PEROLEHAN HAK AMIL DALAM PEMBAGIAN ZAKAT MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Amil dan Fungsi Amil 1. Pengertian Amil Amil merupakan semua pihak yang bertindak mengerjakan yang b...
https://rohman-utm.blogspot.com/2018/06/perolehan-hak-amil-dalam-pembagian.html
A. Pengertian Amil
dan Fungsi Amil
1.
Pengertian Amil
Amil merupakan semua pihak
yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan,
penjagaan, pencatatan dan penyaluran atau distribusi harta zakat. Mereka
diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi
pemerintah yang berwenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan
membagikan serta tugas lain yang berhubungan dengan zakat.
Hafidhuddin mengatakan
bahwa amil zakat adalah "mereka yang melaksanakan segala kegiatan yang berkaitan
dengan urusan zakat, mulai dari proses penghimpunan, penjagaan, pemeliharaan,
sampai proses pendistribusiannya, serta tugas pencatatan masuk dan keluarnya
dana zakat tersebut."[1]
Abu Bakar al-Hushaini di
dalam Kifayat al-Akhyar, mengatakan bahwa Amil Zakat adalah "orang
yang mendapatkan tugas dari negara, organisasi, lembaga atau yayasan
untuk mengurusi zakat. Atas kerjanya tersebut seorang amil zakat berhak
mendapatkan jatah dari uang zakat. “Amil Zakat adalah orang yang ditugaskan
pemimpin negara untuk mengambil zakat kemudian disalurkan kepada yang berhak,
sebagaimana yang diperintahkan Allah.“[2]
Dasar hak amil dalam pembagian zakat adalah firman Allah :
إنَما الصّدقات للْفقراء
والْمساكين والْعاملين عليْها والْمؤلفة قلوبهمْ وفي الرقاب والْغارمين وفي سبيل
اللّه وابْن السّبيل فريضة من اللّه واللّه عليم حكيم
Artinya : “Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. at-Taubah :
60).[3]
Ayat ini dengan jelas
menggunakan kata “innama” yang memberi makna hashr (pembatasan).
Ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut,
tidak untuk yang lainnya. Yang dimaksudkan amil zakat di sini menurut tafsiran
para ulama adalah adalah "orang yang bertugas mengurus zakat dan ia
mendapat bagian dari zakat tersebut dan tidak boleh amil zakat ini berasal dari
kerabat (keluarga)
Rasulullah SAW yang tidak diperkenankan menerima sedekah." [4]
Namun sebenarnya tidak
sesederhana seperti yang diterangkan di atas. Amil zakat harus memenuhi
beberapa syarat sebagaimana keterangan para ulama di bawah ini.
Para Ulama Berbicara
Tentang Amil Zakat diantaranya Sayyid Sabiq mengatakan, “Amil zakat
adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa untuk
bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat adalah "orang
yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan ternak zakat dan juru
tulis yang bekerja di kantor amil zakat.”[5]
‘Adil bin Yusuf Al ‘Azazi
berkata, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah "para petugas yang
dikirim oleh penguasa untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang yang
berkewajiban membayar zakat. Demikian pula termasuk amil adalah orang-orang
yang menjaga harta zakat serta orang-orang yang membagi dan mendistribusikan
zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka itulah yang berhak
diberi zakat meski sebenarnya mereka adalah orang-orang yang kaya."[6]
Syaikh Muhammad bin Shalih
Al ‘Utsaimin mengatakan, “Amil zakat adalah "orang-orang yang diangkat
oleh penguasa untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk
menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai
dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang kaya."[7]
Sedangkan orang biasa yang
menjadi wakil orang yang berzakat untuk mendistribusikan zakatnya bukanlah
termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta zakat
sedikitpun disebabkan status mereka sebagai wakil. Akan tetapi jika mereka
dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang
berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut
mendapatkan pahala. Namun jika mereka meminta upah karena telah
mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah
dari hartanya yang lain bukan dari zakat.
Dengan demikian, orang
yang diberi zakat dan diminta untuk membagikan kepada yang berhak menerimanya,
ia tidak disebut ‘amil. Bahkan statusnya hanyalah sebagai wakil atau orang yang
diberi upah. Perbedaan antara amil dan wakil begitu jelas. Jika harta zakat itu
rusak di tangan amil, maka si muzakki (orang yang menunaikan
zakat) gugur kewajibannya. Sedangkan jika harta zakat rusak di tangan wakil
yang bertugas membagi zakat (tanpa kecerobohannya), maka si muzakki
belum gugur kewajibannya.”[8]
Berdasarkan paparan di
atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai amil zakat adalah: (1)
diangkat dan (2) diberi otoritas (kuasa) oleh penguasa muslim untuk mengambil
zakat dan mendistribusikannya. Sehingga panitia-panitia zakat yang ada di
berbagai masjid serta orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah
amil secara syar’i. Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil
adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak tertentu serta Memiliki otoritas
untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil
karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari
orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.
Namun demikian, tidaklah
tepat menyatakan takmir (pengurus) masjid sebagai amil zakat,
yang tepat mereka adalah wakil dari muzakki sebagaimana keterangan para
ulama di atas. Sehingga mereka tidak boleh seenaknya memotong atau mengambil
bagian dari zakat dari para muzakki. Jika mereka memotongnya, itu sama
saja memakan harta orang dengan cara yang batil. Jadi hanya sekedar menyalurkan
dan pekerjaan mereka bersifat sosial. Untuk itu, perlu diberikan upah, tidak
diambil dari harta zakat namun
dari dana lainnya.
2.
Fungsi Amil
Sesuai dengan namanya,
profesi utama amil zakat adalah berfungsi sebagai pengurus zakat. Jika dia
memiliki pekerjaan lain, maka dianggap pekerjaan sampingan atau sambilan yang
tidak boleh mengalahkan pekerjaan utamanya yaitu amil zakat. Karena waktu dan
potensi, serta tenaganya dicurahkan untuk mengurusi zakat tersebut, maka dia
berhak mendapatkan bagian dari zakat.
Adapun jika dia mempunyai
profesi tertentu, seperti dokter, guru, direktur perusahaan, pengacara,
pedagang, yang sehari-harinya bekerja dengan profesi tersebut, kemudian jika
ada waktu, dia ikut membantu mengurusi zakat, maka orang seperti ini tidak
dinamakan amil zakat, kecuali jika dia telah mendapatkan tugas secara resmi
dari Negara atau lembaga untuk mengurusi zakat sesuai dengan aturan yang
berlaku. "Bahkan jika ada gubernur, bupati, camat, lurah yang ditugaskan
oleh pemimpin Negara untuk mengurusi zakat, diapun tidak berhak mengambil
bagian dari zakat, karena dia sudah mendapatkan gaji dari kas Negara sesuai
dengan jabatannya."[9]
Dasar pengangkatan amil
zakat ini adalah hadits Abu Humaid as-Sa’idi :
عن أبي حميْد
السّاعدي رضي الله عنْه قل استعمل النبي صلى الله عليه وسلم رجلا منْ الأزْد يقال
له ابن الأتْبية على الصدقة فلما قدم قال هذا لكم وهذا أهدي لي قال فهلاّ جلس في
بيت أبيه أو بيت أمه فينظر يهدى له أم لا والذي نفسي بيده لا يأخذ أحد منه شيئا
إلا جاء به يوم القيامة يحمله على رقبته إن كان بعيرا له رغاء أو بقرة لها خوار أو
شاة تيعر ثم رفع بيده حتى رأينا عفرة إبطيه اللهم هل بلغت اللهم هلْ بلغت ثلاثا. (رواه
البخارى و مسلم)
Dari Abu Humaid
as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata : Nabi shallallahu a’laihi wasallam
memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah
sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini
untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku". Beliau bersabda :
"Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah
akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Dzat yag jiwaku di
tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia
akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta
yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik".
Kemudian beliau mengangkat tangan-nya, sehingga terlihat oleh kami ketiak
beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan,
bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak tiga kali. [10]
Berdasarkan hadist di
atas, amil zakat ini harus diangkat secara resmi oleh Negara, organisasi,
lembaga, yayasan. Tidak boleh sembarang bekerja secara serabutan dan tanpa
pengawasan.
Didin Hafidhudhin dalam
bukunya menyebutkan tugas amil sebagai berikut :
-
Membuat rencana kerja
-
Melaksanakan operasional
pengelolaan zakat sesuai rencana kerja yang telah disahkan dan sesuai dengan
kebijakan yang telah ditetapkan.
-
Menyusun laporan tahunan
-
Menyampaikan laporan
pertanggungjawaban kepada pemerintah
-
Bertindak dan bertanggungjawab
atas nama Badan Amil Zakat.[11]
Salah satu tugas penting
lain dari lembaga pengelola zakat adalah melakukan sosialisasi tentang zakat
kepada masyarakat secara terus-menerus dan berkesinambungan, melalui berbagai
forum dan media, seperti khutbah jum'at, majelis tak'lim, seminar, diskusi dan
lokakarya, melalui media surat kabar, majalah, radio, internet maupun televisi.
Dengan sosialisasi yang baik dan optimal, diharapkan masyarakat muzakki akan
semakin sadar untuk membayar zakat melalui lembaga zakat yang kuat, amanah dan
terpercaya.
B.
Macam-Macam Zakat dan
Perolehan Hak Amil
1.
Macam-macam Zakat
a.
Zakat Nafs (jiwa), juga disebut
zakat fitrah.
Zakat fitrah adalah "zakat
yang secara khusus diwajibkan pada akhir bulan Ramadhan dan dilaksanakan paling
lambat sampai pelaksanaan shalat hari raa idul fitri."[12]
Tentang kewajiban zakat ini dan ketentuan yang berhubungan dengannya dinyatakan
Nabi dalam hadistnya dari Ibnu Umar menurut periwayatan muttafaq'alaih yang
mengatakan bahwa :
فرض رسول الله صلى
الله عليه وسلم زكاة الفطر صاعا من تمراوصاعا من شعير على العبد والحرو الذكر
والانثى والصغير والكبير من المسلمين وأمر بهاان تؤدي قبل خروج الناس الى الصلاة. (متفق
عليه)
Artinya : "Sesungguhnya Rasulullah telah
memfardukan zakat fitri sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum atas
hamba dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa
dari orang yang beraga Islam. Nabi menyuruh untuk menyerahkannya sebelum umat
Islam melaksanakan shalat hari raya." (HR. Bukhari dan Muslim). [13]
Hadist ini menjelaskan ketentuan yang berkenaan dengan
yang dikenai kewajiban, yaitu semua umat Islam; tentang jenis dan ukuran yang
diberikan yaitu satu sha' makanan pokok dan tentang waktu mengeluarkannya,
yaitu sebelum memulai shalat idul fitri.
b.
Zakat Maal (harta).
Menurut bahasa (lughat),
harta adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia untuk memiliki,
memanfaatkan dan menyimpannya. Menurut syar'a, harta adalah segala sesuatu yang
dapat dimiliki (dikuasai) dan dapat digunakan (dimanfaatkan) menurut ghalibnya
(lazim). Sesuatu dapat disebut dengan maal (harta) apabila memenuhi 2 (dua)
syarat, yaitu: 1) Dapat dimiliki, disimpan, dihimpun, dikuasai 2) Dapat diambil
manfaatnya sesuai dengan ghalibnya. Misalnya rumah, mobil, ternak, hasil pertanian,
uang, emas, perak dan lain-lain.
Adapun macam-macam zakat
adalah sebagai berikut :
1)
Zakat Hewan Ternak
Hewan ternak termasuk
bagian dari harta yang wajib di keluarkan zakatnya. Namun demikian tidak semua
hewan ternak dizakati. Para ulama sepakat bahwa hewan ternak yang termasuk
bagian dari sumber zakat dan wajib di keluarkan zakatnya ada tiga jenis, yaitu
unta, sapi dan domba.
2)
Zakat Hasil Pertanian
Yang dimaksud dengan
pertanian disini adalah bahan-bahan yang di gunakan sebagai makanan pokok dan
tidak busuk jika di simpan, misalnya dari tumbuh-tumbuhan, yaitu jagung, beras,
dan gandum. Sedangkan dari buah-buahan misalnya kurma dan anggur. Hasil
pertanian, baik tanam-tanaman maupun buah-buahan, wajib dikeluarkan zakatnya
apabila sudah memenuhi persyaratan.
3)
Zakat Perdagangan
Zakat perdagangan atau
zakat perniagaan adalah zakat yang dikeluarkan atas kepemilikan harta yang diperuntukkan
untuk jual-beli. Ali Mahmud Uqaily mengatakan bahwa "manyoritas ulama dari
kalangan shahabat, tabi'in dan fuqaha berpendapat bahwa barang-barang
perdagangan wajib untuk dizakati. Yang dimaksud barang perdagangan adalah
benda-benda yang diperdagangkan, bukan nilai harta (dinar dirham)."[14]
Berdasarkan hal tersebut,
zakat ini dikenakan kepada perniagaan yang diusahakan baik secara perorangan
maupun perserikatan seperti, CV, PT, dan koperasi. Sedangkan aset-aset seperti
mesin, gedung, mobil, peralatan dan aset tetap lain tidak kena kewajiban zakat
dan tidak termasuk harta yang harus di keluarkan zakatnya.
4)
Zakat Emas dan Perak
Emas dan perak merupakan
logam galian yang berharga dan merupakan karunia Allah SWT. Ia merupakan hasil
bumi yang banyak mamfaatnya kepada manusia sehingga dijadikan pula sebagai
nilai tukar uang bagi segala sesuatu. Pembahasan mengenai zakat emas dan perak
perlu dibedakan antara sebagai perhiasan atau sebagai uang ( alat tukar).
Sebagai perhiasan emas dan perak juga dapat dibedakan antara perhiasan wanita
dan perhiasan lainnya, misalnya ukiran, souvenir, perhiasan pria dan lain-lain.
Dangkalnya pemahaman fungsi emas dan perak sebagai alat tukar atau mata uang
menyebabkan banyaknya simpanan uang dikalangan umat Islam tidak tertunaikan
zakatnya.
5)
Zakat Barang Tambang
Zakat barang tambang
adalah zakat yang berasal dari dalam (perut) bumi, cukup banyak jenisnya,
menurut Ibnu Qudamah dikutip oleh Fakhruddin, mengemukakan bahwa contoh barang
tambang adalah "emas perak, timah, besi, intan, batu permata, batu
bara dan lain-lain. Barang-barang tambang yang cair seperti aspal, minyak bumi,
belerang, gas dan sebagainya."[15]
Sementara sumber-sumber
zakat dalam perekonomian modern yang dapat dihimpun oleh lembaga zakat yaitu
sebagai berikut :
6)
Zakat Investasi
Investasi adalah penanaman
modal atau uang dalam proses produksi (dengan pembelian gedung-gedung, permesinan,
bahan cadangan, penyelenggaraan ongkos serta perkembangannya). Jadi zakat
investasi adalah zakat yang dikenakan terhadap harta yang diperoleh dari hasil
investasi, misalnya seperti yang telah disebutkan diatas. Dengan demikian
cadangan modal barang di perbesar sejauh tidak perlu ada modal barang yang
harus di ganti.
7)
Zakat Profesi
Zakat profesi adalah
"zakat dari orang yang yang mengerjakan sesuatu (berolah raga, melukis,
musik dan lain-lain), karena jabatan dan profesinya bukan hanya untuk
kesenangan saja, tetapi merupakan suatu pencarian."[16]
Pada zaman sekarang ini orang mendapatkan uang dari pekerjaan atau profesi yang
sedang digelutinya. Jadi pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam,
pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa menggantungkan diri
kepada orang lain, seperti seorang dokter yang mengadakan praktek, pengacara,
seniman, penjahit dan lain-lain. Kedua pekerjaan yang di kerjakan untuk orang
(pihak) lain dengan imbalan mendapat upah atau honorium seperti pegawai (negeri
atau swasta).
Kedua macam pekerjaan
tersebut jelas menghasilkan uang sebagai harta kekayaan. Dengan demikian wajib
di keluarkan zakatnya karena telah mencapai satu tahun.
8)
Zakat Perusahaan
Pada saat ini hampir
sebagian besar perusahaan dikelola tidak secara individual, melainkan secara
bersama-sama dalam sebuah kelembagaan dan organisasi dengan manajemen yang
moderen. Menurut para ahli ekonomi sekarang yang di kutip oleh Didin
Hafidhuddin, paling tidak jenis perusahaan dapat dikategorikan kedalam tiga
kelompok, "pertama perusahaan yang menghasikan produk-produk tertentu.
Perusahaan yang bergerak di bidang jasa, perusahaan yang bergerak di bidang
keuangan."[17] Oleh
karena itu, jika dikaitkan dengan kewajiban zakat maka semua perusahaan yang
melakukan kegiatan perdagangan maka yang harus dihasilkan adalah produk yang
halal, dan dimiliki oleh orang-orang yang beragama Islam.
9)
Zakat Saham dan Obligasi
Diantara hal-hal yang
perlu mendapat perhatian untuk dikeluarkan zakat nya dalam harta modern ini
adalah surat-surat berharga, diantara nya adalah saham (al-sahm) dan
obligasi (al-sanadah) saham dan obligasi adalah kertas berharga yang
berlaku dalam transaksi-transaksi perdagangan khusus yang disebut “bursa
kertas-kertas berharga."[18]
Dengan demikian saham dan obligasi adalah juga harta kekayaan dan setiap harta
kekayaan ada hak orang lain di dalamnya.
10) Zakat Madu dan Produk Ternak
Madu adalah cairan yang
keluar dari perut lebah. Tidak diragukan lagi bahwa madu mengandung berbagai
macam kandungan gizi maupun obat bagi manusia. Madu yang keluar dari perut
lebah merupakan anugrah dari Allah swt, yang salah satu fungsinya adalah
sebagai obat bagi manusia. Dalam perspektif perekonomian modern sekarang, madu
disamping di produksikan secara alami dan individual, kini dikemas sedemikian rupa
sehingga menjadi komoditas perdagangan. Karena itu, sangatlah wajar apabila
dilihat pula dari kajiannya sebagai objek zakat.
11) Zakat Asuransi Syari’ah
Islam memiliki sebuah
sistem yang mampu memberikan jaminan atas kecelakaan atau musibah lainnya
melalui sistem zakat. Bahkan sistem ini jauh lebih unggul dari asuransi
konvensional karena sejak awal didirikan memang untuk kepentingan sosial dan
bantuan kemanusiaan. Dana yang diberikan kepada setiap orang yang tertimpa
musibah ini bersumber dari orang-orang kaya yang membayarkan zakatnya sebagai
salah satu rukun Islam.
Mekanisme asuransi konvensional yang dibuat
adalah "sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi untuk memberikan
kepada pesertanya sejumlah harta ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau
terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai
konsenkwensi/imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dari peserta."[19]
Jadi asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang
mengalami musibah, dana yang diambil dari iuran premi seluruh peserta
asuransinya.
2.
Perolehan Hak Amil
Tugas amil adalah "mengumpulkan,
menjaga, mencatat dan menyalurkan atau mendistribusikan hatra zakat. Mereka
diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi
pemerintah yang berwewenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan
membagikan zakat kepada orang-orang yang sudah ditentukan dalam Al-Qur'an.[20] Atas semua usaha dan kerja kerasnya itu, maka Allah SWT
memberikan kompensasi finansial buat para amil zakat, berupa hak mendapatkan
harta zakat, maksimal 1/8 dari total harta yang mereka kumpulkan. Ketentuan ini
berangkat dari pembagian harta zakat yang ditetapkan untuk 8 asnaf.
Masing-masing mendapat 1/8 bagian dari total harta zakat. Namun karena syariat
zakat itu punya esensi utama memberi harta kepada fakir miskin, maka hak yang
diberikan kepada fakir miskin memang istimewa. Kalau harta itu masih belum
mencukupi hak-hak fakir miskin, maka asnaf yang lain harus dikalahkan demi
kepentingan fakir miskin. Hal ini berangkat dari sabda Nabi SAW kepada Muadz
bin Jabal ketika diutus kepada bangsa Yaman : Harta zakat itu diambil dari
orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang faqir di antara mereka. Maka
bila asnaf tertentu tidak terdapat, hak mereka dikembalikan kepada pihak faqir
dan miskin. Sehinnga faqir dan miskin akan mendapatkan porsi paling besar.
Sedangkan asnaf lainnya bila memang ada, haknya tetap 1/8 dan tidak boleh
melebihi jatahnya itu.
C.
Ketentuan Besarnya Hak Amil
dalam Pembagian Zakat
Tugas seorang amil zakat yaitu
melakukan sensus terhadap orang-orang wajib zakat dari macam-macam harta yang
mereka miliki, dan mengambil sebagain dari ketentuan besarnya harta yang wajib
dizakati. Kemudian menagihnya lalu menyimpan dan menjaganya, untuk kemudian
diserahkan kepada pengurus pembagi zakat. Dalam menyalurkan zakat, amil memilih
cara yang paling baik untuk mengetahui para mustahiq zakat, kemudian
melaksanakan klarifikasi terhadap mereka dan menyatakan hak-hak mereka. Juga
menghitung jumlah kebutuhan mereke dan jumlah biaya yang cukup untuk mereka.
Akhirnya meletakkan dasar-dasar yang sehat dalam pembagian zakat tersebut,
sesuai dengan jumlah dan kondisi sosialnya.
Menurut Yusuf Qardawi, sebagaimana
di kutip oleh Hafidhuddin, seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau
pengelola zakat harus memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut yaitu :
a. "Beragama Islam
b. Mukallaf
c. Memiliki sifat amanah atau jujur
d. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat
e. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas
f.
Kesungguhan amil zakat dalam
melaksanakan tugas."[21]
g. Amil zakat disyaratkan laki-laki (untuk tugas
kepemimpinan)
Oleh karena itu, dalam
pembagian zakat Al-Ahnaf dan Sufyan as-Saury berpendapat bahwa "si pemilik
harta lebih berhak memilih ashnaf mana yang akan diberikan zakat. Sementara
Imam Syafi’i berpendapat bahwa kedelapan asnaf itu berserikat dalam harta,
karena itu masing-masing mempunyai hak yang sama, tidak boleh ada yang
tertinggal."[22]
Jika kita mengambil pemahaman dari kedua pendapat itu, jelas bahwa dalam hal
kedudukan lembaga amil zakat dalam Islam, para ulama memiliki
pandangan-pandangan yang berbeda.
Al-Ahnaf dan Sufyan
as-Saury menerangkan bahwa "zakat lebih baik disalurkan oleh muzaki
sehingga pemilihan ashnaf menjadi hak bagi si muzaki. Sementara pendapat
Syafi’i, semua ashnaf tidak boleh satu pun tertinggal. Dengan kata
lain, dikarenakan dalam ashnaf terdapat amilin, zakat mesti
dihimpun dan diurus oleh amilin sehingga bagian amilin menjadi
tersalurkan."[23]
Terjadinya permasalahan
seperti ini lantaran secara nash sendiri tidak ada ayat atau hadits
yang secara eksplisit menyatakan harus, tidak boleh atau sunatnya hukum
mengadakan amil dalam zakat.
Pada zaman
Rasulallah shallallahu 'alaihi wasallam, zakat merupakan "harta yang
dianjurkan untuk diambil oleh para shahabat yang diutusnya. Rasulallah
SAW mengutus para wakilnya untuk mengumpulkan zakat dari orang kaya dan
membagikannya kepada para mustahiq. Pada zaman Abu Bakar dan Umar Bin
Khattab pun demikian, harta zakat, baik itu yang sifatnya dzahir (tanaman,
buah-buahan, dan ternak) maupun harta bathin (harta emas, perak,
perniagaan dan harta galian), semuanya mesti dihimpun dan dibagikan oleh amilin.
Baru pada zaman khalifah Utsman, meskipun awalnya mengikuti jejak orang-orang
sebelumnya, dikarenakan melimpahnya harta bathin ketimbang harta dzahir
disamping banyaknya kaum muslimin yang gelisah dikala diadakan pemeriksaan
serta pengawasan terhadap hartanya, keputusan untuk menyerahkan wewenang
pelaksanaan zakat dari harta bathin kepada para muzaki pun diberlakukan."[24]
Dari semenjak ini tumbuhlah berbagai pemahaman dan pandangan mengenai keharusan
zakat dikelola oleh amilin atau individu atau sebagian harta oleh
individu dan sebagiannya harus oleh amilin.
Berdasarkan hal tersebut,
kita dapat menilai kalau dalam penetapan masalah amilin terdapat lahan bagi
para fuqaha juga cendikiawan Islam untuk berijtihad seperti yang telah
dilakukan oleh shahabat dan Khulafa ar-Rasyidin, Utsman Bin Affan. Jika ibadah
yang kita lakukan merasa lebih baik untuk disalurkan langsung oleh kita kepada mustahiqnya,
dikarenakan situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan atau terancamnya
keamanan ibadah zakat, maka hal itu diperbolehkan. Namun, zakat lebih utama
apabila disalurkan melalui amil. Sementara dalam teknis penghitungan
jumlah harta serta zakatnya sendiri, banyak kebijakan dari para lembaga amilin
yang memperbolehkan muzaki menyalurkan sendiri zakatnya.[25]
Sebagian kalangan
mengatakan bahwa amil zakat mendapatkan seperdelapan dari jumlah seluruh zakat
yang terkumpul. Mereka beralasan bahwa orang-orang yang berhak mendapatkan
zakat jumlahnya delapan golongan, amil zakat adalah salah satu golongan,
sehingga jatah yang didapatkan adalah seperdelapan dari zakat yang terkumpul.
Tetapi pendapat ini kurang
tepat, karena delapan golongan yang berhak mendapatkan zakat tidak selalu
lengkap dan ada, seperti golongan “fi ar-riqab“ (budak) hari ini tidak
didapatkan atau jarang didapatkan, walaupun sebagian kalangan memperluas
cakupannya seperti orang yang dipenjara. Seandainya semua golongan itu ada,
tetap saja jumlahnya tidak sama dengan lainnya, sehingga kalau dipaksakan
masing-masing golongan mendapatkan seperdelapan, maka akan terjadi
ketidakseimbangan dan mendalimi golongan-golongan lain yang mungkin jumlahnya
sangat banyak, seperti golongan fakir miskin.
Adapun pendapat yang lebih
benar bahwa amil zakat mendapatkan bagian zakat sesuai dengan kebijaksanaan
Negara, organisasi, lembaga yang menaunginya. Kebijaksanaan tersebut
harus berdasarkan kemaslahatan umum, yang meliputi kemaslahatan
golongan-golongan lainnya seperti fakir, miskin, orang yang terlilit hutang,
dan lain-lainnya termasuk kemaslahatan amil zakat itu sendiri.
Amil zakat tidak harus
dari orang yang fakir atau miskin, tetapi dibolehkan juga dari orang yang kaya dan
mampu. Dia mendapatkan bagian zakat, bukan karena fakir atau miskin, tetapi
karena kedudukannya sebagai amil zakat.[26] Segala
sesuatu dalam agama ini perlu didasari oleh ilmu dan perlu pengkajian secara
mendalam. Sebagian kita kadang beramal asal-asalan. Sebagian orang berprinsip
tanpa didasari ilmu lantas
langsung berbuat. Inilah salah satu yang lagi merebak saat ini, banyaknya orang
yang mengangkat diri sebagai amil zakat. Padahal tidak sembarang orang bisa seenaknya
mengangkat dirinya sebagai amil zakat, ada syarat yang mesti dipenuhi.
Ada delapan pihak yang
berhak menerima zakat yaitu sebagai berikut :
Orang yang memiliki harta
namun kurang dari nishab (ukuran untuk harta yang wajib dizakati) atau lebih,
tetapi tidak cukup untuk kebutuhan pokoknya sehari-hari.
Seseorang yang tidak
memiliki apapun atau tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidupnya sehari-hari.
Dalam hadits riwayat bukhari dan muslim diterangkan bahwa Rasulallah saw.
pernah bersabda: “Tidaklah miskin orang yang berkeliling meminta-minta
segenggam atau dua genggam, sebiji atau dua biji tamar.” Kemudian para shahabat
bertanya, kalau demikian lalu apa miskin itu? Rasulallah saw. menjawab: “Miskin
adalah orang yang tidak dapat mencukupi dirinya, dan tidak diketahui
keadaannya, maka orang bersedekah kepadanya dan dia tidak meminta-minta kepada
orang lain.”[27]
Namun, dalam membedakan
istilah faqir dan miskin para ulama ada yang
mendefinisikan faqir sebagai orang yang memiliki pekerjaan dan
mendapat penghasilan namun belum bisa mencukupi seluruh kebutuhannya.
Sementara miskin adalah orang yang lemah dan benar-benar tidak
memiliki penghasilan. Adapun orang yang masih kuat namun tidak mau bekerja,
meskipun tidak memiliki penghasilan, para ulama sepakat hal itu tidak boleh
dimasukan pada kedua kelompok ini dan tidak layak mendapat zakat.
Orang yang mengusahakan
pengelolaan dan penghimpunan zakat dari orang-orang kaya. Amil zakat harus
berasal dari orang Muslim (selain keluarga dan keturunan Rasulallah). Ibn Hazm
mengatakan bahwa amil zakat adalah para pekerja zakat yang diutus oleh imam
yang wajib untuk mentaatinya, yaitu mereka yang bisa dibenarkan (dipercaya) dan
mereka yang menjadi pengumpul zakat.
Mereka yang baru masuk
Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya
atau kaum kafir yang merupakan pendukung kaum Muslim.
Membebaskan hamba sahaya
(budak) dalam artian, harta zakat diberikan untuk membebaskan seseorang dari
status budak dari tuannya. Dalam hal ini terlihat bagaimana usaha Islam
menghilangkan adanya perbudakan di dunia ini.
Mereka yang berhutang
untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya.
Orang yang pergi ke medan
perang untuk menegakkan agama Allah SWT. Meskipun termasuk kaya, mereka tetap
berhak menadapatkan harta zakat. Bagi sebagian ulama ada yang mepertimbangkan
para mujahid ini mesti mendapat harta zakat karena mereka telah rela
meninggalkan pekerjaan mencari nafkah keluarga demi membela kalimah Allah SWT.,
sehingga mereka tidak sempat lagi bekerja dan menafkahi keluarganya. Dengan
pertimbangan ini sehingga para ulama ada yang mengambil kesimpulan kalau para
aktivis Islam yang tidak sempat mencari nafkah, seperti Da’i, pelajar dan
sebagainya, juga termasuk ke dalam kelompok mujahid dan berhak mendapat bagian
zakat. Dan memasukan aktifitas-aktifitas perjuangan seperti pendidikan dan
dakwah, kemudian sarana penunjang ibadah, kepada kelompokfie
sabilillah ini bukan hanya atas dasar pertimbangan logika semisal di atas
saja. Melainkan benar-benar atas dasar nash Rasulullah yang kuat menjelaskan
persoalan tersebut.
Orang yang sedang dalam
perjalanan, para ulama Safi’iyah berpendapat bahwa ibn sabil ini
meliputi, orang yang mengadakan perjalanan dari tempat mukimnya dan orang asing
yang sedang dalam perjalanan.
D. Pandangan Ulama Tentang Pengumpulan dan Pendistribusian Zakat
oleh Amil
Banyak keterangan, baik dari Al-Qur'an ataupun hadits
yang menjelaskan bahwa zakat merupakan kewajiban kedua di dalam Islam, sesudah
sholat. Al-Qur'an meletakkan beriringan dengan sholat dalam berpuluh ayat.
Lebih jauh zakat juga mempunyai kedudukan dan fungsi yang begitu besar. Para Ulama mendefinisikan zakat
adalah "mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang
telah mencapai nishab (batas kualitas yang mewajibkan zakat) kepada
orang yang berhak menerimanya (mustahiqq)–nya. Dengan catatan kepemilikan itu
penuh dan mencapai hawl (setahun), bukan barang tambang dan bukan
pertanian."[28]
Sementara dasar
palaksanaannya adalah seorang Imam mengumpulkannya dari para muzakki dan
membagikannya kepada para mustahiq. Artinya, pengelolaan zakat itu merupakan
salah satu tugas negara Islam, dengan dalil-dalil berikut ini:
Al-Qur’an telah menetapkan
dalam ayat zakat tentang bagian amil zakat. Ini mennunjukkan bahwa harus ada
pegawai yang ditunjuk oleh negara guna menjalankan tugas ini dan diberikan gaji
dari zakat.
As-Sunnah Al-Qauliyah,
diambil dari orang-orang kaya mereka lalu dibagikan kepada fakir miskin mereka
di sini ada yang mengambil dan yang membagi, dan tidak dibiarkan begitu saja
kepada para muzakki.
As-Sunnah Al-Fi’liyyah,
Rasulullah saw. mengirimkan para pemungut zakat. Demikian juga para khalifah
sesudahnya.
Logika, yaitu ketika zakat
dibiarkan kepada perorangan mengakibatkan terlantarnya hak-hak fakir miskin,
yang bisa menyebabkan keresahan dan ketidakadilan terhadap fakir msikin. Pada
saat yang sama negara berkewajiban menjaga kehormatan fakir miskin. Belum lagi
sebagian distribusi zakat itu disalurkan untuk kepentingan umum yang hanya bisa
ditentukan oleh negara.
Harta zakat terbagi dalam
dua macam, yang nyata dan yang tersembunyi. Zakat zhahir seperti zakat tanaman
dan hewan, sedang yang tersembunyi seperti uang dan perdagangan.
Para ulama telah
bersepakat bahwa ketika seorang imam meminta zakat dari para mustahiq, maka
harus diberikan baik dalam bentuk zhahir maupun tersembunyi. Dan ketika imam
tidak mengurusi zakat, maka tidak menggugurkan zakat dari para muzakki itu, dan
para muzakki wajib mengeluarkannya sendiri dan membagikannya kepada para
mustahiq. Seorang amil diperbolehkan menyerahkan cara pembayaran zakat harta
tersembunyi kepada para muzakki seperti yang dilakukan oleh Utsman r.a. dan
ketika itu para muzakki yang membagikannya langsung kepada mustahiq.
Kenyataan pembagian jenis
harta zhahir dan tersembunyi tidak banyak dampaknya pada zaman sekarang ini.
Maka yang utama adalah kembali kepada yang asli, yaitu urusan zakat harus
tunduk kepada kekuatan hukum syariat Islam, yang akan membantu mewujudkan
tujuan kewajiban ini.
Ketika pemilik harta
menolak membayar zakat, atau mengaku telah mengeluarkannya, atau menyembunyikan
kewajibannya, maka ia wajib:
Jika ia mengingkari
kewajiban zakat, maka hukumnya kafir dan dihukum mati sebagai orang murtad.
Jika karena pelit, maka
diambil zakatnya dengan paksa dan dipenjara.
Para ulama berbeda
pendapat tentang apakah boleh menghukum orang yang menolak zakat dengan diambil
separuh hartanya? Madzhab Hambali memperbolehkannya, tetapi jumhur ulama
menolak. Dan yang rajah (kuat) bahwa hukuman maliyah (material)
adalah jenis hukuman ta’zir yang diserahkan kepada kebijakan imam.
Jika ia iltizam
dengan Islam secara global dan zalim dalam beberapa sisi, maka boleh membayar
zakat kepadanya, jika ia menyalurkannya ke pos-pos yang diperbolehkan agama.
Sedang jika kezalimannya mencakup zakat, maka tidak boleh membayar kepadanya,
kecuali jika ia mengambil paksa. Dan yang utama dalam kondisi ini adalah
mengulang mengeluarkannya kepada yang berhak. Ini hukumnya wajib menurut
madzhab Maliki, dan wajib menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i.
Sedang jika penguasa itu
memerangi Islam dan para dainya dengan terang-terangan mengajak kepada prinsip
kafir, maka tidak boleh membayar zakat kepadanya dalam keadaan apapun. Dan jika
penguasa itu mengambil, maka muzakki harus mengulang mengeluarkan zakat.
Untuk itu, dalam
pendistribusian dan Pengumpulan zakat harus adanya syarat-syarat sebagai
berikut :
1. Niat
Karena zakat adalah ibadah,
maka pelaksanaannya harus disertai niat. Muzakki berniat untuk dirinya,
sebagaimana seorang wali berniat untuk orang yang diwalikan, seperti anak
kecil, orang gila, orang bodoh ketika mereka hendak mengeluarkan zakat.
Tempat niat ada di dalam
hati, dan waktunya ketika sedang mengeluarkan zakat. Ketika penguasa mengambil
zakat maka harus disertai pula niat muzakki sehingga mendapat pahala dari
zakatnya, dan diterima di sisi Allah. Jika tidak disertai niat maka hanya cukup
menurut Negara, artinya tidak diminta lagi, tetapi belum cukup menurut Allah
2. Membayar dengan nilai
uang
Ketika seseorang
berkewajiban zakat seekor kambing, atau seekor onta, atau sekian kilo untuk
tanamannya, maka ia diperbolehkan membayar dengan uang senilainya, seperti
dalam hadits Mu’adz bersama dengan penduduk Yaman: “Bayarkan kepadaku dengan
kain yang panjanganya lima hasta, atau pakaian senilai zakat, karena yang
demikian itu lebih mudah bagi kalian dan lebih bermanfaat bagi kaum muhajirin
di Madinah” HR Al Baihaqi dan Al Bukhariy. Saat itu penduduk Yaman terkenal
sebagai pembuat pakaian, dan penduduk Madinah lebih membutuhkannya. Demikianlah
pendapat madzhab Hanafi, diriwayatkan pula oleh imam Ahmad bin Hanbal untuk
selain zakat fitrah. Merupakan madzhab Umar bin Abdul Aziz, Hasan Al Bashri,
Sufyan Ats Tsauriy dan Al Bukhariy. Menurut Ibnu Taimiyah membayar zakat dengan
nilai uang diperbolehkan karena kebutuhan, kemaslahatan atau keadilan.
Madzhab Syafi’iy tidak
memperbolehkan membayar zakat dengan nilai uang. Karena zakat itu ibadah
seperti shalat maka wajib dikerjakan seperti yang ada dalam teks syar’iy. Dan
menurut madzhab Maliki ada beberapa pendapat yang berbeda, dan yang terkenal
adalah makruh membayar zakat dengan uang
Sedang jika imam
menghendaki pembayaran dengan uang maka mereka sepakat boleh, karena ia
dianggap lebih memahami kemaslahatan.
3. Memindahkan zakat ke
tempat lain.
Prinsip zakat adalah
dibagikan di negeri tempat zakat itu dikumpulkan, seperti dalam hadits Nabi:
“Diambil dari orang kaya mereka dan dibagikan kepada fakir misikin mereka”.
Demikianlah sunnah fi’liyyah Rasulullah saw dan khulafaurrasyidin sesudahnya,
tanpa ada yang berbeda pendapat dengannya.
Ketika negeri yang
bersangkutan sudah cukup, maka boleh dipindahkan ke Negara lain, atau
diserahkan kepada imam untuk dibagikan sesuai dengan kebutuhan. Demikianlah
yang Rasulullah dan para khalifah lakuakan tanpa ada yang menolaknya
Sedangkan jika fakir
miskin di negeri yang bersangkutan masih membutuhkan zakatnya orang kaya, maka
pemindahan zakat ke Negara lain tidak boleh dilakukan kecuali jika ada
kebutuhan yang lebih mendesak. Seperti jika ada suatu Negara muslim yang
ditimpa bencana, atau sesuai dengan ijtihad imam menurut pendapat madzhab
Hanafi dan Maliki.
Diperbolehkan memindahkan
zakat menurut madzhab Hanafi ke Negara lain jika muzakki memiliki kerabat yang
membutuhkan di negeri tersebut. Atau jika di negeri kedua itu terdapat fakir
miskin yang lebih membutuhkan dari pada negeri yang pertama. Atau jika
pemindahan itu lebih membawa maslahat bagi kaum muslimin, atau jika dipindahkan
dari negeri perang ke negeri aman, atau jika dipindahkan kepada orang berilmu
atau penuntut ilmu, atau dipindahkan untuk pembiayaan proyek Islami yang
bermanfaat bagi kaum muslimin di Negara kedua. Ibnu Abidin menuturkan dalam hasyiyahnya
lebih banyak lagi contoh seperti ini
4. Mempercepat dan Menunda
Zakat
Zakat wajib dibayarkan
seketika, maka ketika syarat-syarat zakat terpenuhi maka saat itu pula wajib
dikeluarkan zakatnya. Ia berdosa jika menundanya tanpa ada sebab. Karena perintah
menuntut disegerakan. Demikianlah madzhab jumhurul ulama
Diperbolehkan mempercepat
pembayaran zakat -artinya dikeluarkan sebelum waktunya- jika zakatnya
mensyaratkan haul (masa satu tahun). Demikianlahh madzhab jumhurul ulama.
Berbeda dengan madzhab Maliki. Sedang zakat yang tidak mensyaratkan satu tahun
seperti tanaman dan buah-buahan, maka tidak boleh membayarnya sebelum waktunya.
Tidak diperbolehkan pula
menunda zakat ketika sudah jatuh waktu wajjibnya kecuali jika ada hajat syar’iy
seperti menunggu kerabat yang sedang membutuhkan. Dan barang siapa yang
menundanya tanpa ada sebab syar’iy ia berdosa menurut kebanyakan ulama. Dan
jika kemudian hartanya habis atau kurang sebagiannya sebelum mengeluarkan zakat
maka kewajibannya tidak gugur, dan menjadi hutangnya.[29]
Dan jika zakat telah
diambil dari sebagian harta yang dimiliki untuk dibagikan kepada yang berhak
kemudian hilang, maka jika karena keteledoran pemeliharaannya, maka ia wajib
menggantinya dan mengelurkan zakat lagi. Namun jika tidak karena keteledoran
maka ia tidak wajib menggantinya, dan cukup membayarkan dengan yang tersisa.
Zakat yang sudah menjadi
kewajiban seseorang tidak akan pernah gugur sebelum dibayar meskipun telah
lewat beberapa tahun. Menurut jumhurul ulama zakatnya diambil secara keseluruhan
dari tahun-tahun yang telah berlalu.
Bahkan zakat tidak gugur
karena kematian. Ia tetap harus dibayarkan dari harta peninggalan meskipun
tidak diwasiatkan oleh orang yang meningal. Ini pendapat Jumhur yang didasarkan
kepada sabda Rasulullah saw. “… hutang kepada Allah lebih berhar untuk
dilunasi…” (Syaikhan)
5. Rekayasa Menggugurkan
Zakat
Haram hukumnya dan zakat
tidak gugur apapun bentuk rekayasanya. Barangkali di dunia bisa bebas karena
permintaan pemimpin untuk menggugurkannya, namun di akhirat tidak selamat dari
hisab Allah. Ini juga pendapat Jumhur, Malikiyah, Hanabilah, dan lain-lain.
6. Membayar zakat bisa
dilakukan kepada orang fakir secara langsung dan tidak mengatakan bahwa itu
zakat. Bahkan banyak ulama yang menganggapnya sunnah agar tidak menyakiti
hatinya dan merendahkannya.
[1]Didin
Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani,
2002), hal.127
[2]Abu
Bakar al-Hushaini Kifayat al-Akhyar, diterjemahkan oleh Ahmad Zain An Najah,
hal. 279
[3]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan
Terjemahan, (Bandung: CV. Diponogoro, 2001), hal. 156.
[4]Syaikh Husaini bin Audah Al-'Awaisyah, al-Mausu’ah
al- Fiqhiyah al-Muyarah, (Daar Ibnu Ahmad / al-marktabah al-Islamiyah) hal.
312
[5]Sayyid Sabiq diterjemahkan oleh Khairul Amru
Harahap dan Masrukhin, Fikih Sunnah, Jilid 2, (Jakarta: Cakrawala
Publishing, 2008), hal. 142.
[6]‘Adil
bin Yusuf Al‘Azazi, Tamamul Minnah,
tt. hal.. 290
[7] Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Enksiklopedi Zakat, Fatwa Zakat Utsaimin,
(Pustaka A-Sunnah, 2002) hal. 39
[8]Ibid.,
hal. 42
[9]Shahih
Fiqh Sunnah, Shahih Fiqhus Sunnah wa
Adillatuhu, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988) hal. 69
[10] Imam
Bukhary, Shahih Bukhary, Juzu` I, (Maktabah
Dahlan, Indonesia,
t.t.), hal. 210.
[11] Didin
Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian…, hal.132
[12]Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, cet. Ke-3, (Jakarta: Kencana,
2010), hal. 51
[13]Imam
Bukhary, Shahih Bukhary, Juzu` I, (Maktabah
Dahlan, Indonesia,
t.t.), hal. 203
[14]Ali
Mahmud Uqaily, Praktis & Mudah Menghitung akat, Cet.I, (Solo: Aqwam,
2010), hal. 76
[15]Fakhruddin, Fiqh
dan Manajemen Zakat di Indonesia, (Malang: UIN Malang Press,
2008), hal. 90-122.
[16]Ibid.,
hal. 124
[17]Didin
Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian…, hal. 99
[18]M.
Ali Hasan, Zakat dan Infak, Cet II, (Jakarta: Kencana, 2008) hal 78
[19]
M. Ali Hasan, Puasa dan zakat…., 172-204
[20]Abu
Bakar al-Hushaini Kifayat…, 128
[21]
Didin Hafidhuddin, M.Sc, Zakat dalam Perekonomian…, hal. 99
[22] Mahmud
Aziz Siregar, 1999, Hal. 83
[23]
Wahbah Al-Zuhayly, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Puasa, I'tikaf, Zakat, Haji
dan Umrah, Jilid 3, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 83
[24]Ibid.,
hal 84
[25]Yasin
Ibrahim al-Syaikh, Kitab Zakat (Hukum, Tata Cara dan Sejarah), (Bandung
: Marja, 2008), hal. 82
[26]Wahbah
Al-Zuhayly, Fiqih Islam Wa Adillatuhu…, hal. 84
[27] Ibn
Katsir, Tafsir al-Qur'an al-‘Adzim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), hal:
385
[28]Wahbah
Al-Zuhayly, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Puasa, I'tikaf, Zakat, …, hal.
83
[29]
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian…, hal. 98