rohmans

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABU UBAID

A.      Biografi Singkat Abu Ubaid Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim Ibn Sallam Ibn Miskin Ibn  Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdad...


A.     Biografi Singkat Abu Ubaid

Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim Ibn Sallam Ibn Miskin Ibn  Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Ia lahir pada tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Al-ghanistan. Ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azad.[1] Setelah memperoleh ilmu di kota kelahirannya, pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah dan Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajari antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira’at, tafsir, hadis, dan fiqih. Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik, Gubernur Thugur di masa pemerintahan khalifah Harun Al-Rashid, megangkat Abu Ubaid sebagai qadi (hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H. Setelah itu, penulis kitab al-Amwal ini tinggal di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H setelah berhaji, beliau menetap di Makkah sampai wafatnya. Abu Ubaid meninggal pada tahun 224 H.
Dari beberapa literatur yang ada mengatakan bahwa Abu Ubaid hidup semasa Daulah Abbasiyah mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M). Dalam penelitian Nejatullah Siddiqi, masa al Mahdi ini ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan karyanya di bidang ekonomi adalah, Abu Ubaid (w.224/834 H), Imam Ahmad Ibn  Hambal (164-241 M/780-855 M) serta Harist bi Asad al Muhasibi (165-243 11/781-857 M)[2].

B.     Latar Belakang Kehidupan dan Karya Abu Ubaid


Abu Ubaid merupakan seorang ahli hadis (muhaddits) dan ahli fiqih (fuqaha) terkemuka di masa hidupnya. Selama menjabat qadi di Tarsus, Abu Ubaid sering menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikannya dengan baik.
Karena sering terjadi pengutipan kata-kata Amr dalam al-Amwal, tampaknya pemikiran-pemikiran Abu Ubaid dipengaruhi oleh Abu Amr Abdurrahman ibn Amr Al-Awza’I, serta ulam-ulama suriah lainnya semasa ia menjadi qadi di Tarsus. Kemungkinan ini, antara lain dapat ditelusuri dari pengamatan yang Abu Ubaid terhadap permasalahan militer, politik dan fiscal yang dihadapi pemerintah daerah Tarsus.

Dalam kitab al-Amwal, fokus perhatian Abu Ubaid tampaknya lebih tertuju pada permasalahan yang berkaiatan dengan standar etika politik suatu pemerintahan daripada teknik efisiensi pengelolaannya. Sebagai contoh Abu Ubaid lebih tertarik membahas masalah keadilan redistributif dari sisi “ apa” daripada “ bagaimana”.

Filosofi yang dikembangkana Abu Ubaid bukan merupakan jawaban terhadap berbagai masalah sosial, politik dan ekonomi yang di implementasikan melalui kebijakan-kebijakan praktis, tetapi hanya merupakan sebuah pendekatan yang bersifat professional dan teknokrat yang bersandar pada kemampuan teknis. Dengan demikian, tanpa menyimpang dari prinsip keadilan dan masyarakat beradab, pandang-pandangan Abu Ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas islami yang berakal dari pendekatannya yang bersifat holistic dan teologis terhadap kehidupan manusia didunia dan akhirat, baik yang bersifat individual dan sosial.
 Kitâb al-Amwâl dari Abû ‘Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam. Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’în tentang masalah ekonomi[3]. Dalam bukunya tersebut Abû ‘Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri.

C.     Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

Beberapa pemikiran ekonomi Abu Ubaid secara garis besar sebagai  berikut;

1.    Sumber Penerimaan Keuangan Publik

Kitab al-Amwal secara khusus memusatkan perhatian sekitar keuangan publik (public finance), analisis yang ia titik beratkan adalah pada praktek yang dilakukan Rasulullah dan Khalifaurasyidin, terutama Umar Ibn  Khattab sebagai contoh ideal dalam pengelolaan keuangan publik. Institusi yang mengelola disebut Baitul Mal. Baitul Mal setelah perang badar menurut pendapat yang diunggulkan (Qaul Rajih), karena pada waktu itu kaum muslimin mendapatkan harta rampasan perang (ghanimah) yang banyak dan pada waktu itu tempat penyimpanan kekayaan negara seperti ghanimah, shadaqah dan fa’i adalah masjid.
Setelah melalui perkembangan beberapa saat kemudian sumber penerimaan keuangan publik pun bertambah, seperti kharaj, ‘ursy dan khumus. Mengenai hal ini akan dibahas secara mendalam, namun yang perlu diketahui bahwa dalam Kitab al-Amwal banyak harta yang diserahkan kepada Rasulullah yang berasal dari kaum musyrikin. Pertama adalah fa’i, yaitu berupa harta benda dan tanah yang mereka serahkan tanpa melalui peperangan. Yang menjadi landasan adalah firman Allah dalam surah al-Hasyr:6, yang artinya:
“Dan apa saja harta rampasan perang (fa’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya”.

Kedua adalah harta shafi yang Rasulullah saw pilih dari ghanimah yang diberikan kaum muslimin sebelum harta itu dibagikan. Sebagaimana riwayat Ibnu Abbas dari Rasulullah saw,“Berikanlah dari harta ghanimah bagian Rasulullah dan shafi”. Ketiga, adalah harta 1/5 darighanimah yang telah dibagi. Menurut hadits yang diriwayatkan dari Abi ‘Aliyah, ia berkata:
“Rasulullah saw mengumpulkan ghanimah dan beliau dibagi, ketika ada sesuatu yang jatuh Nabi menempatkannya bagian untuk Ka’bah, bagian untuk Baitullah, kemudian membagi sisa 1/5, untuk Nabi satu bagian, ahli kerabat satu bagian, anak yatim satu bagian, orang miskin satu bagian dan ibnu sabil satu bagian. Abi ‘Aliyah berkata yang Nabi jadikan satu bagian untuk Ka’bah adalah bagian Allah.”[4]
 Namun yang perlu diketahui bahwa sebagaimana menurut takwil Umar Ibn -Khattab, ada tiga harta yang masuk dalam keuangan publik, yaitu: shadaqoh, fa’i dan khumus.
a.         Shadaqoh/Zakat
Dalam hal ini, shadaqoh wajib yang disebut zakat harta seperti zakat emas, perniagaan, unta, sapi, kamIbn g, biji-bijian dan buah-buahan. Di mana dari zakat harta ini dialokasikan untuk delapan golongan yang Allah sebutkan dalam Al-quran, tidak seorang pun berhak atas zakat tersebut kecuali mereka dan merupakan kewajiban pada setiap harta apabila telah mencapai nisab dan haul[5][22] untuk dikeluarkan zakatnya.
Mengenai shadaqoh wajib ini, mulai disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah, ayat-ayat Al-quran yang berhubungan dengan hal ini seperti:
“…… dan dirikanlah shalat serta tunaikan zakat ……” [Q.S. Al-Baqarah : 43]
“…… dan tunaikanlah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka ……” [Q.S. At-Taubah : 103]
“…… dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (hendak dikeluarkan zakatnya) …… [Q.S. Al- An’am : 141]
Abu Ubaid dalam mendeskripsikan permasalahan sekitar sumber keuangan publik memang begitu luas dan mendalam. Namun, penulis dalam hal ini hanya mengutip sebagaian kecil saja dari pemikiran beliau pada permasalahn sekitar penerimaan keuangan Negara.
Namun yang perlu diketahui, Abu Ubaid mengungkapkan ketentuan yang disepakati (tidak ada ikhtilaf), yaitu apabila seseorang memiliki harta yang wajib dizakati diantaranya 200 dirham, 20 dinar, 5 ekor unta, 30 ekor sapi, atau 40 ekor kamIbn g. Konsekuensinya, bila seseorang memiliki salah satu di atas dari awal haul sampai akhir, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya yang dinamakan nishab oleh Imam Malik dan penduduk Madinah sedangkan penduduk Iraq menyebutnya asal harta.[6]
b.        Fa’i
Fa’i menurut bahasa adalah ar-Rujuu’ berarti kembali, sedang menurut istilah fiqh adalah sesuatu yang diambil dari harta ahli kitab dengan cara damai tanpa peperangan atau setelah peperangan itu berakhir, disebut fa’i karena Allah mengembalikan harta tersebut kepada kaum muslimin. Sedang menurut versi Abu Ubaid adalah sesuatu yang diambil dari hartadzimmah perdamaian atas jizyah dari mereka, yang sebab itu jiwa mereka dilindungi dan dihormati. Harta fa’i digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan kesejahteraan umat.[7] Bagian-bagian fa’i adalah:
         Kharaj
Kharaj menurut bahasa al-ghullah yaitu penghasilan atau tanah taklukan kaum muslimin dengan jalan damai yang pemilknya menawarkan untuk mengolah tanah itu sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian dari hasil produksinya. Jumlah kharajnya setengah dari hasil produksi.
         Jizyah
Jizyah adalah pajak tahunan yang wajib dibayarkan oleh seorang non-muslim khusunya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah dan harta merdeka atau budak yang tinggal di wilayah pemerintahan Islam. Pada masa Rasullah, ketika memerintahkan kepada Muadz ibn Jabal atas ahli kitab di Yaman besarnya jizyah bagi masing-masing kepala adalah:
  1 dinar atau
  30 ekor sapi – jizyahnya 1 ekor tabi’ [sapi umur 1 tahun]
  40 ekor sapi – jizyahnya 1 ekor musinah
  Penghasilan dari tanah 1/10 bila diairi dengan hujan dan 1/5 bila menggunakan biaya[8].
Diantara ahli kitab yang membayar jizyah yaitu penduduk Najran yang beragama Kristen. Kewajiban membayar jizyah akan hilang setelah masuk Islam. Persamaan antara kharaj dan jizyah merupakan kewajiban atas ahli dzimmah dan dibelanjakan berdasarkan penggunaan harta fa’i, perbedaannya jizyah itu atas kepala dan kharaj atas tanah, jizyah gugur saat masuk Islam, dan kharaj tidak.
         Khumus
Khumus menurut Abu Ubaid adalah 1/5 ghanimah dari ahli harbirikaz dan luqathah. Dalam pembahasan khumus Abu Ubaid menyebutkan bahwa harta yang terkena khumus, pertama, beliau menafsirkan itu ghanimah, sesuai dengan firman Allah surat Al-Anfal ayat 41. Kedua, khumus dari harta yang diperoleh melalui penambangan dan harta yang terpendam(rikaz). Ketiga, khumus pada harta yang dipendam hal, sebagaimana terjadi ketika mujahid dari as’sya’abi dimana seorang laki-laki menemukan 1000 dinar yang dipendam di luar kota, kemudian datang kepadanya Umar, dan Umar mengambil 1/5 dari harta itu sebesar 200 dinar dan sisanya diberikan pada orang yang menemukan. Kemudian 200 dinar itu dibagikan kepada kaum muslimin. Namun yang perlu diketahui bahwa Abu Ubaid menyatakan bahwa ada tiga hukum yang dilakukan Umar kepada harta benda yang dipendam. Pertama, bahwa harta itu diambil khumusnya dan sisanya diberikan kepada yang menemukannya. Kedua, yang menemukan tidak diberikan harta itu, namun diserahkan seluruhnya kepada Baitul Mal. Ketiga, harta itu seluruhnya diberikan kepada yang menemukan dan tidak diserahkan ke Baitul Mal.[9]
         ‘usyr
Al-‘usyr merupakan jama’ dari kata ‘usyrun yaitu satu bagian dari sepuluh. Sedangkan menurut fuqoha terdapat dua pengertian, pertama ‘usyr zakat yaitu sesuatu yang diambil pada zakat tanaman  dan buah-buahan (Q.S. Al-An’am : 141).[10] Kedua, ‘usyr adalah sesuatu yang diambil dari harta kafir dzimmi yang melintas untuk perniagaan.[11][28]



2. Filosofi keadilan hukum dalam ekonomi.

Jika al-Amwal dilihat dari sisi filosofi hukum, akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid, pengimplementasian dari prinsip-prinsip ini akan membawa kepada  Kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendekatan yang berimbang terhadap hak-hak individu, publik dan Negara. Jika kepentingan individu berbenturan dengan kepentingan publik, Abu Ubaid akan berpihak pada kepentingan publik[12].

Tulisan-tulisan Abu Ubaid yang lahir pada masa keemasan Dinasti Abbasiyah menitikberatkan pada berbagai persoalan yang berkaitan dengan hak khalifah dalam mengambil suatu kebijakan atau wewenangnya dalam memutuskan suatu perkara selama tidak bertentangan dengan ajaran islam dan kepentingan kaum muslim. Berdasarkan hal ini, Abu Ubaid menyatakan bahwa zakat tabungan dapat diberikan kepada pemerintah dan jika tidak, maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan. Di samping itu, Abu Ubaid mengaku otoritas penguasa dalam memutuskan, demi kepentingan publik, apakah akan membagikan tanah taklukan kapada para penakluk atau membiarkan kepemilikannya tetap pada penduduk setempat. Lebih jauh, setelah mengungkap alokasi khums, Abu Ubaid menyatakan bahwa seorang penguasa yang adil dapat memperluas berbagai batasan yang telah ditentukan apabila kepentingan publik sangat mendesak.
Di sisi lain, Abu Ubaid juga menekankan bahwa perbendaharaan Negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Dengan kata lain, perbendaharaan Negara harus digunakan untuk kepentingan publik. Ketika membahas tentang tarif atau persentase untuk kharaj dan jizyah, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan financial penduduk non-muslim yang dalam termonologi financial modern disebut sebagai capacity to pay dengan kepentingan dari golongan muslim yang berhak menerimanya. kaum muslim dilarang menarik pajak terhadap tanah perjanjian perdamaian.

Abu Ubaid juga menyatakan bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan, bahkan dapat diturunkan apabila terjadi ketidakmampuan membayar. Lebih jauh, Abu Ubaid menyatakan bahwa jika seorang penduduk non-muslim mengajukan permohon bebas utang dan dibenarkan oleh saksi muslim, barang perdagangan penduduk non-muslim tersebut yang setara dengan jumlah utangnya akan dibebaskan dari bea cukai (duty-free). Di samping itu, Abu Ubaid menekankan, di satu sisi, petugas pengumpulan kharaj, jizyah, ushur, atau zakat untuk tidak menyiksa masyarakatnya dan di lain sisi, masyarakat agar memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan sepantasnya. Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi, penindasi dalam perpajakan serta upaya penghindaran pajak (tax evasion). Pandangan Abu Ubaid yang tidak merujuk pada tingkat kharaj yang diterapkan oleh khalifah Umar ataupun pengamatannya terhadap permasalahan yang timbul dari kebijakan peningkatan dan penurunan tingkatan kharaj berdasarkan situasi dan kondisi, menunjukkan bahwa Abu Ubaid megadopsi kaidah fiqih “la yunkaru taghayyiru al-fatwa bi taghayyuril azminati” (keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun demikian, baginya, keberagaman tersebut hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad.[13]


3. Dikotomi Badui-Urban

Pembahasan mengenai dikotomi badui-urban dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi pendapatan fai. Abu Ubaid menegaskan bahwa, kaum urban (perkotaan) memiliki karakteristik sebagai berikut;
  Ikut serta dalam keberlangsungan Negara dengan berbagai kewajiban administrative dari semua kaum Muslimin
  Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka
  Menggalangkan pendidikan melalui proses belajar-mengajar al-Qur’an dan Sunnah serta penyebaran keunggulan
  Memberikan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerapan hudud
  Memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah

Singkatnya, di samping keadilan, Abu Ubaid membangun suatu Negara Islam berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum, dan kasih sayang. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah Swt kepada kaum urban (perkotaan). Kaum Badui yang tidak memberikan kontribusi sebesar yang telah dilakukan kaum urban, tidak biasa memperoleh manfaat pendapatan fai sebanyak kaum urban. Dalam hal ini, kaum Badui tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari Negara. Mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan fai hanya pada saat terjadi tiga kondisi kritis, yakni ketika terjadi invasi musuh, kemarau panjang (ja’ihah) dan kerusuhan sipil (fatq). Abu Ubaid memperluas cakupan kaum badui dengan memasukkan golongan masyarakat pegunungan dan pedesaan.
Di sisi lain, ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan, walaupun kecil, yang berasal dari pendapatan fai. Pemberian hak ini dilakukan mengingat anak-anak tersebut merupakan penyumbang potensial terhadap kewajiban publik terkait. Lebih lanjut, Abu Ubaid adanya hak dari para budak perkotaan terhadap arzaq (jatah), yang bukan untuk tunjangan. Dari semua ini, terlihat bahwa Abu Ubaid membedakan antara gaya hidup kaum badui dengan kultur menetap kaum urban, dan membangun fondasi masyarakat Muslim berdasarkan martabat kaum urban, solidaritas serta kerja sama merasakan komitmen dan kohesi sosial berorientasi urban, vertical dan horizontal, sebagai unsur esensial dari stabilitas sosio-politik dan makroekonomi. Mekanisme yang disebut di atas, meminjam banyak dari universalisme Islam,  membuat kultur perkotaan lebih unggul dan dominan dibanding kehidupan nomaden. Namun demikian, cukup mengejutkan bahwa Abu Ubaid tidak atau tidak dapat mengambil langka selanjutnya serta berspekulasi pada isu-isu pembagian kerja (devision of labor), surplus produksi, pertukaran, dan lainnya yang berkaitan dengan organisasi perkotaan untuk kerja sama. Sebenarnya, dalam hal ini analisis Abu Ubaid lebih kepada sosio-politis dibanding ekonomi. Dari uraian dia atas, tampak bahwa Abu Ubaid selalu memlihara dan menjaga keseimbangan antara hak dengan kewajiban masyarakat.

3. Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian

Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Dalam hal kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid yang khas adalah megenai hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian. Secara implicit Abu Ubaid mengemukakan bahwa kebijakan pemerintah, seperti iqta’ (enfeoffment) tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan, sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. Oleh karen itu, tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk diolah dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut, akan didenda dan kemudian dialihkan kepemilikannya oleh penguasa.

Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima’ pribadi dengan maksud untuk direklamasi, jika tidak ditanami dalam priode yang sama, dapat ditempati oleh orang lain melalui proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diberi pengairan, jika tandus, atau menjadi kering, atau rawa-rawa.

Dalam pandangan Abu Ubaid, sumber daya publik, seperti air, padang rumput, dan api tidak boleh dimonopoli seperti hima’ (taman pribadi). Seluruh sumber daya ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan Negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

4. Pertimbangan Kebutuhan

Abu Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara merata di antara delapan kelompok penerima zakat dan cenderung menentukan suatu batas tertinggih terhadap bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid, yang paling penting adalah memenuhi-memenuhi kebutuhan dasar, seberapapun besarnya, serta bagaimanapun menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan. Namun, pada saat yang bersamaan Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan zakat kepada orang-orang yang memiliki 40 dirham atau harta lainnya yang setara, di samping baju, pakaian, rumah, dan pelayan yang dianggapnya sebagai suatu kebutuhan standar hidup minimum. Di sisi lain, biasanya Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham, yakni jumlah minimum yang terkena wajib zakat, sebagai “orang kaya” sehingga mengenakan kewajiban zakat terhadap orang tersebut. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan Abu Ubaid ini mengindikasikan adanya tiga kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat, yaitu :

  Kalangan kaya yang terkena wajib zakat

  Kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak berhak menerima zakat
  Kalangan pemerima zakat

Berkaitan dengan distribusi kekayaan melalui zakat, secara umum, Abu Ubaid mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing” (li kulli wahidin hasba hajatihi). Lebih jauh, ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat (pajak) yang diberikan pada para pengumpulnya (amil), pada prinsipnya, Abu Ubaid lebih cenderung pada prinsip “bagi setiap orang adalah sesuai dengan haknya”.
5. Fungsi Uang

Pada prinsipnya, Abu Ubaid mengakui adanya dua fuungsi uang, yakni sebagai standar nilai pertukaran (standard of exchange value) dan media pertukaran (medium of exchange). Dalam hal ini, ia menyatakan :

Adalah hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apa pun kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggih yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaannya untuk membeli sesuatu (infaq)
.

Pernyataan Abu Ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apapun kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Tampaknya, Abu Ubaid merujuk pada kegunaan umum dan relative konstannya nilai dari kedua benda tersebut dibandingkan dengan komoditas yang lainnya. Jika kedua benda tersebut juga digunakan sebagai komoditas , nilai dari keduanya akan dapat berubah-ubah pula: karenadalam hal tersebut keduanya akan memainkan dua peran yang berbeda, yakni sebagain barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang-barang lainnya. Disamping itu, sekalipun tidak menyebutkanya secara jelas, Abu Ubaid secara implisit mengakui tentang adanya fungsi uang sebagai penyimpan nilai ketika membahas jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat.

Salah satu ciri khas kitab al-Amwal diantara kitab-kitab lain yang membahas tentang keuangan publik adalah membahas tentang timbangan dan aturan, yang biasa digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang berakaitan dengan harta atau denda, dalam satu bab khusus. Di dalam bab ini, Abu Ubaid juga menceritakan tentang usaha kholifah Abdul Al-Malik Ibnu Marwan dalam melakukan standarisasi dari berbagai jenis mata uang yang ada dalam sirkulasi.[14]
1.       Peran dan Fungsi Pemerintah terhadap Zakat

Zakat sebagai institusi keuangan publik, di mana pemerintah bertanggungjawab atasnya telah mengalami degradasi. Karakter politik zakat yang pernah dipertahankan oleh Abu Bakar, telah mulai menghilang secara perlahan namun pasti. Pada saat ini, banyak umat muslim yang tidak membayarkan zakatnya kepada pemerintah atau pemegang otoritas kekuasaan di wilayahnya. Hal tersebut telah terjadi pada saat peralihan kepemimpinan dari Ustman Ibn  Affan kepada Ali Ibn  Abi Thalib sebagai Khalifah keempat. Pada saat itu, umat muslim mulai berselisih pendapat perihal pembayaran zakat kepada pemerintah. Sebagian ada yang tetap membayarkannya kepada pemerintah dan sebagian lainnya membagikannya sendiri kepada para mustahiq.
Dalam bukunya Kitab Al-Amwal 
عن إسماعيل بن إبراهيم عن أيوب عن ابن يسرين قال : كانت الصدقة ترفع أو تدفع إلى النبي صلى الله عليه وسلم، أو من أمر به، وإلى أبي بكر أو من أمر به، أو إلى عمر، أو من أمر به، وإلى عثمان أو من أمر به، فلما قتل عثمان اختلفوا، فكان منهم من يدفها إليهم، ومنهم من يقسمها وكان ممن يدفعها اليهم ابن عمر.
Abu Ubaid menjelaskan bahwa pada zaman Nabi, sedekah (zakat) dibayarkan kepada Nabi Muhammad SAW atau kepada orang yang beliau utus. Setelah beliau wafat, zakat dibayarkan kepada Abu Bakar atau kepada orang yang diutusnya. Kemudian, kepada Umar Ibn  Khattab atau kepada orang yang diutusnya. Lalu, pembayaran zakat setelah wafatnya Umar Ibn  Khattab dibayarkan kepada khalifat penggantinya Ustman Ibn  Affan atau kepada orang yang diutusnya. Namun, setelah wafatnya Utsman dengan dibunuh oleh para pemberontak, terjadi perselisihan diantara umat Islam antara tetap membayarkannya kepada pemerintah atau tidak menyalurkannya sendiri. Diantara mereka yang tetap membayarkan zakatnya kepada pemerintah adalah Ibn Umar.[15]

Dalam hal ini Ibn Umar dipandang sebagai rujukan untuk memberikan keputusan pada saat perubahan situasi kepemimpinan pada saat itu. Perpecahan umat Islam dalam memperebutkan kepemimpinan antara Ali Ibn  Abi Thalib sebagai khalifah terpilih dan Mu’awiyah sebagai pihak yang tidak puas atas kepemimpinan Ali Ibn  Abi Thalib telah mejadikan sebagian umat Muslim dalam keIbn gungan dalam menentukan kepada siapa mereka membayarkan zakatnya.
Pada awalnya Ibn Umar secara tegas menetapkan bahwa zakat harus dibayarkan kepada pemerintah (penguasa), di samping hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Pemerintah memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk menarik zakat dari para golongan yang mampu. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari karakter zakat itu sendiri sebagai institusi keuangan publik sejak zaman Rasulullah. Namun, dengan situasi politik yang tidak menentu dan keputusan pemerintah pada masa kepemimpinan Ziyad dari Bani Umayyah, pemerintah pada waktu itu menetapkan petugas zakat dari non-muslim. Keputusan politis pada waktu itu mendorong Ibn Umar untuk mengungkapkan pendapatnya dengan melarang membayarkan zakat kepada para petugas non-muslim.
Keputusan Ibn Umar tersebut didasari oleh keadaan politik pada saat itu, akan tetapi pada dasarnya zakat tetaplah sebagai institusi keuangan publik. Meskipun pemerintah yang berkuasa menetapkan petugas yang non-muslim, ataupun umat muslim tinggal di tempat yang dipimpin bukan oleh pemerintahan Islam, karakter zakat sebagai institusi keuangan publik tidak dapat hilang begitu saja. Hal ini karena zakat berasal dari masyarakat (publik) dan didistribusikan kepada masyarakat (publik) pula. Umat Islam yang tinggal di pemerintahan non-muslim, dapat membentuk lembaga zakat yang bertugas sebagai pemegang otoritas untuk menarik zakat dan menyalurkannya kepada pihak yang membutuhkannya.
Tujuan akhir dari zakat adalah penyalurannya (distribusi) kepada sebagian masyarakat yang membutuhkannya (mustahiq) sehingga dapat memberikan distribusi pendapatan yang adil yang mana akan memberikan pengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan tujuan tersebut, pengelolaan zakat, dari penarikan hingga penyalurannya harus dilakukan oleh sebuah institusi khusus, sehingga zakat dapat dikelola dengan baik. Pembayaran zakat secara individual tentunya akan menjadikan pola distribusi zakat tidak terkontrol dan tidak merata, serta tujuan akhir dari zakat itu akan sulit untuk dicapai.
a.     Pola dan Sistem Pengelolaan Zakat

Pada masa kepemimpinan Rasulullah saw, pengelolaan zakat dilakukan dengan menunjuk seorang utusan yang dipercaya oleh beliau untuk mengambil zakat pada suatu suku atau daerah tertentu. Rasulullah SAW pernah mengutus Mu’az Ibn  Ibn  Jabal untuk berdakwah ke Yaman, dakwahnya yaitu dengan mengajak mereka untuk bersaksi (syahadat), menegakkan shalat dan membayar zakat. Posisi Mu’az disamping sebagai seorang da’i, dia juga bertugas sebagai seorang petugas, yang menarik dan menyalurkan zakat di Yaman.
Abu Ubaid menyebutkan:
حدثنا أبو الأسود عن ابن لهيعة عن خَالد بن يزيد عن يحيى بن عبد الله بن صيفي عن أبي معبد عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لمعاذ، حين بعثه إلى اليمن قال إنيى أبعثك إلى أهل كتاب فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله. فإن أجابوك إلى ذلك فأعلمهم أن عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة، فإن أجابوك إلى ذلك فأعلمهم أن عليهم صدقة أموالهم . فإن أقرّوا بذلك فخذ مهم واتق كرائم أموالهم، وإياك ودعوة المظلوم، فإنه ليس لها دون الله حجاب.[16]
Sedangkan dalam riwayat lain, Abu Ubaid mengutip
فأعلم أن الله قد افترض عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم.[17]

Dalam hadits yang dikutip oleh Abu Ubaid di atas, Rasulullah saw mengutus Mu’az Ibn  Jabal ke Yaman tidak hanya untuk berdakwah, akan tetapi ia (Mu’az) juga bertugas untuk mengambil zakat dari para penduduk Yaman yang telah memeluk agama Islam. Kemudian menyalurkannya kembali kepada penduduk Yaman yang berhak (mustahiq).
Kata “تؤخذ ” (tu`khadzu) pada hadits di atas berarti “diambil”, hal ini menegaskan kembali bahwasanya zakat itu tidak dibayarkan akan tetapi diambil dari para muslim yang tergolong wajib zakat (kaya) di antara mereka (pendukuk Yaman). Sedangkan pada kata “فترد” (fa turaddu) yang berarti “lalu dikembalikan”, hal tersebut menerangkan bahwa zakat yang diambil dari golongan yang mampu (kaya) di antara mereka (penduduk Yaman) disalurkan atau didistribusikan kembali kepada golongan fakir-miskin di antara mereka (penduduk Yaman) pula.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penarikan dan penyaluran zakat didasari oleh wilayah di mana masyarakat berada. Penarikan zakat yang dilakukan pada suatu komunitas masyarakat tertentu, berarti penyalurannya dilakukan juga pada komunitas masyarakat di mana zakat tersebut diambil. Seperti halnya Mu’az yang mengambil zakat dari penduduk Yaman (yang mampu), kemudian menyalurkannya kembali kepada penduduk Yaman (yang berhak). Dengan pola distribusi yang menjadikan daerah penarikan sekaligus sebagai daerah penyaluran dapat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menjaga dan menumbuhkan ukhuwah dan solidaritas sosial dalam sebuah komunitis masyarakat. Pola ini juga dapat mengurangi beberapa penyakit hati yang berupa iri, dengki dan hasud dalam kehidupan bermasyarakat. Mengenai hal ini menuturkan dengan kisah yang dialami imam terdahulu, yaitu:
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana. Abu Ubaid menuturkan dalam kitabnya, bahwa Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar mengembalikannya. Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar kembali menolaknya dan berkata, Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga. Muadz menjawab, “Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu. Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan Umar. Muadz berkata, Saya tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut[18].

Prioritas penyaluran zakat diprioritaskan pada daerah di mana zakat tersebut diambil. Sedangkan penyaluran zakat ke daerah lain dapat dilakukan apabila suatu daerah mengalami kelebihan (surplus) zakat. Dalam hal ini diperlukan perhatian serius pemerintah dalam mengawasi daerah yang mengalami kelebihan (surplus) dan daerah yang mengalami kekurangan zakat.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem dan pengelolaan zakat pada masa Rasulullah saw yang dipaparkan oleh Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal  mencakup 3 (tiga) hal, yaitu penarikan zakat dilakukan oleh pemerintah atau pihak yang mewakilinya dan pembagian wilayah dalam penarikan zakat dan penyalurannya, serta penyaluran silang (cross distribution) antara daerah yang kelebihan zakat dan daerah kekurangan zakat.



[1] Adimarwan Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi. (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2006),  242.
[2] M. Nejatullah Siddiqi, Islamic Economic Thought Recent Works on History of Economic Thought in Islam, a Survey, Reading in Islamic Thought, (Malaysia: Longman, 1992)
[3] Abu Ubaid al-Qasim Ibn  Sallam, Kitab al-Amwal (Beirut:t.p., 1989), 103, 128, 151, 172, 249, 467, 520, 584, 603 dan 620.
[4] Abu Ubaid al-Qasim Ibn  Sallam. Kitab al-Amwal.. 19
[5] Ibid. 20-21.
[6] Ibid. 414
[7] Ibid, 23
[8] Ibid 31-32.
[9] Ibid, 353.
[10] Ibid, 243
[11] Ibid, 23
[12] Adimarwan Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi.. 273.
[13] Ibid, . 251-253

[14] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 279-280.
[15] Abu ubaid, al-alwal. 562
[16] Abu Ubaid , Al-Amwal.......493,
[17] Ibid, 493:
[18] Ibid, 596:

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Profile

About Me
Dr. Abdurrohman S.Ag. M.EI
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura. . Selengkapnya

Total Pageviews

Recent Posts

Random

Comments

Contact Us

Name

Email *

Message *

Populer

item