PARADOKS EKONOMI RAMADLAN
Bulan Ramadan adalah bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam di seluruh dunia. Selain limpahan pahala serta hikmah yang telah dija...
https://rohman-utm.blogspot.com/2018/05/paradoks-ekonomi-ramadlan.html
Bulan Ramadan adalah bulan yang
ditunggu-tunggu oleh umat Islam di seluruh dunia. Selain limpahan pahala serta
hikmah yang telah dijanjikan oleh Tuhan untuk mereka yang menjalankannya dengan
bersungguh-sungguh, ternyata ada beragam aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya
yang muncul mengikuti hadirnya bulan suci tersebut yang tidak senantiasa
selaras dengan makna ibadah puasa Ramadan yang sesungguhnya. Benarkah
demikian?
Seperti yang saya sebutkan pada
tulisan sebelumnya tingginya tingkat konsumsi masyarakat selama Ramadhan menjadi
naik hingga 40%, sebenarnya tidak ada masalah
selama masih seimbang dengan ketersediaan kebutuhan. Artinya Selama yang
dibutuhkan masyarakat dapat terpenuhi atau bisa dikatakan seimbang.
Dalam kajian ekonomi Islam, ekonomi dan puasa memang memiliki hubungan yang
erat antara satu dan lainnya. Idealnya, ketika seseorang berpuasa dengan cara
yang benar, seharusnya ketika berbuka, dia tidak berlebihan atau balas dendam
pada makanan pada saat berbuka puasa atau diwaktu malam usai menjalankan ibadah
sholat tarawih. Karena masih ada sebagian masyarakat ketika berbuka menyediakan
banyak menu yang kadang terkesan berlebihan. ''Masyarakat yang konsumtif selama
Ramadhan secara tidak langsung akan memberikan dampak terhadap harga barang di
pasaran.
Sehingga perilaku umat Islam yang konsumtif pada bulan suci ini
sebagai paradoks Ramadhan.
Padahal, selama bulan Ramadhan, umat Islam
diperintahkan untuk menahan lapar atau hidup sederhana dan banyak membantu kaum
lemah. Kenyataan lebih konsumtif, banyak belanja karena takut lapar, boros, dan
mubazir. Jika hal demikian memang menjadi budaya ummat Islam, maka dapat
dipastikan konsumsi umat Islam selama Ramadhan meningkat tajam.
Apa yang sebenarnya harus dilakukan
menyikapi perilaku konsumtif sebagian umat Islam selama Ramadhan sebagai
paradoks. Tiada lain mengurangi budaya konsumerisme dan umat Islam harus lebih
cerdas dengan dapat membedakan serta memilah antara kebutuhan ( al-hajah)
dan keinginan (al-raghbah). Oleh karenaya ummat muslim harus cerdas
melakukan transaksi dalam berbelanja. Karena sesungguhnya puasa tak hanya mengandung makna perintah
dalam konteks ibadah. Namun, umat Islam diminta agar menggunakan rasio dalam merespons
realitas. Wallahua’lam (amans_07 utm2018)
Tulisan Kedua bulan ramadlan 2018