rohmans

PEROLEHAN HAK AMIL DALAM PEMBAGIAN ZAKAT MENURUT HUKUM ISLAM

A.      Pengertian Amil dan Fungsi Amil 1.       Pengertian Amil Amil merupakan semua pihak yang bertindak mengerjakan yang b...

A.     Pengertian Amil dan Fungsi Amil
1.      Pengertian Amil
Amil merupakan semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan dan penyaluran atau distribusi harta zakat. Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi pemerintah yang berwenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta tugas lain yang berhubungan dengan zakat.
Hafidhuddin mengatakan bahwa amil zakat adalah "mereka yang melaksanakan segala kegiatan yang berkaitan dengan urusan zakat, mulai dari proses penghimpunan, penjagaan, pemeliharaan, sampai proses pendistribusiannya, serta tugas pencatatan masuk dan keluarnya dana zakat tersebut."[1]
Abu Bakar al-Hushaini di dalam Kifayat al-Akhyar, mengatakan bahwa Amil Zakat adalah "orang yang mendapatkan tugas dari negara,  organisasi, lembaga atau yayasan untuk mengurusi zakat. Atas kerjanya tersebut seorang amil zakat berhak mendapatkan jatah dari uang zakat. “Amil Zakat adalah orang yang ditugaskan pemimpin negara untuk mengambil zakat kemudian disalurkan kepada yang berhak, sebagaimana yang diperintahkan Allah.“[2] 
          Dasar  hak amil dalam pembagian zakat adalah firman Allah :
إنَما الصّدقات للْفقراء والْمساكين والْعاملين عليْها والْمؤلفة قلوبهمْ وفي الرقاب والْغارمين وفي سبيل اللّه وابْن السّبيل فريضة من اللّه واللّه عليم حكيم
Artinya   : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. at-Taubah : 60).[3]
Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama” yang memberi makna hashr (pembatasan). Ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya. Yang dimaksudkan amil zakat di sini menurut tafsiran para ulama adalah adalah "orang yang bertugas mengurus zakat dan ia mendapat bagian dari zakat tersebut dan tidak boleh amil zakat ini berasal dari kerabat (keluarga) Rasulullah SAW yang tidak diperkenankan menerima sedekah." [4]
Namun sebenarnya tidak sesederhana seperti yang diterangkan di atas. Amil zakat harus memenuhi beberapa syarat sebagaimana keterangan para ulama di bawah ini.
Para Ulama Berbicara Tentang Amil Zakat diantaranya Sayyid Sabiq  mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat adalah "orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan ternak zakat dan juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat.”[5]
‘Adil bin Yusuf Al ‘Azazi berkata, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah "para petugas yang dikirim oleh penguasa untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat. Demikian pula termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat serta orang-orang yang membagi dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka itulah yang berhak diberi zakat meski sebenarnya mereka adalah orang-orang yang kaya."[6]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Amil zakat adalah "orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang kaya."[7]
Sedangkan orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai wakil. Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut mendapatkan pahala. Namun jika mereka meminta upah karena telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat.
Dengan demikian, orang yang diberi zakat dan diminta untuk membagikan kepada yang berhak menerimanya, ia tidak disebut ‘amil. Bahkan statusnya hanyalah sebagai wakil atau orang yang diberi upah. Perbedaan antara amil dan wakil begitu jelas. Jika harta zakat itu rusak di tangan amil, maka si muzakki (orang yang menunaikan zakat) gugur kewajibannya. Sedangkan jika harta zakat rusak di tangan wakil yang bertugas membagi zakat (tanpa kecerobohannya), maka si muzakki belum gugur kewajibannya.”[8]
Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai amil zakat adalah: (1) diangkat dan (2) diberi otoritas (kuasa) oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya. Sehingga panitia-panitia zakat yang ada di berbagai masjid serta orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil secara syar’i. Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak tertentu serta Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.
Namun demikian, tidaklah tepat menyatakan takmir (pengurus) masjid sebagai amil zakat, yang tepat mereka adalah wakil dari muzakki sebagaimana keterangan para ulama di atas. Sehingga mereka tidak boleh seenaknya memotong atau mengambil bagian dari zakat dari para muzakki. Jika mereka memotongnya, itu sama saja memakan harta orang dengan cara yang batil. Jadi hanya sekedar menyalurkan dan pekerjaan mereka bersifat sosial. Untuk itu, perlu diberikan upah, tidak diambil dari harta zakat namun dari dana lainnya.
2.      Fungsi Amil
Sesuai dengan namanya, profesi utama amil zakat adalah berfungsi sebagai pengurus zakat. Jika dia memiliki pekerjaan lain, maka dianggap pekerjaan sampingan atau sambilan yang tidak boleh mengalahkan pekerjaan utamanya yaitu amil zakat. Karena waktu dan potensi, serta tenaganya dicurahkan untuk mengurusi zakat tersebut, maka dia berhak mendapatkan bagian dari zakat.
Adapun jika dia mempunyai profesi tertentu, seperti dokter, guru, direktur perusahaan, pengacara, pedagang, yang sehari-harinya bekerja dengan profesi tersebut, kemudian jika ada waktu, dia ikut membantu mengurusi zakat, maka orang seperti ini tidak dinamakan amil zakat, kecuali jika dia telah mendapatkan tugas secara resmi dari Negara atau lembaga untuk mengurusi zakat sesuai dengan aturan yang berlaku. "Bahkan jika ada gubernur, bupati, camat, lurah yang ditugaskan oleh pemimpin Negara untuk mengurusi zakat, diapun tidak berhak mengambil bagian dari zakat, karena dia sudah mendapatkan gaji dari kas Negara sesuai dengan jabatannya."[9] 
Dasar pengangkatan amil zakat ini adalah hadits Abu Humaid as-Sa’idi :
عن أبي حميْد السّاعدي رضي الله عنْه قل استعمل النبي صلى الله عليه وسلم رجلا منْ الأزْد يقال له ابن الأتْبية على الصدقة فلما قدم قال هذا لكم وهذا أهدي لي قال فهلاّ جلس في بيت أبيه أو بيت أمه فينظر يهدى له أم لا والذي نفسي بيده لا يأخذ أحد منه شيئا إلا جاء به يوم القيامة يحمله على رقبته إن كان بعيرا له رغاء أو بقرة لها خوار أو شاة تيعر ثم رفع بيده حتى رأينا عفرة إبطيه اللهم هل بلغت اللهم هلْ بلغت ثلاثا. (رواه البخارى و مسلم)
Dari Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata : Nabi shallallahu a’laihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku". Beliau bersabda : "Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik". Kemudian beliau mengangkat tangan-nya,  sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak tiga kali. [10] 
Berdasarkan hadist di atas, amil zakat ini harus diangkat secara resmi oleh Negara,  organisasi, lembaga, yayasan. Tidak boleh sembarang bekerja secara serabutan dan tanpa pengawasan.
Didin Hafidhudhin dalam bukunya menyebutkan tugas amil sebagai berikut :
-         Membuat rencana kerja
-         Melaksanakan operasional pengelolaan zakat sesuai rencana kerja yang telah disahkan dan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
-         Menyusun laporan tahunan
-         Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah
-         Bertindak dan bertanggungjawab atas nama Badan Amil Zakat.[11]
Salah satu tugas penting lain dari lembaga pengelola zakat adalah melakukan sosialisasi tentang zakat kepada masyarakat secara terus-menerus dan berkesinambungan, melalui berbagai forum dan media, seperti khutbah jum'at, majelis tak'lim, seminar, diskusi dan lokakarya, melalui media surat kabar, majalah, radio, internet maupun televisi. Dengan sosialisasi yang baik dan optimal, diharapkan masyarakat muzakki akan semakin sadar untuk membayar zakat melalui lembaga zakat yang kuat, amanah dan terpercaya.
B.     Macam-Macam Zakat dan Perolehan Hak Amil
1.      Macam-macam Zakat
a.       Zakat Nafs (jiwa), juga disebut zakat fitrah.
Zakat fitrah adalah "zakat yang secara khusus diwajibkan pada akhir bulan Ramadhan dan dilaksanakan paling lambat sampai pelaksanaan shalat hari raa idul fitri."[12] Tentang kewajiban zakat ini dan ketentuan yang berhubungan dengannya dinyatakan Nabi dalam hadistnya dari Ibnu Umar menurut periwayatan muttafaq'alaih yang mengatakan bahwa :
فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر صاعا من تمراوصاعا من شعير على العبد والحرو الذكر والانثى والصغير والكبير من المسلمين وأمر بهاان تؤدي قبل خروج الناس الى الصلاة. (متفق عليه)
Artinya     : "Sesungguhnya Rasulullah telah memfardukan zakat fitri sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum atas hamba dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa dari orang yang beraga Islam. Nabi menyuruh untuk menyerahkannya sebelum umat Islam melaksanakan shalat hari raya." (HR. Bukhari dan Muslim). [13]
Hadist ini menjelaskan ketentuan yang berkenaan dengan yang dikenai kewajiban, yaitu semua umat Islam; tentang jenis dan ukuran yang diberikan yaitu satu sha' makanan pokok dan tentang waktu mengeluarkannya, yaitu sebelum memulai shalat idul fitri.
b.      Zakat Maal (harta).
Menurut bahasa (lughat), harta adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia untuk memiliki, memanfaatkan dan menyimpannya. Menurut syar'a, harta adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki (dikuasai) dan dapat digunakan (dimanfaatkan) menurut ghalibnya (lazim). Sesuatu dapat disebut dengan maal (harta) apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu: 1) Dapat dimiliki, disimpan, dihimpun, dikuasai 2) Dapat diambil manfaatnya sesuai dengan ghalibnya. Misalnya rumah, mobil, ternak, hasil pertanian, uang, emas, perak dan lain-lain.  
Adapun macam-macam zakat adalah sebagai berikut :
1)      Zakat Hewan Ternak
Hewan ternak termasuk bagian dari harta yang wajib di keluarkan zakatnya. Namun demikian tidak semua hewan ternak dizakati. Para ulama sepakat bahwa hewan ternak yang termasuk bagian dari sumber zakat dan wajib di keluarkan zakatnya ada tiga jenis, yaitu unta, sapi dan domba.
2)      Zakat Hasil Pertanian
Yang dimaksud dengan pertanian disini adalah bahan-bahan yang di gunakan sebagai makanan pokok dan tidak busuk jika di simpan, misalnya dari tumbuh-tumbuhan, yaitu jagung, beras, dan gandum. Sedangkan dari buah-buahan misalnya kurma dan anggur. Hasil pertanian, baik tanam-tanaman maupun buah-buahan, wajib dikeluarkan zakatnya apabila sudah memenuhi persyaratan.
3)      Zakat Perdagangan
Zakat perdagangan atau zakat perniagaan adalah zakat yang dikeluarkan atas kepemilikan harta yang diperuntukkan untuk jual-beli. Ali Mahmud Uqaily mengatakan bahwa "manyoritas ulama dari kalangan shahabat, tabi'in dan fuqaha berpendapat bahwa barang-barang perdagangan wajib untuk dizakati. Yang dimaksud barang perdagangan adalah benda-benda yang diperdagangkan, bukan nilai harta (dinar dirham)."[14]  
Berdasarkan hal tersebut, zakat ini dikenakan kepada perniagaan yang diusahakan baik secara perorangan maupun perserikatan seperti, CV, PT, dan koperasi. Sedangkan aset-aset seperti mesin, gedung, mobil, peralatan dan aset tetap lain tidak kena kewajiban zakat dan tidak termasuk harta yang harus di keluarkan zakatnya.
4)      Zakat Emas dan Perak
Emas dan perak merupakan logam galian yang berharga dan merupakan karunia Allah SWT. Ia merupakan hasil bumi yang banyak mamfaatnya kepada manusia sehingga dijadikan pula sebagai nilai tukar uang bagi segala sesuatu. Pembahasan mengenai zakat emas dan perak perlu dibedakan antara sebagai perhiasan atau sebagai uang ( alat tukar). Sebagai perhiasan emas dan perak juga dapat dibedakan antara perhiasan wanita dan perhiasan lainnya, misalnya ukiran, souvenir, perhiasan pria dan lain-lain. Dangkalnya pemahaman fungsi emas dan perak sebagai alat tukar atau mata uang menyebabkan banyaknya simpanan uang dikalangan umat Islam tidak tertunaikan zakatnya.
5)      Zakat Barang Tambang
Zakat barang tambang adalah zakat yang berasal dari dalam (perut) bumi, cukup banyak jenisnya, menurut Ibnu Qudamah dikutip oleh Fakhruddin, mengemukakan bahwa contoh barang tambang adalah  "emas perak, timah, besi, intan, batu permata, batu bara dan lain-lain. Barang-barang tambang yang cair seperti aspal, minyak bumi, belerang, gas dan sebagainya."[15]
Sementara sumber-sumber zakat dalam perekonomian modern yang dapat dihimpun oleh lembaga zakat yaitu sebagai berikut :
6)      Zakat Investasi
Investasi adalah penanaman modal atau uang dalam proses produksi (dengan pembelian gedung-gedung, permesinan, bahan cadangan, penyelenggaraan ongkos serta perkembangannya). Jadi zakat investasi adalah zakat yang dikenakan terhadap harta yang diperoleh dari hasil investasi, misalnya seperti yang telah disebutkan diatas. Dengan demikian cadangan modal barang di perbesar sejauh tidak perlu ada modal barang yang harus di ganti.
7)      Zakat Profesi
Zakat profesi adalah "zakat dari orang yang yang mengerjakan sesuatu (berolah raga, melukis, musik dan lain-lain), karena jabatan dan profesinya bukan hanya untuk kesenangan saja, tetapi merupakan suatu pencarian."[16] Pada zaman sekarang ini orang mendapatkan uang dari pekerjaan atau profesi yang sedang digelutinya. Jadi pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam, pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa menggantungkan diri kepada orang lain, seperti seorang dokter yang mengadakan praktek, pengacara, seniman, penjahit dan lain-lain. Kedua pekerjaan yang di kerjakan untuk orang (pihak) lain dengan imbalan mendapat upah atau honorium seperti pegawai (negeri atau swasta).
Kedua macam pekerjaan tersebut jelas menghasilkan uang sebagai harta kekayaan. Dengan demikian wajib di keluarkan zakatnya karena telah mencapai satu tahun.
8)      Zakat Perusahaan
Pada saat ini hampir sebagian besar perusahaan dikelola tidak secara individual, melainkan secara bersama-sama dalam sebuah kelembagaan dan organisasi dengan manajemen yang moderen. Menurut para ahli ekonomi sekarang yang di kutip oleh Didin Hafidhuddin, paling tidak jenis perusahaan dapat dikategorikan kedalam tiga kelompok, "pertama perusahaan yang menghasikan produk-produk tertentu. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa, perusahaan yang bergerak di bidang keuangan."[17] Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan kewajiban zakat maka semua perusahaan yang melakukan kegiatan perdagangan maka yang harus dihasilkan adalah produk yang halal, dan dimiliki oleh orang-orang yang beragama Islam.
9)      Zakat Saham dan Obligasi
Diantara hal-hal yang perlu mendapat perhatian untuk dikeluarkan zakat nya dalam harta modern ini adalah surat-surat berharga, diantara nya adalah saham (al-sahm) dan obligasi (al-sanadah) saham dan obligasi adalah kertas berharga yang berlaku dalam transaksi-transaksi perdagangan khusus yang disebut “bursa kertas-kertas berharga."[18] Dengan demikian saham dan obligasi adalah juga harta kekayaan dan setiap harta kekayaan ada hak orang lain di dalamnya.
10)  Zakat Madu dan Produk Ternak
Madu adalah cairan yang keluar dari perut lebah. Tidak diragukan lagi bahwa madu mengandung berbagai macam kandungan gizi maupun obat bagi manusia. Madu yang keluar dari perut lebah merupakan anugrah dari Allah swt, yang salah satu fungsinya adalah sebagai obat bagi manusia. Dalam perspektif perekonomian modern sekarang, madu disamping di produksikan secara alami dan individual, kini dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi komoditas perdagangan. Karena itu, sangatlah wajar apabila dilihat pula dari kajiannya sebagai objek zakat.
11)  Zakat Asuransi Syari’ah
Islam memiliki sebuah sistem yang mampu memberikan jaminan atas kecelakaan atau musibah lainnya melalui sistem zakat. Bahkan sistem ini jauh lebih unggul dari asuransi konvensional karena sejak awal didirikan memang untuk kepentingan sosial dan bantuan kemanusiaan. Dana yang diberikan kepada setiap orang yang tertimpa musibah ini bersumber dari orang-orang kaya yang membayarkan zakatnya sebagai salah satu rukun Islam.
Mekanisme asuransi konvensional yang dibuat adalah "sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi untuk memberikan kepada pesertanya sejumlah harta ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai konsenkwensi/imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dari peserta."[19] Jadi asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, dana yang diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransinya.
2.      Perolehan Hak Amil
Tugas amil adalah "mengumpulkan, menjaga, mencatat dan menyalurkan atau mendistribusikan hatra zakat. Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi pemerintah yang berwewenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan zakat kepada orang-orang yang sudah ditentukan dalam Al-Qur'an.[20] Atas semua usaha dan kerja kerasnya itu, maka Allah SWT memberikan kompensasi finansial buat para amil zakat, berupa hak mendapatkan harta zakat, maksimal 1/8 dari total harta yang mereka kumpulkan. Ketentuan ini berangkat dari pembagian harta zakat yang ditetapkan untuk 8 asnaf. Masing-masing mendapat 1/8 bagian dari total harta zakat. Namun karena syariat zakat itu punya esensi utama memberi harta kepada fakir miskin, maka hak yang diberikan kepada fakir miskin memang istimewa. Kalau harta itu masih belum mencukupi hak-hak fakir miskin, maka asnaf yang lain harus dikalahkan demi kepentingan fakir miskin. Hal ini berangkat dari sabda Nabi SAW kepada Muadz bin Jabal ketika diutus kepada bangsa Yaman : Harta zakat itu diambil dari orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang faqir di antara mereka. Maka bila asnaf tertentu tidak terdapat, hak mereka dikembalikan kepada pihak faqir dan miskin. Sehinnga faqir dan miskin akan mendapatkan porsi paling besar. Sedangkan asnaf lainnya bila memang ada, haknya tetap 1/8 dan tidak boleh melebihi jatahnya itu.
C.     Ketentuan Besarnya Hak Amil dalam Pembagian Zakat
Tugas seorang amil zakat yaitu melakukan sensus terhadap orang-orang wajib zakat dari macam-macam harta yang mereka miliki, dan mengambil sebagain dari ketentuan besarnya harta yang wajib dizakati. Kemudian menagihnya lalu menyimpan dan menjaganya, untuk kemudian diserahkan kepada pengurus pembagi zakat. Dalam menyalurkan zakat, amil memilih cara yang paling baik untuk mengetahui para mustahiq zakat, kemudian melaksanakan klarifikasi terhadap mereka dan menyatakan hak-hak mereka. Juga menghitung jumlah kebutuhan mereke dan jumlah biaya yang cukup untuk mereka. Akhirnya meletakkan dasar-dasar yang sehat dalam pembagian zakat tersebut, sesuai dengan jumlah dan kondisi sosialnya.
Menurut Yusuf Qardawi, sebagaimana di kutip oleh Hafidhuddin, seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat harus memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut yaitu :
a.       "Beragama Islam
b.      Mukallaf
c.       Memiliki sifat amanah atau jujur
d.      Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat
e.       Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas
f.        Kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugas."[21]
g.       Amil zakat disyaratkan laki-laki (untuk tugas kepemimpinan) 
Oleh karena itu, dalam pembagian zakat Al-Ahnaf dan Sufyan as-Saury berpendapat bahwa "si pemilik harta lebih berhak memilih ashnaf mana yang akan diberikan zakat. Sementara Imam Syafi’i berpendapat bahwa kedelapan asnaf itu berserikat dalam harta, karena itu masing-masing mempunyai hak yang sama, tidak boleh ada yang tertinggal."[22] Jika kita mengambil pemahaman dari kedua pendapat itu, jelas bahwa dalam hal kedudukan lembaga amil zakat dalam Islam, para ulama memiliki pandangan-pandangan yang berbeda.
Al-Ahnaf dan Sufyan as-Saury menerangkan bahwa "zakat lebih baik disalurkan oleh muzaki sehingga pemilihan ashnaf menjadi hak bagi si muzaki. Sementara pendapat Syafi’i, semua ashnaf tidak boleh satu pun tertinggal. Dengan kata lain, dikarenakan dalam ashnaf terdapat amilin, zakat mesti dihimpun dan diurus oleh amilin sehingga bagian amilin menjadi tersalurkan."[23] 
Terjadinya permasalahan seperti ini lantaran secara nash sendiri tidak ada ayat atau hadits yang secara eksplisit menyatakan harus, tidak boleh atau sunatnya hukum mengadakan amil dalam zakat. 
Pada zaman Rasulallah shallallahu 'alaihi wasallam, zakat merupakan "harta yang dianjurkan untuk diambil oleh para shahabat yang diutusnya. Rasulallah  SAW mengutus para wakilnya untuk mengumpulkan zakat dari orang kaya dan membagikannya kepada para mustahiq. Pada zaman Abu Bakar dan Umar Bin Khattab pun demikian, harta zakat, baik itu yang sifatnya dzahir (tanaman, buah-buahan, dan ternak) maupun harta bathin (harta emas, perak, perniagaan dan harta galian), semuanya mesti dihimpun dan dibagikan oleh amilin. Baru pada zaman khalifah Utsman, meskipun awalnya mengikuti jejak orang-orang sebelumnya, dikarenakan melimpahnya harta bathin ketimbang harta dzahir disamping banyaknya kaum muslimin yang gelisah dikala diadakan pemeriksaan serta pengawasan terhadap hartanya, keputusan untuk menyerahkan wewenang pelaksanaan zakat dari harta bathin kepada para muzaki pun diberlakukan."[24] Dari semenjak ini tumbuhlah berbagai pemahaman dan pandangan mengenai keharusan zakat dikelola oleh amilin atau individu atau sebagian harta oleh individu dan sebagiannya harus oleh amilin
Berdasarkan hal tersebut, kita dapat menilai kalau dalam penetapan masalah amilin terdapat lahan bagi para fuqaha juga cendikiawan Islam untuk berijtihad seperti yang telah dilakukan oleh shahabat dan Khulafa ar-Rasyidin, Utsman Bin Affan. Jika ibadah yang kita lakukan merasa lebih baik untuk disalurkan langsung oleh kita kepada mustahiqnya, dikarenakan situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan atau terancamnya keamanan ibadah zakat, maka hal itu diperbolehkan. Namun, zakat lebih utama apabila disalurkan melalui amil. Sementara dalam teknis penghitungan jumlah harta serta zakatnya sendiri, banyak kebijakan dari para lembaga amilin yang memperbolehkan muzaki menyalurkan sendiri zakatnya.[25]
Sebagian kalangan mengatakan bahwa amil zakat mendapatkan seperdelapan dari jumlah seluruh zakat yang terkumpul. Mereka beralasan bahwa orang-orang yang berhak mendapatkan zakat jumlahnya delapan golongan, amil zakat adalah salah satu golongan, sehingga jatah yang didapatkan adalah seperdelapan dari zakat yang terkumpul.
Tetapi pendapat ini kurang tepat, karena delapan golongan yang berhak mendapatkan zakat tidak selalu lengkap dan ada, seperti golongan “fi ar-riqab“ (budak) hari ini tidak didapatkan atau jarang didapatkan, walaupun sebagian kalangan memperluas cakupannya seperti orang yang dipenjara. Seandainya semua golongan itu ada, tetap saja jumlahnya tidak sama dengan lainnya, sehingga kalau dipaksakan masing-masing golongan mendapatkan seperdelapan, maka akan terjadi ketidakseimbangan dan mendalimi golongan-golongan lain yang mungkin jumlahnya sangat banyak, seperti golongan fakir miskin.
Adapun pendapat yang lebih benar bahwa amil zakat mendapatkan bagian zakat sesuai dengan kebijaksanaan Negara, organisasi, lembaga yang menaunginya. Kebijaksanaan tersebut  harus berdasarkan kemaslahatan umum, yang meliputi kemaslahatan golongan-golongan lainnya seperti fakir, miskin, orang yang terlilit hutang, dan lain-lainnya termasuk kemaslahatan amil zakat itu sendiri.
Amil zakat tidak harus dari orang yang fakir atau miskin, tetapi dibolehkan juga dari orang yang kaya dan mampu. Dia mendapatkan bagian zakat, bukan karena fakir atau miskin, tetapi karena kedudukannya sebagai amil zakat.[26] Segala sesuatu dalam agama ini perlu didasari oleh ilmu dan perlu pengkajian secara mendalam. Sebagian kita kadang beramal asal-asalan. Sebagian orang berprinsip tanpa didasari ilmu lantas langsung berbuat. Inilah salah satu yang lagi merebak saat ini, banyaknya orang yang mengangkat diri sebagai amil zakat. Padahal tidak sembarang orang bisa seenaknya mengangkat dirinya sebagai amil zakat, ada syarat yang mesti dipenuhi.
Ada delapan pihak yang berhak menerima zakat yaitu sebagai berikut :
  1. Fakir
Orang yang memiliki harta namun kurang dari nishab (ukuran untuk harta yang wajib dizakati) atau lebih, tetapi tidak cukup untuk kebutuhan pokoknya sehari-hari.
  1. Miskin
Seseorang yang tidak memiliki apapun atau tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidupnya sehari-hari. Dalam hadits riwayat bukhari dan muslim diterangkan bahwa Rasulallah saw. pernah bersabda: “Tidaklah miskin orang yang berkeliling meminta-minta segenggam atau dua genggam, sebiji atau dua biji tamar.” Kemudian para shahabat bertanya, kalau demikian lalu apa miskin itu? Rasulallah saw. menjawab: “Miskin adalah orang yang tidak dapat mencukupi dirinya, dan tidak diketahui keadaannya, maka orang bersedekah kepadanya dan dia tidak meminta-minta kepada orang lain.”[27]
Namun, dalam membedakan istilah faqir dan miskin para ulama ada yang mendefinisikan faqir sebagai orang yang memiliki pekerjaan dan mendapat penghasilan namun belum bisa mencukupi seluruh kebutuhannya. Sementara miskin adalah orang yang lemah dan benar-benar tidak memiliki penghasilan. Adapun orang yang masih kuat namun tidak mau bekerja, meskipun tidak memiliki penghasilan, para ulama sepakat hal itu tidak boleh dimasukan pada kedua kelompok ini dan tidak layak mendapat zakat.
  1. Amil 
Orang yang mengusahakan pengelolaan dan penghimpunan zakat dari orang-orang kaya. Amil zakat harus berasal dari orang Muslim (selain keluarga dan keturunan Rasulallah). Ibn Hazm mengatakan bahwa amil zakat adalah para pekerja zakat yang diutus oleh imam yang wajib untuk mentaatinya, yaitu mereka yang bisa dibenarkan (dipercaya) dan mereka yang menjadi pengumpul zakat.
  1. Mu'allaf 
Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya atau kaum kafir yang merupakan pendukung kaum Muslim.
  1. Hamba sahaya
Membebaskan hamba sahaya (budak) dalam artian, harta zakat diberikan untuk membebaskan seseorang dari status budak dari tuannya. Dalam hal ini terlihat bagaimana usaha Islam menghilangkan adanya perbudakan di dunia ini.
  1. Gharimin
Mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya.
  1. Fisabilillah
Orang yang pergi ke medan perang untuk menegakkan agama Allah SWT. Meskipun termasuk kaya, mereka tetap berhak menadapatkan harta zakat. Bagi sebagian ulama ada yang mepertimbangkan para mujahid ini mesti mendapat harta zakat karena mereka telah rela meninggalkan pekerjaan mencari nafkah keluarga demi membela kalimah Allah SWT., sehingga mereka tidak sempat lagi bekerja dan menafkahi keluarganya. Dengan pertimbangan ini sehingga para ulama ada yang mengambil kesimpulan kalau para aktivis Islam yang tidak sempat mencari nafkah, seperti Da’i, pelajar dan sebagainya, juga termasuk ke dalam kelompok mujahid dan berhak mendapat bagian zakat. Dan memasukan aktifitas-aktifitas perjuangan seperti pendidikan dan dakwah, kemudian sarana penunjang ibadah, kepada kelompokfie sabilillah ini bukan hanya atas dasar pertimbangan logika semisal di atas saja. Melainkan benar-benar atas dasar nash Rasulullah yang kuat menjelaskan persoalan tersebut. 
  1. Ibnus Sabil 
Orang yang sedang dalam perjalanan, para ulama Safi’iyah berpendapat bahwa ibn sabil ini meliputi, orang yang mengadakan perjalanan dari tempat mukimnya dan orang asing yang sedang dalam perjalanan.
D.    Pandangan Ulama Tentang Pengumpulan dan Pendistribusian Zakat oleh Amil
Banyak keterangan, baik dari Al-Qur'an ataupun hadits yang menjelaskan bahwa zakat merupakan kewajiban kedua di dalam Islam, sesudah sholat. Al-Qur'an meletakkan beriringan dengan sholat dalam berpuluh ayat. Lebih jauh zakat juga mempunyai kedudukan dan fungsi yang begitu besar. Para Ulama mendefinisikan zakat adalah "mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kualitas yang mewajibkan zakat) kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiqq)–nya. Dengan catatan kepemilikan itu penuh dan mencapai hawl (setahun), bukan barang tambang dan bukan pertanian."[28]
Sementara dasar palaksanaannya adalah seorang Imam mengumpulkannya dari para muzakki dan membagikannya kepada para mustahiq. Artinya, pengelolaan zakat itu merupakan salah satu tugas negara Islam, dengan dalil-dalil berikut ini:
Al-Qur’an telah menetapkan dalam ayat zakat tentang bagian amil zakat. Ini mennunjukkan bahwa harus ada pegawai yang ditunjuk oleh negara guna menjalankan tugas ini dan diberikan gaji dari zakat.
As-Sunnah Al-Qauliyah, diambil dari orang-orang kaya mereka lalu dibagikan kepada fakir miskin mereka di sini ada yang mengambil dan yang membagi, dan tidak dibiarkan begitu saja kepada para muzakki.
As-Sunnah Al-Fi’liyyah, Rasulullah saw. mengirimkan para pemungut zakat. Demikian juga para khalifah sesudahnya.
Logika, yaitu ketika zakat dibiarkan kepada perorangan mengakibatkan terlantarnya hak-hak fakir miskin, yang bisa menyebabkan keresahan dan ketidakadilan terhadap fakir msikin. Pada saat yang sama negara berkewajiban menjaga kehormatan fakir miskin. Belum lagi sebagian distribusi zakat itu disalurkan untuk kepentingan umum yang hanya bisa ditentukan oleh negara.
Harta zakat terbagi dalam dua macam, yang nyata dan yang tersembunyi. Zakat zhahir seperti zakat tanaman dan hewan, sedang yang tersembunyi seperti uang dan perdagangan.
Para ulama telah bersepakat bahwa ketika seorang imam meminta zakat dari para mustahiq, maka harus diberikan baik dalam bentuk zhahir maupun tersembunyi. Dan ketika imam tidak mengurusi zakat, maka tidak menggugurkan zakat dari para muzakki itu, dan para muzakki wajib mengeluarkannya sendiri dan membagikannya kepada para mustahiq. Seorang amil diperbolehkan menyerahkan cara pembayaran zakat harta tersembunyi kepada para muzakki seperti yang dilakukan oleh Utsman r.a. dan ketika itu para muzakki yang membagikannya langsung kepada mustahiq.
Kenyataan pembagian jenis harta zhahir dan tersembunyi tidak banyak dampaknya pada zaman sekarang ini. Maka yang utama adalah kembali kepada yang asli, yaitu urusan zakat harus tunduk kepada kekuatan hukum syariat Islam, yang akan membantu mewujudkan tujuan kewajiban ini.
Ketika pemilik harta menolak membayar zakat, atau mengaku telah mengeluarkannya, atau menyembunyikan kewajibannya, maka ia wajib:
Jika ia mengingkari kewajiban zakat, maka hukumnya kafir dan dihukum mati sebagai orang murtad.
Jika karena pelit, maka diambil zakatnya dengan paksa dan dipenjara.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah boleh menghukum orang yang menolak zakat dengan diambil separuh hartanya? Madzhab Hambali memperbolehkannya, tetapi jumhur ulama menolak. Dan yang rajah (kuat) bahwa hukuman maliyah (material) adalah jenis hukuman ta’zir yang diserahkan kepada kebijakan imam.
Jika ia iltizam dengan Islam secara global dan zalim dalam beberapa sisi, maka boleh membayar zakat kepadanya, jika ia menyalurkannya ke pos-pos yang diperbolehkan agama. Sedang jika kezalimannya mencakup zakat, maka tidak boleh membayar kepadanya, kecuali jika ia mengambil paksa. Dan yang utama dalam kondisi ini adalah mengulang mengeluarkannya kepada yang berhak. Ini hukumnya wajib menurut madzhab Maliki, dan wajib menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i.
Sedang jika penguasa itu memerangi Islam dan para dainya dengan terang-terangan mengajak kepada prinsip kafir, maka tidak boleh membayar zakat kepadanya dalam keadaan apapun. Dan jika penguasa itu mengambil, maka muzakki harus mengulang mengeluarkan zakat.
Untuk itu, dalam pendistribusian dan Pengumpulan zakat harus adanya syarat-syarat sebagai berikut :
1. Niat
Karena zakat adalah ibadah, maka pelaksanaannya harus disertai niat. Muzakki berniat untuk dirinya, sebagaimana seorang wali berniat untuk orang yang diwalikan, seperti anak kecil, orang gila, orang bodoh ketika mereka hendak mengeluarkan zakat.
Tempat niat ada di dalam hati, dan waktunya ketika sedang mengeluarkan zakat. Ketika penguasa mengambil zakat maka harus disertai pula niat muzakki sehingga mendapat pahala dari zakatnya, dan diterima di sisi Allah. Jika tidak disertai niat maka hanya cukup menurut Negara, artinya tidak diminta lagi, tetapi belum cukup menurut Allah
2. Membayar dengan nilai uang
Ketika seseorang berkewajiban zakat seekor kambing, atau seekor onta, atau sekian kilo untuk tanamannya, maka ia diperbolehkan membayar dengan uang senilainya, seperti dalam hadits Mu’adz bersama dengan penduduk Yaman: “Bayarkan kepadaku dengan kain yang panjanganya lima hasta, atau pakaian senilai zakat, karena yang demikian itu lebih mudah bagi kalian dan lebih bermanfaat bagi kaum muhajirin di Madinah” HR Al Baihaqi dan Al Bukhariy. Saat itu penduduk Yaman terkenal sebagai pembuat pakaian, dan penduduk Madinah lebih membutuhkannya. Demikianlah pendapat madzhab Hanafi, diriwayatkan pula oleh imam Ahmad bin Hanbal untuk selain zakat fitrah. Merupakan madzhab Umar bin Abdul Aziz, Hasan Al Bashri, Sufyan Ats Tsauriy dan Al Bukhariy. Menurut Ibnu Taimiyah membayar zakat dengan nilai uang diperbolehkan karena kebutuhan, kemaslahatan atau keadilan.
Madzhab Syafi’iy tidak memperbolehkan membayar zakat dengan nilai uang. Karena zakat itu ibadah seperti shalat maka wajib dikerjakan seperti yang ada dalam teks syar’iy. Dan menurut madzhab Maliki ada beberapa pendapat yang berbeda, dan yang terkenal adalah makruh membayar zakat dengan uang
Sedang jika imam menghendaki pembayaran dengan uang maka mereka sepakat boleh, karena ia dianggap lebih memahami kemaslahatan.
3. Memindahkan zakat ke tempat lain.
Prinsip zakat adalah dibagikan di negeri tempat zakat itu dikumpulkan, seperti dalam hadits Nabi: “Diambil dari orang kaya mereka dan dibagikan kepada fakir misikin mereka”. Demikianlah sunnah fi’liyyah Rasulullah saw dan khulafaurrasyidin sesudahnya, tanpa ada yang berbeda pendapat dengannya.
Ketika negeri yang bersangkutan sudah cukup, maka boleh dipindahkan ke Negara lain, atau diserahkan kepada imam untuk dibagikan sesuai dengan kebutuhan. Demikianlah yang Rasulullah dan para khalifah lakuakan tanpa ada yang menolaknya
Sedangkan jika fakir miskin di negeri yang bersangkutan masih membutuhkan zakatnya orang kaya, maka pemindahan zakat ke Negara lain tidak boleh dilakukan kecuali jika ada kebutuhan yang lebih mendesak. Seperti jika ada suatu Negara muslim yang ditimpa bencana, atau sesuai dengan ijtihad imam menurut pendapat madzhab Hanafi dan Maliki.
Diperbolehkan memindahkan zakat menurut madzhab Hanafi ke Negara lain jika muzakki memiliki kerabat yang membutuhkan di negeri tersebut. Atau jika di negeri kedua itu terdapat fakir miskin yang lebih membutuhkan dari pada negeri yang pertama. Atau jika pemindahan itu lebih membawa maslahat bagi kaum muslimin, atau jika dipindahkan dari negeri perang ke negeri aman, atau jika dipindahkan kepada orang berilmu atau penuntut ilmu, atau dipindahkan untuk pembiayaan proyek Islami yang bermanfaat bagi kaum muslimin di Negara kedua. Ibnu Abidin menuturkan dalam hasyiyahnya lebih banyak lagi contoh seperti ini
4. Mempercepat dan Menunda Zakat
Zakat wajib dibayarkan seketika, maka ketika syarat-syarat zakat terpenuhi maka saat itu pula wajib dikeluarkan zakatnya. Ia berdosa jika menundanya tanpa ada sebab. Karena perintah menuntut disegerakan. Demikianlah madzhab jumhurul ulama
Diperbolehkan mempercepat pembayaran zakat -artinya dikeluarkan sebelum waktunya- jika zakatnya mensyaratkan haul (masa satu tahun). Demikianlahh madzhab jumhurul ulama. Berbeda dengan madzhab Maliki. Sedang zakat yang tidak mensyaratkan satu tahun seperti tanaman dan buah-buahan, maka tidak boleh membayarnya sebelum waktunya.
Tidak diperbolehkan pula menunda zakat ketika sudah jatuh waktu wajjibnya kecuali jika ada hajat syar’iy seperti menunggu kerabat yang sedang membutuhkan. Dan barang siapa yang menundanya tanpa ada sebab syar’iy ia berdosa menurut kebanyakan ulama. Dan jika kemudian hartanya habis atau kurang sebagiannya sebelum mengeluarkan zakat maka kewajibannya tidak gugur, dan menjadi hutangnya.[29]
Dan jika zakat telah diambil dari sebagian harta yang dimiliki untuk dibagikan kepada yang berhak kemudian hilang, maka jika karena keteledoran pemeliharaannya, maka ia wajib menggantinya dan mengelurkan zakat lagi. Namun jika tidak karena keteledoran maka ia tidak wajib menggantinya, dan cukup membayarkan dengan yang tersisa.
Zakat yang sudah menjadi kewajiban seseorang tidak akan pernah gugur sebelum dibayar meskipun telah lewat beberapa tahun. Menurut jumhurul ulama zakatnya diambil secara keseluruhan dari tahun-tahun yang telah berlalu.
Bahkan zakat tidak gugur karena kematian. Ia tetap harus dibayarkan dari harta peninggalan meskipun tidak diwasiatkan oleh orang yang meningal. Ini pendapat Jumhur yang didasarkan kepada sabda Rasulullah saw. “… hutang kepada Allah lebih berhar untuk dilunasi…” (Syaikhan)
5. Rekayasa Menggugurkan Zakat
Haram hukumnya dan zakat tidak gugur apapun bentuk rekayasanya. Barangkali di dunia bisa bebas karena permintaan pemimpin untuk menggugurkannya, namun di akhirat tidak selamat dari hisab Allah. Ini juga pendapat Jumhur, Malikiyah, Hanabilah, dan lain-lain.
6. Membayar zakat bisa dilakukan kepada orang fakir secara langsung dan tidak mengatakan bahwa itu zakat. Bahkan banyak ulama yang menganggapnya sunnah agar tidak menyakiti hatinya dan merendahkannya.


[1]Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002), hal.127
[2]Abu Bakar al-Hushaini Kifayat al-Akhyar, diterjemahkan oleh Ahmad Zain An Najah, hal. 279
[3]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahan, (Bandung: CV. Diponogoro, 2001), hal. 156.
[4]Syaikh Husaini bin Audah Al-'Awaisyah, al-Mausu’ah al- Fiqhiyah al-Muyarah, (Daar Ibnu Ahmad / al-marktabah al-Islamiyah) hal. 312
[5]Sayyid Sabiq diterjemahkan oleh Khairul Amru Harahap dan Masrukhin, Fikih Sunnah, Jilid 2, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008), hal. 142.
[6]‘Adil bin Yusuf Al‘Azazi, Tamamul Minnah, tt. hal.. 290
[7] Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Enksiklopedi Zakat, Fatwa Zakat Utsaimin, (Pustaka A-Sunnah, 2002) hal. 39
[8]Ibid., hal. 42
[9]Shahih Fiqh Sunnah, Shahih Fiqhus Sunnah wa Adillatuhu, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988) hal.  69
[10] Imam Bukhary, Shahih Bukhary, Juzu` I, (Maktabah Dahlan, Indonesia, t.t.), hal. 210.
[11] Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian…, hal.132
[12]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, cet. Ke-3, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 51
[13]Imam Bukhary, Shahih Bukhary, Juzu` I, (Maktabah Dahlan, Indonesia, t.t.), hal. 203
[14]Ali Mahmud Uqaily, Praktis & Mudah Menghitung akat, Cet.I, (Solo: Aqwam, 2010), hal. 76
[15]Fakhruddin, Fiqh dan Manajemen  Zakat di Indonesia, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hal. 90-122.
[16]Ibid., hal. 124
[17]Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian…, hal. 99
[18]M. Ali Hasan, Zakat dan Infak, Cet II, (Jakarta: Kencana, 2008) hal 78
[19] M. Ali Hasan, Puasa dan zakat…., 172-204
[20]Abu Bakar al-Hushaini Kifayat…, 128
[21] Didin Hafidhuddin, M.Sc, Zakat dalam Perekonomian…, hal. 99
[22] Mahmud Aziz Siregar, 1999, Hal. 83
[23] Wahbah Al-Zuhayly, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Puasa, I'tikaf, Zakat, Haji dan Umrah, Jilid 3, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 83
[24]Ibid., hal 84
[25]Yasin Ibrahim al-Syaikh, Kitab Zakat (Hukum, Tata Cara dan Sejarah), (Bandung : Marja, 2008), hal. 82
[26]Wahbah Al-Zuhayly, Fiqih Islam Wa Adillatuhu…, hal. 84
[27] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-‘Adzim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), hal: 385
[28]Wahbah Al-Zuhayly, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Puasa, I'tikaf, Zakat, …, hal. 83 
[29] Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian…, hal. 98

Related

Pengabdian 7022793017205911176

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Profile

About Me
Dr. Abdurrohman S.Ag. M.EI
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura. . Selengkapnya

Total Pageviews

Recent Posts

Random

Comments

Contact Us

Name

Email *

Message *

Populer

item