rohmans

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM YAHYA IBN UMAR

A.                      Biografi Singkat Yahya I bn Umar Yahya Ibn Umar merupakan salah seorang faquha mazhab Maliki. Ulama bern...



A.                     Biografi Singkat Yahya Ibn Umar

Yahya Ibn Umar merupakan salah seorang faquha mazhab Maliki. Ulama bernama lengkap Abu Bakar Yahya Ibn Umar Ibn  Yusuf Al-Kananni Al-Andalusi ini lahir pada tahun 213 H dan dibesarkan di Kordova, Spanyol. Yahya Ibn  Umar wafat ketika berumur 76th pada tahun 289 H (901 M).


Seperti para cendekiawan Musim terdahulu, ia berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu. Pada mulanya, ia singgah di Mesir dan berguru kepada para pemuka sahabat Abdullah Ibn  Wahab al-Maliki dan Ibn al-Qasim, seperti Ibnu al-Kirwan Ramh dan Abu al-Zhahir Ibn al-Sarh. Setelah itu, Yahya Ibn  Umar pindah ke Hijaz dan berguru, di antaranya, kepada Abu Mus’ab az-Zuhri. Akhirnya, Yahya Ibn  Umar menetap di Qairuwan[1], Afrika, dan menyempurnakan pendidikannya kepada seorang ahli ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya Ibn  Sulaiman al-Farisi.[2]

Dalam perkembangan selanjutnya, Yahya Ibn Umar menjadi pengajar di Jami’ al-Qairuwan. Pada masa hidupnya ini, terjadi konflik yang menajam antara fuqaha Malikiyah dengan fuqaha Hanafiyah yang dipicu oleh persaingan memperebutkan pengaruh dalam pemerintahan. Yahya Ibn  Umar terpaksa pergi dari Qairuwan dan menetap di Sausah ketika Ibnu ‘Abdun, yang berusaha menyingkirkan para ulama penentangnya, baik dengan ca ra memenjarakan maupun membunuh, menjabat qadi di negeri itu.

Setelah Ibnu ‘Abdun turun dari jabatannya, Ibrahim Ibn  Ahmad al-Aglabi menawarkan jabatan qadi kepada Yahya Ibn  Umar. Namun, Yahya ibn Umar menolaknya dan memilih tetap tinggal di Sausah serta mengajar di Jami’ al-Sabt hingga akhir hayatnya.

B.Karya Yahya Ibn Umar

Semasa hidupnya, disamping aktif mengajar, Yahya Ibn  Umar juga banyak menghasilkan karya tulis hingga mencapai 40 juz. Diantara berbagai karyanya yang terkenal adalah al-Muntakhabah fi ikhtishar al-Mustakhirijah fi al-Fiqh al-Maliki dan kitab Ahkam al-Suq.

Kitab Ahkam al-Suq yang berasal dari benua Afrika pada abad ketiga Hijriyah ini merupakan kitab pertama di Dunia Islam yang khusus membahas hisbah dan berbagai hukum pasar, satu penyajian materi yang berbeda dari pembahasan-pembahasan fiqih pada umumnya.

Tentang kitab Ahkam al-Suq, Yahya ibn Umar menyebutkan bahwa penulisan kitab ini dilatarbelakangi oleh dua persoalan mendasar, yaitu pertama, hukum syara’ tentang perbedaan kesatuan timbangan dan takaran perdagangan dalam satu wilayah; kedua, hukum syara’ tentang harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuan liberalisasi harga, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudaratan bagi para konsumen.


C.                      Pemikiran Ekonomi Yahya Ibn Umar

Menurut Yahya Ibn Umar, aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ketakwaan seorang muslim kepada Allah Swt. Hal ini berarti bahwa ketakwaan merupakan asas dalam perekonomian Islam, sekaligus faktor utama yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Oleh karena itu, di samping Alquran, setiap muslim harus berpegang teguh pada sunnah dan mengikuti seluruh perintah Nabi Muhammad saw. dalam melakukan setiap aktivitas ekonominya. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa keberkahan akan selalu menyertai orang-orang yang bertakwa, sesuai dengan firman Allah Swt.:

“Jikalau sekiranya penduduk negerinegeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. [3]

Seperti yang telah disinggung, fokus perhatian Yahya ibn Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang terefleksikan dalam pembahasan tentang tas’ir (penetapan harga). Penetapan harga (al-tas’ir) merupakan tema sentral dalam kitab Ahkam al-Suq. Penyusun buku tersebut, Imam Yahya Ibn  Umar, berulang kali membahasnya di berbagai tempat yang  berbeda. Tampaknya, ia ingin menyatakan bahwa eksistensi harga merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah transaksi dan pengabaian terhadapnya akan dapat menimbulkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat.


Pemerintah, sebagai institusi formal yang memikul tanggung jawab menciptakan kesejahteraan umum, berhak melakukan intervensi harga ketika terjadi suatu aktivitas yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat luas.

Yahya Ibn  Umar menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan intervensi, kecuali dalam dua hal, yaitu:

          Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan tertentunya yang sangat  dibutuhkan masyarakat, sehingga dapat menimbulkan kemudaratan serta merusak mekanisme pasar. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengeluarkan para pedagang tersebut dari pasar serta menggantikannya dengan para pedagang yang lain berdasarkan kemaslahatan dan kemanfaatan umum.
          Para pedagang melakukan praktik siyasah al-ighraq atau banting harga (dumping) yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga pasar[4]. Dalam hal ini, pemerintah berhak memerintahkan para pedagang tersebut untuk menaikkan kembali harganya sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Apabila mereka menolaknya, pemerintah berhak mengusir para pedagang tersebut dari pasar. Hal ini pernah dipraktikkan Umar Ibn  al-Khattab ketika mendapati seorang pedagang kismis menjual barang dagangannya di bawah harga pasar. Ia memberikan pilihan kepada pedagang tersebut, apakah menaikkan harga sesuai dengan standar yang berlaku atau pergi dari pasar.

Pernyataan Yahya ibn Umar tersebut jelas mengindikasikan bahwa hukum asal intervensi pemerintah adalah haram. Intervensi baru dapat dilakukan jika dan hanya jika kesejahteraan masyarakat umum terancam. Hal ini sesuai dengan tugas yang dibebankan kepada pemerintah dalam mewujudkan keadilan sosial di setiap aspek kehidupan masyarakat, termasuk ekonomi. Di samping itu, pendapatnya yang melarang praktik tas’ir (penetapan harga) tersebut sekaligus menunjukkan bahwa sesungguhnya Yahya Ibn  Umar mendukung kebebasan ekonomi, termasuk kebebasan kepemilikan.

Sikap Rasulullah saw. yang menolak melakukan penetapan harga juga merupakan indikasi awal bahwa dalam ekonomi Islam tidak hanya terbatas mengatur kepemilikan khusus, tetapi juga menghormati dan menjaganya. Tentu saja, kebebasan ekonomi yang dimaksud adalah bukan kebebasan mutlak seperti yang dikenal dalam ekonomi konvensional, tetapi kebebasan yang terikat oleh syariat Islam.


Pasar merupakan pusat terjadinya penyediaan (supply) dan permintaan (demand) barang. Kedudukan pasar dalam Islam begitu tinggi, sebab selain bidang pertanian dan perdagangan merupakan salah satu profesi yang sangat dianjurkan oleh Islam. Karakteristik pasar Islam ialah di dalamnya terdapat aturan, mekanisme dan nilai-nilai Islam yang dijadikan standar aktifitas. Karakteristik inilah yang menjadi kekhasan Islam yang tidak mengenal dikotomi ranah dunia dan akherat. Aktifitas bisnis yang berorientasi materiil selalu diimbangi dengan kecintaan membelanjakan harta di jalan Allah (spirituil). Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi kebebasan dalam berekonomi. Sehingga Islam memberikan kebebasan kepada umatnya untuk melakukan inovasi dan kreativitas dalam bermuamalah.

Dalam kondisi seperti ini, maka pemerintah di larang melakukan intervensi terhadap harga. Pada pasal 5 ayat 1 dan 2 UU No. 5 Tahun 1999 mengindikasikan adanya larangan untuk melakukan persekongkolan dalam rangka menetapkan harga di pasar. Berbicara tentang regulasi harga, tentu kita ingat bahwa pengawasan harga muncul pertama kali pada zaman Rasulullah SAW. Pada masa itu Rasulullah bertindak sebagai Hasib (pengawas). Kondisi saat itu, masyarakat dihadapkan dalam kondisi harga yang melambung tinggi, sehingga sahabat meminta Rasul untuk menurunkan harga. Namun demikian, Rasul menolak permintaan sahabat tersebut. Rasul mengatakan
Allah mengakui adanya kelebihan dan kekurangan, Dia-lah pembuat harga berubah dan menjadi harga sebenarnya, saya berdo’a agar  Allah tidak membiarkan ketidakadilan seseorang dalam darah atau hak milik.”


Dalam sebuah hadith dinyatakan :



“ Dari Anas Ibn  Malik, para manusia (sahabat) berkata: Wahai Rasulullah telah terjadi lonjakan harga, maka tetapkanlah harga bagi kami. Rasulullah menjawab: Sesungguhnya Allah-lah penentu harga, penahan, yang memudahkan dan yang memberi rizki. Aku berharap dapat bertemu dengan Allah dan tidak seorangpun dari kalian (boleh) menuntutku karena kedzaliman dalam persoalan jiwa dan harta.”

Dari riwayat tersebut, dapatlah kiranya dipahami bahwa penetapan harga secara eksplisit tidak diperkenankan oleh Rasul. Sebab dengan penetapan harga akan memicu ketidakadilan baru. Jika harga ditetapkan jauh lebih tinggi maka konsumen akan dirugikan, sebaliknya jika harga ditetapkan sangat rendah, maka produsen yang akan dirugikan. Hadist di atas dilatar belakangi oleh kondisi harga yang dalam prespektif Rasul masih bisa di jangkau oleh masyarakat. Selain itu, penetapan harga adalah sesuatu yang sensitif, sebab jika terjadi kesalahan dalam menetapkan harga maka akan melahirkan ketidakadilan baru dalam kehidupan masyarakat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana jika harga komoditas tidak bisa terjangkau oleh daya beli masyarakat. Dalam hal ini, jika kenaikan harga di pasar diakibatkan oleh ulah para spekulan, sehingga menyebabkan instabilitas harga di pasar, pemerintah sebagai institusi formal yang mempunyai tanggung jawab menciptakan kesejahteraan umum.

Yahya ibn Umar menambahkan bahwa mekanisme harga itu harus tunduk kepada kaidah-kaidah. Di antara kaidah-kaidah tersebut adalah pemerintah berhak untuk melakukan intervensi ketika terjadi tindakan sewenang-wenang dalam pasar yang dapat menimbulkan kemudaratan bagi masyarakat, termasuk ihtikar dan dumping. Dalam hal ini, pemerintah berhak mengeluarkan pelaku tindakan itu dari pasar. Dengan demikian, hukuman yang diberikan terhadap pelaku tindakan tersebut adalah berupa larangan melakukan aktivitas ekonominya di pasar, bukan berupa hukuman maliyah.
                        a. Tentang Ihtikar (Monopoly’s Rent-Seeking)

Monopoli atau ihtikar adalah menimbun barang agar yang beredar di masyarakat berkurang, lalu harganya naik. Islam secara tegas melarang praktek ihtikar[5],sebab ihtikar dapat mengakibatkan terganggunya mekanisme pasar, dimana penjual akan menjual sedikit barang dagangannya, sementara permintaan terhadap barang tersebut sangat banyak, sehingga di pasar terjadi kelangkaan barang. Berdasarkan hukum ekonomi, maka semakin sedikit persediaan barang di pasar, maka harga barang semakin naik dan permintaan terhadap barang semakin berkurang. Dalam kondisi seperti ini produsen dapat menjual barangnya dengan harga yang lebih tinggi dari harga normal. Penjual akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari keuntungan normal (super normal profit), sementara konsumen akan menderita kerugian. Jadi, akibat ihtikar masyarakat akan dirugikan oleh ulah sekelompok kecil manusia. Oleh karena itu, dalam pasar monopoli seorang produsen dapat bertindak sebagai price maker (penentu harga)
Para ulama sepakat bahwa ‘illat pengharaman ihtikar adalah karena dapat menimbulkan kemudlaratan bagi manusia[6].Sedangkan kemudlaratan merupakan sesuatu yang harus dihilangkan. Implikasi lebih jauh, ihtikar tidak hanya akan merusak mekanisme pasar, tetapi juga akan menghentikan keuntungan yang akan diperoleh orang lain dan dapat menghambat proses distribusi kekayaan di antara manusia[7], sebab konsumen masih harus membayar harga produk yang lebih tinggi dari ongkos marjinal. Oleh karena itu, praktek ihtikar akan menghambat kesejahteraan umat manusia. Padahal salah satu tujuan dari sistem ekonomi, apapun bentuknya adalah kesejahteraan umat manusia.
Menurut Yahya Ibn  Umar apabila harga di pasar mengalami ketidak stabilan karena ulah dari segelintir para pedagang, maka pemerintah sebagai lembaga formal harus melakukan intervensi terhadap harga di pasar tersebut, dengan mengembalikan tingkat harga pada equilibrium price (keseimbangan harga).

Tindakan yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah akan menjual barang dagangan hasil timbunan sesuai dengan harga pasar pada saat itu dan apabila ada keuntungan dari hasil penjualan, maka hasil penjualan tersebut disedekahkan kepada fakir miskin. Sedangkan pelaku ihtikar hanya berhak mendapatkan modal pokonya saja. Hal ini dilakukan sebagai pembelajaran terhadap pelaku ihtikar. Selanjutnya pemerintah akan memberikan teguran kepada pelaku ihtikar agar tidak mengulangi perbuaannya lagi. Apabila mereka tidak memperhatikan teguran tersebut, pemerintah berhak menghukum mereka dengan memukulnya, lari mengelilingi kota dan memenjarakannya. Tetapi yang harus dipahami lebih lanjut adalah, sesuatu baru dikatakan sebagai ihtikar apabila, barang yang ditimbun merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan penimbunan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan di atas keuntungan normal (super normal profit).
Pemikiran Yahya Ibn  Umar yang digagasnya sekitar 12 abad yang lalu terdapat kesesuaian dengan ekonomi modern yang juga melarang adanya praktek monopoli murni (pure monopoly) dan adanya sanksi bagi pihak yang melanggarnya. Meskipun bahasa yang digunakan oleh Yahya Ibn  Umar sangat sederhana. Monopoli murni adalah suatu keadaan di mana dalam pasar hanya ada satu penjual sehingga tidak ada pihak lain yang menyainginya. Di negara yang terkenal dengan pasar bebas dan sistem kapitalisnya seperti Amerika Serikat, masih terdapat Undang-undang Anti Trust. Bahkan pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.

Tindakan seseorang yang menyimpan stok barang tertentu untuk kepentingan persediaan, seperti ketika terjadi panen raya atau untuk persediaan kebutuhan pribadinya tidak bisa dikatakan sebagai tindakan ihtikar. Sebab hal tersebut tidak akan mengakibatkan kelangkaan barang di masyarakat, justru jika hal itu tidak dilakukan oleh perusahaan atau produsen tertentu harga barang akan anjlok dan rakyat akan mengalami kerugian. Bahkan pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1948 tentang pemberian ijin kepada Pedagang untuk menimbun barang penting, seperti beras, gabah, padi, menir, tepung beras, gula dalam jumlah tertentu. Beras, gabah, padi, menir, tepung beras, gula masing-masing tidak lebih dari 500 Kg.

Perdagangan itu wajib dibiarkan bebas, tidak boleh dibatasi siapapun, termasuk penguasa tidak boleh ikut campur dalam pembatasan kebijaksanaan perdagangan.50 Maksudnya, Biarkanlah lalu lintas perdagangan itu bebas diatur oleh masyarakat itu. Perdagangan seperti ini menganut sistem perdagangan bebas yang sekarang menjadi issue politik paling senter di dunia internasional.

Dengan demikian pemerintah memperbolehkan melakukan penimbunan barang oleh institusi tertentu dengan maksud untuk melindungi konsumen dan produsen. Sedangkan penimbunan yang dimaksudkan untuk mendapatlan keuntungan maksimal yang tidak wajar, jelas hal tersebut dilarang.

                        b. Siyasah al-Iqhrag (Dumping Policy)

Berbanding terbalik dengan ikhtikar, Siyasah al-Ighraq (dumping) adalah sebuah aktivitas perdagangan yang bertujuan untuk mencari keuntungan dengan jalan menjual barang pada tingkat harga yang lebih rendah dari harga yang berlaku di pasaran.

Dalam suatu pasar bersaing yang tidak sempurna, suatu perusahaan terkadang melakukan kebijakan pengenaan harga yang berbeda untuk produk yang sama di setiap pasar yang berlainan. Secara umum, praktik pengenaan harga yang berbeda terhadap pembeli berbeda disebut diskriminasi harga. Dalam perdagangan internasional, bentuk diskriminasi harga yang biasa dilakukan adalah dumping. Dumping merupakan praktek penjualan produk di negara tujuan ekspor dengan harga di bawah harga normal atau harga produsennya yang bertujuan untuk menguasai pasar diluar negeri.[8] Dumping merupakan sebuah kebijakan perdagangan yang kontroversial dan secara luas dikenal sebagai subuah praktik yang tidak fair karena menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan merusak mekanisme pasar. Perilaku seperti ini secara tegas dilarang oleh agama karena dapat menimbulkan kemudlaratan bagi masyarakat.

Dumping terjadi bila para produsen (biasanya para pelaku monopoli) dari suatu negeri menjual hasil mereka ke negara lain dibawah harga yang dikenakan pada para konsumen negara asal. Tujuan dumping tersebut antara lain adalah:

        Untuk menghabiskan persediaan yang berlebihan karena keliru menilai permintaan.

            Mengembangkan hubungan perdagangan baru dengan menetapkan harga yang rendah.


        Mengenyahkan pesaing pasar asing, produsen asing, atau pribumi, dan

            Memungut keuntungan sebesar-besarnya dalam perekonomian.

Menurut pendapat Rahmadi Usman Dalam kamus hukum ekonomi, dumping diartikan sebagai praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual barang, jasa atau barang jasa di pasar internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah dari pada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual di negara lain.[9] Dengan kata lain dumping adalah kegiatan dagang yang dilakukan produsen pengekspor yang dengan sengaja banting harga dengan cara menjual dengan harga yang lebih murah dibandingkan harga jual dalam negeri atau negara lain, dengan harapan dapat mematikan usaha pesaing di pasar yang bersangkutan. Praktik dagang yang demikian dianggap sebagai praktik dagang yang tidak sehat dan sekaligus bisa mendatangkan kerugian pelaku usaha sejenis di negara pengimpor.


Dalam sistem negara modern dewasa ini, keterlibatan negara dalam mengontrol pasar khususnya yang terkait dengan fluktuasi harga barang dan regulasi pasar semakin dibutuhkan. Kebutuhan akan peran pemerintah semakin diperlukan sebagai akibat dari meningkatnya pola-pola ketidakadilan para pelaku pasar bebas yang berujung pada merebaknya otoritasi kontrol harga yang terpusat pada segelintir orang.

Peran pemerintah untuk menertibkan sekaligus memberikan kenyamanan dalam bentuk memberikan efek jera kepada para pelaku ketidakadilan di atas sungguh diharapkan. Pernah suatu waktu, harga-harga barang di pasar Madinah meningkat tajam, dan hal ini dikeluhkan oleh para sahabat kepada nabi, dan mereka meminta kepada nabi untuk mematok harga atas barang-barang di pasar (al-tas`ir). Namun nabi menolak, dengan alasan khawatir hal itu akan merugikan para penjual dari kalangan pemilik barang. Tentu kejadian ini harus dilihat dari konteks waktu diucapkannya perkataan nabi tersebut, jika seandainya nabi masih hidup saat ini, niscaya beliau akan setuju dengan permintaan para sahabat untuk memberikan harga  standar atas barang-barang yang beredar di pasar. Perubahan karakter pada pelaku bisnis dahulu dan sekarang tentunya yang merubah fatwa tersebut. Dan bukan seperti yang disangka oleh para pendukung sistem kapitalis, bahwa hakekatnya nabi mendukung pasar bebas atau sangat membela kepentingan para pemiliki modal (the capital).
D.  Implikasi pemikiran Yahya Ibn  Umar

Etika pasar dalam Islam, yang tidak semata diarahkan bagi para pelaku bisnis baik pedagang dan pembeli saja namun pada pembenahan sistem secara menyeluruh. Lebih jelasnya etika pasar dalam Islam ini menghendaki pembenahan sistem dan kerjasama sinergis antara semua unsur baik pelaku bisnis, masyarakat dan pemerintah.

Dalam konsep ekonomi Islam harga ditentukan oleh keseimbangan permintaan dan penawaran. Keseimbangan ini tidak terjadi bila antara penjual dan pembeli tidak bersikap saling merelakan. Kerelaan ini ditentukan oleh penjual dan pembeli dalam mempertahankan kepentingan atas barang tersebut. Jadi, harga ditentukan oleh kemampuan penjual untuk menyediakan barang yang ditawarkan pembeli, dan kemampuan pembeli untuk mendapatkan barang tersebut dari penjual.

Islam pada dasarnya memberikan kebebasan dan penghargaan yang besar terhadap perdagangan, Sesuai dengan firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 275 “Dan Allah swt telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Akan tetapi praktek persaingan tidak sehat dalam transaksi perdagangan seperti Siyasah Al-Ighraq dengan tujuan untuk mematikan pedagang lain yang ada di pasar merupakan hal yang dilarang dalam aturan hukum Islam, oleh karena itu Islam tidak lantas membiarkanya tanpa aturan yang jelas, bahwa nilai-nilai ahlak seperti kejujuran dan keadilan harus selalu di kedepankan dalam melakukan transaksi perdagangan. Ini sesuai dengan hadist yang di riwayatkan oleh al-Tirmidzi bahwa Rosullullah saw bersabda “pedagang yang jujur dan terpercaya (ditempatkan di surga) sejajar dengan para nabi, para shadiqin dan para sahabat´. Jadi sangat jelas bahwa Aspek etika bisnis ini  menjadi sangat penting karena dalam transaksi perdagangan sangat mungkin terjadi ketengangan antara hak individu dan kepentingan umum.




[1] Qairuwan adalah sebuah kota yang terletak di bagian utara Tunisia dan ibukota dari Provinsi Kairouan. Kota ini terletak di selatan Sousse, 50 kilometer dari pantai timur atau 184 kilometer dari kota Tunis. Kota ini dibangun oleh orang Arab sekitar tahun 670 Masehi.Pada periode Dinasti Umayah, kota ini menjadi pusat pendidikan Islam dan pembelajaran al-Quran sehingga menarik sejumlah besar Muslim dari berbagai belahan dunia. Kota Kairouan sekarang merupakan bagian dari warisan dunia Islam, pada tahun 2009 ditetapkan sebagai ibukota budaya dunia Islam
[2] Hammad Ibn  Abdur Rahman al-Janidal, Manahij al-Bahitsin fi al-Iqtishod al-Islamy (Riyadh: Syirkah alUbaikan li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, 1406 H), 118.
[3] QS.Al-A’raf 7:96
[4] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 203.
[5] Ihtikar adalah perbuatan menimbun atau menahan (holding) barang dengan maksud untuk menaikkan harga di kemudian hari untuk memperoleh keuntungan yang berlimpah (monopolistic rent).
[6] Ali Abdur Rasul, al-Mabadi' al-Iqtishadiyah fi al-Islam (Beirut; Dar al-Fikr al-Arabi, 1980), 101.
[7] M. Yusuf, Economic Justice in Islam (New Delhi: Kitab Bavhan, 1988), 42
        [8] Eddie Rinaldy. Kamus Istilah Perdagangan Internasional (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000),74.
       [9] M.A. Mannan, Ekonomi Islam Teori dan Praktek,  (Jakarta: PT. Intermasa, 1992),294.

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Profile

About Me
Dr. Abdurrohman S.Ag. M.EI
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura. . Selengkapnya

Total Pageviews

Recent Posts

Random

Comments

Contact Us

Name

Email *

Message *

Populer

item