Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi
Abdur Rohman Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Keislaman Universitas Trunojoyo Madura A. Biografi Singkat Syed Nawab Haider Naqvi ...
https://rohman-utm.blogspot.com/2017/12/pemikiran-ekonomi-islam-syed-nawab.html
Abdur Rohman
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Keislaman Universitas Trunojoyo Madura
A.
Biografi Singkat Syed Nawab Haider Naqvi
Syed Nawab Haider Naqvi
dilahirkan di Pakistan pada 1935. Ia mendapatkan gelar Master dari Universitas
Yale (1961) dan Ph.D. dari Universitas Priceton (1996) Amerika Serikat.
Selanjutnya Naqvi mengajar di sejulah lembaga pendidikan tinggi dan riset
ternama di Norwegia, Turki dan Jerman Barat sebelum akhirnya kembali ke
Universitas Quad-i-Azam, Pakistan, pada 1975.[1]
Kelebihan akademiknya menyebabkan
ditunjuk di berbagai panitia formulasi kebijakan ekonomi di Pakistan maupun di
luar negeri. Ia ditunjuk sebagai kepala di Economics Affairs Divison of
Pakistan selama 1971-1973. Pada tingkat internasional, Naqvi adalah konsultan
untuk OECD dari 1972 hingga 1975 dan Economic and Social Comission on Asia and
Pacific (ESCAP). Ketajaman sebagai ahli ekonomi membawanya pada jabatan
Directorship of the Pakistan Institute of Development Economics pada tahun 1979, dan kepala seksi Ekonomi pada Islamization
Comittee di tahun 1980.
B.
Karya Syed Nawab Haider Naqvi
Karya Naqvi yang orisinal dan
amat memprovokasi pikiran, yakni Ethics
and Economics: An Isalamic Synthesis,telah terbukti sebagai suatu perpisahan dari literatur ekonomi Islam
yang telah ada. Pendekatan aksiomatiknya memperkaya pemikiran ekonomi Islam,
bersama dengan karyanya selanjutnya mengenai suku bunga (1984) dan reformasi
ekonomi (1985). Naqvi terlibat secara langsung di dalam formulasi kebijakan
ekonomi di Pakistan selama 20 tahun. Pemikirannya dan karyanya, yang banyak
meratapi eksploitasi oleh tuan tanah yang feodalistik-kapitalistik, harus
dipandang sebagai reaksi atas kenyataan-kenyataan sosio-ekonomi yang terjadi di
Pakistan.
C.
Pemikiran Ekonomi Syed Nawab Haider Naqvi
Ada tiga tema besar yang
mendominasi pemikiran Naqvi di dalam ekonomi Islam. Pertama,kegiatan ekonomi dilihat sebagai suatu subset dari upaya
manusia yang lebih luas untuk mewujudkan masyarakat adil berdasarkan pada
prinsip etika ilahiyah, yakni al-adl wa al-ihsan[2].
Menurut Naqvi, hal itu berarti bahwa etika harus secara eksplisit mendominasi
ekonomi di dalam ekonomi Islam191 dan faktor inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem
lainnya. Kedua, melalui prinsip al-adl wa al-ihsan , ekonomi Islam memerlukan kebijakan-kebijakan yang
memihak kaum miskin dan mereka yang
lemah secara ekonomis. Aktifitas ini yang disebut egalitarianisme. Ketiga adalah diperlukannya suatu peran
utama negara di dalam kegiatan ekonomi. Negara tidak hanya berperan sebagai
regulator kekuatan-kekuatan pasar dan penyedia kebutuhan dasar seperti yang
terdapat di dalam pandangan Mannan dan Siddiqi, tetapi juga sebagai partisipan
aktif dalam produksi dan distribusi, baik di pasar produk maupun faktor produksi,
demikian pula peran negara sebagai pengontrol sistem perbankan. Ia melihat negara Islam sebagai perwujudan kepercayaan Allah
Swt. sebagai penyedia penopang dan pendorong kegiatan ekonomi.
Dalam membangun kerangka
teoritisnya, Naqvi[3]
memandang bahwa teori haruslah berisi sejumlah minimal aksioma agar dapat
dikelola secara operasional, harus konsisten secara internal dan harus memiliki
kekuatan prediktif, yakni cukup umum agar dapat menerangkan fenomena yang
bermacam-macam. Ia menetapkan empat aksioma yang menurutnya membentuk suatu
himpunan rentang bagi aksioma-aksioma yang mendasari filsafat ekonomi Islam. Keempat
aksioma tersebut adalah kesatuan, keseimbangan, kemauan bebas dan tanggung
jawab.
Persatuan. Menurut Naqvi
hal ini membentuk dimensi vertial kegiatan ekonomi dan memiliki “ jangkauan konsekuensi yang jauh terhadap prilaku
ekonomi”. Karakter manusia ekonomi akan berubah sepenuhnya, dan prilakunya
memaksimumkan guna akan dibatasi tidak hanya oleh “feasible constraint” yang biasa itu melainkan juga oleh “allowability constraint” Islam.
Keseimbangan. Menurut
Naqvi, mewakili dimensi horizontal Islam.
Keadilan harus ditegakkan di semua segi kehidupan sosial melalui komitmen
dAan upaya, yakni melalui jihad. Hal itu merupakan penyatuan komitmen moral
diantara individu di dalam masyarakat untuk mewujudkan suatu keseimabngan dalam
seluruh aspek kehidupan mereka, dan oleh karenanya berbeda dengan konsep
mekanis murni yang digunakan dalam ekonomi murni yang digunakan dalam ilmu
ekonomi positif konvensional, yang menganggap bahwa komitmen etika mmaupun
normatif itu tidak ada, yakni bebas nilai. Menurut Naqvi, aksioma ini memiliki
beberapa implikasi bagi sistem ekonomi Islam: 1). Konsumsi, produksi dan
distribusi harus terhindar dari konsentrasi kekuatan ekonomi di tangan sebagai
kecil orang, dan ini bermakna penghapusan eksploitasi. 2). Keadaan perekonomian
yang tidak konsisten dengan distribusi pendapatan dan kekeyaan yangdinilai
secara Islam “terbaik”, akan disingkirkan. Idealnya, menurut Naqvi, distribusi
yang terbaik itu adalah “absolute income
equality”, yang merupakan suatu posisi yang ditolak oleh kebanyakan ahli
ekonomi Muslim. Distribusi awal kekayaan dan pendapan haruslah adil, karena
sistem Islam akan menuntut terjadinya pemaksimuman kesejahteraan total dan
tidak hanya sekedar kesejahteraan marginal. Itu berarti bahwa ketimpangan bruto
distribusi pendapatan dan kekayaan juga bertentangan dengan cita-cita Islam.
3). Bias egalitarianyang amat tegas di dalam Islam dibatasi hak-hak individu
untuk memiliki kekayaan secara tak terbatas. Ini perlu menurut Naqvi, karena
tidak ada satu pun program ekonomi yang diarahkan pada keadilan sosial yang
dapat berhasil tanpa pembatasan kekayaan swasta secara substansial. Sebaiknya,
hak memilki kekayaan itu didasarkan pada konsep perwalian. Oleh karena itu,
sekalipun hak memiliki kekayaan oleh swasta diakui namun jika dibatasi, supaya
ada jalan bagi kepemilikan kolektif dan umum, sejalan dengan prinsip manusia
secara keseluruhan adalah kepercayaan atau khalifah Allah SWT.
Bebas
menentukan kegiatan. Menurut
Naqvi konsep perwalian itu menunjukan adanya pembatasan pada kebebasan individu. Di dalam Islam,
sekalipun kemauan
bebas dan kebebasan individu itu harus dijamin, namun hanya dapat dicapai
dengan tidak sengaja untuk membebaskan tanggung jawab seorang untuk
menolong kaum miskin didalam masyarakat.
Metodelogi pemikiran Syed Nawab
Haidar Naqvi menyatakan bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai petunjuk dan acuan nilai
serta rujukan dalam menjalankan perekonomian yang berfungsi sebagai prinsip
pengorganisasian, yakni alat untuk memilih, mengorganisasi dan pengorganisasian
pernyataan tertentu. Hal tersebut sebagai acuan untuk melawan pemikiran
kapitalis dalam menjalankan perekonomian.
Bagi Naqvi harus ada sejumlah
besar intrumen kebijakan dan bukan hanya penghapusan riba dan pemberlakuan
zakat. Naqvi melihat penghapusan riba tidak hanya sebagai penghapusan bunga,
melainkan penghapusan segala bentuk eksploitasi dan penolakan seluruh sistem
feodalistik-kapitalistik yang menurutnya mau melakukan eksploitasi untuk
meningkatkan pertumbuhan. Zakat bukan hanya pajak keagamaan dan juga bukan
basis keuangan negara, melainkan suatu tanda filsafat ekonomi Islam yang amat
egalitarian.
1.
Ciri-Ciri Sistem Ekonomi Islam
Bangunan
sistem ekonomi Islam Naqvi meliputi;
1.
Hubungan harta
Dalam sosialisme Islam, menurut
Naqvi,[4] membawa konsep perwalian. Olek
karena pemilik mutlak semua kekayaan adalah Allah SWT, maka hak untuk memiliki
sesuatu, sekalipun diakui, amatlah terbatas karena
di dalam perspektif Islam, kebebasan manusia untuk memiliki kekayaan
hanyalah relatif saja terhadap kebutuhan masyarakat.
2. Sistem
insentif
Sistem ekonomi Islam membuat
perolehan individual itu tunduk kepada tanggung jawab sosial. Pandangan Islam
itu menurut Naqvi,195 dijumpai di dalam kenyataan bahwa sebagai aturan umum, pembawaan alami
manusia itu rakus dan mementingkan diri sendiri, dan jika dibiarkan mengatur
dirinya sendiri, tidak akan berbuat banyak untuk orang lain.
3.
Alokasi sumber dan perbuatan keputusan negara
Naqvi tidak begitu mempercayai
sistem pasar untuk menetapkan alokasi sumber daya. Harapannya terwujudnya
keadilan serta kecondongannya kepada kaum miskin, fakir serta yang tertindas
menebabkannya berharap bahwa negara memainkan peranan yang menentukan di dalam
masalah-masalah ekonomi.[5]
4.
Jaminan sosial dan program anti kemiskinan
Keperluan untuk menegakkan
keadilan sosial mengharuskan negara melakukan suatu kebijakan penyamaan
utilitas antar individu.[6]
5.
Penghapusan riba dan implementasikan zakat
Naqvi lebih menyakinkan
penghapusan riba tidak hanya berubungan dengan perekonomian bebas bunga
melainkan perekonomian bebas eksploitasi. Menyangkut zakat, Naqvi melihatnya
sebagai mewakili filsafat Islam yang amat egaliter. Menurut Naqvi, tarif pajak
yang tinggi merupakan ciri penting perekonomian Islam yang bebas riba dan
berorientasi kesejahteraan.
2.
2. Konsep Distribusi
Dalam hal distribusi kekayaan,
Naqvi mengajukan beberapa konsep sebagai berikut;
§ Distribusi awal secara tak wajar
memerlukan pembagian kembali dari yang kuat kepada yang ke lemah.
§ Konsep perwalian.
§ Meluaskan kepemilikan ke masyarakat secara merata.
§ Pendapatan boleh berbeda asalkan
tetap saling menyongkong; pendapatan berbeda secara tak wajar yang tidak
diijinkan.
3.
Konsep Produksi
Naqvi tidak banyak membahas
produksi, namun juga struktur dan komposisi produksi di dalam suatu
perekonomian Islam. Adapun empat poin struktur produksi dalam Islam menurut
Naqvi adalah;[7]
§ Batas adanya laba maksimum dalam
konsep ekonomi Islam (MC = MR).
§ Tidak boleh ada laba berlebihan dalam konsep ekonomi
Islam.
§ Proposi barang-barang publik
terhadap barang-barang pribadi akan meningkatkan perekonomian.
§ Keranjang konsumsi barang-barang
pribadi akan lebih condong diisi dengan barang perlu dari pada barang mewah.
§ Barang modal seluruhnya atau terutama diproduksi
oleh pemerintah.
Pengulangan pernyatan yang
dilakukan Naqvi sebenarnya menunjukkan bahwa semua aspek di dalam ekonomi Islam
itu saling berhubungan dan terbentuk dari aksioma-aksioma etika Islamnya.
Demikianlah Naqvi sangat kritis terhadap kapitalisme. Naqvi menegaskan bahwa
tujuan utama reformasi Islam hendaknya mengubah struktur dasar perekonomian
feodalistik-kapitalistik sekarang ini.
[1] Mohamed Aslam Haneef, Pemikiran Ekonomi Kontemporer: Analisis Komparatif Terpilih, 127. Informasi mengenai Naqvi diperoleh dari
publikasi Pakstan Institute of Development Economics, Pakistan
[3] Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics: An Islamic Synthesis. (The Islamic
Foundation, 1981). 18.
[4] Syed Nawab Haider Naqvi, . H.U. Beg, Rafiq
Ahmed and Mian M. Nazeer. Principles of
Islamic Economic Reform. (Pakistan
Institute of Development Economics, 1984). 6
[5] Pertanggungjawaban.
Yang merupakan perluasan dari aksioma yang lalu
(kemauan bebas) diterjemahkan Navi
ke dalam suatu pola prilaku khusus para agen ekonomi dalam suatu masyarakat
Islam. Aksioma ini membatasi kebebasan individu, yang sekiranya diperlukan
untuk menegakkan keadilan. Aksioma ini memiliki tiga implikasi bagi perilaku
ekonomi: 1). Dalam menghitung profit margin, biayah upah haruslah cocok dengan
tingkat upah minimum yang diterima secara sosial, dan itu berarti menentukan bebas
atas profit margin. 2). Economic returns bagi
kreditor modal tidak dapat ditetapkan di muka, yang berarti bahwa suatu aturan perilaku ekonomi eksplisit hendaklah
diberlakukan untuk mengatur besar serta sering ketidak pastian di dalam suatu
perekonomian Islam. 3). Islam melarang segala transaksi tak jelas yang disebut gharar, dalam transaksi seperti itu,
pembeli selalu tidak berada posisi yang memungkinkan untuk dapat memprediksi
konsekuensi keuangan secara penuh dari suatu transaksi, dan hal itu dapat meluas
menjadi bentuk-bentuk transaksi spekulatif pada umumnya. Selengkapnya silahkan
baca: Syed Nawab Haider Naqvi, Ibid.1981. 48-50.