PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM AL-MAWARDI
A. Biografi Singkat Al-Mawardi Abu Al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib Al-Mawardi Al-Basri Al-Syafi’i lahir di kota Basrah ...
https://rohman-utm.blogspot.com/2011/10/pemikiran-ekonomi-islam-al-mawardi.html
A.
Biografi Singkat Al-Mawardi
Abu Al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib Al-Mawardi Al-Basri Al-Syafi’i lahir di
kota Basrah pada tahun 364H (974M). Setelah mengawali pendidikannya di kota
Basrah dan Baghdad selama dua tahun, ia berkelana ke berbagai negeri Islam
untuk menuntut ilmu. Diantara guru-guru Al-Mawardi adalah Al-Hasan Ibn Muhammad
Al-Jabali, Muhammad Ibn Zuhar
al-Manqiri, Ja’far Ibn Muhammad Ibn Fadhl Al-Baghdadi, Abu Al-Qasim Al-Qusyairi,
Muhammad Ibn Al-Ma’ali Al-Azdi dan Ali
Abu Al-Asyfarayini.
Berkat keluasan ilmunya, salah satu tokoh besar mazhab
Syafi’i ini dipercaya memangku jabatan qadhi
(hakim) diberbagai negeri secara bergantian. Setelah itu, Al-Mawardi kembali ke
kota Baghdad untuk beberapa waktu kemudian diangkat menjadi Hakim Agung pada
masa pemerintahan khalifah Al-Qaim Ibn Amrillah Al-Abbasi.[1]
Sekalipun hidup di masa dunia Islam terbagi ke dalam
tiga dinasti yang saling bermusuhan, yaitu Dinasti Taimiyah di Mesir, Dinasti
Umawiyah II di Andalusia[2] dan Dinasti Abbasiah di Baghdad,56 Al-Mawardi
memperoleh kedudukan yang tinggi di mata para penguasa di masanya. Bahkan, para
penguasa Bani Buwaihi, selaku pemegang pemerintahan kekuasaan Baghdad,
menjadikannya sebagai mediator mereka dengan musuh-musuhnya.
Sekalipun telah menjadi hakim, Al-Mawardi tetap aktif
mengajar dan menulis. Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad Ibn Ali Al-Khatib Al-Baghdadi dan Abu AL-Izz Ahmad
Ibn Kadasy merupakan dua orang dari
sekian banyak murid Al-Mawardi. Sejumlah besar karya ilmiah yang meliputi
berbagai bidang kajian dan tinggi telah oleh Al-Mawardi. Sejumlah besar karya
ilmiah yang meliputi berbagai macam kajian dan bernilai tinggi telah tertulis
oleh Al-Mawardi, seperti Tafsir Al-Quran
Al-Karim[3],
Al-Amtsal wa Al-Hikam, Al-Hawi
Al-Kabir[4],
Al-Iqna, Al-Adab Ad-Dunya wa Ad-Din, Siyasah Al-Maliki, Nashihat Al-Muluk,
Al-Ahkam ash –Shulthaniyyah[5],
An-Nukat wa Al-‘Uyun, dan Siyasah Al-Wizarat wa as-Siyasah Al-Maliki. Dengan
mewariskan berbagai karya tulis yang sangat berharga tersebut, Al-Mawardi meninggal
dunia pada bulan Rabiul Awwal tahun
450H (1058M) di kota Baghdad dalam usia 86 tahun. [6]
B.
Karya Al-Mawardi
Pada dasarnya, pemikiran ekonomi Al-Mawardi tersebar
paling tidak pada tiga buah karya tulisannya, yaitu Kitab Adab Ad-Dunya wa Ad-Din, AlHawi
dan Al-Ahkam as Sulthaniyyah.Dalam Kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, ia
memaparkan tentang perilaku ekonomi seorang Muslim serta empat jenis mata
pencaharian utam, yaitu pertanian, peternakan, perdagangan dan industri. Dalam
Kitab Al-hawi, disalah satu bagiannya, Al-Mawardi secara khusus membahas
tentang Mudharabah dalam pandangan berbagai mazhab. Dalam Kitab Al-Ahkam as- Sulthaniyyah, ia banyak menguraikan tentang
sistem pemerintahan dan administrasi negara Islam, seperti hak dan kewajiban
penguasa terhadap rakyatnya, berbagai lembaga negara, penerimaan dan
pengeluaran, serta institusi hisbah.
Dari ketiga karya tulis tersebut, para peneliti
ekonomi Islam tampaknya sepakat menyatakan bahwaa al-Ahkam as Sulthaniyyah merupakan kitab yang paling
komprehensif dalam mempresentasikan pokok-pokok pemikiran al-Mawardi. Dalam kitab tersebut, al-Mawardi menempatkan pembahasan ekonomi dan keuangan negara
secara khusus pada bab 11, 12 dan 13 yang masing-masing membahas tentang harta
sedekah, harta fai dan ghanimah, serta harta jizyah dan kharaj.
Analisis komparatif atas kitab ini dengan karya- karya
sebelumnya yang sejenis menunjukkan bahwa al-Mawardi
membahas masalah-masalah keuangan dengan cara yang lebih sistematis dan
diperbolehkannya peminjaman publik.
C.
Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi
Secara sederhana pemikiran Al-Mawardi ter fokus pada
tiga persoalan besar, yaitu; peran negara dalam aktifitas ekonomi, perpajakan
dan bayt al-mal.
1. Negara dan Aktivitas Ekonomi
Penulis
al Ahkam al Sulthaniyah, adalah pakar
dari Syafi’iyah yang menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan
bertujuan untuk memelihara urusan dunia dan agama atau urusan spiritual dan
temporal.[7]
Teori
keuangan publik selalu terkait dengan peran negara dalam kehidupan ekonomi.
Negara dibutuhkan karena berperan untuk memenuhi kebutuhan korelatif seluruh
warga negaranya. Permasalahannya ini pun tidak luput dari perhatian Islam.
Al-Mawardi berpendapat bahwa pelaksanaan Imamah
(kepemimpinan politik keagamaaan) merupakan kekuasaan mutlak (absolut) dan pembentukannya merupakan
suatu keharusan demi terpeliharannya agama dan pengelolaan dunia.
Dalam perspektif ekonomi, pernyataan Al-Mawardi ini
berarti bahwa negara memiliki peran aktif demi terealisasinya tujuan material
dan spiritual. Ia menjadi kewajiban moral bagi penguasa dalam membantu
merealisasikannya kebaikan bersama, yaitu memelihara kepentingan masyarakat
serta mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian,
seperti para pemikir Muslim sebelumnya, Al-Mawardi memandang bukan saja
merupakan kewajiban penguasa dari sudut pandang ekonomi, melainkan juga moral
dan agama.
Dengan pernyataan al Mawardi tersebut menunjukkan
bahwa pemikiran beliau masih bersifat klasik karena al mawardi menekankan pada
pertumbuahan ekonomi karena pemikiran klasik slalu menekankan pada pertumbuhan
ekonomi beda halnya dengan pemikiraan konteporer yang menekankan pada
pemerataan ekonomi.
Selanjutkan, Al-Mawardi berpendapat bahwa negara harus
menyediakan infrastruktur yang diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan
kesejahteraan umum, Menurutnya, “Jika
hidup di kota menjadi mungkin karena atau tidak berfungsinya fasilitas sumber
mata air minum atau rusaknya
tembok kota, maka negara bertanggung jawab untuk memperbaikinya dan jika
memiliki dana negara harus menemukan jalan
untuk memperolehnya.[8]”
Maksudnya adalah bahwa negara wajib mengatur dan membiayai pembelanjaan yang
dibutuhkan oleh layanan publik karena setiap individu tidak mungkin membiayai
jenis layanan itu. Dengan demikian, layanan publik merupakan kewajiban sosial
dan harus bersandar. Untuk membiayai berbagai barang dan jasa yang disewa oleh
negara dalam kerangka mandatory
Fungtions. Sebagai gambaran, Al-Mawardi menyatakan bahwa ada beberapa
kewajiban negara yang timbul dari pembayaran berbasis sewa,
seperti gaji para tentara dan biaya pengadaan senjata. Kewajiban seperti ini
harus tetap dipenuhi terlepas dari apakah keuangan negara mencukupi atau tidak.
Apabila dana yang ada tidak mencukupi, negara dapat melakukan pinjaman kepada
publik untuk memenuhi jenis kewajiban tersebut.
Tentang pendapat al mawardi diatas menunjukkan
pendapatnya masih normatif dimana anggapan perekonomian tidak akan berjalan
jika pemerintahnya lemah.
Pernyataan al-Mawardi
tersebut juga mengindikasikan bahwa pinjaman publik dilakukan jika didukung
oleh kondisi ekonomi yang ada dan yang akan datang serta tidak bertujuan
konsumtif. Disamping itu, kebijakan pinjaman publik merupakan solusi terakhir
yang dilakukan oleh negara dalam defisit anggaran.[9]
2. Perpajakan
Sebagaimana
trend pada masa klasik, masalah perpajakan juga tidak luput dari perhatian al-Mawardi.
Menurutnya, penilaian atas kharaj
(pajak) harus bervariasi sesuai denagn faktor-faktor yang menentukan kemampuan
tanah dalam membayar pajak, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman dan sistem
irigasi.
Al-Mawardi
menjelaskan alasan penyebutan ketiga hal tersebut sebagai faktor yang sangat penting
dalam melakukan penilaian kharaj
(pajak) karena sedikit banyaknya jumlah produksi bergantung kepadanya. Jenis
tanaman juga turut berpengaruh terhadap penilain kharaj berbagai jenis tanaman karena mempunyai variasi harga yang
berbeda-beda. Begitupun pula halnya denan sistem irigasi. Tanaman yang
menggunakan sistem irigasi secara manual tidak dapat dikenai sejumlah pajak
yang sama dengan tanaman yang menggunakan sistem irigasi alamiah.
Disamping ketiga faktor tersebut al-Mawardi juga mengungkapkan faktor yang lain, yaitu jarak
antara tanah yang menjadi objek kharaj
dengan pasar. Faktor terakhir ini juga sangat relevan
karena tinggi rendahnya harga berbagai macam jenis barang tergantung pada jarak
tanah dari pasar. Dengan demikian, dalam pandangan Al-Mawardi keadilan baru
terwujud terhadap para pembayar pajak jika para petugas pemungut pajak
mempertimbangkan setidaknya empat faktor dalam melakukan penilaian suatu objek kharaj (pajak), yaitu kesuburan tanah,
jenis tanaman, sistem irigasi dan jarak tanah ke pasar.
Tentang metode penetapan kharaj, al-Mawardi menyarankan menggunakan salah satu dari tiga metode
yang pernah ditetapkan dalam sejarah Islam, yaitu:
Metode Misahah
yaitu metode penetapan kharaj
berdasarkan ukuran tanah metode ini merupakan ini merupakan fixed-tax, terlepas dari apakah tanah
tersebut ditanami atau tidak, selama tanah tersebut memang bisa ditanami.
Metode
penetapan kharaj berdasarkan ukuran
tanah yang ditanami saja. Dalam metode ini, tanah subur yang tidak dikelola
tidak termasuk dalam penilaian objek kharaj.
Metode
Musaqah yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan persentase dari hasil
produksi . Dalam metode ini, pajak dipungut setelah tanaman mengalami masa
panen.
Sehingga dapat disimpulkan, Tentang penetapan kharaj
al Mmawardi sependapat dengan metode Misahah
yang dipakai oleh abu ubaid, selain itu al mawardi menambah satu faktor yang
harus diperhitungkan dalam pebetapan kharaj yaitu jarak antara tanah yang
menjadi objek kharaj dengan pasar.
Secara kronologis metode pertama yang digunakan islam
dalam penetapan kharaj, adalah metode Misahah. Metode ini diterapkan
pertama kali pada masa
Khalifah Umar Ibn Khattab berdasarkan
masukan dari para sahabat yang melakukan survei. Pada masa ini, pajak yang
ditetapkan ada pada fixed (
tingkatan) atas setiap tanah yang berpotensi produktif dan memiliki akses air,
sekalipun tidak ditanami sehingga pendapatan yang diterima oleh negara dari
jenis pajak ini pun bersifat Fixed. Melalui pengguanaan
metode ini, Khalifah ingin menjamin pendapatan negara pada setiap tahunya demi
kepentingan ekspansi, sekaligus memastikan para petani tidak mengelak membayar
pajak dengan dalih produksi rendah[10].
Metode yang kedua juga pernah ditetapkan pada masa Khalifah
Umar. Pengenaan pajak dengan menggunakan metode ini dilakukan pada wilayah
tertentu saja, terutama di Syria. Metode yang terakhir Muqasamah, pertama kali
ditetapkan pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada pemerintahan Al-Mahdi
dan Harun at-Rasyid.
3. Baitul Mal
Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk membiayai belanja
negara dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar setiap negara dalam rangka
memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya, negara membutuhkan lembaga keuangan
negara (Baitul Mal) yang didirikan secara permanen. Melalui lembaga ini,
pendapatan negara dari berbagai sumber akan disimpan dalam pos yang terpisah
dan dibelanjakan sesuai dengan alokasi masing-masing.
Berkaitan dengan harta Baitul Mal, al-Mawardi menegaskan bahwa jika dana pos tertentu tidak
mencukupi untuk membiayai kebutuhan yang direncanakannya, pemerintah meminjam
uang belanja tersebut ke pos lain. 64Setiap
pendapatan Baitul Mal provinsi digunakan untuk memenuhi pembiayaan kebutuhan
untuk memenuhi pembiayaaan kebutuhan publiknya masing-masing. Jika terdapat
surplus, gubernur mengirim
sisa dana tersebut kepada pemerintah pusat. Sebaliknya pemerintah pusat atau
provinsi yang memperoleh surplus harus mengalihkan sebagian harta Baitul Mal
kepada daerah-daerah yang mengalami defisit. [11]
Al-Mawardi menegaskan bahwa tanggung jawab Baitul
Mal yaitu untuk memenuhi kebutuhan publik. Tanggung jawab baitul Mal
diklasifikasikan di dalam dua hal:
Tanggung
jawab yang timbul dari berbagai harta benda yang disimpan di Baitul Mal
sebagai amanah untuk didistribusikan kepada mereka yang berhak.
Tanggung
jawab yang timbul seiring dengan adanya pendapatan yang menjadi aset kekayaan
baitul Mal itu sendiri.
Berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh al-Mawardi tersebut, kategori pertama dari tanggung jawab
Baitul Mal terkait dengan pendapatan negara yang berasal dari sedekah. Karena
pendapatan sedekah yang diperuntukkan bagi kelompok masyarakat tertentu
tersebut telah ditentukan dan tidak dapat digunakan untuk tujuan-tujuan umum,
negara hanya diberi kewenangan untuk mengatur pendapatan itu sesuai dengan apa
yang telah digariskan oleh ajaran Islam. Dengan demikian, kategori tanggung
jawab Baitul Mal yang pertama ini merupakan pembelanjaan publik yang telah
tetap dan minimum.
Sementara kategori yang kedua dari tanggung jawab
Baitul Mal terkait dengan pendapatan negara yang berasal dari fai yang diperuntukkan bagi seluruh kaum
Muslimin tersebut merupakan bagian harta dari harta Baitul Mal.Lebih jauh lagi
Al-Mawardi mengklasifikasikan kategori tanggung jawab Baitul Mal yang kedua ini
ke dalam dua hal.
Pertama tanggung
jawab yang timbul sebagai pengganti atas nilai yang diterima (badal),
seperti untuk pembayaran gaji para tentara dan biaya pengadaan senjata. Karena
tanggung jawab ini ada seiring dengan yang diterima, negara harus menetapkan
tuntutannya. Pelaksanaan tanggung jawab ini menghasilkan biaya-biaya yang harus
dikeluarkan pemerintah.
Kedua,
tanggung jawab yang muncul melalui bantuan dan kepentingan. Al-Mawardi menyatakan bahwa pelaksaan jenis tanggung
jawab ini berkaitan dengan keberadaan dana Baitul Mal. Jika terdapat dana yang
cukup di Baitul Mal tanggung jawab negara atas kepentingan publik harus
dipenuhi. Akan tetapi dalam hal ini tidak ada dana yang cukup di Baitul Mal,
maka pelaksanaan tanggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab sosial seluruh
kaum Muslimin.
Disamping menetapkan tanggung jawab
negara, uraian Al-Mawardi tersebut juga menunjukkan bahwa dasar pembelanjaan
publik dalam negara Islam adalah maslahah (kepentingan
umum). Hal ini berarti negara hanya mempunyai wewenang untuk membelanjakan
harta Baitul Mal selama berorientasi pada pemeliharaaan maslahah dan
kemajuannya[12].
Dalam hal pendistribusian pendapatan zakat, al-Mawardi menyatakan bahwa kewajiban negara untuk
mendistribusikan harta zakat kepada orang-orang fakir dan miskin hanya pada
taraf sekedar untuk membebaskan mereka dari kemiskinan. Tidak ada batasan
jumlah tertentu untuk membantu mereka karena pemenuhan kebutuhan merupakan
istilah yang relatif. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga terbebas dari
kemiskinan. Disamping itu al-Mawardi
juga berpendapat bahwa zakat harus didistribusikan di wilayah tempat zakat itu
diambil. Pengalihan zakat kewilayah lain hanya diperbolehkan apabila seluruh
golongan mustahik zakat di wilayah tersebut telah menerimanya secara memadai.
Kalau terdapat surplus, maka wilayah ylayah yang terdekat dengan yang paling
berhak menerimanya adalah wilayah tempat zakat tersebut diambil. Lebih jauh
lagi Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk menjamin pendistribusian harta Baitul
Mal berjalan lancar dan tepat sasaran, negara harus memberdayakan Dewan Hisbah semaksimal mungkin. Dalam
hal ini, salah satu fungsi muhtasib adalah memperhatikan
kebutuhan publik serta merekomendasikan pengadaan proyek kesejahteraan bagi
masyarakat umum. Al-Mawardi menegaskan:
“Jika mekanisme pengadaan air minum ke kota mengalami
kerusakan atau dinding sekitar bocor, atau kota tersebut banyak dilintasi oleh
para musafir yang sangat membutuhkan air, maka muhtasib (petugas hisbah) harus memperbaiki sistem air
minum, merekomendasikan dinding dan memberikan bantuan keuangan kepada
orang-orang miskin, karena hal ini adalah kewajiban baitul Mal dan bukan
kewajiban masyarakat”.
Disamping itu Al-Mawardi
menguraikan teori tentang pembelanjaan Publik dan dampak ekonomi pengalihan
pendapatan melalui kebijakan publik. Al- Mawardi berpendapat bahwa setiap
penurunan dalam kekayaan publik adalah peningkatan kekayaan negara dan setiap
penurunan dalam kekayaan negara adalah peningkatan dalam kekayaan publik.
Dengan demikian pembelanjaan publik seperti halnya perpajakan merupakan alat
yang efektif untuk mengalihkan sumber-sumber ekonomi. Pernyataan Al-mawardi
tersebut mengisyaratkan bahwa pembelanjaan publik akan meningkatkan pendapatan
masyarakat secara keseluruhan.
[1] Pemerintahan
Bani Umayyah II merupakan pemerintahan pertama yang memisahkan diri dari dunia
pemerintahan Islam Dinasti Abbasiyah. Pendirinya adalah Abdurrahman ad Dakhil Ibn
Mu’awiyah Ibn Hisyam Ibn Abd Malik al Umawi. Dia melarikan diri ke
Andalusia dari kejaran orang-orang Abbasiyah setelah runtuhnya pemerintahan
Bani Umayyah di Damaskus.
[2] Kekhalifahan Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang
berkuasa di Baghdad
(sekarang ibu kota Irak).
Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat
pengetahuan dengan
menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan
ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah.
[7] Nur Chamid, Jejek langkah sejarah pemikiran perokonomian
Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010 ), 216