UTM, GARAM DAN SUNAH RASULULLAH – Tulisan ketiga
Tulisan ketiga merupakan lanjutan pada tulisan sebelumnya, masih menggali GARAM dalam kajian turats dan kali ini penulis menambahkan kaed...
https://rohman-utm.blogspot.com/2018/06/utm-garam-dan-sunah-rasulullah-tulisan_14.html
Tulisan ketiga merupakan lanjutan pada tulisan
sebelumnya, masih menggali GARAM dalam kajian turats dan kali ini penulis menambahkan
kaedah ushul fiqh “mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjibun” .
Hadis berikut ini sangat pendek hanya terdiri dari 4
kalimat, sehingga mudah dihafal, dalam kajian pesantren model seperti bukanlah
hadis hanya sebuah mahfudhat, atau kata mutiara indah bahasa
Arab...seperti man jadda wajada, kalimat ini bukan hadis tetapi sebuah
ungkapan tashji (motivasi) yang digali dari bahasa Arab.
سَيِّدُ إِدَامِكُمُ الْمِلْحُ
“Penghulu lauk-pauk kamu adalah
garam.”
adapum hadis lengkapnya sebagai berikut
Telah menceritakan Hisyam bin Ammar, telah menceritakan Marwan bin Mu'awiyyah, telah menceritakan 'Isa bin abi 'isa dari seorang lelaki (Musa) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata ia, telah berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : "Penghulu dari segala kuah adalah Garam"
adapum hadis lengkapnya sebagai berikut
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ ، حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ
مُعَاوِيَةَ ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ أَبِي عِيسَى ، عَنْ رَجُلٍ ، أُرَاهُ
مُوسَى ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله
عَليْهِ وسَلَّمَ : سَيِّدُ إِدَامِكُمُ الْمِلْحُ.
Telah menceritakan Hisyam bin Ammar, telah menceritakan Marwan bin Mu'awiyyah, telah menceritakan 'Isa bin abi 'isa dari seorang lelaki (Musa) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata ia, telah berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : "Penghulu dari segala kuah adalah Garam"
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah (3315), Abu
Ya’la dalam Musnad (3714), Ibnu al-A’rabi dalam Mu’jam (2254), al-Thabarani
dalam Mu’jam al-Ausath (8854), Tamam al-Razi dalamFawaid
Tamam (1147), al-Qudha’ie dalam Musnad al-Syihab (1327),
al-Baihaqi dalamSyu’ab al-Iman (5551), Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh
Dimasyq (4/243), Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil (6/434), al-Dailami
dalam Musnad al-Firdaus (3481) dan lain-lain daripada Anas bin
Malik secara marfu’.
Sedang
penilain tentang hadis ini dapat dilihat bahwa
a. Al-Busiri dalam Misbah
al-Zujajah (4/21): “Sanad ini daif disebabkan kedaifan ‘Isa
bin Abi ‘Isa al-Hannath.”
b. Al-Sakhawi dalam al-Maqasid
al-Hasanah (575): “Ianya daif. Sebahagaian perawi mensabitkan
seorang perawi yang samar (namanya) dan sebahagian lagi membuangnya.”
c. Al-‘Ajluni dalam Kasyf
al-Khafa’ (1502): “Daif.”
d. Al-Syaukani dalam al-Fawaid
al-Majmu’ah (39): “Dalam sanadnya ada (perawi) daif.”
e. Ahmad al-Ghumari dalam Fath
al-Wahhab (2/322): “Isa bin Abi Isa seorang yang matruk (sangat daif).”
Makna yang dikandung dalam hadis ini
sejarah peradaban
manusia telah mencatat bahwa GARAM ternyata sudah dikenal sejak ribuan tahun
lalu. Para ahli memperkirakan garam sudah digunakan sebagai campuran makanan
sejak 6050 SM oleh masyarakat neolitik kebudayaan Precucuteni (baca sejarah
penggunaan garam).
Yang menjadi pertanyaan
besar menurut hadis tersebut adalah, benarkah garam merupakan sayyid idam (
raja lauk), benarkah demikian?...Mari kita cermati secara mendalam dalam kehidupan
sehari-hari garam banyak digunakan sebagai salah satu bumbu masak yang
terpenting. Dengan garam manusia dapat memberikan rasa asin dalam sup, sayuran
dan berbagai makanan olahan, bahkan garam juga digunakan untuk proses
pengawetan makanan.
Karena pentingnya garam
sebagai penentu bumbu inilah, sehingga keberadaan merupakan GARAM merupakan KEWAJIBAN.
Penulis menjadi ingat kaidah
ushul fiqih yang menyatakan
“mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjibun” (Sesuatu
yang suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu
itu hukumnya wajib). Selanjutnya apa
maksudnya kaedah tersebut ? dan
bagaimana implementasinya? Dan apa hubungan dengan GARAM?
Maksudnya adalah “Adannya
sesuatu yang suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu-..
Pembicaraan tersebut adalah tentang pelaksanaan kewajiban dan bukan tentang
penetapan hukum syar’iy wajib, sunnah atau mubah dan lainnya.
“Sesungguhnya suatu
kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu itu, hal itu ada dua
bagian:pertama, kewajiban yang (pelaksanaannya) disyaratkan dengan sesuatu.
Kedua, kewajiban yang (pelaksanaannya) tidak disyaratkan dengan sesuatu. Adapun
apa kewajiban (pelaksanaannya) disyaratkan dengannya, maka tidak ada perbedaan
bahwa tercapainya syarat tersebut bukan kewajiban. Melainkan kewajiban tersebut
adalah apa yang kewajibannya didatangkan oleh dalil. Hal itu seperti wajibnya
shalat tertentu. Kewajiban shalat tertentu itu disyaratkan dengan adanya suci (thaharah).
Maka suci (thaharah) bukan wajib dari sisi seruan shalat, melainkan suci
itu adalah syarat penunaian kewajiban tersebut (shalat).”
Selanjutnya jika GARAM,
merupakan prasyarat sempurnanya sebuah masakan (illa bihi), maka
keberadaan GARAM adalah WAJIB (fahuwa wâjibun). Maka benar kalau adalah
istilah “ Masakan tanpa Garam terasa hambar” Wallahu a’lam bi al-showab.
(Abdur Rohman, FkiS UTM)
>>>>>>>
Berlanjut pada tulisan ke empat..Insya Allah