MENYOAL SERTIFIKASI ULAMA
Wacana sertifikasi ulama terus bergulir akhir-akhir ini., terlebih setelah munculnya 200 penceramah Indpnesia yang mendapatkan rekomen...
https://rohman-utm.blogspot.com/2018/05/menyoal-sertifikasi-ulama.html
Wacana sertifikasi ulama terus bergulir akhir-akhir ini., terlebih
setelah munculnya 200 penceramah Indpnesia yang mendapatkan rekomendasi dari
kemenag, tentunya menuai beragam sikap dari berbagai kalangan pun bermunculan.
Ada yang merespons positif, ada juga sebaliknya.
Hal ini, bermula saat Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengungkapkan
soal sertifikasi tersebut pada akhir Januari 2017 lalu. Kemudian menjadi
heboh pada 2018 sekarang. Karena sertikasi ulama muncul berdasarkan gagasan
organisasi masyarakat Islam dan sejumlah tokoh.
Sesunggunya serifikasi ulama ini, sudah banyak dilakukan oleh Negara-negara
lain, misalnya Malaysia, harus ada izin teks (khutbah) sejak tahun 2016, mesir
pada masa Gamal Abdul Naser dan Anwar Saddad dan lain sebagainya.
Problem Sertifikasi Ulama
Sungguhpun demikian, sejelasnya akan mengundang pro kontra. Misalnya saja
bagaiamana mungkin pemerintah melegitimasi ulama. Karena berbeda dengan gelar
keilmuan dunia seperti untuk sarjana, pengakuan tokoh agama ini berada di
tangan masyarakat, legitimasinya di tangan umat,. Ilmunya diakui, akhlaknya
diakui, moralnya diakui, hanya umat yang mengakui. Artinya Tanpa legitimasi dari pemerintah pun,
masyarakat akan tetap menghormati dan mengakui sosok ulama yang mereka yakini. Tanpa
ada sertifikasi dari pemerintah, kalau posisinya sudah seperti itu, spontanitas
masyarakat menyebutnya kiai, Kalau negara mengatur guru, memberi sertifikasi
guru, dosen wajar karena terkait dengan
pemebrian gaji,. Lantas Jika Ulama ada sertifikasi, apakah pemerintah akan
menggaji ulama?
Artinya Sertifikasi ulama akan berImplikasi sangat luar biasa. Apalagi
untuk istilah standardisasi ,sertfikasi terlalu akademik. Lalu apakah pada
akhirnya akan muncul instilah kompetensi, kualifikasi ulama?
Belum lagi jumlah masjid di Tanah Air sudah tidak terhitung jumlahnya.
Di setiap masjid ada ulama yang jumlahnya juga tidak hanya satu atau dua.
''Jadi ada jutaan ulama,'' katanya. Dalam kondisi seperti ini, akan sangat kompleks bila pemerintah harus melakukan
sertifikasi, apalagi standarisasi.
Perlunya
sertifikasi Ulama
Tujuan sertifikasi sesungguhnya untuk meningkatkan kwalitas ulama,
sehingga ulama dapat memberikan ceramah yang baik untuk ummat, agar ummat
tercerahkan dengan penyampaiannya, Karena pada era technologi seperti, tidak
menutup kemungkinan, akan muncul pernceramah agama, dai, tapi kompetensinya
tidak cukup. Ada benarnya memang saya secara pribadi pernah menemukan
penceramah, hanya karena lucu saja kemudian dijadikan penceramah, lalu apa
bedanya dengan stand up comedi, kalau seseorang mengundang penceramah hanya
karena bisa melucu saja. Sungguh memprehatinkan memang.
Oleh
karena itu, Program
sertifikasi ulama, Mungkin bisa dilakukan hanya bersifat (sukarela) dan
bukan merupakan sebuah keharusan yang memiliki konsekuensi hukum. Sebab
melaksanakan tugas dakwah itu hakekatnya menjadi hak dan kewajiban setiap orang
yang memang menjadi perintah agama.
Sehingga
kalau sertifikasi itu merupakan sebuah keharusan dan bersifat wajib akan sangat
sulit dilaksanakan. Selain dari pada itu, dikhawatirkan terkesan ada intervensi
atau pembatasan oleh pemerintah. Sehingga program ini, justru akan menjadi kontra produktif bagi
program tersebut, khususnya bagi ummat muslim Indonesia.
Solusi dan sebuah usulan
Jika
sertifikasi bukan sebuah keharusan yang tidak memiliki konsekwensi hukum, Maka Program
sertifikasi ulama khususnya penceramah harus dilaksanakan oleh masyarakat atau
ormas Islam. Pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator sehingga akan
mendorong partisipasi masyarakat ikut bertanggung jawab dalam menyiapkan
kader-kader dakwah yang mumpuni, baik dari aspek materi maupun metodologi.
Misalnya
: Seorang calon dai harus mengikuti program pendidikan pelatihan (diklat) akan
diberikan sertifikat sesuai dengan jenjang diklatnya oleh ormas penyelenggara. "Adapun
jenis, jenjang, materi dan metodologi pendidikan dan pelatihan (diklat) bisa dirumuskan
oleh masing-masing ormas Islam yang ditunjuk oleh Kemenag (Kementerian Agama) atau
lembaga Keislaman dapat mengajukan ke kemenag yang disetujuai, tentunya lembaga
yang memiliki kompetensi di bidang itu bekerja sama dengan kemenag, sehingga
ada standarisasi materi, metodologi dapat menyesuaikan sesuai dengan kebutuhan.
Wallahu a’lam bi al-showabi
Demikian artikel ini dibuat, semoga ada nilai manfaat dan dapat dipertimbangkan
dimasa mendatang. (Abdur Rohman, dosen
Fakultas Keislaman Universitas Trunojoyo Madura. Amans_07 Utm 2018)