PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABU YUSUF
A. Biografi Singkat Abu Yusuf Dalam literatur Islam Abu Yusuf sering disebut dengan Imam Abu Yusuf Ya ’qub Ibn Ibrahim Ibn ...

https://rohman-utm.blogspot.com/2011/10/pemikiran-ekonomi-islam-abu-yusuf.html
A. Biografi Singkat Abu Yusuf
Dalam literatur Islam Abu Yusuf sering disebut dengan Imam Abu
Yusuf Ya’qub Ibn Ibrahim Ibn habib Ibn Khunais Ibn Sa’ad Al- Anshari Al- Jalbi Al-Kufi
Al-Bagdadi. Lahir di Kufah, Irak
pada tahun 731 M (113 H)[1]
dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 798 M (182 H). Beliau hidup pada masa
transisi dua zaman kekhalifahan besar, yaitu akhir masa Dinasti Umayyah dan
Abasiyyah. Beliau berasal dari suku Bujailah, salah satu suku bangsa Arab. Abu
Yusuf masih memiliki hubungan darah dengan salah seorang sahabat Nabi Muhammad
Saw. Yakni Sa’ad Al-Anshari.i[2]
karena dari pihak ibunya masih mempunyai hubungan dengan kaum Ansar (pemeluk
Islam pertama dan penolong Rasulullah SAW di Madinah). Keluarganya sendiri
bukan berasal dari lingkungan berada. Namun demikian, sejak kecil, ia mempunyai
minat yang sangat kuat terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini tampak dipengaruhi
oleh suasana kufah yang ketika itu merupakan salah satu pusat peradaban islam,
tempat para cendikiawan muslim dari seluruh penjuru dunia islam datang silih
berganti untuk saling bertukar pikiran tentang berbagai bidang keilmuan.
Abu Yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama besar. Menurut
penuturannya beliau menjadi murid Abu Hanifah selama 17 tahun dan sejumlah
ulama terkemuka pada masa itu. Seperti Abu Muhammad
atho Ibn as-saib Al-Kufi, sulaiman Ibn Mahram Al-A’masy, Hisyam Ibn Urwah, Muhammad Ibn Abdurrahman Ibn Abi Laila, Muhammad Ibn Ishaq Ibn Yassar Ibn Jabbar, dan Al-Hajjaj Ibn Arthah.Ia pun
terkenal sebagai salah satu murid terkemuka Abu Hanifah. Karena melihat bakat dan semangat serta
ketekunan Abu Yusuf dalam belajar, Imam Abu Hanifah menyanggupi untuk membiayai
semua keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya. Imam Abu Hanifah
sangat mengharapkan agar Abu Yusuf kelak dapat melanjutkan dan menyebarluaskan
Mazhab Hanafi ke berbagai dunia Islam[3].
Sepeninggal gurunya, Abu Yusuf bersama Muhammad Ibn Al-Hasan Al-Syaibani menjadi tokoh pelopor
dalam menyebarkan dan mengembangkan
madzhab Hanafi. Secara umum, Abu Yusuf mendalami ilmu fikih. Ketika itu Abu Yusuf tetap mewarisi prinsip
gurunya yang tidak mau memegang jabatan apapun dalam bidang pemerintahan,
terutama jabatan kehakiman. Namun, sejak Imam Abu Hanifah wafat, keadaan ekonomi keluarganya semakin lama
semakin memburuk, hal itu membuat karir keilmuannya tidak berkembang. Sehingga
pada tahun 166 H/782 M Abu Yusuf pun meninggalkan Kufah dan pergi ke
Baghdad. Abu Yusuf menemui khalifah
Abbasiyah al-Mahdi (159 H/775 M – 169 H/785 M) yang langsung mengangkatnya
sebagai hakim di Baghdad Timur. Dan disinilah karier keilmuannya berkembang
hingga Abu Yusuf memegang jabatan dalam kehakiman. Ketekunan dalam belajar
membuat Abu Yusuf menyusun buku-buku yang merupakan buku pertama tentang kajian
fikih yang beredar pada masa itu. Dalam lingkungan peradilan dan
mahkamah-mahkamah resmi, banyak dipengaruhi dan diwarnai oleh Mazhab Hanafi,
sehingga membuat Abu Yusuf terkenal ke berbagai negeri seiring dengan
perkembangan Mazhab Hanafi[4].
Sebagai salah satu bentuk penghormatan dan pengakuan pemerintah atas
kecendekiawanan dan keluasan ilmunya, Harun
ar-Rasyid selaku Khalifah Dinasti Abbasiyah mengangkat Abu Yusuf sebagai Ketua Mahkamah Agung (Qadhi al-Qudhat).[5]
Diangkatnya Abu Yusuf sebagai Qadhi
al-Qudhat oleh sang khalifah menunjukkan bahwa Abu Yusuf memiliki hubungan
yang dekat dengan penguasa pada saat itu. Hal ini tentunya juga akan ikut
mempengaruhi pola pikir Abu Yusuf terutama dalam bidang ekonomi. Dengan
mendapatkan setatus quo dari khalifah
serta sifat pemerintahan kekhalifaha yang selalu ingin mencari legitimasi,
menjadikan pemikiran ekonomi dari Abu Yusuf tidak akan pernah berani secara frontal
mengkritisi dan bertentangan dengan kebijakan ekonomi pemerintah pada saat itu.
Hal ini pun terlihat jelas pada kitab monumentalnya yakni kitab al-Kharaj,
Kitab al-Kharaj sendiri
ditulis atas permintaan Khalifah Harun
ar-Rasyid untuk pedoman dalam menghimpunan pemasukkan atau pendapatan Negara dari kharaj, ushr, zakat, dan jizyah.57 Didalam pengertian modern kitab ini dapat dikatakan sebagai public finance. Dengan demikian kitab al-Kharaj ini memiliki orentasi birokratik karena ditulis dengan tujuan
sebagai buku petunjuk administratif dalam rangka mengeloala keungan negara
dengan baik dan benar.44
Gaya berfikirnya yang independent sangat berkaitan dengan
profesinya sebagai hakim pada masa itu, karena profesinya menuntutnya
untuk mengembangkan independent thinking yang sangat diperlukan untuk
mencapai keadilan dan kenetralan dalam mengambil keputusan. Amirul Mukminin Harun al-Rasyid mengangkatnya sebagai ketua hakim
yaitu posisi hakim tertinggi pada masanya. Abu Yusuf wafat pada hari kamis
setelah dzuhur 5 rabiul awwal 182 Hijriyyah[6].
B. Karya- Karya Abu Yusuf
Sekalipun disibukkan dengan
berbagai aktivitas mengajar dan birokrasi, Abu Yusuf masih meluangkan waktu untuk menulis. Karya
ilmiah dan tulisannya adalah sebagai bentuk respon dari berbagai gejala dan problematika masyarakat yang berkenaan dengan tatanan
sosial dan agama. Beberapa karya tulisnya yang terkenal adalah:
1. Al-Jawami’, kitab ini banyak memuat tentang hal yang
berkenaan dengan pendidikan.
2. Ar-Radd ‘Ala Siyar Al-Auza’i, kitab ini memuat beberapa
pendapat dan pandangan Abu Yusuf tentang beberapa hukum islam yang merupakan
himpunan dari beberapa kritikan dan sanggahan-sanggahan beliau terhadap
pendapat al-Auza’i seputar perang dan jihad.
3. al-Atsar, sebuah kitab yang menghimpun hadits-hadits
yang diriwayatkan dari para gurunya dan juga dari ayahnya. Ia mengemukakan
pendapat gurunya, Imam Abu hanifah, kemudian pendapatnya sendiri dan menjelaskan
sebab terjadinya perbedaan pendapat mereka.
4. Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila, kitab ini membahas tentang
perbandingan fiqih yang mengemukakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Abi Laila
serta perbedaan pendapat mereka.
5. Adab al-Qadhi, sebuah kitab yang memuat tentang
ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang hakim (Qadhi).
6. Al-Kharaj, kitab ini memuat tentang banyak
masalah-masalah yang erat kaitannya dengan fenomena sosial[7]. Kitab ini merupakan kitab
terpopuler dari karya-karyanya. Di dalam
kitab ini, ia menuangkan pemikiran fiqihnya dalam berbagai aspek, seperti
keuangan negara, pajak tanah, pemerintahan dan musyawarah. Kitab ini ditulis
atas permintaan Khalifah Harun Al-Rasyid untuk pedoman dalam menghimpun
pemasukan atau pendapatan negara dari Kharaj, Ushr, Zakat, dan jiz'ah. Kitab ini
dapat digolongkan sebagai 'Public Finance' dalam pengertian ekonomi modern.
Selain kitab-kitab di atas, menurut Ibnu Nadim (wafat 386 H/995 M),
seorang sejarawan, masih banyak buku yang disusunnya. Diantaranya Kitab as-Salah (mengenai shalat), Kitab az-Zakah (mengenai zakat), Kitab as-Siyam (mengenai puasa), Kitab al-Bai’ (mengenai jual beli), Kitab al-Fara’id (mengenai waris), dan Kitab al-Wasiyyah (tentang wasiat).
C. Pemikiran ekonomi Abu
Yusuf
Pemikiran ekonomi Abu Yusuf tertuang pada karangan
terbesarnya yakni kitab al-Kharaj. Kitab ini ditulis untuk merespon permintaan
khalifah harun al-Rasyid tentang ketentuan-ketentuan agama Islam yang membahas
masalah perpajakan, pengelolaan pendapatan dan pembelanjaan public. Abu Yusuf
menuliskan bahwa Amir al-Mu’minin telah memintanya untuk mempersiapkan sebuah
buku yang komprehensif yang dapat digunakan sebagai petunjuk pengumpulan pajak
yang sah, yang dirancang untuk menghindari penindasan terhadap rakyat. Al-Kharaj
merupakan kitab pertama yang menghimpun semua pemasukan daulah islamiyah dan
pos-pos pengeluaran berdasarkan kitabullah dan sunnah rasul saw.
Dalam kitab ini dijelaskan bagaimana seharusnya sikap penguasa
dalam menghimpun pemasukan dari rakyat sehingga diharapkan paling tidak dalam proses
penghimpunan pemasukan bebas dari kecacatan sehingga hasil optimal dapat
direalisasikan bagi kemaslahatan warga Negara. Kitab ini dapat digolongkan
sebagai fublic finance dalam pengertian ekonomi modern. Pendekatan yang
dipakai dalam kitab al-Kharaj sangat pragmatis dan bercorak fiqh. Kitab
ini berupaya membangun sebuah system keuangan public yang mudak dilaksanakan
yang sesuai dengan hukum islam dan ekonomi islam. Abu Yusuf dalam kitab ini sering menggunakan ayat-ayat al Qur’an dan Sunnah Nabi saw
serta praktek dari para penguasa saleh terdahulu sebagai acuannya sehingga
membuat gagasan-gagasannya relevan dan mantap
Misalnya Abu Yusuf dalam kitabnya al-Kharaj mengomentari
perbuatan khalifah Umar dengan mengatakan: pendapat Umar ra yang menolak
pembagian tanah kepada penakluknya tersebut, adalah sesuai dengan keterangan
al-Qur`an yang di ilhamkan Allah kepadanya dan merupakan taufiq dari Allah
kepadanya dalam tindakan yang diambilnya dalam keputusan ini dinyatakan bahwa
kekayaan tersebut adalah untuk seluruh umat Islam. Sedangkan pendapatnya yg
menegaskan bahwa penghasilan tanah tersebut harus di kumpulkan kemudian dibagi
kepada kaum muslimin, juga membawa manfaat yang luas bagi mereka semua[8]
Prinsip-prinsip yang ditekankan Abu Yusuf dalam perekonomian,
dapat disimpulkkan bahwa pemikiran ekonomi Abu Yusuf sebenarnya tersimpul dalam
al-Kharaj yang dapat disebut sebagai bentuk pemikiran ekonomi
kenegaraan, mengupas tentang kebijakan fiscal, pendapat negara dan pengeluaran.
Berikut adalah sejumlah pemikiran ekonomi Abu Yusuf antara lain:
1.
Kebijakan Fiskal
Abu Yusuf adalah
seorang ulama fiqih pertama yang mencurahkan perhatiannya pada
permasalahan ekonomi. Tema yang kerap menjadi sorotan dalam kitabnya
terletak pada tanggungjawab ekonomi penguasa terhadap pemenuhan kebutuhan
masyarakat, pentingnya keadilan, pemerataan dalam pajak serta kewajiban
penguasa untuk menghargai uang public sebagai amanah yang harus digunakan
sebaik-baiknya.[9]
Abu Yusuf menganalisis
permasalahan-permasalahan fiscal dan menganjurkan beberapa kebijakan bagi
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Konstribusi yang
lain adalah dengan menunjukan keunggulan sistem pajak proporsional (muqasamah)
menggantikan sistem pajak tetap (misahah atau waziah) pada tanah.[10] Menurut
Abu Yusuf hal ini lebih adil dan menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. Dalam
menggunakan dana public, Abu Yusuf mengungkapkan pentingnya pembangunan infrastruktur
untuk mendukung produktifitas dalam meningkatkan pendapatan negara.
2.
Sumber Pendapatan negara
Keuangan
publik merujuk kepada aktivitas pemerintah terhadap pendapatan dan pengeluaran
Negara. Secara conventional, terdiri dari 3 fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, fungsi
distribusi dan fungsi stabilisasi. Dalam pengaturannya Negara Islam membagi
masyarakatnya manjadi 3 golongan: Muslim, Dhimmi dan harbi.
Mereka semua ini terkena pajak di dalam pemerintahan Islam dengan kadar yang
berbeda-beda.
Abu Yusuf
membagi sumber pendapatan Negara dalam 5 kategori, yaitu: (1) Ghanimah, (2)
Al-fay’ (Al-kharaj dan ‘Usyr), (3) Shadaqoh, dan (4) Jisyah, dan
(5) ‘usyur. Pendapatan-pendapatan Negara ini akan dijelaskan lebih
rinci di bawah ini:
a.
Ghanimah
Ghanimah
secara bahasa adalah sesuatu yang didapatkan tanpa melalui kesulitan. Secara
terminologi adalah rampasan atau jarahan di dalam peperangan dengan non-Muslim
yang meliputi barang-barang bergerak yang ditinggalkan oleh pasukan musuh.[5]Mengenai
pembagian ghanimah ini, Abu Yusuf membaginya kepada 2 bagian, yaitu yang
pertama 1/5 adalah milik Allah SWT. Yang kedua adalah 4/5 adalah milik
diantara para tentara.Perbedaan yang terlihat dalam pembagian tersebut yaitu
pada kavaleri dan arteleri. Beberapa hadist yang dirujuk oleh Abu Yusuf
menyebutkan sebagai berikut:
قال أبو يوسف: حد ثنا الحسن بن علي بن عمارة
بن عبذ الله عن...عبد الله عبا س رضي الله عنهما ٲن رسول الله صلي الله عليه وسلم
قسم غنائم بد ر: للفار س سهما ن, و للر جل سهم.[6]
Namun, Imam Abu Hanifah tidak sependapat dengan hadist tersebut
dengan tidak membeda-bedakan antara yang menggunakan kuda atau tidak ketika
berperang.
قال أبو يوسف: و كان الفقيه المقدم أبو
حنيفة رحمه الله تعلي يقول: و للر جل سهم, للفار س سهم. و قال: لا أفضل بهيمة علي
رجل مسلم. [7]
Maka Abu
Hanifah merujuk pada hadist diatas dan menjadikan keduanya masing-masing
mendapatkan 1 bagian. Namun pernyataan tersebut dibantah oleh Abu yusuf dengan
penjelasan bahwa hadist-hadist atau atsar-atsartentang bagian
untuk kuda 2 dan 1 lelaki yang berperang lebih sering disebutkan dan tsiqoh (terpercaya).
Walapun Abu Yusuf telah menguatkan argumennya, tetapi semua keputusan
diserahkan kepada Amirul Mukminin untuk memilih mana yang lebih baik untuk
dijalankan sebagai kebijakan di dalam pemerintahannya.
Adapun di
masa Rasulullah SAW hidup bagian 1/5 (khumus) didistribusikan ke dalam 5
bagian: (1) 1 bagian untuk Allah SWT dan
Rasul-Nya, (2) 1 bagian untuk kerabat dekat Rasulullah SAW, dan (3) 3 bagian
untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin dan musafir (Ibnu Sabil).
Kemudian di masa Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali membaginya menjadi 3 bagian.
Maka gugurlah bagian Rasulullah dan kerabat dekatnya, dan membaginya kepada
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan musafir (Ibnu Sabil). Gugurnya bagian
Rasulullah SAW dan kerabatnya setelah wafatnya menjadi perdebatan pada masa
itu. Pendapat pertama mengatakan bahwa bagian Rasulullah diberikan kepada
Khalifah setelahnya. Adapun pendapat yang lain mengatakan bahwa bagian kerabat
dekat diberikan kepada kerabat-kerabat Rasulullah SAW. Dan lainnya mengatakan
bahwa bagian kerabat dekat diberikan kepada kerabat dekat
Khalifah. Menurut Abu Yusuf, Imam Abu Hanifah dan
para fuqaha berpendapat bahwa Khalifah harus membaginya sebagaimana
yang dilakukan khulafa arrasyidun.
Abu Yusuf
juga membagi jenis-jenis harta atau barang yang dikategorikan sebagai 1/5 (khums),
yaitu:
1.
Barang-barang tambang seperti
emas, perak, tembaga, besi dan timah
2.
Tanah arab atau tanah orang asing
yang didalamnya diletakkan tempatshadaqoh.
3.
Apa pun yang keluar dari lautan.
4.
Rikaz (barang temuan berupa
emas, perak, mutiara dan lain-lainya[11]
b.
Fay
(al-kharaj dan usyr)
Menurut Abu
Yusuf bahwa fay berarti al-kharaj, yaitu pajak
tanah. Selanjutnya dalam harta fay ini terdiri dari 2 pembagian, yaitu: (1) al-kharaj dan
(2) Usyr. Al-kharaj pertama diberlakukan pada masa Umar Ibn
Khattab
Adapun definisi al-kharaj menurutnya adalah setiap tanah
yang dimilikidhimmah yang di kenakan pajak tanahnya. Adapun usyr adalah pajak tanah yang dikenakan terhadap
orang-orang Muslim. Untuk membedakan antara al-kharaj dan usyr maka
perlu ada pembagian jenis-jenis tanah (ضالار(, yaitu: tanah kharaj dan tanah usyr.
Tanah usyr adalah tanah yang dimiliki orang-orang Muslim baik berupa
tanah arab atau tanah non-arab, seperti tanah Hijaz, Madinah, Makkah dan Yaman.
Sedangkan tanah kharaj adalah tanah non arab yang dimiliki oleh
non-Muslim dibawah pemerintahan Islam, seperti tanah di Basrah dan Khurasan.
Tanah usyr dibagi menjadi 3 bagian utama, yaitu: (1) tanah yang
dimiliki melalui peperangan, (2) tanah yang dimiliki melalui perdamaian
(Shulhu) dan (3) tanah yang dimiliki oleh orang-orang Muslim.
c.
Al-Kharaj
Selanjutnya berkenaan dengan kebijakan al-kharaj, Abu
Yusuf menekankan bahwa keadilan di dalam al-kharaj akan meningkatkan
pendapatan dan pertumbuhan ekonomi negara. Sebaliknya, jika penghimpunan
al-kharaj dengan ketidakadilan akan mengakibatkan resesi dan penurunan terhadap
pendapatan al-kharaj. Hal ini terjadi di masa Amirul Mukminin Umar Ibn
Khattab yang berhasil menghimpun
pendapatan al-kharaj mencapai 100 juta dirham (mitsqal) dengan
memberikan keadilan dan menghapuskan kezaliman terhadap ahli
al-khara di Sawad.
Menurut Abu Yusuf bahwa sebelumnya yang dikenakan kepada
tanahAl-kharaj berdasarkan ukuran tanah atau luas tanah. Di masa Amirul
Mukminin Umar Ibn Khattab sampai kepada
pemerintahan Khalifah al-Mahdi ditarik pajaknya berdasarkan luas area.
Kebijakan al-kharaj yang mereka lakukan menurutnya sangat
menguntungkan bagi golongan yang kuat dan merugikan golongan yang lemah.
Adapaun kadar al-kharaj yang diberlakukan Umar Ibn khattab sebagai berikut
a. Hasil-hasil pertanian
dengan irigasi alamiah 50% kharaj nya
b. Hasil-hasil pertanian
dengan dengan irigasi (لي و الغر بالدوا) 33% kharajnya
c. Hasil-hasil pertanian
dengan intensif pekerja (الدواليب) 25% kharaj nya
Di masa
Al-Mahdi kadar tanah yang diirigasi secara alamiah dari 50% menjadi 60% per
unit tanah. Abu Yusuf mengusulkan adanya perubahan kebijakan terhadap
kadar al-kharaj dibebankan terhadap Dhimmi. Beliau
mengusulkan sebuah sistem yang baru yang konsisten terhadap Syari’ah,
yaitu dengan membebankan atau memungut al-kharaj sesuai dengan
kemampuan penyewa.
Kadar al-kharaj tidak
ditentukan dengan estimasi atau mengira ukuran hasil panen yang di jual
dipasaran dan kemudian menjadi share yang dikenakan pajaknya
dalam bentuk uang atau dengan nilai yang adil yang tidak membebankan ahli
al-kharaj dan tidak memberikan kerugian terhadap penguasa.
d.
‘Usyr
Sebagaimana
yang dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa tanah al-kharaj di bagi menjadi 3
kategori, yaitu: tanah yang ditaklukan dengan berperang, tanah yang didapatkan
melalui jalan perdamaian dan tanah yang memang dimiliki oleh orang-orang Islam.
Tanah yang dimiliki orang-orang Muslim kadar ‘usyr sudah jelas yaitu: (1)
hasil-hasil pertanian dengan irigasi alamiah kadar ‘usyr nya
10%, dan (2) hasil-hasil pertanian dengan irigasi buatan kadar ‘usyr nya
5%.
Adapun
untuk tanah yang didapatkan melalui jalan perdamaian dibagi menjadi 2 kategori,
yaitu mereka yang masuk Islam dan yang tidak masuk Islam. Bagi mereka yang
masuk Islam dikenakan ‘usyrnya dan bagi mereka yang masih berada dalam agamanya
masing-masing harus membayar al-kharaj atau tetap
membayar ‘usyr sesuai persetujuan yang berlaku. Adapun
tanah-tanah yang ditaklukan oleh Rasulullah SAW, seperti tanah Hijaz, Mekkah,
Madinah dan Yaman tidak ditambah dan dikurang nilai ‘usyr nya,
karena telah berjalan perintah Rasulullah dan hukumnya. Tanah-tanah tersebut
tidak dijadikan tanah kharaj, dan tetap dijadikan ‘usyr dan
setengah ushr jika menggunakan irigasi/ Selanjutnya
bersangkutan dengan orang-orang non-muslim yang pernah berperang dengan kaum
Muslim (ahlul harbi) yang kemudian memeluk Islam maka status tanah al-kharaj berubah
menjadi tanah ‘usyr, sebagaimana ahli Madinah, Bahran dan Badiyah
yang telah memeluk Islam bersama Rasulullah SAW.
e.
Shadaqoh
(zakat)
Shadaqoh disini
yang dimaksudkan adalah zakat. Abu Yusuf hanya membatasi Pembahasan zakat pada
peternakan saja. Hewan-hewan yang dikenakan zakatnya seperti, unta, sapi, kamIbn
g dan kuda. Dalam hal ini, hewan-hewan tersebut mempunyai nisab dan kadar
zakatnya masing-masing.Adapun nisab dan kadar zakat unta sebagai berikut:
Jika
bertambah lebih dari 120, maka setiap 50 ekor unta tambahan, zakatnya hendaklah
ditambahkan 1 hiqqah, dan pada setiap 40 ekor unta tambahan, zakatnya hendaklah
ditambahkan 1 Ibn tu labun.
Adapun
untuk nisab dan kadar zakat hewan sapi atau lembu adalah jika mencapai nisabnya
40 maka kadarnya zakatnya 1 musinnah. Apabila mencapai 60 maka kadar zakatnya
berjumlah 2 tabi’, dan apabila mencapai 70 maka kadar zakatnya adalah 1 tabi’ dan
1 musinnah. Selanjutnya, apabila bertambah pada setiap 40 lembu
atau sapi maka kadar zakatnya 1 musinnah, dan pada setiap 30 ekor lembu atau
sapi maka kadar zakatnya 1 tabi’ atau tabi’ah.
Nisab zakat kamIbn g 40 sampai 120 ekor adalah 1 kambing
betina.
Abu
Yusuf menekankan beberapa point penting agar teciptanya efisiensi dalam
pengelolaan zakat, yaitu: (1) Khalifah memilih petugas zakat yang amanah dan
terpercaya yang bertanggung jawab dalam pengelolaan zakat sebagai ketua, (2)
Ketua petugas zakat yang amanah dan terpercaya ini harus memilih orang-orang
yang amanah dan terpercaya juga untuk mengelolah zakat di setiap kota; (3)
pengelolaan dalam penghimpunan zakat harus terpisah dari pajak yang lain
seperti, ‘usyr dan al-kharaj karena harta
keduanya untuk semua orang-orang Muslim, dan zakat adalah harta bagi
orang-orang Muslim yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT di dalam
kitab-Nya; and (4) pendapatan zakat yang dating dari sumber-sumber zakat
dalam satu wilayah harus dikumpulkan menjadi satu dan di keluarkan kepada
ashnaf;
f.
Jisyah
Jisyah disebutkan di dalam al-Qur’an surah 9 ayat
29. Jisyah berasal dari kata jaza yang berarti
konpensasi.Konpensasi ini berupa jaminan keamanan yang diberikan oleh
pemerintahan Islam kepada kaum dhimmiyang menetap didalamnya. Abu Yusuf menasehati Amirul Mukminin Harun al-Rasyid
agar bertindak ramah tamah terhadap kaum dhimmi sebagaimana yang
dilakukan Rasulullah SAW. Diriwayatkan dari Rasulullah SAW berkata: “Barang
siapa menzalimi orang yang membuat perjanjian setia atau membebannya diatas
kemampuannya maka saya akan menghujatnya”.
Menurut Abu Yusuf jisyah merupakan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh kaum dhimmi lelaki baik dari
Sawad, Khirah dan dari penjuru daerah dari Yahudi, Nasrani, Majusi, Sabi’in dan
Samirah. Jisyah bagi golongan kaya 48 dirham, bagi golongan menengah
24 dirham, dan bagi pengerajin atau petani biasa 12 dirham untuk setiap
tahunnya. Jika pembayarannya dengan menggunakan barang-barang selain emas
dan perak maka akan dihitung sesuai dengan kadarnya. Selanjutnya, Amirul
Mukminin melarang bangkai, babi, dan alkohol (khimar) untuk
dibayarkan sebagai jisyah, Ali Ibn Abi Thalib menegaskan agar tidak mengambil
jisyah kepada orang-orang miskin, orang-orang buta yang tidak mempunyai usaha
dan pekerjaan, dan orang-orang yang cacat. Namun ada pengecualian, jika orang
cacat, orang buta dan orang yang berpenyakitan merana adalah masuk dalam
kategori kaya, maka bagi mereka akan dikenakan jisyah. Para pendeta yang
kaya berada di rumah pendeta, maka akan dikenakan jisyah, tetapi jika
mereka masuk dalam golongan miskin tidak dikenakan. Demikian juga dengan
orang-orang gereja jika mereka termasuk dalam golongan kaya. Adapun
kaum dhimmi yang masuk Islam sebelum masuk masa setahun maka tidak
dikenakan jisyah, tetapi jika masuk setelah masa setahun atau belum
sempurna setahun masih dikenakan jisyah kepadanya. Orang tua yang
tidak dapat lagi bekerja dan orang gila atau tidak sehat akalnya juga tidak
dikenakan jisyahnya.
g.
‘Usyur (العشور)
Al-‘Usyur secara
bahasa berasal dari asal kata ‘syara- ya’syuru-‘asyran yang
berarti mengambil sepersepuluh harta. Secara istilah adalah pajak perdagangan
(cukai) yang dikenakan kepada Muslim dan non-Muslim
(kaum dhimmi dan harbi). Al-‘usyur dikenakan bagi kaum
muslim berjumlah 2,5 %, bagi kaum dhimmi berjumlah 5 %, dan bagi
kaum al-harbiberjumlah 10% jika mencapai kadarnya 200 dirham atau mencapai
kadar 20mitsqal. Jadi ‘Usyur yang dikenakan selain dari kamu
Muslim berlipat ganda,yaitu Dhimmi harus membayar dua kali
lipat dari apa yang di bayarkan Muslim, dan bagi Harbi harus membayar
dua kali lipat dari apa yang dibayarkan Dhimmi kepada pemerintah Islam[12]
3.
Konsep
Harga
Abu Yusuf menyebutkan beberapa referensi hadist mengenai harga,
seperti hadist yang sebutkan di bawah ini:
قال أبو يوسف: وحد ثني محمد بن عبد الرحمن
بن ابي ليلي عن الحكم بن عتيبة عن رجل حد ثه ان السعر غلا في زمن رسول الله صلي
الله عليه و سلم, فقا ل النا س لر سو ل الله السعر قد غلا فو ظف وظيفة عليها. فقا
ل: ان الرخص والغلا ء بيد الله ليس لنا ان نجوز امر الله و قضا ءه.[6]
Harga murah
bukan karena persediaan (supply) makanan yang berada di pasaran itu
banyak, dan harga mahal bukan disebabkan oleh persediaan makanan yang sedikit.
Abu Yusuf menolak argumen yang menyatakan bahwa ketika persediaan barang naik,
maka harga akan turun atau ketika persediaan terbatas, maka harga akan naik.
Menurutnya naik dan turun nya harga di pasaran adalah kehendak Allah SWT.
Disini
terlihat bahwa yang menentukan harga pasar bukan saja terletak pada sisi
permintaan, tetapi ada faktor-faktor lain yang menentukannya. Sebagai contoh
yang terjadi di masa Amirul Mukminin yang mana harga gandum pada masa itu turun
dikarenakan musim paceklik (faktor alam). Jadi penawaran (supply) atau
permintaan (demand) di dalam ekonomi adalah sebuah mekanisme
terbentuknya harga melalui kebijakan Allah SWT.
3. Pengeluaran
Negara
Abu Yusuf
tidak membahas secara sistematis tentang pengeluaran Negara dalam kitab Al-Kharaj,
namun di dalam kitab tersebut setidaknya terdapat lima point pengeluaran negara
yaitu pertama gaji pegawai negeri, kedua pertahanan militer, ketiga
pembangunan infrastuktur, keempat memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan yang kelima fasilitas untuk narapidana.
Rangkuman
·
Pemikiran Abu Yusuf dalam konsep-konsep ekonomi
terfokus pada bidang perpajakan dan pengolahan lahan pertanian, yang banyak
dituangkannya dalam Kitab al-Kharaj. Selain itu, beliau juga memberikan
pendapatnya dalam hal mekanisme pasar terhadap permintaan dan penawaran harga.
·
Masalah perpajakan, Abu Yusuf menganjurkan
sistem pajak yang proporsional, seimbang dan berdasarkan prinsip keadilan.
·
Dalam masalah pertanian, untuk mendapatkan
hasil produksi yang lebih besar dengan cara penyediaan fasilitas dalam perluasan
lahan pertanian,dan pembebanan biaya ditanggung negara. Abu Yusuf lebih
cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil produksi pertanian para
penggarap daripada penarikan sewa dari lahan pertanian.
·
Dalam hal mekanisme pasar, Abu Yusuf memberikan
pandangan yang berbeda dengan pendapat umum, dimana harga yang mahal bukan
berarti terdapat kelangkaan barang dan harga yang murah bukan berarti jumlah
barang melimpah, tetapi ada variabel-variabel lain yang menentukan pembentukan
harga. Abu Yusuf juga menentang penguasa menentukan harga
·
Pengeluaran Negara dalam kitab Al-Kharaj,
terdapat lima point pengeluaran negara yaitu pertama gaji pegawai
negeri, kedua pertahanan militer, ketiga pembangunan
infrastuktur, keempat memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan yang kelima fasilitas untuk narapidana.
·
[1] M. Nejatullah Siddiqi dan S.M. Ghanzafar, Early
Medieval Islamic Economic Thought: Abu Yusuf’s Economic of Public Finance,
London and Newyork: Routledge, 2003, 210
[2] Mustafa
Edwin, pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: KPMG, 2007), 185 lihat juga Rifaat Al-Audhi, Min
at-Turats: al-Iqtisad li al-Muslimin, Makkah: Rabithah ‘Alam al-Islam,
1985), Cet. Ke-4, 119.
[3] Meskipun Abu Yusuf bermadhab Abu Hanifah, ia tidak sepenuhnya mengambil pendapat Abu Hanifah dalam ijtihadnya.
[5] Al-Maraghi dan Abdullah Mustafa, Pakar-Pakar
Fiqh Sepanjang Sejarah (Yogyakarta: LKPSM, 2001), 77. Philip K. Hitti menyebutkan bahwa pada
pemerintahan Khalifah Harun Ar Rasid ini banyak terjadi penerjemahan
karya-karya berbahasa Persia, Sansekerta, Suriah dan Yunani kedalam bahasa Arab
secara besar-besaran. Lihat Philip K. Hitti, History Of The Arabs,ter. R. Cecep
Lukman dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi, 2013), hal. 381
[6]Muhammad
Nejatullah Siddiqi, Al-fiqri al-Iqtisad li Abi Yusuf, Journal of
Research Islamic Economics, Vol 2, 1984-85, 71
[7]al-Qadli AbuYusuf Ya’qub Ibrahim (112-182H), Kitab al-Kharaj,
Muhib al-Din al-Khatib, [nd.] Buku ini merupakan buku yang paling popular
dari kepopuleran buku-bukunya yang lain. Dengan buku ini Abu Yusuf dianugerahi sebagai ahli fikih dan ahli ekonomi klasik muslim. Banyak penelitian terkait dengan kitab al-kharaj
ini.
[9] Nur Chamid, Jejak
Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, , 2010),154