rohmans

MENYOAL SERTIFIKASI ULAMA

Wacana sertifikasi ulama terus bergulir akhir-akhir ini., terlebih setelah munculnya 200 penceramah Indpnesia yang mendapatkan rekomen...

Hasil gambar untuk SYARAT SERTIFIKASI ULAMA

Wacana sertifikasi ulama terus bergulir akhir-akhir ini., terlebih setelah munculnya 200 penceramah Indpnesia yang mendapatkan rekomendasi dari kemenag, tentunya menuai beragam sikap dari berbagai kalangan pun bermunculan. Ada yang merespons positif, ada juga sebaliknya.
Hal ini, bermula saat Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengungkapkan soal  sertifikasi tersebut pada akhir Januari 2017 lalu. Kemudian menjadi heboh pada 2018 sekarang. Karena sertikasi ulama muncul berdasarkan gagasan organisasi masyarakat Islam dan sejumlah  tokoh.
Sesunggunya serifikasi ulama ini, sudah banyak dilakukan oleh Negara-negara lain, misalnya Malaysia, harus ada izin teks (khutbah) sejak tahun 2016, mesir pada masa Gamal Abdul Naser dan Anwar Saddad dan lain sebagainya.
Problem Sertifikasi Ulama
Sungguhpun demikian, sejelasnya akan mengundang pro kontra. Misalnya saja bagaiamana mungkin pemerintah melegitimasi ulama. Karena berbeda dengan gelar keilmuan dunia seperti untuk sarjana, pengakuan tokoh agama ini berada di tangan masyarakat, legitimasinya di tangan umat,. Ilmunya diakui, akhlaknya diakui, moralnya diakui, hanya umat yang mengakui. Artinya  Tanpa legitimasi dari pemerintah pun, masyarakat akan tetap menghormati dan mengakui sosok ulama yang mereka yakini. Tanpa ada sertifikasi dari pemerintah, kalau posisinya sudah seperti itu, spontanitas masyarakat menyebutnya kiai, Kalau negara mengatur guru, memberi sertifikasi guru, dosen  wajar karena terkait dengan pemebrian gaji,. Lantas Jika Ulama ada sertifikasi, apakah pemerintah akan menggaji ulama?
Artinya Sertifikasi ulama akan berImplikasi sangat luar biasa. Apalagi untuk istilah standardisasi ,sertfikasi terlalu akademik. Lalu apakah pada akhirnya akan muncul instilah kompetensi, kualifikasi ulama?
Belum lagi jumlah masjid di Tanah Air sudah tidak terhitung jumlahnya. Di setiap masjid ada ulama yang jumlahnya juga tidak hanya satu atau dua. ''Jadi ada jutaan ulama,'' katanya. Dalam kondisi seperti ini, akan sangat  kompleks bila pemerintah harus melakukan sertifikasi, apalagi standarisasi.
Perlunya sertifikasi Ulama
Tujuan sertifikasi sesungguhnya untuk meningkatkan kwalitas ulama, sehingga ulama dapat memberikan ceramah yang baik untuk ummat, agar ummat tercerahkan dengan penyampaiannya, Karena pada era technologi seperti, tidak menutup kemungkinan, akan muncul pernceramah agama, dai, tapi kompetensinya tidak cukup. Ada benarnya memang saya secara pribadi pernah menemukan penceramah, hanya karena lucu saja kemudian dijadikan penceramah, lalu apa bedanya dengan stand up comedi, kalau seseorang mengundang penceramah hanya karena bisa melucu saja. Sungguh memprehatinkan memang.
Oleh karena itu, Program sertifikasi ulama, Mungkin bisa dilakukan hanya bersifat  (sukarela) dan bukan merupakan sebuah keharusan yang memiliki konsekuensi hukum. Sebab melaksanakan tugas dakwah itu hakekatnya menjadi hak dan kewajiban setiap orang yang memang menjadi perintah agama. 
Sehingga kalau sertifikasi itu merupakan sebuah keharusan dan bersifat wajib akan sangat sulit dilaksanakan. Selain dari pada itu, dikhawatirkan terkesan ada intervensi atau pembatasan oleh pemerintah. Sehingga program ini,  justru akan menjadi kontra produktif bagi program tersebut, khususnya bagi ummat muslim Indonesia.
Solusi dan sebuah usulan
Jika sertifikasi bukan sebuah keharusan yang tidak memiliki konsekwensi hukum, Maka Program sertifikasi ulama khususnya penceramah harus dilaksanakan oleh masyarakat atau ormas Islam. Pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator sehingga akan mendorong partisipasi masyarakat ikut bertanggung jawab dalam menyiapkan kader-kader dakwah yang mumpuni, baik dari aspek materi maupun metodologi. 
Misalnya : Seorang calon dai harus mengikuti program pendidikan pelatihan (diklat) akan diberikan sertifikat sesuai dengan jenjang diklatnya oleh ormas penyelenggara. "Adapun jenis, jenjang, materi dan metodologi pendidikan dan pelatihan (diklat) bisa dirumuskan oleh masing-masing ormas Islam yang ditunjuk oleh Kemenag (Kementerian Agama) atau lembaga Keislaman dapat mengajukan ke kemenag yang disetujuai, tentunya lembaga yang memiliki kompetensi di bidang itu bekerja sama dengan kemenag, sehingga ada standarisasi materi, metodologi dapat menyesuaikan sesuai dengan kebutuhan. Wallahu a’lam bi al-showabi
Demikian artikel ini dibuat, semoga ada nilai manfaat dan dapat dipertimbangkan dimasa mendatang. (Abdur Rohman, dosen Fakultas Keislaman Universitas Trunojoyo Madura. Amans_07 Utm 2018)

Related

Artikel 6379814119713581821

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Profile

About Me
Dr. Abdurrohman S.Ag. M.EI
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura. . Selengkapnya

Total Pageviews

Recent Posts

Random

Comments

Contact Us

Name

Email *

Message *

Populer

item