rohmans

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM IBN TAYMIYAH

Biografi Singkat Ibn Taimiyah Beliau bernama lengkap Ahmad Ibn  Abdis Salam Ibn  Abdillah Ibn  Al-Khidir Ibn  Muhammad Ibn  Taimiyah An...

Biografi Singkat Ibn Taimiyah

Beliau bernama lengkap Ahmad Ibn  Abdis Salam Ibn  Abdillah Ibn  Al-Khidir Ibn  Muhammad Ibn  Taimiyah An-Numairy al-Harrany al-Dimasyqy. Ia dilahirkan di Harran, sebuah kota induk di Jazirah Arabia yang terletak di antara sungai Dajalah (Tigris) dan Efrat, pada Senin, 12 Rabi'ul Awal 661 H (1263M).

Sejak kecil Ibnu Taimiyah sudah menunjukkan kecerdasannya. Ketika masih berusia belasan tahun, Ibnu Taimiyah sudah hafal Alquran dan mempelajari sejumlah bidang ilmu pengetahuan di Kota Damsyik kepada para ulama-ulama terkenal di zamannya.


Berkat kecerdasannya, ia dengan mudah menyerap setiap pelajaran yang diberikan. Bahkan, ketika usianya belum menginjak remaja, ia sudah menguasai ilmu ushul al-ddin (teologi) dan memahami berbagai disiplin ilmu, seperti tafsir, hadis, dan bahasa Arab.


Pada umurnya yang ke-17, Ibnu Taimiyah sudah siap mengajar dan berfatwa, terutama dalam bidang ilmu tafsir, ilmu ushul, dan semua ilmu-ilmu lain, baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya.[1]

Ibnu Taimiyah banyak dikecam oleh ulama Syiah dan menyebutnya sebagai orang yang tidak suka terhadap *ahlul bayt* (keturunan Rasul dari Fatimah RA dan Ali Ibn  Abi Thalib RA). Ia juga banyak dikecam oleh para ulama wahabi dengan menganggapnya sebagai seorang ulama yang merusak akidah Islam.

Karena dianggap berbahaya, termasuk oleh penguasa setempat, ia kemudian dizalimi dan dimasukkan ke dalam penjara. Di penjara, ia justru merasakan kedamaian, sebab bisa lebih leluasa mengungkapkan pikirannya dan menuangkannya dalam tulisan-tulisan. Beberapa karyanya berasal dari ide-idenya selama di penjara.

Ia wafat di dalam penjara *Qal'ah Dimasyqy* pada 20 Dzulhijah 728 H (1328 M), dan disaksikan salah seorang muridnya, Ibnu al-Qayyim. Bersama Najamuddin At-Tufi, mereka dijuluki sebagai trio pemikir bebas. Ibnu Taimiyah berada di dalam penjara selama 27 bulan (dua tahun tiga bulan) lebih beberapa hari.[2]

Ibnu Taimiyah sangat dalam perhatiannya terhadap persoalan perekonomian. Pandangannya memberikan refleksi dari orientasi pemikirannya yang pragmatis dan memberikan dampak sangat nyata pada generasi penerusnya. Adalah Thomas Aquinas satu dari tokoh yang tercatat banyak mengdopsi pemikiran Ibnu Taimiyah, walaupun dalam beberapa kasus ia harus memodifikasi serta memperbaikinya sesuai dengan kebutuhan yang ada dalam rangka mensintesis dengan ajaran Nasrani.[3]
B Karya Ibn Taimiyah

Tak bisa dipungkuri kontribusi Ibnu Taimiyah dalam pemikiran ekonomi. Pemikirannya banyak diambil dari berbagai karya tulisnya, antara lain Majmu’Fatwa Syaikh al-Islam, as-Siyasah asy-Syar’iyyah fil Islhlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyah dsan al-Hisbah fi al-Islam.


C. Pemikiran ekonomi Ibn Taimiyah
1.      Penetapan harga
Kompensasi dan Harga Dua istilah yang sering ada dalam pembahasan Ibnu Taimiyah tentang masalah harga, yaitu: 1) Kompensasi yang setara („iwad al-mitsl) diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara dan itulah esensi dari keadilan (nafs al-„adl); 2) harga yang setara (tsaman al-mitsl). Ibnu Taimiyah membedakan ada 2 (dua) jenis harga, yaitu: a) Harga yang tak adil/terlarang dengan b) harga yang adil/disukai.[4] Harga yang setara itu sebagai harga yang adil. Jadi dua kata: “adil” dan “setara” digunakan saling mengganti[5].Konsep Ibnu Taimiyah tentang kompensasi yang adil („iwad al-mitsl) dan harga yang adil (tsaman al-mitsl) tidaklah sama. Kompensasi yang adil adalah penggantian sepadan yang merupakan nilai harga yang setara dari sebuah benda menurut adat kebiasaan. Kompensasi yang setara diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara tanpa ada tambahan dan pengurangan. Penggunaan kata kompensasi yang adil setara untuk membongkar masalah moral atau kewajiban hukum berkaitan dengan barang-barang, dan bukan merupakan kasus nilai tukar, tetapi sebagai kompensasi atau pelaksanaan sebuah kewajiban.[6] Sedangkan harga yang adil adalah nilai harga di mana orang-orang menjual barangnya dapat diterima secara umum sebagai hal yang sepadan dengan barang yang dijual itu ataupun barang yang sejenis lainnya di tempat dan waktu tertentu. Keadilan yang dikehendaki oleh Ibnu Taimiyah berhubungan dengan prinsip la dharar yakni tidak melukai dan merugikan orang lain sehingga dengan berbuat adil akan mencegah terjadinya tindak kezaliman
Harga yang setara menurut Ibnu Taimiyah adalah harga baku (si‟r), di mana penduduk menjual barang-barang mereka dan secara umum diterima sebagai sesuatu yang setara dengan itu dan untuk barang yang sama pada waktu dan tempat yang khusus.[7] Atau harga yang setara itu sesuai dengan keinginan atau lebih persisnya harga yang ditetapkan oleh kekuatan pasar yang berjalan secara bebas antara penawaran dan permintaan. Selain itu Ibnu Taimiyah menggambarkan perubahan harga di pasar “jika penduduk menjual barangnya dengan cara yang normal (al-wajah al-ma‟ruf) tanpa menggunakan cara-cara yang tidak adil, kemudian harga meningkat karena pengaruh kekurangan persediaan barang (misalnya karena menurunnya suplai/penawaran) atau meningkatnya jumlah penduduk (yaitu meningkatnya permintaan), itu semua karena Allah. Dalam kasus seperti itu, memaksa penjual untuk menjual barang mereka pada harga khususnya, merupakan paksaan yang salah (ikhrah bi ghoiri haqq).[8]
2.      Keuntungan yang setara (adil)
 Ibnu Taimiyah menganjurkan penjual berhak memperoleh keuntungan yang diterima secara umum (al-ribh al-ma‟ruf) tanpa merusak kepentingannya dan kepentingan pelanggannya.[9]Keuntungan yang adil adalah keuntungan normal yang secara umum diperoleh dari berbagai macam model perdagangan, tanpa saling merugikan. Ia tidak menyetujui tingkat dasar keuntungan yang tidaak biasa, bersifat eksploitatif atau situasi di mana masyarakat tak mengambil peduli pada kondisi pasar yang ada.[10] Ia juga berpendapat bahwa “seseorang yang memperoleh barang untuk menghasilkan pendapatan dan memperdagangkannya, dibolehkan melakukan itu tetapi dia tidak boleh menarik ongkos dari orang yang membutuhkan untuk meraih keuntungan yang lebih tinggi ketimbang kebiasaannya (al-ribh almu‟tad) dan sebaiknya tidak meningkatkan harganya bagi orang yang sangat membutuhkan.[11]
 Ibnu Taimiyah mengidentifikasikan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap permintaan dan konsekuensinya terhadap harga, yaitu: 1) keinginan penduduk atas jenis yang berbeda dan sesekali berubahrubah, 2) perubahannya tergantung pada jumlah para peminta, 3) meluasnya jumlah dan ukuran dari kebutuhan baik kecil atau besar berpengaruh terhadap menguat atau melemahnya tingkat kebutuhan atas barang, 4) harga berubah-rubah sesuai dengan siapa saja pertukaran barang itu dilakukan, 5) harga dipengaruhi oleh bentuk alat pembayaran yang digunakan dalam jual beli, 6) disebabkan oleh tujuan dari kontrak adanya pemilikan oleh kedua belah pihak, 7) aplikasi yang sama berlaku bagi seseorang yang meminjam atau menyewa benda diketahui nilainya[12] Mengenai kebijakan moneter, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa pemerintah harus mencetak mata uang yang sesuai dengan nilai transaksi yang adil dari penduduk, tanpa keterlibatan kezaliman didalamnya. Dan juga para penguasa jangan memplopori bisnis mata uang dengan membeli tembaga kemudian mencetaknya menjadi mata uang koin, bahkan pemerintah harus mencetak mata uang dengan harga yang sebenarnya tanpa bertujuan mencari keuntungan apapun dari pencetakannya agar kesejahteraan publik terjamin[13].
3.       Mekanisme Harga


Menurut Ibnu Taimiyah, mekanisme harga adalah proses yang berjalan atas dasar gaya tarik-menarik antara pembeli dan penjual baik dari barang ataupun faktok-faktor produksi.[14] Berkaitan dengan itu, Schumpeter mengatakan : “As regard the theory of the mechanism of pricing there is very little to report before the middle of the eighteen century”. Perkataan Schumpeter ini menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) adalah seorang pelopor dalam menerangkan mekanisme harga kaitannya dengan kekuatan permintaan dan penawaran.

Dalam membahas harga, Ibnu Taimiyah menggunakan beberapa istilah yang saling berkaitan yaitu harga yang adil (tsaman al-mitsl), kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl), laba yang adil (just profit), dan upah yang adil (just wage).

Menurutnya harga yang adil adalah nilai harga dimana orang-orang menjual barangnya an diterima secara umum sebagai hal yang sepadan dengan barang yang dijual ataupun barang-barang yang sejenis lainnya di tempat dan waktu tertentu[15].
Ketika berbicara tentang harga yang adil (tsaman al-mitsl), Ibnu Taimiyah selalu mengaitkannya dengan kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl). Dia berkata: “kompensasi yang setara akan diukur dan di taksir olehhal-hal yang setara dan itulah esensi dari keadilan (nafs al-‘adl). Dimana pun, ia membedakan antara dua jenis harga: harga yang tak adil dan terlarang serta harga yang adil dan disukai. Dia mempertimbangkan harga yang setara itu sebagai harga yang adil. Jadi, dua kata, “adil” dan “setara” digunakan saling mengganti.[16]

Dalam mendefinisikan kompensasi yang setara, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kesetaraan adalah jumlah yang sama dari objek khusus yang dimaksud dalam pemakaian umum. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat harga dan kebiasaan (‘adah). Lebih jauh lagi, ia mengemukakan bahwa evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang adil didasarkan atas analogi dan taksiran dari barang tersebut dengan barang lain yang setara (ekuivalen).[17]

Keadilan yang dikehendaki oleh Ibnu Taimiyah berhubungan dengan prinsip la dharar yakni tidak melukai dan tidak merugikan orang lain. Maka dengan berbuat adil akan mencegah terjadinya tindak kezaliman. Sehingga dengan demikian, dapat dipahami bahwa permasalahan tentang kompensasi yang adil erat kaitannya dengan masalah moral atau kewajiban hukum.92

Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa harga yang setara itu harus merupakan harga yang kompetetif yang tidak disertai penipuan, sehingga dapat dipahami bahwa harga yang setara adalah harga yang dibentuk oleh kekuatan pasar yang berjalan secara bebas dan kompetetif.93

Ketika terjadi penipuan, ketidakjujuran, dan manipulasi, disinilah Ibnu Taimiyah menganjurkan adanya regulasi harga. sebab tujuan dari regulasi harga adalah untuk menegakkan keadilan serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Regulasi harga adalah pengaturan terhadap harga barang-barang yang dilakukan oleh pemerintah. Seperti dalam keadaan darurat, terjadi bencana kelaparan, Ibn Taimiyah merekomendasikan kepada pemerintah agar melakukan penetapan harga serta memaksa para pedagang  untuk menjual barang-barang kebutuhan dasar, seperti bahan makanan. Ia menyatakan,

inilah saatnya bagi penguasa untuk memaksa seseorang menjual barang-barangnya pada harga yang adil ketika masyarakat sangat membutuhkannya. Misalnya, ketika memiliki kelebihan bahan makanan sementara masyarakat menderita kelaparan, pedagang akan dipaksa untuk menjual barangnya pada tingkat harga yang adil”.[18]


3. Peranan Negara dalam Kebijakan Ekonomi

Menurut Ibnu Taimiyah, pemerintah memiliki hak untuk ikut campur dan membatasi kebebasan individual untuk menjaga kepentingan publik yang lebih besar. Hal ini merupakan pandangan ini yang bertolak belakang dengan prinsip laissez-faire yang diusung oleh Adam Smith. Di bawah ini adalah fungsi ekonomi dari negara dan berbagai kasus di mana negara berhak melakukan intervensi terhadap kepentingan dan manfaat yang lebih besar[19].

a). Mengentaskan Kemiskinan

Menurutnya, menghapuskan kemiskinan merupakan kewajban negara. Dalam pandangannya, seseorang harus hidup sejahtera dan tidak tergantung pada orang lain, sehingga mereka bisa memenuhi sejumlah kewajiban agamanya.

b). Regulasi Pasar

Pengawasan pasar merupakan bagian dari tanggung jawab negara. Negara memiliki kekuasaan untuk mengontrol harga atau menetapkan besarnya upah kerja demi kepentingan publik. Ibnu Taimiyah tidak menyukai pengawasan harga yang dilakukan dalam keadaan normal. Sebab pada prinsipnya, penduduk bebas menjual barang mereka pada tingkat harga yang mereka sukai. Pengawasan hargar hanya sebagai antisipasi distrosi pasar yang akan melahirkan ketidakadilan.

c). Kebijakan Moneter

Kontrol atas harga dan upah buruh, keduanya ditujukan untuk memelihara keadilan dan stabilitas pasar. Tetapi, kebijakan moneter bisa pula mengancam tujuan itu. Negara bertanggung jawab untuk mengontrol ekspansi mata uang dan untuk mengawasi penurunan nilai uang, yang kedua pokok ini bisa mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi.


d). Perencanaan Ekonomi

Pengembangan dan kemandirian ekonomi merupakan prasyarat penting bagi stabilitas negara. Sebuah negara yang kurang dan tak mandiri, sangat rentan menghadapi rekayasa kekuaran asng dan kondisi dalam negerinya mudah goyah. Tak ada satu pun pemerintah menolak kebutuhan pengembangan ekonomi secara menyeluruh. Sebagai salah satu cara yang efektif untuk mencapainya adalah melalui perencanaan ekonomi.

Rangkuman
ü  Pemikiran ekonomi islam Ibn Taymiyah banyak diambil dari karya tulisnya, antara lain Majmu’Fatwa Syaikh al-Islam, as-Siyasah asy-Syar’iyyah fil Islhlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyah dsan al-Hisbah fi al-Islam.
ü  Konsep Ibnu Taimiyah tentang kompensasi yang adil („iwad al-mitsl) dan harga yang adil (tsaman al-mitsl) tidaklah sama. Kompensasi yang adil adalah penggantian sepadan yang merupakan nilai harga yang setara dari sebuah benda menurut adat kebiasaan. Kompensasi yang setara diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara tanpa ada tambahan dan pengurangan. Penggunaan kata kompensasi yang adil setara untuk membongkar masalah moral atau kewajiban hukum berkaitan dengan barang-barang, dan bukan merupakan kasus nilai tukar, tetapi sebagai kompensasi atau pelaksanaan sebuah kewajiban.
ü  Ibnu Taimiyah mengidentifikasikan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap permintaan dan konsekuensinya terhadap harga, yaitu: 1) keinginan penduduk atas jenis yang berbeda dan sesekali berubahrubah, 2) perubahannya tergantung pada jumlah para peminta, 3) meluasnya jumlah dan ukuran dari kebutuhan baik kecil atau besar berpengaruh terhadap menguat atau melemahnya tingkat kebutuhan atas barang, 4) harga berubah-rubah sesuai dengan siapa saja pertukaran barang itu dilakukan, 5) harga dipengaruhi oleh bentuk alat pembayaran yang digunakan dalam jual beli, 6) disebabkan oleh tujuan dari kontrak adanya pemilikan oleh kedua belah pihak, 7) aplikasi yang sama berlaku bagi seseorang yang meminjam atau menyewa benda diketahui nilainya
ü  Menurut Ibnu Taimiyah, mekanisme harga adalah proses yang berjalan atas dasar gaya tarik-menarik antara pembeli dan penjual baik dari barang ataupun faktok-faktor produksi.[20] Berkaitan dengan itu, Schumpeter mengatakan : “As regard the theory of the mechanism of pricing there is very little to report before the middle of the eighteen century”. Perkataan Schumpeter ini menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) adalah seorang pelopor dalam menerangkan mekanisme harga kaitannya dengan kekuatan permintaan dan penawaran


[1] Abdul Azim Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. (terj) Anshari Thayib. (Surabaya: PT. Ibn a Ilmu, 1997) hal. 15
[2] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah., 230
[3] Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Mikro Islami,… 142-143
[4]  Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah fil Islam, (Kairo: Daar al-Sha‟b, 1976), 24-25; lihat juga Abdul Azim Islahi, Economic Concepts of Ibn Taimiyah. London: Islamic Foundation, 1988) .81 13 14
[5] Abdul Azim Islahi, Economic Concepts of Ibn Taimiyah. London: Islamic Foundation, 1988) 81
[6] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Asatrus, 2005), hal. 16
[7] Ibnu Taimiyah, Majmu‟ Fatawa Shaikh al-Islam, Vol. 29, (Riyadh: Matabi‟ al-Riyad, 1963) hal. 345; Abdul Azim Islahi, Economic Concepts.,.83
[8] Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah., hal. 25, 42; Abdul Azim Islahi, Economic Concepts ., hal. 83
[9] Ibid., Ibnu Taimiyah, hal. 37; Abdul Azim Islahi, hal. 85
[10] Ibnu Taimiyah, Majmu‟ Fatawa., Vol. 25, hal. 299; Abdul Azim Islahi, Economic Concepts., hal.86
[11] 9 Ibid, Ibnu Taimiyah, hal. 501; Abdul Azim Islahi, hal. 86
[12] Ibnu Taimiyah, Majmu‟ Fatawa., Vol. 29,  472; Abdul Azim Islahi, Economic Concepts., hal.139
[13] bnu Taimiyah, Majmu‟ Fatawa., Vol. 29, 472; Abdul Azim Islahi, Economic Concepts., 141-142
[14] A.A. Islahi, ,Konsep Ekonomi Ibn Taimiyah, Cet 1, (Surabaya: PT Ibn a Ilmu Offset, 1997), 941 lihat juga Adi Warman Azwar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2002), 30
       
[16] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam : dari Masa Klasik hinggaKontemporer,.. 168
[17]Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 358

[18] Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al -Islam, dalam Adiwarman Azwar Karim, 2004, SejarahPemikiran Ekonomi islam...369
[19] A.A. Islahi, , Konsep Ekonomi Ibn Taimiyah,…. 227-235

.

[20] A.A. Islahi, ,Konsep Ekonomi Ibn Taimiyah, Cet 1, (Surabaya: PT Ibn a Ilmu Offset, 1997), 941 lihat juga Adi Warman Azwar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2002), 30

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Profile

About Me
Dr. Abdurrohman S.Ag. M.EI
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura. . Selengkapnya

Total Pageviews

Recent Posts

Random

Comments

Contact Us

Name

Email *

Message *

Populer

item