rohmans

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABU YUSUF

A.      Biografi Singkat Abu Yusuf Dalam literatur Islam Abu Yusuf sering disebut dengan Imam  Abu Yusuf Ya ’qub Ibn  Ibrahim Ibn  ...


A.     Biografi Singkat Abu Yusuf

Dalam literatur Islam Abu Yusuf sering disebut dengan Imam  Abu Yusuf Ya’qub Ibn  Ibrahim Ibn  habib Ibn  Khunais Ibn  Sa’ad Al- Anshari Al- Jalbi Al-Kufi Al-Bagdadi.  Lahir di Kufah, Irak pada tahun 731 M (113 H)[1] dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 798 M (182 H). Beliau hidup pada masa transisi dua zaman kekhalifahan besar, yaitu akhir masa Dinasti Umayyah dan Abasiyyah. Beliau berasal dari suku Bujailah, salah satu suku bangsa Arab. Abu Yusuf masih memiliki hubungan darah dengan salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw. Yakni Sa’ad Al-Anshari.i[2] karena dari pihak ibunya masih mempunyai hubungan dengan kaum Ansar (pemeluk Islam pertama dan penolong Rasulullah SAW di Madinah). Keluarganya sendiri bukan berasal dari lingkungan berada. Namun demikian, sejak kecil, ia mempunyai minat yang sangat kuat terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini tampak dipengaruhi oleh suasana kufah yang ketika itu merupakan salah satu pusat peradaban islam, tempat para cendikiawan muslim dari seluruh penjuru dunia islam datang silih berganti untuk saling bertukar pikiran tentang berbagai bidang keilmuan.
Abu Yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama besar. Menurut penuturannya beliau menjadi murid Abu Hanifah selama 17 tahun dan sejumlah ulama terkemuka pada masa itu. Seperti Abu Muhammad atho Ibn  as-saib Al-Kufi, sulaiman Ibn  Mahram Al-A’masy, Hisyam Ibn  Urwah, Muhammad Ibn  Abdurrahman Ibn  Abi Laila, Muhammad Ibn  Ishaq Ibn  Yassar Ibn  Jabbar, dan Al-Hajjaj Ibn  Arthah.Ia pun terkenal sebagai salah satu murid terkemuka Abu Hanifah. Karena melihat bakat dan semangat serta ketekunan Abu Yusuf dalam belajar, Imam Abu Hanifah menyanggupi untuk membiayai semua keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya. Imam Abu Hanifah sangat mengharapkan agar Abu Yusuf kelak dapat melanjutkan dan menyebarluaskan Mazhab Hanafi ke berbagai dunia Islam[3].
Sepeninggal gurunya, Abu Yusuf bersama Muhammad Ibn  Al-Hasan Al-Syaibani menjadi tokoh pelopor dalam  menyebarkan dan mengembangkan madzhab Hanafi. Secara umum, Abu Yusuf mendalami ilmu fikih.  Ketika itu Abu Yusuf tetap mewarisi prinsip gurunya yang tidak mau memegang jabatan apapun dalam bidang pemerintahan, terutama jabatan kehakiman. Namun, sejak Imam Abu Hanifah wafat, keadaan ekonomi keluarganya semakin lama semakin memburuk, hal itu membuat karir keilmuannya tidak berkembang. Sehingga pada tahun 166 H/782 M Abu Yusuf pun meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad.  Abu Yusuf menemui khalifah Abbasiyah al-Mahdi (159 H/775 M – 169 H/785 M) yang langsung mengangkatnya sebagai hakim di Baghdad Timur. Dan disinilah karier keilmuannya berkembang hingga Abu Yusuf memegang jabatan dalam kehakiman. Ketekunan dalam belajar membuat Abu Yusuf menyusun buku-buku yang merupakan buku pertama tentang kajian fikih yang beredar pada masa itu. Dalam lingkungan peradilan dan mahkamah-mahkamah resmi, banyak dipengaruhi dan diwarnai oleh Mazhab Hanafi, sehingga membuat Abu Yusuf terkenal ke berbagai negeri seiring dengan perkembangan Mazhab Hanafi[4].
Sebagai salah satu bentuk penghormatan dan pengakuan pemerintah atas kecendekiawanan dan keluasan ilmunya, Harun ar-Rasyid selaku Khalifah Dinasti Abbasiyah mengangkat Abu Yusuf sebagai Ketua Mahkamah Agung (Qadhi al-Qudhat).[5] Diangkatnya Abu Yusuf sebagai Qadhi al-Qudhat oleh sang khalifah menunjukkan bahwa Abu Yusuf memiliki hubungan yang dekat dengan penguasa pada saat itu. Hal ini tentunya juga akan ikut mempengaruhi pola pikir Abu Yusuf terutama dalam bidang ekonomi. Dengan mendapatkan setatus quo dari khalifah serta sifat pemerintahan kekhalifaha yang selalu ingin mencari legitimasi, menjadikan pemikiran ekonomi dari Abu Yusuf tidak akan pernah berani secara frontal mengkritisi dan bertentangan dengan kebijakan ekonomi pemerintah pada saat itu. Hal ini pun terlihat jelas pada kitab monumentalnya yakni kitab al-Kharaj,
Kitab al-Kharaj sendiri ditulis atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid untuk pedoman dalam menghimpunan pemasukkan atau pendapatan Negara dari kharaj, ushr, zakat, dan jizyah.57 Didalam pengertian modern kitab ini dapat dikatakan sebagai public finance. Dengan demikian kitab al-Kharaj ini memiliki orentasi birokratik karena ditulis dengan tujuan sebagai buku petunjuk administratif dalam rangka mengeloala keungan negara dengan baik dan benar.44

Gaya berfikirnya yang independent sangat berkaitan dengan profesinya sebagai hakim pada masa itu, karena profesinya menuntutnya untuk mengembangkan independent thinking yang sangat diperlukan untuk mencapai keadilan dan kenetralan dalam mengambil keputusan.  Amirul Mukminin Harun al-Rasyid mengangkatnya sebagai ketua hakim yaitu posisi hakim tertinggi pada masanya. Abu Yusuf wafat pada hari kamis setelah dzuhur 5 rabiul awwal 182 Hijriyyah[6].



B.     Karya- Karya Abu Yusuf

Sekalipun disibukkan dengan berbagai aktivitas mengajar dan birokrasi, Abu Yusuf masih meluangkan waktu untuk menulis. Karya ilmiah dan tulisannya adalah sebagai bentuk respon dari berbagai gejala dan problematika masyarakat yang berkenaan dengan tatanan sosial dan agama. Beberapa karya tulisnya yang terkenal adalah:
1.      Al-Jawami’, kitab ini banyak memuat tentang hal yang berkenaan dengan pendidikan.
2.      Ar-Radd ‘Ala Siyar Al-Auza’i, kitab ini memuat beberapa pendapat dan pandangan Abu Yusuf tentang beberapa hukum islam yang merupakan himpunan dari beberapa kritikan dan sanggahan-sanggahan beliau terhadap pendapat al-Auza’i seputar perang dan jihad.
3.      al-Atsar, sebuah kitab yang menghimpun hadits-hadits yang diriwayatkan dari para gurunya dan juga dari ayahnya. Ia mengemukakan pendapat gurunya, Imam Abu hanifah, kemudian pendapatnya sendiri dan menjelaskan sebab terjadinya perbedaan pendapat mereka.
4.      Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila, kitab ini membahas tentang perbandingan fiqih yang mengemukakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Abi Laila serta perbedaan pendapat mereka. 
5.      Adab al-Qadhi, sebuah kitab yang memuat tentang ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang hakim (Qadhi).
6.      Al-Kharaj, kitab ini memuat tentang banyak masalah-masalah yang erat kaitannya dengan fenomena sosial[7]. Kitab ini merupakan kitab terpopuler dari karya-karyanya.  Di dalam kitab ini, ia menuangkan pemikiran fiqihnya dalam berbagai aspek, seperti keuangan negara, pajak tanah, pemerintahan dan musyawarah. Kitab ini ditulis atas permintaan Khalifah Harun Al-Rasyid untuk pedoman dalam menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari  Kharaj,  Ushr, Zakat, dan jiz'ah. Kitab ini dapat digolongkan sebagai 'Public Finance'  dalam pengertian ekonomi modern.
Selain kitab-kitab di atas, menurut Ibnu Nadim (wafat 386 H/995 M), seorang sejarawan, masih banyak buku yang disusunnya. Diantaranya Kitab as-Salah (mengenai shalat), Kitab az-Zakah (mengenai zakat), Kitab as-Siyam (mengenai puasa), Kitab al-Bai’ (mengenai jual beli), Kitab al-Fara’id (mengenai waris), dan Kitab al-Wasiyyah (tentang wasiat).


C.        Pemikiran ekonomi Abu Yusuf      
 Pemikiran ekonomi Abu Yusuf  tertuang pada karangan terbesarnya yakni kitab al-Kharaj. Kitab ini ditulis untuk merespon permintaan khalifah harun al-Rasyid tentang ketentuan-ketentuan agama Islam yang membahas masalah perpajakan, pengelolaan pendapatan dan pembelanjaan public. Abu Yusuf menuliskan bahwa Amir al-Mu’minin telah memintanya untuk mempersiapkan sebuah buku yang komprehensif yang dapat digunakan sebagai petunjuk pengumpulan pajak yang sah, yang dirancang untuk menghindari penindasan terhadap rakyat. Al-Kharaj merupakan kitab pertama yang menghimpun semua pemasukan daulah islamiyah dan pos-pos pengeluaran berdasarkan kitabullah dan sunnah rasul saw.
 Dalam kitab ini dijelaskan bagaimana seharusnya sikap penguasa dalam menghimpun pemasukan dari rakyat sehingga diharapkan paling tidak dalam proses penghimpunan pemasukan bebas dari kecacatan sehingga hasil optimal dapat direalisasikan bagi kemaslahatan warga Negara. Kitab ini dapat digolongkan sebagai fublic finance dalam pengertian ekonomi modern. Pendekatan yang dipakai dalam kitab al-Kharaj sangat pragmatis dan bercorak fiqh. Kitab ini berupaya membangun sebuah system keuangan public yang mudak dilaksanakan yang sesuai dengan hukum islam dan ekonomi islam. Abu Yusuf dalam kitab ini sering menggunakan ayat-ayat al Qur’an dan Sunnah Nabi saw serta praktek dari para penguasa saleh terdahulu sebagai acuannya sehingga membuat gagasan-gagasannya relevan dan mantap

   Misalnya Abu Yusuf dalam kitabnya al-Kharaj mengomentari perbuatan khalifah Umar dengan mengatakan: pendapat Umar ra yang menolak pembagian tanah kepada penakluknya tersebut, adalah sesuai dengan keterangan al-Qur`an yang di ilhamkan Allah kepadanya dan merupakan taufiq dari Allah kepadanya dalam tindakan yang diambilnya dalam keputusan ini dinyatakan bahwa kekayaan tersebut adalah untuk seluruh umat Islam. Sedangkan pendapatnya yg menegaskan bahwa penghasilan tanah tersebut harus di kumpulkan kemudian dibagi kepada kaum muslimin, juga membawa manfaat yang luas bagi mereka semua[8]
Prinsip-prinsip yang ditekankan Abu Yusuf  dalam perekonomian, dapat disimpulkkan bahwa pemikiran ekonomi Abu Yusuf sebenarnya tersimpul dalam al-Kharaj yang dapat disebut sebagai bentuk pemikiran ekonomi kenegaraan, mengupas tentang kebijakan fiscal, pendapat negara dan pengeluaran.

Berikut adalah sejumlah pemikiran ekonomi Abu Yusuf antara lain:
          
1.          Kebijakan Fiskal

Abu Yusuf adalah seorang ulama fiqih  pertama yang mencurahkan perhatiannya pada permasalahan ekonomi.  Tema yang kerap menjadi sorotan dalam kitabnya terletak pada tanggungjawab ekonomi penguasa terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat, pentingnya keadilan, pemerataan dalam pajak serta kewajiban penguasa untuk menghargai uang public sebagai amanah yang harus digunakan sebaik-baiknya.[9]
     
Abu Yusuf menganalisis permasalahan-permasalahan fiscal dan menganjurkan beberapa kebijakan bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Konstribusi  yang lain adalah dengan menunjukan keunggulan sistem pajak proporsional (muqasamah) menggantikan sistem pajak tetap (misahah atau waziah) pada tanah.[10]  Menurut Abu Yusuf hal ini lebih adil dan menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. Dalam menggunakan dana public, Abu Yusuf mengungkapkan pentingnya pembangunan infrastruktur untuk mendukung produktifitas dalam meningkatkan pendapatan negara.

2.         Sumber Pendapatan negara
Keuangan publik merujuk kepada aktivitas pemerintah terhadap pendapatan dan pengeluaran Negara. Secara conventional, terdiri dari 3 fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi. Dalam pengaturannya Negara Islam membagi masyarakatnya manjadi 3 golongan: Muslim, Dhimmi dan harbi. Mereka semua ini terkena pajak di dalam pemerintahan Islam dengan kadar yang berbeda-beda. 
Abu Yusuf membagi sumber pendapatan Negara dalam 5 kategori, yaitu: (1) Ghanimah, (2) Al-fay’ (Al-kharaj dan ‘Usyr), (3) Shadaqoh, dan (4) Jisyah, dan (5) ‘usyur. Pendapatan-pendapatan Negara ini akan dijelaskan lebih rinci di bawah ini:

a.    Ghanimah
Ghanimah secara bahasa adalah sesuatu yang didapatkan tanpa melalui kesulitan. Secara terminologi adalah rampasan atau jarahan di dalam peperangan dengan non-Muslim yang meliputi barang-barang bergerak yang ditinggalkan oleh pasukan musuh.[5]Mengenai pembagian ghanimah ini, Abu Yusuf membaginya kepada 2 bagian, yaitu yang pertama 1/5 adalah milik Allah SWT. Yang kedua adalah 4/5 adalah milik diantara para tentara.Perbedaan yang terlihat dalam pembagian tersebut yaitu pada kavaleri dan arteleri. Beberapa hadist yang dirujuk oleh Abu Yusuf menyebutkan sebagai berikut:
قال أبو يوسف: حد ثنا الحسن بن علي بن عمارة بن عبذ الله عن...عبد الله عبا س رضي الله عنهما ٲن رسول الله صلي الله عليه وسلم قسم غنائم بد ر: للفار س سهما ن, و للر جل سهم.[6]
Namun, Imam Abu Hanifah tidak sependapat dengan hadist tersebut dengan tidak membeda-bedakan antara yang menggunakan kuda atau tidak ketika berperang.

قال أبو يوسف: و كان الفقيه المقدم أبو حنيفة رحمه الله تعلي يقول: و للر جل سهم, للفار س سهم. و قال: لا أفضل بهيمة علي رجل مسلم. [7]
Maka Abu Hanifah merujuk pada hadist diatas dan menjadikan keduanya masing-masing mendapatkan 1 bagian. Namun pernyataan tersebut dibantah oleh Abu yusuf dengan penjelasan bahwa hadist-hadist atau atsar-atsartentang bagian untuk kuda 2 dan 1 lelaki yang berperang lebih sering disebutkan dan tsiqoh (terpercaya). Walapun Abu Yusuf telah menguatkan argumennya, tetapi semua keputusan diserahkan kepada Amirul Mukminin untuk memilih mana yang lebih baik untuk dijalankan sebagai kebijakan di dalam pemerintahannya.
Adapun di masa Rasulullah SAW hidup bagian 1/5 (khumus) didistribusikan ke dalam 5 bagian: (1) 1 bagian untuk Allah SWT dan Rasul-Nya, (2) 1 bagian untuk kerabat dekat Rasulullah SAW, dan (3) 3 bagian untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin dan musafir (Ibnu Sabil). Kemudian di masa Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali membaginya menjadi 3 bagian. Maka gugurlah bagian Rasulullah dan kerabat dekatnya, dan membaginya kepada anak-anak yatim, orang-orang miskin dan musafir (Ibnu Sabil). Gugurnya bagian Rasulullah SAW dan kerabatnya setelah wafatnya menjadi perdebatan pada masa itu. Pendapat pertama mengatakan bahwa bagian Rasulullah diberikan kepada Khalifah setelahnya. Adapun pendapat yang lain mengatakan bahwa bagian kerabat dekat diberikan kepada kerabat-kerabat Rasulullah SAW. Dan lainnya mengatakan bahwa bagian kerabat dekat diberikan kepada kerabat dekat Khalifah. Menurut Abu Yusuf, Imam Abu Hanifah dan para fuqaha berpendapat bahwa Khalifah harus membaginya sebagaimana yang dilakukan khulafa arrasyidun.
Abu Yusuf juga membagi jenis-jenis harta atau barang yang dikategorikan sebagai 1/5 (khums), yaitu:
1.                  Barang-barang tambang seperti emas, perak, tembaga, besi dan timah
2.                  Tanah arab atau tanah orang asing yang didalamnya diletakkan tempatshadaqoh.
3.                  Apa pun yang keluar dari lautan.
4.                  Rikaz (barang temuan berupa emas, perak, mutiara dan lain-lainya[11]
b.    Fay (al-kharaj dan usyr)
Menurut Abu Yusuf bahwa fay berarti al-kharaj, yaitu pajak tanah. Selanjutnya dalam harta fay ini terdiri dari 2 pembagian, yaitu: (1) al-kharaj dan (2) Usyr. Al-kharaj  pertama diberlakukan pada masa Umar Ibn Khattab
Adapun definisi al-kharaj menurutnya adalah setiap tanah yang dimilikidhimmah yang di kenakan pajak tanahnya. Adapun usyr adalah pajak tanah yang dikenakan terhadap orang-orang Muslim. Untuk membedakan antara al-kharaj dan usyr maka perlu ada pembagian jenis-jenis tanah (ضالار(, yaitu: tanah kharaj dan tanah usyr. Tanah usyr adalah tanah yang dimiliki orang-orang Muslim baik berupa tanah arab atau tanah non-arab, seperti tanah Hijaz, Madinah, Makkah dan Yaman. Sedangkan tanah kharaj adalah tanah non arab yang dimiliki oleh non-Muslim dibawah pemerintahan Islam, seperti tanah di Basrah dan Khurasan. Tanah usyr dibagi menjadi 3 bagian utama, yaitu: (1) tanah yang dimiliki melalui peperangan, (2) tanah yang dimiliki melalui perdamaian (Shulhu) dan (3) tanah yang dimiliki oleh orang-orang Muslim.
c.    Al-Kharaj
Selanjutnya berkenaan dengan kebijakan al-kharaj, Abu Yusuf menekankan bahwa keadilan di dalam al-kharaj akan meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi negara. Sebaliknya, jika penghimpunan al-kharaj dengan ketidakadilan akan mengakibatkan resesi dan penurunan terhadap pendapatan al-kharaj. Hal ini terjadi di masa Amirul Mukminin Umar Ibn  Khattab yang berhasil menghimpun pendapatan al-kharaj mencapai 100 juta dirham (mitsqal) dengan memberikan keadilan dan menghapuskan kezaliman terhadap ahli al-khara di Sawad. 
Menurut Abu Yusuf bahwa sebelumnya yang dikenakan kepada tanahAl-kharaj berdasarkan ukuran tanah atau luas tanah. Di masa Amirul Mukminin Umar Ibn  Khattab sampai kepada pemerintahan Khalifah al-Mahdi ditarik pajaknya berdasarkan luas area. Kebijakan al-kharaj yang mereka lakukan menurutnya sangat menguntungkan bagi golongan yang kuat dan merugikan golongan yang lemah. Adapaun kadar al-kharaj yang diberlakukan Umar Ibn  khattab sebagai berikut
a.  Hasil-hasil pertanian dengan irigasi alamiah 50% kharaj nya
b. Hasil-hasil pertanian dengan dengan irigasi (لي و الغر بالدوا) 33% kharajnya
c. Hasil-hasil pertanian dengan intensif pekerja (الدواليب) 25kharaj nya
Di masa Al-Mahdi kadar tanah yang diirigasi secara alamiah dari 50% menjadi 60% per unit tanah. Abu Yusuf mengusulkan adanya perubahan kebijakan terhadap kadar al-kharaj dibebankan terhadap Dhimmi. Beliau mengusulkan sebuah sistem yang baru yang konsisten terhadap Syari’ah, yaitu dengan membebankan atau memungut al-kharaj sesuai dengan kemampuan penyewa.

Kadar al-kharaj tidak ditentukan dengan estimasi atau mengira ukuran hasil panen yang di jual dipasaran dan kemudian menjadi share yang dikenakan pajaknya dalam bentuk uang atau dengan nilai yang adil yang tidak membebankan ahli al-kharaj dan tidak memberikan kerugian terhadap penguasa.
d.    ‘Usyr
Sebagaimana yang dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa tanah al-kharaj di bagi menjadi 3 kategori, yaitu: tanah yang ditaklukan dengan berperang, tanah yang didapatkan melalui jalan perdamaian dan tanah yang memang dimiliki oleh orang-orang Islam. Tanah yang dimiliki orang-orang Muslim kadar ‘usyr sudah jelas yaitu: (1) hasil-hasil pertanian dengan irigasi alamiah kadar ‘usyr nya 10%, dan (2) hasil-hasil pertanian dengan irigasi buatan kadar ‘usyr nya 5%.
Adapun untuk tanah yang didapatkan melalui jalan perdamaian dibagi menjadi 2 kategori, yaitu mereka yang masuk Islam dan yang tidak masuk Islam. Bagi mereka yang masuk Islam dikenakan ‘usyrnya dan bagi mereka yang masih berada dalam agamanya masing-masing harus membayar al-kharaj atau tetap membayar ‘usyr sesuai persetujuan yang berlaku. Adapun tanah-tanah yang ditaklukan oleh Rasulullah SAW, seperti tanah Hijaz, Mekkah, Madinah dan Yaman tidak ditambah dan dikurang nilai ‘usyr nya, karena telah berjalan perintah Rasulullah dan hukumnya. Tanah-tanah tersebut tidak dijadikan tanah kharaj, dan tetap dijadikan ‘usyr dan setengah ushr jika menggunakan irigasi/  Selanjutnya bersangkutan dengan orang-orang non-muslim yang pernah berperang dengan kaum Muslim (ahlul harbi) yang kemudian memeluk Islam maka status tanah al-kharaj berubah menjadi tanah ‘usyr, sebagaimana ahli Madinah, Bahran dan Badiyah yang telah memeluk Islam bersama Rasulullah SAW.
e.    Shadaqoh (zakat)
Shadaqoh disini yang dimaksudkan adalah zakat. Abu Yusuf hanya membatasi Pembahasan zakat pada peternakan saja. Hewan-hewan yang dikenakan zakatnya seperti, unta, sapi, kamIbn g dan kuda. Dalam hal ini, hewan-hewan tersebut mempunyai nisab dan kadar zakatnya masing-masing.Adapun nisab dan kadar zakat unta sebagai berikut:
Jika bertambah lebih dari 120, maka setiap 50 ekor unta tambahan, zakatnya hendaklah ditambahkan 1 hiqqah, dan pada setiap 40 ekor unta tambahan, zakatnya hendaklah ditambahkan 1 Ibn tu labun.
Adapun untuk nisab dan kadar zakat hewan sapi atau lembu adalah jika mencapai nisabnya 40 maka kadarnya zakatnya 1 musinnah. Apabila mencapai 60 maka kadar zakatnya berjumlah 2 tabi’, dan apabila mencapai 70 maka kadar zakatnya adalah 1 tabi’ dan 1 musinnah. Selanjutnya, apabila bertambah pada setiap 40 lembu atau sapi maka kadar zakatnya 1 musinnah, dan pada setiap 30 ekor lembu atau sapi maka kadar zakatnya 1 tabi’ atau tabi’ah. Nisab zakat kamIbn g 40 sampai 120 ekor adalah 1 kambing betina.
Abu Yusuf menekankan beberapa point penting agar teciptanya efisiensi dalam pengelolaan zakat, yaitu: (1) Khalifah memilih petugas zakat yang amanah dan terpercaya yang bertanggung jawab dalam pengelolaan zakat sebagai ketua, (2) Ketua petugas zakat yang amanah dan terpercaya ini harus memilih orang-orang yang amanah dan terpercaya juga untuk mengelolah zakat di setiap kota; (3) pengelolaan dalam penghimpunan zakat harus terpisah dari pajak yang lain seperti, ‘usyr dan al-kharaj karena harta keduanya untuk semua orang-orang Muslim, dan zakat adalah harta bagi orang-orang Muslim yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT di dalam kitab-Nya; and (4) pendapatan zakat yang dating dari sumber-sumber zakat dalam satu wilayah harus dikumpulkan menjadi satu dan di keluarkan kepada ashnaf;
f.     Jisyah
Jisyah disebutkan di dalam al-Qur’an surah 9 ayat 29. Jisyah berasal dari kata jaza yang berarti konpensasi.Konpensasi ini berupa jaminan keamanan yang diberikan oleh pemerintahan Islam kepada kaum dhimmiyang menetap didalamnya. Abu Yusuf menasehati Amirul Mukminin Harun al-Rasyid agar bertindak ramah tamah terhadap kaum dhimmi sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW. Diriwayatkan dari Rasulullah SAW berkata: “Barang siapa menzalimi orang yang membuat perjanjian setia atau membebannya diatas kemampuannya maka saya akan menghujatnya”.
Menurut Abu Yusuf jisyah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kaum dhimmi lelaki baik dari Sawad, Khirah dan dari penjuru daerah dari Yahudi, Nasrani, Majusi, Sabi’in dan Samirah. Jisyah bagi golongan kaya 48 dirham, bagi golongan menengah 24 dirham, dan bagi pengerajin atau petani biasa 12 dirham untuk setiap tahunnya. Jika pembayarannya dengan menggunakan barang-barang selain emas dan perak maka akan dihitung sesuai dengan kadarnya. Selanjutnya, Amirul Mukminin melarang bangkai, babi, dan alkohol (khimar) untuk dibayarkan sebagai jisyah, Ali Ibn  Abi Thalib menegaskan agar tidak mengambil jisyah kepada orang-orang miskin, orang-orang buta yang tidak mempunyai usaha dan pekerjaan, dan orang-orang yang cacat. Namun ada pengecualian, jika orang cacat, orang buta dan orang yang berpenyakitan merana adalah masuk dalam kategori kaya, maka bagi mereka akan dikenakan jisyah. Para pendeta yang kaya berada di rumah pendeta, maka akan dikenakan jisyah, tetapi jika mereka masuk dalam golongan miskin tidak dikenakan. Demikian juga dengan orang-orang gereja jika mereka termasuk dalam golongan kaya. Adapun kaum dhimmi yang masuk Islam sebelum masuk masa setahun maka tidak dikenakan jisyah, tetapi jika masuk setelah masa setahun atau belum sempurna setahun masih dikenakan jisyah kepadanya. Orang tua yang tidak dapat lagi bekerja dan orang gila atau tidak sehat akalnya juga tidak dikenakan jisyahnya.
g.    Usyur (العشور)
Al-‘Usyur secara bahasa berasal dari asal kata ‘syara- ya’syuru-‘asyran yang berarti mengambil sepersepuluh harta. Secara istilah adalah pajak perdagangan (cukai) yang dikenakan kepada Muslim dan non-Muslim (kaum dhimmi dan harbi). Al-‘usyur dikenakan bagi kaum muslim berjumlah 2,5 %, bagi kaum dhimmi berjumlah 5 %, dan bagi kaum al-harbiberjumlah 10% jika mencapai kadarnya 200 dirham atau mencapai kadar 20mitsqal. Jadi ‘Usyur yang dikenakan selain dari kamu Muslim berlipat ganda,yaitu Dhimmi harus membayar dua kali lipat dari apa yang di bayarkan Muslim, dan bagi Harbi harus membayar dua kali lipat dari apa yang dibayarkan Dhimmi kepada pemerintah Islam[12]
3.      Konsep Harga
Abu Yusuf menyebutkan beberapa referensi hadist mengenai harga, seperti hadist yang sebutkan di bawah ini:
قال أبو يوسف: وحد ثني محمد بن عبد الرحمن بن ابي ليلي عن الحكم بن عتيبة عن رجل حد ثه ان السعر غلا في زمن رسول الله صلي الله عليه و سلم, فقا ل النا س لر سو ل الله السعر قد غلا فو ظف وظيفة عليها. فقا ل: ان الرخص والغلا ء بيد الله ليس لنا ان نجوز امر الله و قضا ءه.[6]
Harga murah bukan karena persediaan (supply) makanan yang berada di pasaran itu banyak, dan harga mahal bukan disebabkan oleh persediaan makanan yang sedikit. Abu Yusuf menolak argumen yang menyatakan bahwa ketika persediaan barang naik, maka harga akan turun atau ketika persediaan terbatas, maka harga akan naik. Menurutnya naik dan turun nya harga di pasaran adalah kehendak Allah SWT.
Disini terlihat bahwa yang menentukan harga pasar bukan saja terletak pada sisi permintaan, tetapi ada faktor-faktor lain yang menentukannya. Sebagai contoh yang terjadi di masa Amirul Mukminin yang mana harga gandum pada masa itu turun dikarenakan musim paceklik (faktor alam). Jadi penawaran (supply) atau permintaan (demand) di dalam ekonomi adalah sebuah mekanisme terbentuknya harga melalui kebijakan Allah SWT.
3.      Pengeluaran Negara  

Abu Yusuf tidak membahas secara sistematis tentang pengeluaran Negara dalam kitab Al-Kharaj, namun di dalam kitab tersebut setidaknya terdapat lima point pengeluaran negara yaitu pertama gaji pegawai negeri, kedua pertahanan militer, ketiga pembangunan infrastuktur, keempat memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan yang kelima fasilitas untuk narapidana.

Rangkuman
·         Pemikiran Abu Yusuf dalam konsep-konsep ekonomi terfokus pada bidang perpajakan dan pengolahan lahan pertanian, yang banyak dituangkannya dalam Kitab al-Kharaj. Selain itu, beliau juga memberikan pendapatnya dalam hal mekanisme pasar terhadap permintaan dan penawaran harga.
·         Masalah perpajakan, Abu Yusuf menganjurkan sistem pajak yang proporsional, seimbang dan berdasarkan prinsip keadilan.
·         Dalam masalah pertanian, untuk mendapatkan hasil produksi yang lebih besar dengan cara penyediaan fasilitas dalam perluasan lahan pertanian,dan pembebanan biaya ditanggung negara. Abu Yusuf lebih cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil produksi pertanian para penggarap daripada penarikan sewa dari lahan pertanian.
·         Dalam hal mekanisme pasar, Abu Yusuf memberikan pandangan yang berbeda dengan pendapat umum, dimana harga yang mahal bukan berarti terdapat kelangkaan barang dan harga yang murah bukan berarti jumlah barang melimpah, tetapi ada variabel-variabel lain yang menentukan pembentukan harga. Abu Yusuf juga menentang penguasa menentukan harga
·         Pengeluaran Negara dalam kitab Al-Kharaj, terdapat lima point pengeluaran negara yaitu pertama gaji pegawai negeri, kedua pertahanan militer, ketiga pembangunan infrastuktur, keempat memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan yang kelima fasilitas untuk narapidana.
·          


[1] M. Nejatullah Siddiqi dan S.M. Ghanzafar, Early Medieval Islamic Economic Thought: Abu Yusuf’s Economic of Public Finance, London and Newyork: Routledge, 2003, 210
[2] Mustafa Edwin, pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: KPMG, 2007), 185  lihat juga Rifaat Al-Audhi, Min at-Turats: al-Iqtisad li al-Muslimin, Makkah: Rabithah ‘Alam al-Islam, 1985), Cet. Ke-4,  119.
[3] Meskipun Abu Yusuf bermadhab Abu Hanifah, ia tidak sepenuhnya mengambil pendapat Abu Hanifah dalam ijtihadnya.

[4]Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek......... 24
[5] Al-Maraghi dan Abdullah Mustafa, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah (Yogyakarta: LKPSM, 2001), 77. Philip K. Hitti menyebutkan bahwa pada pemerintahan Khalifah Harun Ar Rasid ini banyak terjadi penerjemahan karya-karya berbahasa Persia, Sansekerta, Suriah dan Yunani kedalam bahasa Arab secara besar-besaran. Lihat Philip K. Hitti, History Of The Arabs,ter. R. Cecep Lukman dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi, 2013), hal. 381
[6]Muhammad Nejatullah Siddiqi, Al-fiqri al-Iqtisad li Abi Yusuf, Journal of Research Islamic Economics, Vol 2, 1984-85, 71
[7]al-Qadli AbuYusuf Ya’qub Ibrahim (112-182H), Kitab al-Kharaj, Muhib al-Din al-Khatib, [nd.] Buku ini merupakan buku yang paling popular dari kepopuleran buku-bukunya yang lain. Dengan buku ini Abu Yusuf dianugerahi sebagai ahli fikih dan ahli ekonomi klasik muslim. Banyak penelitian terkait dengan kitab al-kharaj ini. 
[8] Yusuf al-Qardhawi, Peran Nilai dan Moral Perekonomian (Jakarta: Rabbani press: 1997), 431
[9] Nur Chamid,  Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, , 2010),154
[10]Ibid,  155.
[11] Abu Yusuf, kitab al-Kharaj, (Bairut: Dar al-Ma;arif,1979),108
[12]Ibid, 132-133.

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Profile

About Me
Dr. Abdurrohman S.Ag. M.EI
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura. . Selengkapnya

Total Pageviews

Recent Posts

Random

Comments

Contact Us

Name

Email *

Message *

Populer

item