rohmans

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM AL-MAWARDI

A.   Biografi Singkat Al-Mawardi Abu Al-Hasan Ali Ibn  Muhammad Ibn  Habib Al-Mawardi Al-Basri Al-Syafi’i lahir di kota Basrah ...




A.  Biografi Singkat Al-Mawardi

Abu Al-Hasan Ali Ibn  Muhammad Ibn  Habib Al-Mawardi Al-Basri Al-Syafi’i lahir di kota Basrah pada tahun 364H (974M). Setelah mengawali pendidikannya di kota Basrah dan Baghdad selama dua tahun, ia berkelana ke berbagai negeri Islam untuk menuntut ilmu. Diantara guru-guru Al-Mawardi adalah Al-Hasan Ibn Muhammad Al-Jabali, Muhammad Ibn  Zuhar al-Manqiri, Ja’far Ibn  Muhammad Ibn  Fadhl Al-Baghdadi, Abu Al-Qasim Al-Qusyairi, Muhammad Ibn  Al-Ma’ali Al-Azdi dan Ali Abu Al-Asyfarayini.

Berkat keluasan ilmunya, salah satu tokoh besar mazhab Syafi’i ini dipercaya memangku jabatan qadhi (hakim) diberbagai negeri secara bergantian. Setelah itu, Al-Mawardi kembali ke kota Baghdad untuk beberapa waktu kemudian diangkat menjadi Hakim Agung pada masa pemerintahan khalifah Al-Qaim Ibn  Amrillah Al-Abbasi.[1]

Sekalipun hidup di masa dunia Islam terbagi ke dalam tiga dinasti yang saling bermusuhan, yaitu Dinasti Taimiyah di Mesir, Dinasti Umawiyah II di Andalusia[2] dan Dinasti Abbasiah di Baghdad,56 Al-Mawardi memperoleh kedudukan yang tinggi di mata para penguasa di masanya. Bahkan, para penguasa Bani Buwaihi, selaku pemegang pemerintahan kekuasaan Baghdad, menjadikannya sebagai mediator mereka dengan musuh-musuhnya.

Sekalipun telah menjadi hakim, Al-Mawardi tetap aktif mengajar dan menulis. Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad Ibn  Ali Al-Khatib Al-Baghdadi dan Abu AL-Izz Ahmad Ibn  Kadasy merupakan dua orang dari sekian banyak murid Al-Mawardi. Sejumlah besar karya ilmiah yang meliputi berbagai bidang kajian dan tinggi telah oleh Al-Mawardi. Sejumlah besar karya ilmiah yang meliputi berbagai macam kajian dan bernilai tinggi telah tertulis oleh Al-Mawardi, seperti Tafsir Al-Quran Al-Karim[3], Al-Amtsal wa Al-Hikam, Al-Hawi Al-Kabir[4], Al-Iqna, Al-Adab Ad-Dunya wa Ad-Din, Siyasah Al-Maliki, Nashihat Al-Muluk, Al-Ahkam ash –Shulthaniyyah[5], An-Nukat wa Al-‘Uyun, dan Siyasah Al-Wizarat wa as-Siyasah Al-Maliki. Dengan mewariskan berbagai karya tulis yang sangat berharga tersebut, Al-Mawardi meninggal dunia pada bulan Rabiul Awwal tahun 450H (1058M) di kota Baghdad dalam usia 86 tahun. [6]

B.   Karya Al-Mawardi

Pada dasarnya, pemikiran ekonomi Al-Mawardi tersebar paling tidak pada tiga buah karya tulisannya, yaitu Kitab Adab Ad-Dunya wa Ad-Din, AlHawi dan Al-Ahkam as Sulthaniyyah.Dalam Kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, ia memaparkan tentang perilaku ekonomi seorang Muslim serta empat jenis mata pencaharian utam, yaitu pertanian, peternakan, perdagangan dan industri. Dalam Kitab Al-hawi, disalah satu bagiannya, Al-Mawardi secara khusus membahas tentang Mudharabah dalam pandangan berbagai mazhab. Dalam Kitab Al-Ahkam as- Sulthaniyyah, ia banyak menguraikan tentang sistem pemerintahan dan administrasi negara Islam, seperti hak dan kewajiban penguasa terhadap rakyatnya, berbagai lembaga negara, penerimaan dan pengeluaran, serta institusi hisbah.
Dari ketiga karya tulis tersebut, para peneliti ekonomi Islam tampaknya sepakat menyatakan bahwaa al-Ahkam as Sulthaniyyah merupakan kitab yang paling komprehensif dalam mempresentasikan pokok-pokok pemikiran al-Mawardi. Dalam kitab tersebut, al-Mawardi menempatkan pembahasan ekonomi dan keuangan negara secara khusus pada bab 11, 12 dan 13 yang masing-masing membahas tentang harta sedekah, harta fai dan ghanimah, serta harta jizyah dan kharaj.


Analisis komparatif atas kitab ini dengan karya- karya sebelumnya yang sejenis menunjukkan bahwa al-Mawardi membahas masalah-masalah keuangan dengan cara yang lebih sistematis dan diperbolehkannya peminjaman publik.

C.  Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi

Secara sederhana pemikiran Al-Mawardi ter fokus pada tiga persoalan besar, yaitu; peran negara dalam aktifitas ekonomi, perpajakan dan bayt al-mal.
1. Negara dan Aktivitas Ekonomi

Penulis al Ahkam al Sulthaniyah, adalah pakar dari Syafi’iyah yang menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan bertujuan untuk memelihara urusan dunia dan agama atau urusan spiritual dan temporal.[7]

Teori keuangan publik selalu terkait dengan peran negara dalam kehidupan ekonomi. Negara dibutuhkan karena berperan untuk memenuhi kebutuhan korelatif seluruh warga negaranya. Permasalahannya ini pun tidak luput dari perhatian Islam. Al-Mawardi berpendapat bahwa pelaksanaan Imamah (kepemimpinan politik keagamaaan) merupakan kekuasaan mutlak (absolut) dan pembentukannya merupakan suatu keharusan demi terpeliharannya agama dan pengelolaan dunia.


Dalam perspektif ekonomi, pernyataan Al-Mawardi ini berarti bahwa negara memiliki peran aktif demi terealisasinya tujuan material dan spiritual. Ia menjadi kewajiban moral bagi penguasa dalam membantu merealisasikannya kebaikan bersama, yaitu memelihara kepentingan masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, seperti para pemikir Muslim sebelumnya, Al-Mawardi memandang bukan saja merupakan kewajiban penguasa dari sudut pandang ekonomi, melainkan juga moral dan agama.

Dengan pernyataan al Mawardi tersebut menunjukkan bahwa pemikiran beliau masih bersifat klasik karena al mawardi menekankan pada pertumbuahan ekonomi karena pemikiran klasik slalu menekankan pada pertumbuhan ekonomi beda halnya dengan pemikiraan konteporer yang menekankan pada pemerataan ekonomi.

Selanjutkan, Al-Mawardi berpendapat bahwa negara harus menyediakan infrastruktur yang diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum, Menurutnya, “Jika hidup di kota menjadi mungkin karena atau tidak berfungsinya fasilitas sumber mata air minum atau rusaknya tembok kota, maka negara bertanggung jawab untuk memperbaikinya dan jika memiliki dana negara harus menemukan jalan  untuk memperolehnya.[8] Maksudnya adalah bahwa negara wajib mengatur dan membiayai pembelanjaan yang dibutuhkan oleh layanan publik karena setiap individu tidak mungkin membiayai jenis layanan itu. Dengan demikian, layanan publik merupakan kewajiban sosial dan harus bersandar. Untuk membiayai berbagai barang dan jasa yang disewa oleh negara dalam kerangka mandatory Fungtions. Sebagai gambaran, Al-Mawardi menyatakan bahwa ada beberapa kewajiban negara yang timbul dari pembayaran berbasis sewa, seperti gaji para tentara dan biaya pengadaan senjata. Kewajiban seperti ini harus tetap dipenuhi terlepas dari apakah keuangan negara mencukupi atau tidak. Apabila dana yang ada tidak mencukupi, negara dapat melakukan pinjaman kepada publik untuk memenuhi jenis kewajiban tersebut.


Tentang pendapat al mawardi diatas menunjukkan pendapatnya masih normatif dimana anggapan perekonomian tidak akan berjalan jika pemerintahnya lemah.

Pernyataan al-Mawardi tersebut juga mengindikasikan bahwa pinjaman publik dilakukan jika didukung oleh kondisi ekonomi yang ada dan yang akan datang serta tidak bertujuan konsumtif. Disamping itu, kebijakan pinjaman publik merupakan solusi terakhir yang dilakukan oleh negara dalam defisit anggaran.[9]

2. Perpajakan

Sebagaimana trend pada masa klasik, masalah perpajakan juga tidak luput dari perhatian al-Mawardi. Menurutnya, penilaian atas kharaj (pajak) harus bervariasi sesuai denagn faktor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam membayar pajak, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman dan sistem irigasi.

Al-Mawardi menjelaskan alasan penyebutan ketiga hal tersebut sebagai faktor yang sangat penting dalam melakukan penilaian kharaj (pajak) karena sedikit banyaknya jumlah produksi bergantung kepadanya. Jenis tanaman juga turut berpengaruh terhadap penilain kharaj berbagai jenis tanaman karena mempunyai variasi harga yang berbeda-beda. Begitupun pula halnya denan sistem irigasi. Tanaman yang menggunakan sistem irigasi secara manual tidak dapat dikenai sejumlah pajak yang sama dengan tanaman yang menggunakan sistem irigasi alamiah.

Disamping ketiga faktor tersebut al-Mawardi juga mengungkapkan faktor yang lain, yaitu jarak antara tanah yang menjadi objek kharaj dengan pasar. Faktor terakhir ini juga sangat relevan karena tinggi rendahnya harga berbagai macam jenis barang tergantung pada jarak tanah dari pasar. Dengan demikian, dalam pandangan Al-Mawardi keadilan baru terwujud terhadap para pembayar pajak jika para petugas pemungut pajak mempertimbangkan setidaknya empat faktor dalam melakukan penilaian suatu objek kharaj (pajak), yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman, sistem irigasi dan jarak tanah ke pasar.


Tentang metode penetapan kharaj, al-Mawardi menyarankan menggunakan salah satu dari tiga metode yang pernah ditetapkan dalam sejarah Islam, yaitu:

        Metode Misahah yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah metode ini merupakan ini merupakan fixed-tax, terlepas dari apakah tanah tersebut ditanami atau tidak, selama tanah tersebut memang bisa ditanami.

        Metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja. Dalam metode ini, tanah subur yang tidak dikelola tidak termasuk dalam penilaian objek kharaj.

        Metode Musaqah yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan persentase dari hasil produksi . Dalam metode ini, pajak dipungut setelah tanaman mengalami masa panen.

Sehingga dapat disimpulkan, Tentang penetapan kharaj al Mmawardi sependapat dengan metode Misahah yang dipakai oleh abu ubaid, selain itu al mawardi menambah satu faktor yang harus diperhitungkan dalam pebetapan kharaj yaitu jarak antara tanah yang menjadi objek kharaj dengan pasar.

Secara kronologis metode pertama yang digunakan islam dalam penetapan kharaj, adalah metode Misahah. Metode ini diterapkan pertama kali pada masa Khalifah Umar Ibn  Khattab berdasarkan masukan dari para sahabat yang melakukan survei. Pada masa ini, pajak yang ditetapkan ada pada fixed ( tingkatan) atas setiap tanah yang berpotensi produktif dan memiliki akses air, sekalipun tidak ditanami sehingga pendapatan yang diterima oleh negara dari jenis pajak ini pun bersifat Fixed. Melalui pengguanaan metode ini, Khalifah ingin menjamin pendapatan negara pada setiap tahunya demi kepentingan ekspansi, sekaligus memastikan para petani tidak mengelak membayar pajak dengan dalih produksi rendah[10].

Metode yang kedua juga pernah ditetapkan pada masa Khalifah Umar. Pengenaan pajak dengan menggunakan metode ini dilakukan pada wilayah tertentu saja, terutama di Syria. Metode yang terakhir Muqasamah, pertama kali ditetapkan pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada pemerintahan Al-Mahdi dan Harun at-Rasyid.


3.      Baitul Mal

Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk membiayai belanja negara dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar setiap negara dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya, negara membutuhkan lembaga keuangan negara (Baitul Mal) yang didirikan secara permanen. Melalui lembaga ini, pendapatan negara dari berbagai sumber akan disimpan dalam pos yang terpisah dan dibelanjakan sesuai dengan alokasi masing-masing.
Berkaitan dengan harta Baitul Mal, al-Mawardi menegaskan bahwa jika dana pos tertentu tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan yang direncanakannya, pemerintah meminjam uang belanja tersebut ke pos lain. 64Setiap pendapatan Baitul Mal provinsi digunakan untuk memenuhi pembiayaan kebutuhan untuk memenuhi pembiayaaan kebutuhan publiknya masing-masing. Jika terdapat surplus, gubernur mengirim sisa dana tersebut kepada pemerintah pusat. Sebaliknya pemerintah pusat atau provinsi yang memperoleh surplus harus mengalihkan sebagian harta Baitul Mal kepada daerah-daerah yang mengalami defisit. [11]

Al-Mawardi menegaskan bahwa tanggung jawab Baitul Mal yaitu untuk memenuhi kebutuhan publik. Tanggung jawab baitul Mal diklasifikasikan di dalam dua hal:

      Tanggung jawab yang timbul dari berbagai harta benda yang disimpan di Baitul Mal sebagai amanah untuk didistribusikan kepada mereka yang berhak.

      Tanggung jawab yang timbul seiring dengan adanya pendapatan yang menjadi aset kekayaan baitul Mal itu sendiri.


Berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh al-Mawardi tersebut, kategori pertama dari tanggung jawab Baitul Mal terkait dengan pendapatan negara yang berasal dari sedekah. Karena pendapatan sedekah yang diperuntukkan bagi kelompok masyarakat tertentu tersebut telah ditentukan dan tidak dapat digunakan untuk tujuan-tujuan umum, negara hanya diberi kewenangan untuk mengatur pendapatan itu sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh ajaran Islam. Dengan demikian, kategori tanggung jawab Baitul Mal yang pertama ini merupakan pembelanjaan publik yang telah tetap dan minimum.

Sementara kategori yang kedua dari tanggung jawab Baitul Mal terkait dengan pendapatan negara yang berasal dari fai yang diperuntukkan bagi seluruh kaum Muslimin tersebut merupakan bagian harta dari harta Baitul Mal.Lebih jauh lagi Al-Mawardi mengklasifikasikan kategori tanggung jawab Baitul Mal yang kedua ini ke dalam dua hal.

Pertama tanggung jawab yang timbul sebagai pengganti atas nilai yang diterima (badal), seperti untuk pembayaran gaji para tentara dan biaya pengadaan senjata. Karena tanggung jawab ini ada seiring dengan yang diterima, negara harus menetapkan tuntutannya. Pelaksanaan tanggung jawab ini menghasilkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan pemerintah.

Kedua, tanggung jawab yang muncul melalui bantuan dan kepentingan. Al-Mawardi menyatakan bahwa pelaksaan jenis tanggung jawab ini berkaitan dengan keberadaan dana Baitul Mal. Jika terdapat dana yang cukup di Baitul Mal tanggung jawab negara atas kepentingan publik harus dipenuhi. Akan tetapi dalam hal ini tidak ada dana yang cukup di Baitul Mal, maka pelaksanaan tanggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab sosial seluruh kaum Muslimin.

Disamping menetapkan tanggung jawab negara, uraian Al-Mawardi tersebut juga menunjukkan bahwa dasar pembelanjaan publik dalam negara Islam adalah maslahah (kepentingan umum). Hal ini berarti negara hanya mempunyai wewenang untuk membelanjakan harta Baitul Mal selama berorientasi pada pemeliharaaan maslahah dan kemajuannya[12].

Dalam hal pendistribusian pendapatan zakat, al-Mawardi menyatakan bahwa kewajiban negara untuk mendistribusikan harta zakat kepada orang-orang fakir dan miskin hanya pada taraf sekedar untuk membebaskan mereka dari kemiskinan. Tidak ada batasan jumlah tertentu untuk membantu mereka karena pemenuhan kebutuhan merupakan istilah yang relatif. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga terbebas dari kemiskinan. Disamping itu al-Mawardi juga berpendapat bahwa zakat harus didistribusikan di wilayah tempat zakat itu diambil. Pengalihan zakat kewilayah lain hanya diperbolehkan apabila seluruh golongan mustahik zakat di wilayah tersebut telah menerimanya secara memadai. Kalau terdapat surplus, maka wilayah ylayah yang terdekat dengan yang paling berhak menerimanya adalah wilayah tempat zakat tersebut diambil. Lebih jauh lagi Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk menjamin pendistribusian harta Baitul Mal berjalan lancar dan tepat sasaran, negara harus memberdayakan Dewan Hisbah semaksimal mungkin. Dalam hal ini, salah satu fungsi muhtasib adalah memperhatikan kebutuhan publik serta merekomendasikan pengadaan proyek kesejahteraan bagi masyarakat umum. Al-Mawardi menegaskan:

“Jika mekanisme pengadaan air minum ke kota mengalami kerusakan atau dinding sekitar bocor, atau kota tersebut banyak dilintasi oleh para musafir yang sangat membutuhkan air, maka muhtasib (petugas hisbah) harus memperbaiki sistem air minum, merekomendasikan dinding dan memberikan bantuan keuangan kepada orang-orang miskin, karena hal ini adalah kewajiban baitul Mal dan bukan kewajiban masyarakat”.

Disamping itu Al-Mawardi menguraikan teori tentang pembelanjaan Publik dan dampak ekonomi pengalihan pendapatan melalui kebijakan publik. Al- Mawardi berpendapat bahwa setiap penurunan dalam kekayaan publik adalah peningkatan kekayaan negara dan setiap penurunan dalam kekayaan negara adalah peningkatan dalam kekayaan publik. Dengan demikian pembelanjaan publik seperti halnya perpajakan merupakan alat yang efektif untuk mengalihkan sumber-sumber ekonomi. Pernyataan Al-mawardi tersebut mengisyaratkan bahwa pembelanjaan publik akan meningkatkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan.






      [1] Pemerintahan Bani Umayyah II merupakan pemerintahan pertama yang memisahkan diri dari dunia pemerintahan Islam Dinasti Abbasiyah. Pendirinya adalah Abdurrahman ad Dakhil Ibn  Mu’awiyah Ibn  Hisyam Ibn  Abd Malik al Umawi. Dia melarikan diri ke Andalusia dari kejaran orang-orang Abbasiyah setelah runtuhnya pemerintahan Bani Umayyah di Damaskus.
       [2] Kekhalifahan Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah.
       [3] Kital almawardi yang membahas Perilaku ekonomi seorang muslim serta 4 jenis mata pecaharian
        [4] Kitab al mawardi yang membahas tentang mudharabah dalam pandangan berbagai madzhab
       [5] Kitab al mawardi yang membahas tentang sistem pemerintahan dan administrasi negara islam
        [6] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 301
      [7] Nur Chamid, Jejek langkah sejarah pemikiran perokonomian Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010 ),  216

[8]
        [9] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, ..........301
       [10] al-Mawardi, 215
       [11]  ibid
        [12] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah....  301

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Profile

About Me
Dr. Abdurrohman S.Ag. M.EI
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura. . Selengkapnya

Total Pageviews

Recent Posts

Random

Comments

Contact Us

Name

Email *

Message *

Populer

item