PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABU UBAID
A. Biografi Singkat Abu Ubaid Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim Ibn Sallam Ibn Miskin Ibn Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdad...
https://rohman-utm.blogspot.com/2017/12/pemikiran-ekonomi-islam-abu-ubaid.html
A. Biografi Singkat Abu Ubaid
Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim Ibn Sallam Ibn Miskin
Ibn Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Ia lahir
pada tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Al-ghanistan.
Ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azad.[1]
Setelah memperoleh ilmu di kota kelahirannya, pada usia 20 tahun, Abu Ubaid
pergi menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah dan Baghdad.
Ilmu-ilmu yang dipelajari antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira’at,
tafsir, hadis, dan fiqih. Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik, Gubernur
Thugur di masa pemerintahan khalifah Harun Al-Rashid, megangkat Abu Ubaid
sebagai qadi (hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H. Setelah itu, penulis
kitab al-Amwal ini tinggal di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H
setelah berhaji, beliau menetap di Makkah sampai wafatnya. Abu Ubaid meninggal
pada tahun 224 H.
Dari beberapa literatur yang ada mengatakan bahwa Abu Ubaid hidup semasa
Daulah Abbasiyah mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M). Dalam penelitian
Nejatullah Siddiqi, masa al Mahdi ini ditemukan tiga tokoh terkenal yang
menuliskan karyanya di bidang ekonomi adalah, Abu Ubaid (w.224/834 H), Imam
Ahmad Ibn Hambal (164-241 M/780-855 M)
serta Harist bi Asad al Muhasibi (165-243 11/781-857 M)[2].
B. Latar Belakang Kehidupan dan
Karya Abu Ubaid
Abu Ubaid merupakan seorang ahli hadis (muhaddits)
dan ahli fiqih (fuqaha) terkemuka di masa hidupnya. Selama menjabat qadi di
Tarsus, Abu Ubaid sering menangani
berbagai kasus pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikannya dengan baik.
Karena sering terjadi pengutipan kata-kata Amr dalam al-Amwal,
tampaknya pemikiran-pemikiran Abu Ubaid dipengaruhi oleh Abu Amr Abdurrahman
ibn Amr Al-Awza’I, serta ulam-ulama suriah lainnya semasa ia menjadi qadi di
Tarsus. Kemungkinan ini, antara lain dapat ditelusuri dari pengamatan yang Abu
Ubaid terhadap permasalahan militer, politik dan fiscal yang dihadapi
pemerintah daerah Tarsus.
Dalam kitab al-Amwal, fokus perhatian Abu Ubaid
tampaknya lebih tertuju pada permasalahan yang berkaiatan dengan standar etika
politik suatu pemerintahan daripada teknik efisiensi pengelolaannya. Sebagai
contoh Abu Ubaid lebih tertarik membahas masalah keadilan redistributif dari
sisi “ apa” daripada “ bagaimana”.
Filosofi yang dikembangkana Abu Ubaid bukan merupakan
jawaban terhadap berbagai masalah sosial, politik dan ekonomi yang di
implementasikan melalui kebijakan-kebijakan praktis, tetapi hanya merupakan
sebuah pendekatan yang bersifat professional dan teknokrat yang bersandar pada
kemampuan teknis. Dengan demikian, tanpa menyimpang dari prinsip keadilan dan
masyarakat beradab, pandang-pandangan Abu Ubaid mengedepankan dominasi
intelektualitas islami yang berakal dari pendekatannya yang bersifat holistic
dan teologis terhadap kehidupan manusia didunia dan akhirat, baik yang bersifat
individual dan sosial.
Kitâb al-Amwâl dari Abû ‘Ubaid
merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam. Buku
ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua
Hijrah. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic)
dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’în tentang masalah
ekonomi[3].
Dalam bukunya tersebut Abû ‘Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain
tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri.
C. Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid
Beberapa
pemikiran ekonomi Abu Ubaid secara garis besar sebagai berikut;
1.
Sumber Penerimaan Keuangan
Publik
Kitab
al-Amwal secara khusus memusatkan perhatian
sekitar keuangan publik (public finance), analisis yang ia titik beratkan
adalah pada praktek yang dilakukan Rasulullah dan Khalifaurasyidin, terutama
Umar Ibn Khattab sebagai contoh ideal
dalam pengelolaan keuangan publik. Institusi yang mengelola disebut Baitul Mal.
Baitul Mal setelah perang badar menurut pendapat yang diunggulkan (Qaul Rajih), karena pada
waktu itu kaum muslimin mendapatkan harta rampasan perang (ghanimah)
yang banyak dan pada waktu itu tempat penyimpanan kekayaan negara seperti ghanimah,
shadaqah dan fa’i adalah masjid.
Setelah
melalui perkembangan beberapa saat kemudian sumber penerimaan keuangan publik
pun bertambah, seperti kharaj, ‘ursy dan khumus.
Mengenai hal ini akan dibahas secara mendalam, namun yang perlu diketahui bahwa
dalam Kitab al-Amwal banyak
harta yang diserahkan kepada Rasulullah yang berasal dari kaum musyrikin.
Pertama adalah fa’i, yaitu berupa harta benda dan tanah yang
mereka serahkan tanpa melalui peperangan. Yang menjadi landasan adalah firman
Allah dalam surah al-Hasyr:6, yang artinya:
“Dan apa saja harta
rampasan perang (fa’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda)
mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan
(tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada
Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya”.
Kedua adalah
harta shafi yang Rasulullah saw pilih dari ghanimah yang
diberikan kaum muslimin sebelum harta itu dibagikan. Sebagaimana riwayat Ibnu
Abbas dari Rasulullah saw,“Berikanlah dari harta ghanimah bagian Rasulullah
dan shafi”. Ketiga, adalah harta 1/5 darighanimah yang telah
dibagi. Menurut hadits yang diriwayatkan dari Abi ‘Aliyah, ia berkata:
“Rasulullah saw
mengumpulkan ghanimah dan beliau dibagi, ketika ada sesuatu yang jatuh Nabi
menempatkannya bagian untuk Ka’bah, bagian untuk Baitullah, kemudian membagi
sisa 1/5, untuk Nabi satu bagian, ahli kerabat satu bagian, anak yatim satu bagian,
orang miskin satu bagian dan ibnu sabil satu bagian. Abi ‘Aliyah berkata yang
Nabi jadikan satu bagian untuk Ka’bah adalah bagian Allah.”[4]
Namun yang perlu diketahui bahwa sebagaimana
menurut takwil Umar Ibn -Khattab, ada tiga harta yang masuk dalam keuangan
publik, yaitu: shadaqoh, fa’i dan khumus.
a. Shadaqoh/Zakat
Dalam hal ini, shadaqoh
wajib yang disebut zakat harta seperti zakat emas, perniagaan, unta, sapi, kamIbn
g, biji-bijian dan buah-buahan. Di mana dari zakat harta ini dialokasikan untuk
delapan golongan yang Allah sebutkan dalam Al-quran, tidak seorang pun berhak
atas zakat tersebut kecuali mereka dan merupakan kewajiban pada setiap harta
apabila telah mencapai nisab dan haul[5][22] untuk dikeluarkan
zakatnya.
Mengenai shadaqoh wajib
ini, mulai disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah, ayat-ayat Al-quran yang
berhubungan dengan hal ini seperti:
“…… dan dirikanlah shalat serta tunaikan zakat ……” [Q.S.
Al-Baqarah : 43]
“…… dan tunaikanlah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka ……” [Q.S. At-Taubah :
103]
“…… dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya
(hendak dikeluarkan zakatnya) …… [Q.S. Al- An’am : 141]
Abu Ubaid dalam
mendeskripsikan permasalahan sekitar sumber keuangan publik memang begitu luas
dan mendalam. Namun, penulis dalam hal ini hanya mengutip sebagaian kecil saja
dari pemikiran beliau pada permasalahn sekitar penerimaan keuangan Negara.
Namun yang perlu
diketahui, Abu Ubaid mengungkapkan ketentuan yang disepakati (tidak ada ikhtilaf),
yaitu apabila seseorang memiliki harta yang wajib dizakati diantaranya 200
dirham, 20 dinar, 5 ekor unta, 30 ekor sapi, atau 40 ekor kamIbn g. Konsekuensinya,
bila seseorang memiliki salah satu di atas dari awal haul sampai akhir, maka ia
wajib mengeluarkan zakatnya yang dinamakan nishab oleh Imam Malik dan penduduk
Madinah sedangkan penduduk Iraq menyebutnya asal harta.[6]
b. Fa’i
Fa’i menurut bahasa
adalah ar-Rujuu’ berarti kembali, sedang menurut istilah fiqh
adalah sesuatu yang diambil dari harta ahli kitab dengan cara damai tanpa
peperangan atau setelah peperangan itu berakhir, disebut fa’i karena
Allah mengembalikan harta tersebut kepada kaum muslimin. Sedang menurut
versi Abu Ubaid adalah sesuatu yang diambil dari hartadzimmah perdamaian
atas jizyah dari mereka, yang sebab itu jiwa mereka dilindungi
dan dihormati. Harta fa’i digunakan untuk kepentingan
pemerintahan dan kesejahteraan umat.[7] Bagian-bagian fa’i adalah:
Kharaj
Kharaj menurut
bahasa al-ghullah yaitu penghasilan atau tanah taklukan kaum
muslimin dengan jalan damai yang pemilknya menawarkan untuk mengolah tanah itu
sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian dari hasil
produksinya. Jumlah kharajnya setengah dari hasil produksi.
Jizyah
Jizyah adalah pajak
tahunan yang wajib dibayarkan oleh seorang non-muslim khusunya ahli kitab,
untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah dan harta merdeka atau budak
yang tinggal di wilayah pemerintahan Islam. Pada masa Rasullah, ketika
memerintahkan kepada Muadz ibn Jabal atas ahli kitab di Yaman besarnya jizyah bagi
masing-masing kepala adalah:
1 dinar atau
30 ekor sapi – jizyahnya 1 ekor tabi’ [sapi
umur 1 tahun]
40 ekor sapi – jizyahnya 1 ekor musinah
Penghasilan dari tanah 1/10 bila diairi
dengan hujan dan 1/5 bila menggunakan biaya[8].
Diantara ahli kitab yang membayar jizyah yaitu
penduduk Najran yang beragama Kristen. Kewajiban membayar jizyah akan hilang
setelah masuk Islam. Persamaan antara kharaj dan jizyah merupakan kewajiban
atas ahli dzimmah dan dibelanjakan berdasarkan penggunaan harta fa’i,
perbedaannya jizyah itu atas kepala dan kharaj atas tanah, jizyah gugur saat
masuk Islam, dan kharaj tidak.
Khumus
Khumus menurut Abu Ubaid
adalah 1/5 ghanimah dari ahli harbi, rikaz dan luqathah.
Dalam pembahasan khumus Abu Ubaid menyebutkan bahwa harta yang
terkena khumus, pertama, beliau menafsirkan itu ghanimah,
sesuai dengan firman Allah surat Al-Anfal ayat 41. Kedua, khumus dari
harta yang diperoleh melalui penambangan dan harta yang terpendam(rikaz).
Ketiga, khumus pada harta yang dipendam hal, sebagaimana
terjadi ketika mujahid dari as’sya’abi dimana seorang laki-laki menemukan 1000
dinar yang dipendam di luar kota, kemudian datang kepadanya Umar, dan Umar
mengambil 1/5 dari harta itu sebesar 200 dinar dan sisanya diberikan pada orang
yang menemukan. Kemudian 200 dinar itu dibagikan kepada kaum muslimin. Namun
yang perlu diketahui bahwa Abu Ubaid menyatakan bahwa ada tiga hukum yang
dilakukan Umar kepada harta benda yang dipendam. Pertama, bahwa harta itu
diambil khumusnya dan sisanya diberikan kepada yang menemukannya. Kedua, yang
menemukan tidak diberikan harta itu, namun diserahkan seluruhnya kepada Baitul
Mal. Ketiga, harta itu seluruhnya diberikan kepada yang menemukan dan tidak
diserahkan ke Baitul Mal.[9]
‘usyr
Al-‘usyr merupakan jama’
dari kata ‘usyrun yaitu satu bagian dari sepuluh. Sedangkan
menurut fuqoha terdapat dua pengertian, pertama ‘usyr zakat yaitu
sesuatu yang diambil pada zakat tanaman dan buah-buahan (Q.S.
Al-An’am : 141).[10] Kedua,
‘usyr adalah sesuatu yang diambil dari harta kafir dzimmi yang
melintas untuk perniagaan.[11][28]
2. Filosofi keadilan hukum dalam ekonomi.
Jika al-Amwal dilihat dari sisi filosofi
hukum, akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama.
Bagi Abu Ubaid, pengimplementasian dari prinsip-prinsip ini
akan membawa kepada Kesejahteraan
ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendekatan
yang berimbang terhadap hak-hak individu, publik dan Negara. Jika kepentingan
individu berbenturan dengan kepentingan publik, Abu Ubaid akan berpihak pada
kepentingan publik[12].
Tulisan-tulisan Abu Ubaid yang lahir pada masa
keemasan Dinasti Abbasiyah menitikberatkan pada berbagai persoalan yang
berkaitan dengan hak khalifah dalam mengambil suatu kebijakan atau wewenangnya
dalam memutuskan suatu perkara selama tidak bertentangan dengan ajaran islam
dan kepentingan kaum muslim. Berdasarkan hal ini, Abu Ubaid menyatakan bahwa
zakat tabungan dapat diberikan kepada pemerintah dan jika tidak, maka kewajiban
agama diasumsikan tidak ditunaikan. Di samping itu, Abu Ubaid mengaku otoritas
penguasa dalam memutuskan, demi kepentingan publik, apakah akan membagikan
tanah taklukan kapada para penakluk atau membiarkan kepemilikannya tetap pada
penduduk setempat. Lebih jauh, setelah mengungkap alokasi khums, Abu Ubaid menyatakan bahwa seorang penguasa yang adil dapat
memperluas berbagai batasan yang telah ditentukan apabila kepentingan publik
sangat mendesak.
Di sisi lain, Abu Ubaid juga menekankan bahwa
perbendaharaan Negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh
penguasa untuk kepentingan pribadinya. Dengan kata lain, perbendaharaan Negara
harus digunakan untuk kepentingan publik. Ketika membahas tentang tarif atau
persentase untuk kharaj dan jizyah, ia menyinggung tentang pentingnya
keseimbangan antara kekuatan financial penduduk non-muslim yang dalam
termonologi financial modern disebut sebagai capacity to pay dengan kepentingan dari golongan muslim yang berhak
menerimanya. kaum muslim dilarang menarik pajak terhadap tanah
perjanjian perdamaian.
Abu Ubaid juga menyatakan bahwa tarif pajak
kontraktual tidak dapat dinaikkan, bahkan dapat diturunkan apabila terjadi
ketidakmampuan membayar. Lebih jauh, Abu Ubaid menyatakan bahwa jika seorang
penduduk non-muslim mengajukan permohon bebas utang dan dibenarkan oleh saksi
muslim, barang perdagangan penduduk non-muslim tersebut yang setara dengan
jumlah utangnya akan dibebaskan dari bea cukai (duty-free). Di samping itu, Abu Ubaid menekankan, di satu sisi,
petugas pengumpulan kharaj, jizyah, ushur, atau zakat untuk tidak menyiksa
masyarakatnya dan di lain sisi, masyarakat agar memenuhi kewajiban finansialnya
secara teratur dan sepantasnya. Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan
terjadinya diskriminasi, penindasi dalam perpajakan serta upaya penghindaran
pajak (tax evasion). Pandangan Abu
Ubaid yang tidak merujuk pada tingkat kharaj yang diterapkan oleh
khalifah Umar ataupun pengamatannya terhadap permasalahan yang timbul dari
kebijakan peningkatan dan penurunan tingkatan kharaj berdasarkan situasi dan
kondisi, menunjukkan bahwa Abu Ubaid megadopsi kaidah fiqih “la yunkaru
taghayyiru al-fatwa bi taghayyuril azminati” (keberagaman aturan atau hukum
karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun demikian,
baginya, keberagaman tersebut hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut
diputuskan melalui suatu ijtihad.[13]
3. Dikotomi
Badui-Urban
Pembahasan mengenai dikotomi badui-urban dilakukan Abu
Ubaid ketika menyoroti alokasi pendapatan fai.
Abu Ubaid menegaskan bahwa, kaum urban (perkotaan) memiliki karakteristik
sebagai berikut;
Ikut serta dalam keberlangsungan Negara dengan
berbagai kewajiban administrative dari semua kaum Muslimin
Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui
mobilisasi jiwa dan harta mereka
Menggalangkan pendidikan melalui proses
belajar-mengajar al-Qur’an
dan Sunnah serta penyebaran keunggulan
Memberikan kontribusi terhadap keselarasan sosial
melalui pembelajaran dan penerapan hudud
Memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah
Singkatnya, di samping keadilan, Abu Ubaid membangun
suatu Negara Islam berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum, dan
kasih sayang. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah Swt kepada kaum
urban (perkotaan). Kaum Badui yang tidak memberikan kontribusi sebesar yang
telah dilakukan kaum urban, tidak biasa memperoleh manfaat pendapatan fai
sebanyak kaum urban. Dalam hal ini, kaum Badui tidak berhak menerima tunjangan
dan provisi dari Negara. Mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan
fai hanya pada saat terjadi tiga kondisi kritis, yakni ketika terjadi invasi
musuh, kemarau panjang (ja’ihah) dan kerusuhan
sipil (fatq). Abu Ubaid memperluas cakupan kaum badui dengan memasukkan
golongan masyarakat pegunungan dan pedesaan.
Di sisi lain, ia memberikan kepada anak-anak perkotaan
hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan, walaupun kecil, yang
berasal dari pendapatan fai. Pemberian hak ini dilakukan mengingat anak-anak
tersebut merupakan penyumbang potensial terhadap kewajiban publik terkait.
Lebih lanjut, Abu Ubaid adanya hak dari para budak perkotaan terhadap arzaq
(jatah), yang bukan untuk tunjangan. Dari semua ini, terlihat bahwa Abu Ubaid
membedakan antara gaya hidup kaum badui dengan kultur menetap kaum urban, dan
membangun fondasi masyarakat Muslim berdasarkan martabat kaum urban,
solidaritas serta kerja sama merasakan komitmen dan kohesi sosial berorientasi
urban, vertical dan horizontal, sebagai unsur esensial dari stabilitas
sosio-politik dan makroekonomi. Mekanisme yang disebut di atas, meminjam banyak
dari universalisme Islam, membuat kultur
perkotaan lebih unggul dan dominan dibanding kehidupan nomaden. Namun demikian,
cukup mengejutkan bahwa Abu Ubaid tidak atau tidak dapat mengambil langka
selanjutnya serta berspekulasi pada isu-isu pembagian kerja (devision of labor), surplus produksi,
pertukaran, dan lainnya yang berkaitan dengan organisasi perkotaan untuk kerja
sama. Sebenarnya, dalam hal ini analisis Abu Ubaid lebih kepada sosio-politis
dibanding ekonomi. Dari uraian dia atas, tampak bahwa Abu Ubaid selalu
memlihara dan menjaga keseimbangan antara hak dengan kewajiban masyarakat.
3. Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan Perbaikan
Pertanian
Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan
kepemilikan publik. Dalam hal kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid yang khas adalah
megenai hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian.
Secara implicit Abu Ubaid mengemukakan bahwa kebijakan pemerintah, seperti
iqta’ (enfeoffment) tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan
individual atas tanah tandus yang disuburkan, sebagai insentif untuk
meningkatkan produksi pertanian. Oleh karen itu, tanah yang diberikan dengan
persyaratan untuk diolah dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika
dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut, akan didenda dan
kemudian dialihkan kepemilikannya oleh penguasa.
Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima’ pribadi
dengan maksud untuk direklamasi, jika tidak ditanami dalam priode yang sama,
dapat ditempati oleh orang lain melalui proses yang sama. Pemulihan yang
sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diberi pengairan,
jika tandus, atau menjadi kering, atau rawa-rawa.
Dalam pandangan Abu Ubaid, sumber daya publik, seperti
air, padang rumput, dan api tidak boleh dimonopoli seperti hima’ (taman
pribadi). Seluruh sumber daya ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan
Negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
4. Pertimbangan Kebutuhan
Abu Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan
bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara merata di antara delapan
kelompok penerima zakat dan cenderung menentukan suatu batas tertinggih
terhadap bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid, yang paling penting adalah
memenuhi-memenuhi kebutuhan dasar, seberapapun besarnya, serta bagaimanapun
menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan. Namun, pada saat yang
bersamaan Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan zakat kepada orang-orang
yang memiliki 40 dirham atau harta lainnya yang setara, di samping baju,
pakaian, rumah, dan pelayan yang dianggapnya sebagai suatu kebutuhan standar
hidup minimum. Di sisi lain, biasanya Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang
memiliki 200 dirham, yakni jumlah minimum yang terkena wajib zakat, sebagai
“orang kaya” sehingga mengenakan kewajiban zakat terhadap orang tersebut. Oleh
karena itu, pendekatan yang dilakukan Abu Ubaid ini mengindikasikan adanya tiga
kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat, yaitu :
Kalangan kaya yang terkena wajib zakat
Kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat,
tetapi juga tidak berhak menerima zakat
Kalangan pemerima zakat
Berkaitan dengan distribusi kekayaan melalui zakat,
secara umum, Abu Ubaid mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut
kebutuhannya masing-masing” (li kulli wahidin hasba hajatihi). Lebih
jauh, ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat (pajak) yang diberikan pada para pengumpulnya (amil), pada prinsipnya, Abu
Ubaid lebih cenderung pada prinsip “bagi setiap orang adalah sesuai dengan
haknya”.
5. Fungsi Uang
Pada prinsipnya, Abu Ubaid mengakui adanya dua fuungsi
uang, yakni sebagai standar nilai pertukaran (standard of exchange value)
dan media pertukaran (medium of exchange). Dalam hal ini, ia menyatakan
:
“Adalah hal
yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apa pun
kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling
tinggih yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaannya untuk
membeli sesuatu (infaq)”
.
Pernyataan Abu Ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia
mendukung teori konvensional mengenai uang logam, walaupun sama sekali tidak
menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apapun kecuali keduanya
menjadi harga dari barang dan jasa. Tampaknya, Abu Ubaid merujuk pada kegunaan
umum dan relative konstannya nilai dari kedua benda tersebut dibandingkan
dengan komoditas yang lainnya. Jika kedua benda tersebut juga digunakan sebagai
komoditas , nilai dari keduanya akan dapat berubah-ubah pula: karenadalam hal
tersebut keduanya akan memainkan dua peran yang berbeda, yakni sebagain barang
yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang-barang lainnya.
Disamping itu, sekalipun tidak menyebutkanya secara jelas, Abu Ubaid secara
implisit mengakui tentang adanya fungsi uang sebagai penyimpan nilai ketika
membahas jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat.
Salah satu ciri khas kitab al-Amwal diantara kitab-kitab lain
yang membahas tentang keuangan publik adalah membahas tentang timbangan dan
aturan, yang biasa digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang
berakaitan dengan harta atau denda, dalam satu bab khusus. Di dalam bab ini,
Abu Ubaid juga menceritakan tentang usaha kholifah Abdul Al-Malik Ibnu Marwan
dalam melakukan standarisasi dari berbagai jenis mata uang yang ada dalam
sirkulasi.[14]
1. Peran dan Fungsi Pemerintah terhadap Zakat
Zakat sebagai institusi keuangan publik, di mana
pemerintah bertanggungjawab atasnya telah mengalami degradasi. Karakter politik
zakat yang pernah dipertahankan oleh Abu Bakar, telah mulai menghilang secara
perlahan namun pasti. Pada saat ini, banyak umat muslim yang tidak membayarkan
zakatnya kepada pemerintah atau pemegang otoritas kekuasaan di wilayahnya. Hal
tersebut telah terjadi pada saat peralihan kepemimpinan dari Ustman Ibn Affan kepada Ali Ibn Abi Thalib sebagai Khalifah keempat. Pada saat
itu, umat muslim mulai berselisih pendapat perihal pembayaran zakat kepada
pemerintah. Sebagian ada yang tetap membayarkannya kepada pemerintah dan
sebagian lainnya membagikannya sendiri kepada para mustahiq.
Dalam bukunya Kitab Al-Amwal
عن إسماعيل بن إبراهيم عن أيوب عن
ابن يسرين قال : كانت الصدقة ترفع أو تدفع إلى النبي صلى الله عليه وسلم، أو من
أمر به، وإلى أبي بكر أو من أمر به، أو إلى عمر، أو من أمر به، وإلى عثمان أو من
أمر به، فلما قتل عثمان اختلفوا، فكان منهم من يدفها إليهم، ومنهم من يقسمها وكان
ممن يدفعها اليهم ابن عمر.
Abu Ubaid menjelaskan
bahwa pada zaman Nabi, sedekah (zakat) dibayarkan kepada Nabi Muhammad SAW atau
kepada orang yang beliau utus. Setelah beliau wafat, zakat dibayarkan kepada
Abu Bakar atau kepada orang yang diutusnya. Kemudian, kepada Umar Ibn Khattab atau kepada orang yang diutusnya.
Lalu, pembayaran zakat setelah wafatnya Umar Ibn Khattab dibayarkan kepada khalifat
penggantinya Ustman Ibn Affan atau
kepada orang yang diutusnya. Namun, setelah wafatnya Utsman dengan dibunuh oleh
para pemberontak, terjadi perselisihan diantara umat Islam antara tetap
membayarkannya kepada pemerintah atau tidak menyalurkannya sendiri. Diantara
mereka yang tetap membayarkan
zakatnya kepada pemerintah adalah Ibn Umar.[15]
Dalam hal ini Ibn Umar
dipandang sebagai rujukan untuk memberikan keputusan pada saat perubahan
situasi kepemimpinan pada saat itu. Perpecahan umat Islam dalam
memperebutkan kepemimpinan antara Ali Ibn Abi Thalib sebagai khalifah terpilih dan
Mu’awiyah sebagai pihak yang tidak puas atas kepemimpinan Ali Ibn Abi
Thalib telah mejadikan sebagian umat Muslim dalam keIbn gungan dalam menentukan
kepada siapa mereka membayarkan zakatnya.
Pada awalnya Ibn Umar
secara tegas menetapkan bahwa zakat harus dibayarkan kepada pemerintah
(penguasa), di samping hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya. Pemerintah memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk menarik zakat dari
para golongan yang mampu. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari karakter
zakat itu sendiri sebagai institusi keuangan publik sejak zaman Rasulullah.
Namun, dengan situasi politik yang tidak menentu dan keputusan pemerintah pada masa kepemimpinan Ziyad dari Bani
Umayyah, pemerintah pada waktu itu menetapkan petugas zakat dari non-muslim.
Keputusan politis pada waktu itu mendorong Ibn Umar untuk mengungkapkan
pendapatnya dengan melarang membayarkan zakat kepada para petugas non-muslim.
Keputusan Ibn Umar tersebut didasari oleh keadaan politik pada saat
itu, akan tetapi pada dasarnya zakat tetaplah sebagai institusi keuangan
publik. Meskipun pemerintah yang berkuasa menetapkan petugas yang non-muslim,
ataupun umat muslim tinggal di tempat yang dipimpin bukan oleh pemerintahan
Islam, karakter zakat sebagai institusi keuangan publik tidak dapat hilang
begitu saja. Hal ini karena zakat berasal dari masyarakat (publik) dan
didistribusikan kepada masyarakat (publik) pula. Umat Islam yang tinggal di
pemerintahan non-muslim, dapat membentuk lembaga zakat yang bertugas sebagai
pemegang otoritas untuk menarik zakat dan menyalurkannya kepada pihak yang
membutuhkannya.
Tujuan akhir dari zakat
adalah penyalurannya (distribusi) kepada sebagian masyarakat yang
membutuhkannya (mustahiq) sehingga dapat memberikan distribusi pendapatan yang
adil yang mana akan memberikan pengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan tujuan tersebut, pengelolaan zakat, dari penarikan hingga penyalurannya harus dilakukan oleh sebuah institusi khusus,
sehingga zakat dapat dikelola dengan baik. Pembayaran zakat secara individual
tentunya akan menjadikan pola distribusi zakat tidak terkontrol dan tidak
merata, serta tujuan akhir dari zakat itu akan sulit untuk dicapai.
a. Pola dan Sistem Pengelolaan Zakat
Pada masa kepemimpinan
Rasulullah saw, pengelolaan zakat dilakukan dengan menunjuk seorang utusan yang
dipercaya oleh beliau untuk mengambil zakat pada suatu suku atau daerah
tertentu. Rasulullah SAW pernah mengutus Mu’az Ibn Ibn Jabal untuk berdakwah ke Yaman, dakwahnya
yaitu dengan mengajak mereka untuk bersaksi (syahadat), menegakkan shalat dan
membayar zakat. Posisi Mu’az disamping sebagai seorang da’i, dia juga bertugas
sebagai seorang petugas, yang menarik dan menyalurkan zakat di Yaman.
Abu Ubaid menyebutkan:
حدثنا أبو الأسود عن
ابن لهيعة عن خَالد بن يزيد عن يحيى بن عبد الله بن صيفي عن أبي معبد عن ابن عباس
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لمعاذ، حين بعثه إلى اليمن قال إنيى أبعثك إلى
أهل كتاب فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله. فإن أجابوك إلى ذلك فأعلمهم أن
عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة، فإن أجابوك إلى ذلك فأعلمهم أن عليهم صدقة
أموالهم . فإن أقرّوا بذلك فخذ مهم واتق كرائم أموالهم، وإياك ودعوة المظلوم، فإنه
ليس لها دون الله حجاب.[16]
Sedangkan dalam riwayat lain, Abu
Ubaid mengutip
فأعلم أن الله قد افترض عليهم صدقة
تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم.[17]
Dalam hadits yang
dikutip oleh Abu Ubaid di atas, Rasulullah saw mengutus Mu’az Ibn Jabal ke Yaman tidak hanya untuk berdakwah,
akan tetapi ia (Mu’az) juga bertugas untuk mengambil zakat dari para penduduk
Yaman yang telah memeluk agama Islam. Kemudian menyalurkannya kembali kepada
penduduk Yaman yang berhak (mustahiq).
Kata “تؤخذ ” (tu`khadzu)
pada hadits di atas berarti “diambil”, hal ini menegaskan kembali bahwasanya
zakat itu tidak dibayarkan akan tetapi diambil dari para muslim yang tergolong
wajib zakat (kaya) di antara mereka (pendukuk Yaman). Sedangkan pada kata “فترد” (fa
turaddu) yang berarti “lalu dikembalikan”, hal tersebut menerangkan bahwa
zakat yang diambil dari golongan yang mampu (kaya) di antara mereka (penduduk
Yaman) disalurkan atau didistribusikan kembali kepada golongan fakir-miskin di
antara mereka (penduduk Yaman) pula.
Dari pembahasan di
atas, dapat disimpulkan bahwa penarikan dan penyaluran zakat didasari oleh
wilayah di mana masyarakat berada. Penarikan zakat yang dilakukan pada suatu
komunitas masyarakat tertentu, berarti penyalurannya dilakukan juga pada
komunitas masyarakat di mana zakat tersebut diambil. Seperti halnya Mu’az yang
mengambil zakat dari penduduk Yaman (yang mampu), kemudian menyalurkannya
kembali kepada penduduk Yaman (yang berhak). Dengan pola distribusi yang
menjadikan daerah penarikan sekaligus sebagai daerah penyaluran dapat
memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menjaga dan menumbuhkan ukhuwah dan
solidaritas sosial dalam sebuah komunitis masyarakat. Pola ini juga dapat
mengurangi beberapa penyakit hati yang berupa iri, dengki dan hasud dalam
kehidupan bermasyarakat. Mengenai hal ini menuturkan dengan kisah yang dialami
imam terdahulu, yaitu:
Pada masa Khalifah Abu
Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana. Abu Ubaid menuturkan dalam
kitabnya, bahwa Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang
dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang
yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar mengembalikannya. Ketika kemudian
Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar kembali menolaknya dan
berkata, Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi
saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan
mereka juga. Muadz menjawab, “Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu
saya tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu. Pada tahun kedua, Muadz
mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada Umar, tetapi Umar
mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang
dipungutnya, yang juga dikembalikan Umar. Muadz berkata, Saya tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima
bagian zakat yang saya pungut[18].
Prioritas penyaluran
zakat diprioritaskan pada daerah di mana zakat tersebut diambil. Sedangkan
penyaluran zakat ke daerah lain dapat dilakukan apabila suatu daerah mengalami
kelebihan (surplus) zakat. Dalam hal ini diperlukan perhatian serius pemerintah
dalam mengawasi daerah yang mengalami kelebihan (surplus) dan daerah yang
mengalami kekurangan zakat.
Berdasarkan pembahasan
di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem dan pengelolaan zakat pada masa
Rasulullah saw yang dipaparkan oleh Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal
mencakup 3 (tiga) hal, yaitu penarikan zakat dilakukan oleh pemerintah atau
pihak yang mewakilinya dan pembagian wilayah dalam penarikan zakat dan
penyalurannya, serta penyaluran silang (cross distribution) antara
daerah yang kelebihan zakat dan daerah kekurangan zakat.