal. Penjual akan mendapatkan keuntungan yang lebih
besar dari keuntungan normal (super normal profit), sementara konsumen
akan menderita kerugian. Jadi, akibat ihtikar masyarakat akan dirugikan oleh
ulah sekelompok kecil manusia. Oleh karena itu, dalam pasar monopoli seorang
produsen dapat bertindak sebagai price maker (penentu harga)
Para ulama sepakat bahwa ‘illat pengharaman
ihtikar adalah karena dapat menimbulkan kemudlaratan bagi manusia[6].Sedangkan
kemudlaratan merupakan sesuatu yang harus dihilangkan. Implikasi lebih jauh,
ihtikar tidak hanya akan merusak mekanisme pasar, tetapi juga akan menghentikan
keuntungan yang akan diperoleh orang lain dan dapat menghambat proses
distribusi kekayaan di antara manusia[7],
sebab konsumen masih harus membayar harga produk yang lebih tinggi dari ongkos
marjinal. Oleh karena itu, praktek ihtikar akan menghambat kesejahteraan
umat manusia. Padahal salah satu tujuan dari sistem ekonomi, apapun bentuknya
adalah kesejahteraan umat manusia.
Menurut Yahya Ibn Umar apabila harga di pasar mengalami ketidak
stabilan karena ulah dari segelintir para pedagang, maka pemerintah sebagai
lembaga formal harus melakukan intervensi terhadap harga di pasar tersebut,
dengan mengembalikan tingkat harga pada equilibrium
price (keseimbangan harga).
Tindakan yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah
akan menjual barang dagangan hasil timbunan sesuai dengan harga pasar pada saat
itu dan apabila ada keuntungan dari hasil penjualan, maka hasil penjualan
tersebut disedekahkan kepada fakir miskin. Sedangkan pelaku ihtikar hanya
berhak mendapatkan modal pokonya saja. Hal ini dilakukan sebagai pembelajaran
terhadap pelaku ihtikar. Selanjutnya pemerintah akan memberikan teguran kepada
pelaku ihtikar agar tidak mengulangi perbuaannya lagi. Apabila mereka tidak
memperhatikan teguran tersebut, pemerintah berhak menghukum mereka dengan
memukulnya, lari mengelilingi kota dan memenjarakannya. Tetapi yang harus
dipahami lebih lanjut adalah, sesuatu baru dikatakan sebagai ihtikar apabila,
barang yang ditimbun merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan penimbunan
dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan di atas keuntungan normal
(super normal profit).
Pemikiran Yahya Ibn Umar yang digagasnya sekitar 12 abad yang lalu
terdapat kesesuaian dengan ekonomi modern yang juga melarang adanya praktek
monopoli murni (pure monopoly) dan adanya sanksi bagi pihak yang
melanggarnya. Meskipun bahasa yang digunakan oleh Yahya Ibn Umar sangat sederhana. Monopoli murni adalah
suatu keadaan di mana dalam pasar hanya ada satu penjual sehingga tidak ada
pihak lain yang menyainginya. Di negara yang terkenal dengan pasar bebas dan
sistem kapitalisnya seperti Amerika Serikat, masih terdapat Undang-undang Anti
Trust. Bahkan pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.
Tindakan seseorang yang menyimpan stok barang tertentu
untuk kepentingan persediaan, seperti ketika terjadi panen raya atau untuk
persediaan kebutuhan pribadinya tidak bisa dikatakan sebagai tindakan ihtikar.
Sebab hal tersebut tidak akan mengakibatkan kelangkaan barang di masyarakat,
justru jika hal itu tidak dilakukan oleh perusahaan atau produsen tertentu
harga barang akan anjlok dan rakyat akan mengalami kerugian. Bahkan pemerintah
Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1948 tentang pemberian ijin
kepada Pedagang untuk menimbun barang penting, seperti beras, gabah, padi,
menir, tepung beras, gula dalam jumlah tertentu. Beras, gabah, padi, menir,
tepung beras, gula masing-masing tidak lebih dari 500 Kg.
Perdagangan itu wajib dibiarkan bebas, tidak boleh
dibatasi siapapun, termasuk penguasa tidak boleh ikut campur dalam pembatasan
kebijaksanaan perdagangan.50 Maksudnya,
Biarkanlah lalu lintas perdagangan itu bebas diatur oleh masyarakat itu.
Perdagangan seperti ini menganut sistem perdagangan bebas yang sekarang menjadi
issue politik paling senter di dunia internasional.
Dengan demikian pemerintah memperbolehkan melakukan
penimbunan barang oleh institusi tertentu dengan maksud untuk melindungi konsumen dan produsen. Sedangkan penimbunan yang dimaksudkan
untuk mendapatlan keuntungan maksimal yang tidak wajar, jelas hal tersebut
dilarang.
b. Siyasah al-Iqhrag
(Dumping Policy)
Berbanding terbalik dengan ikhtikar, Siyasah al-Ighraq
(dumping) adalah sebuah aktivitas perdagangan yang bertujuan untuk mencari
keuntungan dengan jalan menjual barang pada tingkat harga yang lebih rendah
dari harga yang berlaku di pasaran.
Dalam suatu pasar bersaing yang tidak sempurna, suatu
perusahaan terkadang melakukan kebijakan pengenaan harga yang berbeda untuk
produk yang sama di setiap pasar yang berlainan. Secara umum, praktik pengenaan
harga yang berbeda terhadap pembeli berbeda disebut diskriminasi harga. Dalam
perdagangan internasional, bentuk diskriminasi harga yang biasa dilakukan
adalah dumping. Dumping merupakan praktek penjualan produk di negara tujuan
ekspor dengan harga di bawah harga normal atau harga produsennya yang bertujuan
untuk menguasai pasar diluar negeri.[8] Dumping merupakan sebuah kebijakan perdagangan yang
kontroversial dan secara luas dikenal sebagai subuah praktik yang tidak fair
karena menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan merusak mekanisme pasar.
Perilaku seperti ini secara tegas dilarang oleh agama karena dapat menimbulkan
kemudlaratan bagi masyarakat.
Dumping terjadi bila para produsen (biasanya para pelaku
monopoli) dari suatu negeri menjual hasil mereka ke negara lain dibawah harga
yang dikenakan pada para konsumen negara asal. Tujuan dumping tersebut antara
lain adalah:
Untuk
menghabiskan persediaan yang berlebihan karena keliru menilai permintaan.
Mengembangkan hubungan
perdagangan baru dengan menetapkan harga yang rendah.
Mengenyahkan pesaing pasar
asing, produsen asing, atau pribumi, dan
Memungut keuntungan
sebesar-besarnya dalam perekonomian.
Menurut pendapat Rahmadi Usman Dalam kamus hukum
ekonomi, dumping diartikan sebagai praktik dagang yang dilakukan eksportir
dengan menjual barang, jasa atau barang jasa di pasar internasional dengan
harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah dari pada harga barang
tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual di negara lain.[9] Dengan kata lain dumping adalah
kegiatan dagang yang dilakukan produsen pengekspor yang dengan sengaja banting
harga dengan cara menjual dengan harga yang lebih murah dibandingkan harga jual
dalam negeri atau negara lain, dengan harapan dapat mematikan usaha pesaing di
pasar yang bersangkutan. Praktik dagang yang demikian dianggap sebagai praktik
dagang yang tidak sehat dan sekaligus bisa mendatangkan kerugian pelaku usaha
sejenis di negara pengimpor.
Dalam sistem negara modern dewasa ini, keterlibatan
negara dalam mengontrol pasar khususnya yang terkait dengan fluktuasi harga
barang dan regulasi pasar semakin dibutuhkan. Kebutuhan akan peran pemerintah
semakin diperlukan sebagai akibat dari meningkatnya pola-pola ketidakadilan
para pelaku pasar bebas yang berujung pada merebaknya otoritasi kontrol harga
yang terpusat pada segelintir orang.
Peran pemerintah untuk menertibkan sekaligus
memberikan kenyamanan dalam bentuk memberikan efek jera kepada para pelaku
ketidakadilan di atas sungguh diharapkan. Pernah suatu waktu, harga-harga
barang di pasar Madinah meningkat tajam, dan hal ini dikeluhkan oleh para
sahabat kepada nabi, dan mereka meminta kepada nabi untuk mematok harga atas
barang-barang di pasar (al-tas`ir). Namun nabi menolak, dengan alasan
khawatir hal itu akan merugikan para penjual dari kalangan pemilik barang.
Tentu kejadian ini harus dilihat dari konteks waktu diucapkannya perkataan nabi
tersebut, jika seandainya nabi masih hidup saat ini, niscaya beliau akan setuju
dengan permintaan para sahabat untuk memberikan harga standar
atas barang-barang yang beredar di pasar. Perubahan karakter pada pelaku bisnis
dahulu dan sekarang tentunya yang merubah fatwa tersebut. Dan bukan seperti
yang disangka oleh para pendukung sistem kapitalis, bahwa hakekatnya nabi
mendukung pasar bebas atau sangat membela kepentingan para pemiliki modal (the capital).
D. Implikasi pemikiran Yahya Ibn Umar
Etika pasar dalam Islam, yang tidak semata diarahkan
bagi para pelaku bisnis baik pedagang dan pembeli saja namun pada pembenahan
sistem secara menyeluruh. Lebih jelasnya etika pasar dalam Islam ini
menghendaki pembenahan sistem dan kerjasama sinergis antara semua unsur baik
pelaku bisnis, masyarakat dan pemerintah.
Dalam konsep ekonomi Islam harga ditentukan oleh
keseimbangan permintaan dan penawaran. Keseimbangan ini tidak terjadi bila
antara penjual dan pembeli tidak bersikap saling merelakan. Kerelaan ini
ditentukan oleh penjual dan pembeli dalam mempertahankan kepentingan atas
barang tersebut. Jadi, harga ditentukan oleh kemampuan penjual untuk
menyediakan barang yang ditawarkan pembeli, dan kemampuan pembeli untuk
mendapatkan barang tersebut dari penjual.
Islam pada dasarnya memberikan kebebasan dan
penghargaan yang besar terhadap perdagangan, Sesuai dengan firman Allah swt
dalam surat al-Baqarah ayat 275
“Dan Allah swt telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Akan
tetapi praktek persaingan tidak sehat dalam transaksi perdagangan seperti Siyasah
Al-Ighraq dengan tujuan untuk mematikan pedagang lain yang ada di pasar
merupakan hal yang dilarang dalam aturan hukum Islam, oleh karena itu Islam
tidak lantas membiarkanya tanpa aturan yang jelas, bahwa nilai-nilai ahlak
seperti kejujuran dan keadilan harus selalu di kedepankan dalam melakukan
transaksi perdagangan. Ini sesuai dengan hadist yang di riwayatkan oleh al-Tirmidzi bahwa Rosullullah saw bersabda “pedagang yang jujur
dan terpercaya (ditempatkan di surga) sejajar dengan para nabi, para shadiqin
dan para sahabat´. Jadi sangat jelas bahwa Aspek etika bisnis ini menjadi sangat penting karena dalam transaksi
perdagangan sangat mungkin terjadi ketengangan antara hak individu dan
kepentingan umum.
[1]
Qairuwan adalah sebuah kota yang terletak di bagian utara Tunisia dan ibukota
dari Provinsi Kairouan. Kota ini terletak di selatan Sousse, 50 kilometer dari
pantai timur atau 184 kilometer dari kota Tunis. Kota ini dibangun oleh orang
Arab sekitar tahun 670 Masehi.Pada periode Dinasti Umayah, kota ini menjadi
pusat pendidikan Islam dan pembelajaran al-Quran sehingga menarik sejumlah
besar Muslim dari berbagai belahan dunia. Kota Kairouan sekarang merupakan
bagian dari warisan dunia Islam, pada tahun 2009 ditetapkan sebagai ibukota budaya
dunia Islam
[2] Hammad Ibn Abdur
Rahman al-Janidal, Manahij al-Bahitsin fi al-Iqtishod al-Islamy (Riyadh:
Syirkah alUbaikan li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, 1406 H), 118.
[4] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 203.
[5] Ihtikar
adalah perbuatan menimbun atau menahan (holding) barang dengan maksud untuk
menaikkan harga di kemudian hari untuk memperoleh keuntungan yang berlimpah
(monopolistic rent).
[6] Ali
Abdur Rasul, al-Mabadi' al-Iqtishadiyah fi al-Islam (Beirut; Dar al-Fikr
al-Arabi, 1980), 101.
[8] Eddie Rinaldy. Kamus Istilah Perdagangan Internasional (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2000),74.