PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM IBN TAYMIYAH
Biografi Singkat Ibn Taimiyah Beliau bernama lengkap Ahmad Ibn Abdis Salam Ibn Abdillah Ibn Al-Khidir Ibn Muhammad Ibn Taimiyah An...

https://rohman-utm.blogspot.com/2011/11/pemikiran-ekonomi-islam-ibn-taymiyah.html
Biografi
Singkat Ibn Taimiyah
Beliau bernama lengkap Ahmad Ibn Abdis Salam Ibn Abdillah Ibn Al-Khidir Ibn Muhammad Ibn Taimiyah An-Numairy al-Harrany al-Dimasyqy. Ia
dilahirkan di Harran, sebuah kota induk di Jazirah Arabia yang terletak di
antara sungai Dajalah (Tigris) dan Efrat, pada Senin, 12 Rabi'ul Awal 661 H
(1263M).
Sejak kecil Ibnu Taimiyah sudah menunjukkan
kecerdasannya. Ketika masih berusia belasan tahun, Ibnu Taimiyah sudah hafal
Alquran dan mempelajari sejumlah bidang ilmu pengetahuan di Kota Damsyik kepada
para ulama-ulama terkenal di zamannya.
Berkat kecerdasannya, ia dengan mudah menyerap setiap
pelajaran yang diberikan. Bahkan, ketika usianya belum menginjak remaja, ia
sudah menguasai ilmu ushul al-ddin
(teologi) dan memahami berbagai disiplin ilmu, seperti tafsir, hadis, dan
bahasa Arab.
Pada umurnya yang ke-17, Ibnu Taimiyah sudah siap
mengajar dan berfatwa, terutama dalam bidang ilmu tafsir, ilmu ushul, dan semua
ilmu-ilmu lain, baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya.[1]
Ibnu Taimiyah banyak dikecam oleh ulama Syiah dan
menyebutnya sebagai orang yang tidak suka terhadap *ahlul bayt*
(keturunan Rasul dari Fatimah RA dan Ali Ibn Abi Thalib RA). Ia juga banyak dikecam oleh
para ulama wahabi dengan menganggapnya sebagai seorang ulama yang merusak
akidah Islam.
Karena dianggap berbahaya, termasuk oleh penguasa setempat,
ia kemudian dizalimi dan dimasukkan ke dalam penjara. Di penjara, ia justru
merasakan kedamaian, sebab bisa lebih leluasa mengungkapkan pikirannya dan
menuangkannya dalam tulisan-tulisan. Beberapa karyanya berasal dari ide-idenya
selama di penjara.
Ia wafat di dalam penjara *Qal'ah Dimasyqy* pada 20
Dzulhijah 728 H (1328 M), dan disaksikan salah seorang muridnya, Ibnu
al-Qayyim. Bersama Najamuddin At-Tufi, mereka dijuluki sebagai trio pemikir
bebas. Ibnu Taimiyah berada di dalam penjara selama 27 bulan (dua tahun tiga
bulan) lebih beberapa hari.[2]
Ibnu Taimiyah sangat dalam perhatiannya terhadap
persoalan perekonomian. Pandangannya memberikan refleksi dari orientasi
pemikirannya yang pragmatis dan memberikan dampak sangat nyata pada generasi
penerusnya. Adalah Thomas Aquinas satu dari tokoh yang tercatat banyak
mengdopsi pemikiran Ibnu Taimiyah, walaupun dalam beberapa kasus ia harus
memodifikasi serta memperbaikinya sesuai dengan kebutuhan yang ada dalam rangka
mensintesis dengan ajaran Nasrani.[3]
B Karya
Ibn Taimiyah
Tak
bisa dipungkuri kontribusi Ibnu Taimiyah dalam pemikiran ekonomi. Pemikirannya
banyak diambil dari berbagai karya tulisnya, antara lain Majmu’Fatwa Syaikh
al-Islam, as-Siyasah asy-Syar’iyyah fil Islhlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyah dsan al-Hisbah
fi al-Islam.
C. Pemikiran ekonomi Ibn Taimiyah
1.
Penetapan harga
Kompensasi dan Harga Dua
istilah yang sering ada dalam pembahasan Ibnu Taimiyah tentang masalah harga,
yaitu: 1) Kompensasi yang setara („iwad al-mitsl) diukur dan ditaksir
oleh hal-hal yang setara dan itulah esensi dari keadilan (nafs al-„adl); 2)
harga yang setara (tsaman al-mitsl). Ibnu
Taimiyah membedakan ada 2 (dua) jenis harga, yaitu: a) Harga yang tak
adil/terlarang dengan b) harga yang adil/disukai.[4]
Harga yang setara itu sebagai harga yang adil. Jadi dua kata: “adil” dan
“setara” digunakan saling mengganti[5].Konsep
Ibnu Taimiyah tentang kompensasi yang adil („iwad al-mitsl) dan harga
yang adil (tsaman al-mitsl) tidaklah sama. Kompensasi yang adil adalah
penggantian sepadan yang merupakan nilai harga yang setara dari sebuah benda
menurut adat kebiasaan. Kompensasi yang setara diukur dan ditaksir oleh hal-hal
yang setara tanpa ada tambahan dan pengurangan. Penggunaan kata kompensasi yang
adil setara untuk membongkar masalah moral atau kewajiban hukum berkaitan
dengan barang-barang, dan bukan merupakan kasus nilai tukar, tetapi sebagai
kompensasi atau pelaksanaan sebuah kewajiban.[6]
Sedangkan harga yang adil adalah nilai harga di mana orang-orang menjual
barangnya dapat diterima secara umum sebagai hal yang sepadan dengan barang yang
dijual itu ataupun barang yang sejenis lainnya di tempat dan waktu tertentu.
Keadilan yang dikehendaki oleh Ibnu Taimiyah berhubungan dengan prinsip la
dharar yakni tidak melukai dan merugikan orang lain sehingga dengan berbuat
adil akan mencegah terjadinya tindak kezaliman
Harga yang setara menurut Ibnu Taimiyah
adalah harga baku (si‟r), di mana penduduk menjual barang-barang mereka
dan secara umum diterima sebagai sesuatu yang setara dengan itu dan untuk
barang yang sama pada waktu dan tempat yang khusus.[7]
Atau harga yang setara itu sesuai dengan keinginan atau lebih persisnya harga
yang ditetapkan oleh kekuatan pasar yang berjalan secara bebas antara penawaran
dan permintaan. Selain itu Ibnu Taimiyah menggambarkan perubahan harga di pasar
“jika penduduk menjual barangnya dengan cara yang normal (al-wajah al-ma‟ruf)
tanpa menggunakan cara-cara yang tidak adil, kemudian harga meningkat karena
pengaruh kekurangan persediaan barang (misalnya karena menurunnya
suplai/penawaran) atau meningkatnya jumlah penduduk (yaitu meningkatnya
permintaan), itu semua karena Allah. Dalam kasus seperti itu, memaksa penjual
untuk menjual barang mereka pada harga khususnya, merupakan paksaan yang salah
(ikhrah bi ghoiri haqq).[8]
2. Keuntungan yang setara (adil)
Ibnu Taimiyah menganjurkan penjual berhak memperoleh keuntungan yang
diterima secara umum (al-ribh al-ma‟ruf) tanpa merusak kepentingannya
dan kepentingan pelanggannya.[9]Keuntungan
yang adil adalah keuntungan normal yang secara umum diperoleh dari berbagai
macam model perdagangan, tanpa saling merugikan. Ia tidak menyetujui tingkat
dasar keuntungan yang tidaak biasa, bersifat eksploitatif atau situasi di mana
masyarakat tak mengambil peduli pada kondisi pasar yang ada.[10]
Ia juga berpendapat bahwa “seseorang yang memperoleh barang untuk menghasilkan
pendapatan dan memperdagangkannya, dibolehkan melakukan itu tetapi dia tidak
boleh menarik ongkos dari orang yang membutuhkan untuk meraih keuntungan yang
lebih tinggi ketimbang kebiasaannya (al-ribh almu‟tad) dan sebaiknya
tidak meningkatkan harganya bagi orang yang sangat membutuhkan.[11]
Ibnu Taimiyah mengidentifikasikan beberapa
faktor yang berpengaruh terhadap permintaan dan konsekuensinya terhadap harga,
yaitu: 1) keinginan penduduk atas jenis yang berbeda dan sesekali berubahrubah,
2) perubahannya tergantung pada jumlah para peminta, 3) meluasnya jumlah dan
ukuran dari kebutuhan baik kecil atau besar berpengaruh terhadap menguat atau
melemahnya tingkat kebutuhan atas barang, 4) harga berubah-rubah sesuai dengan
siapa saja pertukaran barang itu dilakukan, 5) harga dipengaruhi oleh bentuk
alat pembayaran yang digunakan dalam jual beli, 6) disebabkan oleh tujuan dari
kontrak adanya pemilikan oleh kedua belah pihak, 7) aplikasi yang sama berlaku
bagi seseorang yang meminjam atau menyewa benda diketahui nilainya[12]
Mengenai kebijakan moneter, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa pemerintah harus
mencetak mata uang yang sesuai dengan nilai transaksi yang adil dari penduduk,
tanpa keterlibatan kezaliman didalamnya. Dan juga para penguasa jangan
memplopori bisnis mata uang dengan membeli tembaga kemudian mencetaknya menjadi
mata uang koin, bahkan pemerintah harus mencetak mata uang dengan harga yang
sebenarnya tanpa bertujuan mencari keuntungan apapun dari pencetakannya agar
kesejahteraan publik terjamin[13].
3. Mekanisme Harga
Menurut Ibnu Taimiyah, mekanisme harga adalah proses
yang berjalan atas dasar gaya tarik-menarik antara pembeli dan penjual baik
dari barang ataupun faktok-faktor produksi.[14]
Berkaitan dengan itu, Schumpeter mengatakan : “As regard the theory of the
mechanism of pricing there is very little to report before the middle of the
eighteen century”. Perkataan Schumpeter ini menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah
(1263-1328 M) adalah seorang pelopor dalam menerangkan mekanisme harga
kaitannya dengan kekuatan permintaan dan penawaran.
Dalam membahas harga, Ibnu Taimiyah menggunakan
beberapa istilah yang saling berkaitan yaitu harga yang adil (tsaman al-mitsl), kompensasi yang setara
(‘iwadh al-mitsl), laba yang adil (just profit), dan upah yang adil (just wage).
Menurutnya harga yang adil adalah nilai harga dimana
orang-orang menjual barangnya an diterima secara umum sebagai hal yang sepadan
dengan barang yang dijual ataupun barang-barang yang sejenis lainnya di tempat
dan waktu tertentu[15].
Ketika berbicara tentang harga yang adil (tsaman al-mitsl), Ibnu Taimiyah selalu
mengaitkannya dengan kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl). Dia berkata: “kompensasi yang setara akan diukur
dan di taksir olehhal-hal yang setara dan itulah esensi dari keadilan (nafs
al-‘adl). Dimana pun, ia membedakan antara dua jenis harga: harga yang tak adil
dan
terlarang serta harga yang
adil dan disukai. Dia mempertimbangkan harga yang setara itu sebagai harga yang
adil. Jadi, dua kata, “adil” dan “setara” digunakan saling mengganti.[16]

Dalam mendefinisikan kompensasi yang setara, Ibnu
Taimiyah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kesetaraan adalah jumlah yang
sama dari objek khusus yang dimaksud dalam pemakaian umum. Hal ini juga
berkaitan dengan tingkat harga dan kebiasaan (‘adah). Lebih jauh lagi,
ia mengemukakan bahwa evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang adil
didasarkan atas analogi dan taksiran dari barang tersebut dengan barang lain
yang setara (ekuivalen).[17]
Keadilan yang dikehendaki oleh Ibnu Taimiyah
berhubungan dengan prinsip la dharar
yakni tidak melukai dan tidak merugikan orang lain. Maka dengan berbuat adil
akan mencegah terjadinya tindak kezaliman. Sehingga dengan demikian, dapat
dipahami bahwa permasalahan tentang kompensasi yang adil erat kaitannya dengan
masalah moral atau kewajiban hukum.92
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa harga yang setara itu
harus merupakan harga yang kompetetif yang tidak disertai penipuan, sehingga
dapat dipahami bahwa harga yang setara adalah harga yang dibentuk oleh kekuatan
pasar yang berjalan secara bebas dan kompetetif.93
Ketika terjadi penipuan, ketidakjujuran, dan
manipulasi, disinilah Ibnu Taimiyah menganjurkan adanya regulasi harga. sebab
tujuan dari regulasi harga adalah untuk menegakkan keadilan serta memenuhi
kebutuhan dasar masyarakat. Regulasi harga adalah pengaturan terhadap harga
barang-barang yang dilakukan oleh pemerintah. Seperti dalam keadaan darurat,
terjadi bencana kelaparan, Ibn Taimiyah merekomendasikan kepada pemerintah agar
melakukan penetapan harga serta memaksa para pedagang untuk
menjual barang-barang kebutuhan dasar, seperti bahan makanan. Ia menyatakan,
”inilah saatnya bagi penguasa untuk memaksa
seseorang menjual barang-barangnya pada harga yang adil ketika masyarakat
sangat membutuhkannya. Misalnya, ketika memiliki kelebihan bahan makanan
sementara masyarakat menderita kelaparan, pedagang akan dipaksa untuk menjual
barangnya pada tingkat harga yang adil”.[18]
3. Peranan Negara dalam Kebijakan Ekonomi
Menurut Ibnu Taimiyah, pemerintah memiliki hak untuk
ikut campur dan membatasi kebebasan individual untuk menjaga kepentingan publik
yang lebih besar. Hal ini merupakan pandangan ini yang bertolak belakang dengan
prinsip laissez-faire yang diusung
oleh Adam Smith. Di bawah ini adalah fungsi ekonomi dari negara dan berbagai
kasus di mana negara berhak melakukan intervensi terhadap kepentingan dan
manfaat yang lebih besar[19].
a). Mengentaskan Kemiskinan
Menurutnya, menghapuskan kemiskinan merupakan kewajban
negara. Dalam pandangannya, seseorang harus hidup sejahtera dan tidak
tergantung pada orang lain, sehingga mereka bisa memenuhi sejumlah kewajiban
agamanya.
b). Regulasi Pasar
Pengawasan pasar merupakan bagian dari tanggung jawab
negara. Negara memiliki kekuasaan untuk mengontrol harga atau menetapkan
besarnya upah kerja demi kepentingan publik. Ibnu Taimiyah tidak menyukai
pengawasan harga yang dilakukan dalam keadaan normal. Sebab pada prinsipnya,
penduduk bebas menjual barang mereka pada tingkat
harga yang mereka
sukai. Pengawasan hargar hanya sebagai antisipasi distrosi pasar yang akan
melahirkan ketidakadilan.
c). Kebijakan Moneter
Kontrol atas harga dan upah buruh, keduanya ditujukan
untuk memelihara keadilan dan stabilitas pasar. Tetapi, kebijakan moneter bisa
pula mengancam tujuan itu. Negara bertanggung jawab untuk mengontrol ekspansi
mata uang dan untuk mengawasi penurunan nilai uang, yang kedua pokok ini bisa
mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi.
d). Perencanaan Ekonomi
Pengembangan dan kemandirian ekonomi merupakan
prasyarat penting bagi stabilitas negara. Sebuah negara yang kurang dan tak
mandiri, sangat rentan menghadapi rekayasa kekuaran asng dan kondisi dalam
negerinya mudah goyah. Tak ada satu pun pemerintah menolak kebutuhan
pengembangan ekonomi secara menyeluruh. Sebagai salah satu cara yang efektif
untuk mencapainya adalah melalui perencanaan ekonomi.
Rangkuman
ü
Pemikiran
ekonomi islam Ibn Taymiyah banyak diambil dari karya tulisnya, antara lain Majmu’Fatwa
Syaikh al-Islam, as-Siyasah asy-Syar’iyyah fil Islhlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyah
dsan al-Hisbah fi al-Islam.
ü Konsep Ibnu Taimiyah tentang
kompensasi yang adil („iwad al-mitsl) dan harga yang adil (tsaman
al-mitsl) tidaklah sama. Kompensasi yang adil adalah penggantian sepadan
yang merupakan nilai harga yang setara dari sebuah benda menurut adat
kebiasaan. Kompensasi yang setara diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara
tanpa ada tambahan dan pengurangan. Penggunaan kata kompensasi yang adil setara
untuk membongkar masalah moral atau kewajiban hukum berkaitan dengan
barang-barang, dan bukan merupakan kasus nilai tukar, tetapi sebagai kompensasi
atau pelaksanaan sebuah kewajiban.
ü Ibnu Taimiyah
mengidentifikasikan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap permintaan dan
konsekuensinya terhadap harga, yaitu: 1) keinginan penduduk atas jenis yang
berbeda dan sesekali berubahrubah, 2) perubahannya tergantung pada jumlah para
peminta, 3) meluasnya jumlah dan ukuran dari kebutuhan baik kecil atau besar
berpengaruh terhadap menguat atau melemahnya tingkat kebutuhan atas barang, 4)
harga berubah-rubah sesuai dengan siapa saja pertukaran barang itu dilakukan,
5) harga dipengaruhi oleh bentuk alat pembayaran yang digunakan dalam jual
beli, 6) disebabkan oleh tujuan dari kontrak adanya pemilikan oleh kedua belah
pihak, 7) aplikasi yang sama berlaku bagi seseorang yang meminjam atau menyewa benda
diketahui nilainya
ü Menurut Ibnu Taimiyah, mekanisme harga adalah proses yang berjalan atas
dasar gaya tarik-menarik antara pembeli dan penjual baik dari barang ataupun faktok-faktor produksi.[20]
Berkaitan dengan itu, Schumpeter mengatakan : “As regard the theory of the
mechanism of pricing there is very little to report before the middle of the
eighteen century”. Perkataan Schumpeter ini menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah
(1263-1328 M) adalah seorang pelopor dalam menerangkan mekanisme harga kaitannya
dengan kekuatan permintaan dan penawaran
[1] Abdul Azim Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah.
(terj) Anshari Thayib. (Surabaya: PT. Ibn a
Ilmu, 1997) hal. 15
[2] Nur
Chamid, Jejak Langkah Sejarah., 230
[3]
Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Mikro Islami,… 142-143
[4] Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah fil Islam,
(Kairo: Daar al-Sha‟b, 1976), 24-25; lihat juga Abdul Azim
Islahi, Economic Concepts of Ibn Taimiyah. London: Islamic Foundation, 1988) .81 13 14
[6] Euis
Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer,
(Jakarta: Pustaka Asatrus, 2005), hal. 16
[7] Ibnu
Taimiyah, Majmu‟ Fatawa Shaikh al-Islam, Vol. 29, (Riyadh: Matabi‟
al-Riyad, 1963) hal. 345; Abdul Azim Islahi, Economic Concepts.,.83
[10] Ibnu
Taimiyah, Majmu‟ Fatawa., Vol. 25, hal. 299; Abdul Azim Islahi, Economic
Concepts., hal.86
[14] A.A. Islahi, ,Konsep Ekonomi Ibn Taimiyah, Cet 1,
(Surabaya: PT Ibn a Ilmu Offset, 1997), 941 lihat juga Adi Warman Azwar Karim,
Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2002), 30
[16] Euis
Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam :
dari Masa Klasik hinggaKontemporer,.. 168
[17]Adiwarman
Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam, 358
[18] Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al -Islam, dalam Adiwarman Azwar Karim, 2004, SejarahPemikiran Ekonomi islam...369
[20] A.A. Islahi, ,Konsep Ekonomi Ibn Taimiyah, Cet 1,
(Surabaya: PT Ibn a Ilmu Offset, 1997), 941 lihat juga Adi Warman Azwar Karim,
Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2002), 30