PEMIKIIRAN EKONOMI ISLAM IMAM AL SYATIBI
\ A. Biografi Singkat Al-Syatibi Nama lengkap Al-Syatibi adalah Abu Ishaq Ibn Musa Ibn Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati Asy-Satib...

https://rohman-utm.blogspot.com/2011/11/pemikiiran-ekonomi-islam-imam-al-syatibi.html
A. Biografi Singkat Al-Syatibi
Nama lengkap Al-Syatibi adalah Abu Ishaq Ibn Musa Ibn Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati Asy-Satibi,
merupakan salah seorang muslim yang belum banyak diketahui latar belakang
kehidupanya. Yang pasti beliau ini berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama
Al-Satibi sendiri dinisbatkan dari daerah asal keluarganya, yakni Syatibah
(Xatiba atau Jativa), yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur. Menurut
catatan sejarah, kota Syatibah jauh sebelum Al-Syatibi lahir itu sudah jatuh ke
tangan orang-orang kristen yang mana mengakibatkan seluruh penduduk muslim
menjadi terusir dari kota ini dan pindah di wilayah Granada.[1]
Tokoh pada masa Abbasiyah ini dibesarkan dan
memperoleh seluruh pendidikanya di ibukota kerajaan Nashr, Granada, yang
merupakan benteng terakhir umat islam di Spanyol. Masa hidupnya asy-Satibi
bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V Al-Ghani Billah yang
merupakan masa keemasan umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat
kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada. Suasana ilmiah yang
berkembang dengan baik di kota tersebut sangat menguntungkan bagi beliau dalam
menuntut ilmu serta mengembangkannya. Seperti halnya para tokoh sebelumnya
(seperti Abu Yusuf, al-Syabani, Abu Ubaid, Al-Ghazali, dsb) yang dalam
pengembangan intelektualitasnya tidak condong pada satu ilmu saja, melainkan tokoh
yang bermadzhab Maliki ini mendalami berbagai ilmu, baik yang berbentuk ‘ulum al-wasil (metode) maupun ‘ulummaqashid (esensi dan hakikat).
Selanjutnya Asy-Satibi lebih berminat untukmempelajari bahasa Arab (dari Abu
Abdillah Ibn Muhammad ibn Fakhar al-Biri,
abu Qasim Muhammad ibn Ahmad asy-Satibi, dan dari Abu Ja’far Ahmad
al-Syaqwari). Kemudian belajar dan mendalami ilmu hadits (dari Abu Qasim ibn Ibn a dan Syamsuddin al-Tilimsani),
ilmu falsafah (dari Abu Ali Mansur
al-Zawawi), ilmu ushul fiqih (dari Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Syarif
al-Tilimsani), ilmu sastra (dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasyimi), serta
berbagai ilmu lainnya seperti ilmu falak,
mantiq, dan debat. Namun ketertarikanya dalam mempelajari dan mendalami
berbagai ilmu beliau lebih berminat untuk mempelajari bahasa arab serta
khususnya pada ilmu ushul fiqih, karena menurutnya, metodelogi dan falsafah
fiqih Islam merupakan faktor yang sangat menentukan kekuatan dan kelemahan
fiqih dalam menanggapi perubahan sosial.[2]
Menurut penulis sendiri karena Asy-Satibi bermadzhab Maliki maka hasil
pemikirannya terutama dalam pemikiran ekonomi Islam condong berpedoman pada
hadis.
Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai,
Asy-Satibi mengembangkan potensi keilmuwanya dengan mengajarkan kepada para
generasi berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar al-Qadi dan Abu
Abdillah al-Bayani.
B. Karya Imam al-Syatibi
Disamping itu, beliau juga mewarisi
karya-karya ilmiah seperti Syarh
Jalil’ala al-Khulashah fi al-Nahwa dan Ushul
a-Nahw dalam bidang bahasa arab dan al-Muwafaqat
fi Ushul Fiqih. Hingga akhirnya Asy-Satibi wafat pada tanggal 8
Sya’ban 790 H (1388 M).[3]
C.
Pemikiran Ekonomi Islam Imam al-Syatibi
1. Konsep Maqashid al-Syari’ah
Al Syatibi
Al-Syatibi mengemukakan konsep maqashid yang
berarti kesengajaan atau tujuan. Sedangkan al-syariah berarti jalan menuju
sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan.
Menurut istilah, asy-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya syariah bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat” Dari pengertian
tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut asy-Syatibi adalah
kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut
rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang
dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian
yang mutlak. Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syariah menyangkut
perlindungan maqashid al-syari’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi
kemaslahatan manusia.
Menurut al-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat
terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan
dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam kerangka ini,
ia membagi maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat.
a. Dharuriyat
Jenis maqashid ini merupakan kemestian dan landasan
dalam menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan di akhirat yang mencakup
pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Pengabaian terhadap kelima unsur pokok tersebut akan
menimbulkan kerusakan di muka bumi serta kerugian yang nyata di akhirat kelak.
Pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dapat dilakukan
dengan cara memelihara eksistensi kelima unsur pokok tersebut dalam kehidupan
manusia dan melindunginya dari berbagai hal yang dapat merusak. Sebagai contoh,
penunaian rukun Islam, pelaksanaan kehidupan manusiawi serta larangan mencuri
masing-masing merupakan salah satu bentuk pemeliharaan eksistensi agama dan
jiwa serta perlindungan terhadap eksistensi harta.
b. Hajiyat
Jenis maqashid ini dimaksudkan untuk memudahkan
kehidupan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik
terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Contoh jenis maqashid ini antara
lain mencakup kebolehan untuk melaksanakan akad mudharabah, musaqat, muzara’ah
dan bai salam, serta berbagai aktivitas ekonomi lainnya yang bertujuan untuk
memudahkan kehidupan atau menghilangkan kesulitan manusia di dunia.
c.
Tahsiniyat
Tujuan jenis maqashid yang ketiga ini adalah agar
manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima
unsur pokok kehidupan manusia. Ia tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau
mengurangi berbagai kesulitan, tetapi hanya bertindak sebagai pelengkap,
penerang dan penghias kehidupan manusia. Contoh jenis maqashid ini antara lain
mencakup kehalusan dalam berbicara dan bertindak serta pengembangan kualitas
produksi dan hasil pekerjaan.
2. Objek Kepemilikan

2. Pajak
Dalam pandangan Asy-Satibi, pemungutan pajak harus
dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutip
pendapat para pendahulunya, seperti Al-Ghazali dan Ibnu Al-Farra’, ia
menyatakan bahwa
pemeliharaan kepentingan umum secara esensial
adalah tanggug jawab masyarakat baik Muslim maupun non-Muslim. Dalam kondisi
tidak mampu melaksanakan tanggung jawab ini, masyarakat bisa mengalihkanya
kepada Baitul Mal serta menyumbangkan
sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan kemaslahatan tersebut.101
3. Pemenuhan
Kebutuhan
Dalam pendekatan Maqashid al-Syariah (kulliyat al-khomsah) secara luas dan
sistematis, al-Satibi berpendapat bahwa aktivitas ekonomi seperti halnya
produksi, konsumsi, dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan harus diikuti
sebagai kewajiban umat manusia untuk memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat.
Dengan demikian seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi
umat manusia disebut sebagai kebutuhan (needs). Pemenuhan kebutuhan dalam
pengertian tersebut adalah tujuan aktivitas ekonomi, serta pencarian terhadap
tujuan ini adalah kewajiban umat manusia. Dengan kata lain, manusia
berkewajiban untuk memecahkan berbagai permasalahan ekonominya demi
melangsungkan kehidupan manusia sesuai syariat Islam. Oleh karena itu,
problematika ekonomi manusia dalam perspektif Islam adalah pemenuhan kebutuhan
(fulfillmentneeds) dengan sumber daya
alam yang tersedia dinilai kurang seimbang.

Disertai
kemashlahatan

Kebutuhan (
needs)
Sebenarnya konsep Maqashid al-Syariah mempunyai
relevansi yang erat dengan konsep Motivasi. Motivasi itu sendiri didefinisikan
sebagai seluruh kondisi usaha keras yang timbul dari dalam diri manusia yang digambarkan dengan keinginan, hasrat,
dorongan dan sebagainya. Bila dikaitkan dengan konsep maqashid syari’ah, jelas
bahwa dalam pandangan Islam, motivasi manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi
adalah untuk memenuhi kebutuhannya dalam arti memperoleh kemaslahatan hidup di
dunia dan di akhirat.[5]