MENGAPA TINGKAT KONSUMSI BULAN RAMADLAN JUSTRU NAIK ?
Tulisan 1 Dari sejumlah Tulisan selama bulan Ramadlan Menarik membaca hasil sejumlah artikel dan riset yang menyebutkan bahwa justru...
https://rohman-utm.blogspot.com/2018/05/mengapa-tingkat-konsumsi-bulan-ramadlan.html
Tulisan 1 Dari sejumlah
Tulisan selama bulan Ramadlan
Menarik
membaca hasil sejumlah artikel dan riset yang menyebutkan bahwa justru tingkat
konsumsi atau belanja barang masyarakat merangkat naik disetiap bulan ramadlan,
saay ummat muslim melakukan ibadah puasa dengan rata-rata kenaikan mencapai 16 %
persen per tahun, bahkan tahun diperkirakan naik 40% seperti tahun sebelumnya. Jika
diamati lebih detail, mungkin fenomena Ini terlihat aneh, karena selama bulan
Ramadhan masyarakat mengurangi pola konsumsinya karena aktivitas puasa di siang
hari. Sehingga dengan adanya aktivitas tersebut, secara logika tingkat konsumsi
dan belanja barang (terutama bahan makanan) seharusnya menjadi turun. Mengapa
bisa terjadi demikian?
Sekalipun
ada yang berdalih bahwa bahan makanan "ditumpuk" untuk berbuka puasa,
ini pun aneh untuk aktivitas Ramadhan, karena bagaimanapun QS Al A'raf:31
mengajarkan umat untuk tidak berlebihan saat makan, apalagi di bulan Ramadhan.
Melihat keanehan ini pula, penulis sepakat dengan pendapat Prof. Didik J
Rachbinie yang mempostulasikan fenomena Paradoks Ramadhan yang ditandai dengan adanya
kontradiksi antara praktik fiqih dan praktik ekonomi selama bulan Ramadhan.
Memang
dalam menjalankan Ibaadah ramadlan diperlukan persiapan persiapan, salah
satunya adalah persiapan maaliyah ( mempersiapkan harta), secara konsep
mempersiapkan harta bukan untuk konsumsi, tetapi lebih kearah mempersiapkan
harta untuk berbagi kepada sesama muslim yang kurang mampu, dalam bentuk zakat
infak dan shodaqah.
Saya
mencoba merangkum sejumlah pendapat mengapa tingkat konsumsi selama bulan
ramadlan meningkat hingga 40%
Pertama : Karena
akibat adanya peningkatan konsumsi kolektif di tengah masyarakat, mulai dari
buka puasa bersama, sahur bersama, atau ritual sosial lainnya yang pada
akhirnya mendorong peningkatan konsumsi. Tradisi ini jelas mendongkrak inflasi
yang pada akhirnya mengerek harga barang menjadi tinggi. Maka Ramadhan pun,
menjadi bulan pemicu kenaikan harga akibat tradisi ini. Tahun ini 2018i sebenarnya
bukan cuma peningkatan konsumsi bahan makanan, tetapi juga peningkatan konsumsi
jasa lainnya. Siliahkan bisa cek pada lainya, misalnya BBM, Listrik juga ikut naik. Hal diyakini erat
kaitannya dengan situasi sosial yang terjadi pada bulan ramadlan.
Kedua: Karena
bulan Puasa Ramadlan berbasis soliditas dan komoditas. Sehingga, ,masyarakat
muslim khususnya, yang memiliki financial lebih, sering mengundang para dhuafa’,
faqir, dam miskin untuk berbuka puasa bersama, mengundang anak yatim piatu,
atau bahkan mengundang masyarakat untuk sahur bersama. Mereka para aqniya, biasanya
menyajikan berbagai macam makanan dan
minuman
Ketiga : Karena
daya tarik Lebaran/hari raya idul fitri, sehingga pada Bulan Ramadhan ummat muslim,
bahkan non muslim sekalipun teah mempersiapkan segala kebutuhan untuk menyambut
Idul Fitri walaupun bulan puasa belum selesai.
Keempat : Karena pada Bulan Ramadhan ini adalah merupakan
bulan spirit bagi umat Muslim, sehingga dimanfaatkan untuk saling
berbagi dan membangun kepedulian sesama muslim.
Demikian
setidaknya empat faktor tersebut yang menyebabkan tingkat konsumsi selama bulan
ramadlan menjadi meningkat. Semoga bisa dikembangkan lagi, bagi mahasiswa mungkin dapat dijadikan dijadikan
judul peneltian baik secara kwantitatif maupun kwalitatf..Silahkan
ditindaklanjuti.
Selanjutnya
jika ada pertanyaan, apakah mereka melakukan kesalahan ? jawabanya tentu saja
tidak. Sungguhpun demikian Ramadlan menjadi terdistorsi maknanya. Puasa yang
seyogyanya dimaknai sebagai upaya untuk menahan aneka keinginan pada diri, baik
nafsu positif seperti makan, minum, dan bersebadan dengan istri maupun nafsu
negatif lainnya, termasuk diantaranya : berlebihan dalam mengkonsumsi sesuatu !
Tegas dalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa berlebihan akan menyeret kita pada
kemubaziran, dan hal tersebut akan menjadikan kita berkawan dengan syaitan. Bentuk-bentuk
"berlebihan" tersebut misalnya adalah munculnya menu-menu yang tidak
wajar, atau jumlah makanan yang "di luar normal" hingga pada akhirnya
banyak yang terbuang dan mubazir. Wallahu a’lamu bi al-shawab ( amans_07 utm2018)