rohmans

UTM, GARAM DAN SUNAH RASULULLAH – Tulisan ketiga

Tulisan ketiga merupakan lanjutan pada tulisan sebelumnya, masih menggali GARAM dalam kajian turats dan kali ini penulis menambahkan kaed...

Gambar terkait
Tulisan ketiga merupakan lanjutan pada tulisan sebelumnya, masih menggali GARAM dalam kajian turats dan kali ini penulis menambahkan kaedah ushul fiqh mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjibun” .

Hadis berikut ini sangat pendek hanya terdiri dari 4 kalimat, sehingga mudah dihafal, dalam kajian pesantren model seperti bukanlah hadis hanya sebuah mahfudhat, atau kata mutiara indah bahasa Arab...seperti man jadda wajada, kalimat ini bukan hadis tetapi sebuah ungkapan tashji (motivasi) yang digali dari bahasa Arab.
سَيِّدُ إِدَامِكُمُ الْمِلْحُ
“Penghulu lauk-pauk  kamu adalah garam.”
adapum hadis lengkapnya sebagai berikut
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ ، حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ أَبِي عِيسَى ، عَنْ رَجُلٍ ، أُرَاهُ مُوسَى ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : سَيِّدُ إِدَامِكُمُ الْمِلْحُ.

Telah menceritakan Hisyam bin Ammar, telah menceritakan Marwan bin Mu'awiyyah, telah menceritakan 'Isa bin abi 'isa dari seorang lelaki (Musa) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata ia, telah berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : "Penghulu dari segala kuah adalah Garam"

Hadis ini  diriwayatkan oleh Ibnu Majah (3315), Abu Ya’la dalam Musnad (3714), Ibnu al-A’rabi dalam Mu’jam (2254), al-Thabarani dalam Mu’jam al-Ausath (8854), Tamam al-Razi dalamFawaid Tamam (1147), al-Qudha’ie dalam Musnad al-Syihab (1327), al-Baihaqi dalamSyu’ab al-Iman (5551), Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq (4/243), Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil (6/434), al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus (3481) dan lain-lain daripada Anas bin Malik secara marfu’

Sedang penilain tentang hadis ini dapat dilihat bahwa

a. Al-Busiri dalam Misbah al-Zujajah (4/21): “Sanad ini daif disebabkan kedaifan ‘Isa bin Abi ‘Isa al-Hannath.”
b. Al-Sakhawi dalam al-Maqasid al-Hasanah (575): “Ianya daif. Sebahagaian perawi mensabitkan seorang perawi yang samar (namanya) dan sebahagian lagi membuangnya.”
c. Al-‘Ajluni dalam Kasyf al-Khafa’ (1502): “Daif.”
d. Al-Syaukani dalam al-Fawaid al-Majmu’ah (39): “Dalam sanadnya ada (perawi) daif.”
e. Ahmad al-Ghumari dalam Fath al-Wahhab (2/322): “Isa bin Abi Isa seorang yang matruk (sangat daif).”


Makna yang dikandung dalam hadis ini

sejarah peradaban manusia telah mencatat bahwa GARAM ternyata sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu. Para ahli memperkirakan garam sudah digunakan sebagai campuran makanan sejak 6050 SM oleh masyarakat neolitik kebudayaan Precucuteni (baca sejarah penggunaan garam).
Yang menjadi pertanyaan besar menurut hadis tersebut adalah, benarkah garam merupakan sayyid idam ( raja lauk), benarkah demikian?...Mari kita cermati secara mendalam dalam kehidupan sehari-hari garam banyak digunakan sebagai salah satu bumbu masak yang terpenting. Dengan garam manusia dapat memberikan rasa asin dalam sup, sayuran dan berbagai makanan olahan, bahkan garam juga digunakan untuk proses pengawetan makanan.
Karena pentingnya garam sebagai penentu bumbu inilah, sehingga keberadaan merupakan GARAM merupakan KEWAJIBAN.
Penulis menjadi ingat kaidah ushul fiqih yang menyatakan “mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjibun” (Sesuatu yang suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itu hukumnya wajib). Selanjutnya apa maksudnya kaedah tersebut ?  dan bagaimana implementasinya? Dan apa hubungan dengan GARAM?
Maksudnya adalah “Adannya sesuatu yang suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu-.. Pembicaraan tersebut adalah tentang pelaksanaan kewajiban dan bukan tentang penetapan hukum syar’iy wajib, sunnah atau mubah dan lainnya.
Sesungguhnya suatu kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu itu, hal itu ada dua bagian:pertama, kewajiban yang (pelaksanaannya) disyaratkan dengan sesuatu. Kedua, kewajiban yang (pelaksanaannya) tidak disyaratkan dengan sesuatu. Adapun apa kewajiban (pelaksanaannya) disyaratkan dengannya, maka tidak ada perbedaan bahwa tercapainya syarat tersebut bukan kewajiban. Melainkan kewajiban tersebut adalah apa yang kewajibannya didatangkan oleh dalil. Hal itu seperti wajibnya shalat tertentu. Kewajiban shalat tertentu itu disyaratkan dengan adanya suci (thaharah). Maka suci (thaharah) bukan wajib dari sisi seruan shalat, melainkan suci itu adalah syarat penunaian kewajiban tersebut (shalat).”

Selanjutnya jika GARAM, merupakan prasyarat sempurnanya sebuah masakan (illa bihi), maka keberadaan GARAM adalah WAJIB (fahuwa wâjibun). Maka benar kalau adalah istilah “ Masakan tanpa Garam terasa hambar” Wallahu a’lam bi al-showab. (Abdur Rohman, FkiS UTM)

>>>>>>> Berlanjut pada tulisan ke empat..Insya Allah





Related

Artikel 3104322094151768226

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Profile

About Me
Dr. Abdurrohman S.Ag. M.EI
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura. . Selengkapnya

Total Pageviews

Recent Posts

Random

Comments

Contact Us

Name

Email *

Message *

Populer

item