UTM, GARAM DAN SUNAH RASULULLAH – Tulisan keempat
( GARAM DAN INDAHNYA PERSAHABATAN) Terimakasih atas respon kawan-kawan dosen dan mahasisiwa termasuk bapak rektor Universitas Trunojo...
https://rohman-utm.blogspot.com/2018/06/utm-garam-dan-sunah-rasulullah-tulisan_15.html
( GARAM DAN INDAHNYA
PERSAHABATAN)
Terimakasih atas respon kawan-kawan dosen dan mahasisiwa termasuk
bapak rektor Universitas Trunojoyo Madura pada tulisan 1-3 tentang GARAM. Tulisan kali ini berjudul “GARAM
dan Indahnya Persahabatan” tentunya masih tetap menggali lebih dalam lagi makna
filosofi GARAM.
Selain Garam merupakan
salah satu zat dasar terpenting bagi organisme. Bagi manusia, garam, “bukan
hanya merangsang selera, tetapi juga kebutuhan biologis. Bahkan tanpa garam
terasa hambar (
baca tulisan sebelumnya)
Seringkali garam dijadikan lambang kesetiaan, keabadian, dan
persahabatan. Orang Ibrani kuno –diikuti orang-orang Yahudi hingga kini–
menganggap garam sebagai simbol sifat kekal perjanjian Allah dengan bangsa
Israel. Taurat, Kitab Bilangan, menulis, “Ini adalah
perjanjian garam selamanya, di hadapan Tuhan.” Lalu dalam Chronicles,
“Tuhan Allah Israel memberi kerajaan Israel kepada Daud selamanya, bahkan untuk
dia, dan anak-anaknya, dengan sebuah perjanjian garam.” Plato mengibaratkannya
sebagai “zat utama yang mewakili rasa sayang kepada dewa”, sementara Homerus
menyebutnya “zat Ilahiah.” Pasukan India menyatakan janji setianya
kepada Inggris juga dengan garam.
Kristen mengidentikkan garam dengan kebenaran dan kebijaksanaan.
Gereja Katolik tak hanya membagi-bagikan air suci tapi juga garam suci, Sal
Sapientia (Garam Kebijaksanaan).
Di banyak peradaban kuno, garam dijadikan alat tukar/uang. Para
serdadu ataupun pekerja diupah dengan garam. Saking berharganya, di Karibia
garam ditimbun di bawah tanah rumah-rumah pedagang. Adam Smith dalam The
Wealth of Nations (1776), juga menyinggung hal ini. “Selama
ribuan tahun, garam mewakili kekayaan,”
Lantas bagaimana GARAM
bisa dijadikan simbol persahabatan ? Setidaknya ada sejumlah hadis berikut ini
yang bisa diajdikan referensi yaitu :
مثلُ أصحابي مثلُ الملح
في الطعام، لا يصلحُ الطعامُ إلاَّ به
“Perumpamaan sahabatku adalah seperti garam dalam
makanan. Tidak akan elok makanan itu kecuali dengannya.”
Dalam lafadz yang
lain:
إِنَّ مَثَلَ
أَصْحَابِي فِي أُمَّتِي كَالْمِلْحِ فِي الطَّعَامِ، لَا يَصْلُحُ الطَّعَامُ
إِلَّا بِالْمِلْحِ
“Sesungguhnya perumpamaan sahabatku di kalangan umatku
adalah seperti garam dalam makanan. Tidak akan elok makanan itu kecuali
dengannya.”
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bazzar dalam Musnad (6698) dan Abu
Ya’la dalam Musnad (2762), Ibnu al-Mubarak dalam al-Zuhd (572), al-Ajuri dalam al-Syari’ah (1157),
al-Qudha’ie dalamMusnad al-Syihab (1347), Ibnu Abd al-Barr
dalam al-Isti’ab (1/16) dan al-Baghawi dalamSyarh al-Sunnah (3863)
daripada Anas secara marfu’.
Sedang Penilaian hadis adalah sebagai berikut
a. Al-Haithami
dalam Majma’ al-Zawaid (10/18): “Diriwayatkan oleh Abu
Ya’la dan al-Bazzar. Dalam sanadnya terdapat Isma’il bin Muslim, dia adalah
daif.”
b. Ahmad al-Ghumari
dalam Fath al-Wahhab (2/335): “Ismail bersendirian
meriwayatkannya daripada al-Hasan dan dia adalah daif.”
c. AL-Busiri
dalam Ithaf al-Khairah al-Maharah (7/341): “Dan
baginya sokongan (syahid) daripada hadis[2] Samurah bin
Jundub yang diriwayatkan oleh al-Bazzar dan al-Thabrani.”
سَتُوشِكُونَ أَنْ
تَكُونُوا فِي النَّاسِ كَالْمِلْحِ فِي الطَّعَامِ، وَلَا يَصْلُحُ الطَّعَامُ
إلَّا بِالْمِلْحِ
“Sudah hampir masanya
kamu (sahabat) akan diperlukan oleh orang ramai sebagaimana garam diperlukan
dalam makanan dan tidak akan elok makan itu kecuali dengan garam.”
Dalam lafaz yang lain:
إنكم توشكون أن تكونوا
في الناس كالملح في الطعام، ولا يصلحُ الطعامُ إلاَّ بالملح
“Sesungguhnya sudah
hampir masanya kamu (sahabat) akan diperlukan oleh orang ramai sebagaimana garam
diperlukan dalam makanan dan tidak akan elok makan itu kecuali dengan garam.”
Dalam lafaz yang lain:
يُوشِكُ أَنْ تَكُونُوا
فِي النَّاسِ كَالْمِلْحِ فِي الطَّعَامِ، لَا يَصْلُحُ الطَّعَامُ إِلَّا
بِالْمِلْحِ
Terjemahan
“Sudah hampir masanya
kamu (sahabat) akan diperlukan oleh orang ramai sebagaimana garam diperlukan
dalam makanan dan tidak akan baik makan
itu kecuali dengan garam.”
Hadis ini diriwayatkan al-Bazzar dalam Musnad (4630) dan al-Thabarani
dalam Mu’jam al-Kabir(7/323) daripada Samurah bin Jundub
secara marfu’. Sedang penilaian
hadis adalah Al-Haithami
dalam Majma’ al-Zawaid (10/18): “Diriwayatkan oleh
al-Bazzar dan al-Thabarani dan sanad al-Thabarani hasan.”
Sealipun redaksi
bahasa berbeda, namun secara subtantif hadis tersebut diatas memiliki makna
yang sama yaitu pentingnya persahatan dalam kehidupan. Maka tak salah kalau Bung Hatta pernah bilang
"...supaya
memakai ilmu garam: terasa tapi tidak kelihatan. Bukanya ilmu gincu, kelihatan
tapi tak terasa!"
Artinya gagasan Bung Hatta ini sangat jelas, tujuannya
mendidik umat Islam agar pandai-pandai membawakan diri jika ingin memperjuangkan ajaran Islam di Indonesia,
yaitu bagaimana merekatkan hubungan
Islam dan keindonesiaan., terlebih pada kondisi hari ini, ummat Islam sedang
diuji di bumi nusantara ini. Jika ummat Islam tidak mau hancur harus menjaga persatuan dan kesatuan agar
tidak terpecah belah. Wallahu a’lam bi al-showab ( Abdur Rohman, FKIS UTM)
>>>>>>>Berlanjut pada tulisan kelima..Insya Allah