Mengapa Imam al-Ghazali Menyebut Ulama Suu’ ( Ulama dunia/buruk)
Saat Ini ummat muslim di Indonesia, termasuk ulama’nya, memang sedang di dera ujian dan cobaan. Saat ulama sudah mulai mencela ulama la...
https://rohman-utm.blogspot.com/2018/05/mengapa-imam-al-ghazali-menyebut-ulama.html
Saat Ini ummat muslim di Indonesia,
termasuk ulama’nya, memang sedang di dera ujian dan cobaan. Saat ulama sudah
mulai mencela ulama lainya, apakah hal ini yang dimaksudkan
oleh Imam al-Ghazali sebagai ulama suu’. Lalu bagaimana seharusnya
menjadi ulama?
Tulisan ini insya Allah akan menjawab
pertanyaan sekilas tentang siapa saja yang dimaksudkan oleh imam al-Ghazali
yang tergolong ulama akhirat dan ulama suu’ dan bagaimana ciri-cirinya? Selanjutnya bagaimanakah
dengan posisi ulama Indonesia dewasa ini.?
RASULULLAH shallallahu alaihi wasallam
bersabda "ingatlah, sejelek-jelek keburukan adalah keburukan ulama dan
sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama." (HR ad-Darimi).
Berikut adalah tentang ulama busuk/ buruk
(al-ulama al su') menurut Imam
Ghazali membahasnya dalam kitab Ihya' Ulumiddin, membagi ulama dalam dua
kategori, yaitu Ulama Akherat dan Ulama Dunia. Yang
pertama adalah ulama pewaris Nabi, warasat al-anbiya. Sedangkan yang kedua
adalah Ulama su' (jahat).
Mereka inilah yang mempergunakan ilmunya
untuk mendapatkan kepuasan duniawi, termasuk menjadikannya tangga untuk meraih
pangkat dan kedudukan. Sementara itu, ulama akherat adalah ulama yang sadar
betul akan ilmu yang dimilikinya.
Ciri-ciri Ulama' Akhirat
Inilah dia ulama yang haq, ulama pewaris
Nabi, yakni ulama yang benar-benar beramal dengan Al-Quran dan Sunnah, disebut
juga ulama ul 'amilin. Umumnya mereka ini banyak di zaman salafussoleh. Karana
itu kita sebutkan mereka ulama salafussoleh. Yang mana selepas generasi mereka,
cukup sulit untuk dapatkan ulama yang haq ini.
Ada juga tetapi tidak banyak, boleh
dihitung dengan jari, mereka juga dinamakan 'ulama Akhirat' (karena mereka
dapat menggunakan kesempatan dunia untuk Akhirat). Sekaligus dunia tidak dapat
menipu mereka. Di akhirat mereka akan jadi orang yang menang yakni jadi orang
besar dan orang kaya Akhirat, insya Allah. Merekalah yang Rasulullah SAW
maksudkan:
Para ulama itu pewaris para nabi (riwayat
Abu Daud dan At Tarmizi), merekalah yang mengambil tugas nabi-nabi di zaman
tidak ada nabi. Mereka bagaikan obor di zamannya dan pribadi mereka adalah
bayangan dari pribadi Rasulullah SAW.
Dalam Al-Quran disebutkan :
"Istiqomah aqidah, ibadah, akhlak
dan dakwahnya, takutnya hanya pada Allah" (QS Al Anbiya 28).
"Senangnya berjamaah ke masjid,
lembut tutur katanya, bicaranya hikmah yang mengajak hijrah menuju Allah, tegas
menyampaikan yang haq, tampak sekali kerendahan hatinya, wajahnya murah senyum
bercahaya, ikhlasnya mengajar tanpa minta upah apalagi bertarif. Ikutilah
mereka yang berdakwah yang tidak minta upah, merekalah hamba-hamba Allah yang
mendapat hidayah Allah” (QS Yasin 21).
Menerima upah dari berdakwah juga tidak
apa-apa asalkan tidak meminta-minta bayaran (pasang tarif). Rasulullah bersabda
: Dari Ibnu as Sa’idy al Maliki, bahwasanya ia berkata:
“Umar bin Khattab ra mempekerjakanku untuk
mengumpulkan sedekah. Tatkala selesai dan telah aku serahkan kepadanya, ia
memerintahkan aku untuk mengambil upah
.” Lalu aku berkata: ”Aku bekerja
hanya karena Allah, dan imbalanku dari Allah.” Lalu ia berkata: “Ambillah
yang telah aku berikan kepadamu. Sesungguhnya aku bekerja di masa Rasulullah
saw dan mengatakan seperti apa yang engkau katakan. Lalu Rasulullah saw
bersabda kepadaku: “Jika aku memberikan sesuatu yang tidak engkau pinta,
makanlah dan sedekahkanlah.” (HR. Muslim).
Hadits di atas juga menunjukkan bolehnya
menerima upah yang tidak dimintanya, karena upah ini memang sudah menjadi hak
bagi seorang da’i. “Tsiqqoh”
kuat menjaga janji, “wara” sangat takut dan berhati-hati dengan Hukum
Allah.
Siang malam memikirkan umatnya, umatnyapun
selalu ia sertakan dalam doanya terutama setiap tahajjudnya di penghujung
malamnya, iapun sibuk berikhtiar untuk keberkahan keluarga dan dakwahnya,
keluarganyapun sakinah dan uswah hasanah, kuatnya silaturrahmi.
Penghormatan pada perbedaan pendapat,
memaafkan pada mereka yang menyakitinya, jauh dari sifat dengki bahkan ia
senang untuk selalu belajar, mengaji dan berguru lagi (QS Ali Imran 79).
Dakwahnya selalu berisi seruan untuk
meraih kehidupan akhirat, tidak membicarakan bagaimana mendapatkan
kesejahteraan dunia, sederhana dan menjaga jarak dengan penguasa.
Tidak menganggap majelis yang beliau
pimpin paling baik, tidak menjelek-jelekkan majelis yang dipimpin ulama' lain
dan tidak memusuhi umat Islam yang berbeda pendapat karena mengingat Firman
Allah Ta'ala. "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara."
(QS. Al Hujuraat: 10)
Ciri-ciri Ulama' Dunia (Ulama' Su')
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengistilahkan mereka ulama su’ dengan sebutan “para dai yang berada di tepi
pintu-pintu neraka”. Beliau peringatkan kita dari keberadaan mereka
sebagaimana dalam sabdanya, “… Dan sesungguhnya yang aku takutkan atas umatku
ialah para ulama-ulama yang menyesatkan.” (H.R. Abu Daud dari sahabat Tsauban radhiyallahu
‘anhu).
Berikut
ciri-ciri ulama' jahat :
Sebaliknya, ulama dunia atau ulama su'
selalu menginginkan kekayaan (hidupnya bermewah-mewah) dan kehormatan
duniawi. Celakanya, mereka tidak segan-segan berkhianat pada hati nurani,
asalkan tujuan mereka tercapai.
Dalam kenyataannya, ulama tersebut bergaul
bebas dengan raja-raja dan pegawai pemerintah, penguasa, serta memberikan
sokongan moral terhadap tindakan mereka, tak peduli baik atau buruk.
Terkait dengan ulama su', ada ilustrasi menarik yang dipaparkan Ibnu Mas'ud :
Terkait dengan ulama su', ada ilustrasi menarik yang dipaparkan Ibnu Mas'ud :
"Kelak akan datang suatu masa tatkala
hati manusia asin ; ilmu tidak bermanfaat lagi. Saat itu, hati ulama laksana
tanah gundul dan berlapiskan garam. Meski disiram hujan, namun tidak setets pun
air tawar nan segar dapat diminum dari tanah itu."
Dalam dakwahnya mereka membicarakan
tentang meraih kesejahteraan dan kebahagiaan dunia bukan bagaimana caranya
meraih kesejahteraan di akhirat. Berdakwah jika hanya ada upahnya. Kalau
tidak ada upah enggan untuk berdakwah. Agar terhindar dari hasutan ulama' Su'
hendaknya kita senantiasa berdoa dan belajar Islam kepada para Ulama' Akhirat
dengan ciri-ciri di atas.
Kitab ternama "Ihya Ulumuddin"
(menghidupkan ilmu-ilmu agama) ditulis Ghazali di antaranya sebagai counter
terhadap upaya ulama su' yang memadamkan ilmu-ilmu agama.
Di awal kitab Ihya Ulumuddin . Al-Ghazali
memprihatinkan situasi saat ilmu-ilmu agama terancam padam. Penyebabnya banyak
ulama yang mestinya menjadi pewaris Nabi justru gagal mengemban misi mulianya
tersebut.
Menurut Al-Ghazali, umat dibikin untuk
percaya bahwa fatwa yang absah hanyalah "fatwa al hukumah"
fatwa resmi ulama dari pemerintah sedangkan yang lain bukan. Sehingga umat pun
juga dibikin terperdaya oleh ulama yang berdebat bukan demi ilmu, tapi demi
keelokan pada publik dan pangkat.
Umat juga dikelabui oleh mereka yang mahir
berpetuah agama padahal hanya demi mengejar publisitas, harta atau
pangkat. Hal-hal di ataslah yang menyebabkan ilmu-ilmu keislaman justru
meredup. Atas dasar itulah Ghazalu menulis kitab Ihya Ulumiddin tersebut.
Imam Ghazali mengkontraskan antara ulama
su' dengan ulama akhirat, yang terakhir itulah ulama sejati. Sebelum membahas
pandangan Ghazali ttg ulama su', ada baiknya kita bahas dulu tentang posisi
ulama dlm Islam.
Ulama, bentuk plural dari 'alim, sejatinya
punya posisi sangat mulia, karena perannya sebagai pewaris dari misi kenabian.
Posisinya jauh lebih tinggi di mata Allah dibanding 'abid (ahli ibadah).
Ibadahnya Ulama lebih bermutu.
Ada hadist masyhur, barang siapa yang
dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan menjadikannya betul-betul
faham akan agama. Al-Qur'an bahkan menyebut bahwa yang punya khasyah
(takut) pada Allah hanyalah ulama.
Dengan kata lain, ulama, karena ilmunya,
adalah golongan yang punya posisi amat mulia di mata Allah. Tapi siapa
menentukan seseorang sebagai ulama? Inilah soalnya.
Dalam islam (khususnya sunni), tidak ada
otoritas religius tunggal resmi. Tidak ada otoritas religius tunggal resmi yg
memutuskan status keulamaan seseorang. Ini beda dengan doktor/ profesor yang
diotorisasi universitas atau hakim yang diangkat negara. dan
Ulama itupun tidak harus disyaratkan
dengan jenjangan diploma, sarjana atau SK (surat keputusan). Siapapun yang
punya kualifikasi keilmuan Islam, dan mendapat pengakuan masyarakat secara
nominal bisa disebut ulama. Masalahnya, mereka yang disebut atau menyebut diri
'ulama' bisa saja tak benar-benar ulama. Di sini bahasan Ghazali tentang
ulama su' jadi penting.
Menurutnya ada beberapa ciri pokok yang menandai ulama su', ada tiga ciri menonjol :
Menurutnya ada beberapa ciri pokok yang menandai ulama su', ada tiga ciri menonjol :
Pertama, ulama yang
menjadikan keulamaannya sebagai komoditas untuk mendapatkan harta duniawi.
Al-Ghazali mengutip, misalnya, Imam Hasan: siksaan buat ulama adalah matinya
hati mereka jadikan amalan akhirat demi memburu dunia.
Kedua, ulama yang dengan
keulamaannya merapat ke pemimpin yang zalim dan melegitimasinnya. Menurrt
Ghazali, orang beragama harusnya menentng kezaliman si pemimpin. Kalau tak
mampu, menyingkir dari mereka. Tapi oleh ulama su' tersebut mendekat ke penguasa
zalim, demi harta dan jabatan. Dengan melegitimasi mereka, ulama justru
bersekutu dengan kezaliman. Jika sudah demikian, maka "wa fihi halak al
din". disitulah letak hancurnya agama.
Ketiga, begitu mudahnya
mereka mengeluarkan fatwa, demi kepentingan materi atau politik duniawi. Ulama
akhirat, menurut Ghazali, akan sangat berhati-hatu untuk berfatwa.Tapi ulama
su' justru mengumbarnya, demi motif duniawi.
Menurut Imam Ghazali, keulamaan bukan
semata-mata soal kemahiran ilmu agama, tapi terutama integritas moral dan
kemurnian hati. Kecaman Ghazali thd ulama su' menegaskan, tak semua yang
berlabel 'ulama' benar-benar punya kualifikasi keulamaan.
Secara teoritis. ulama memang amat mulia
di sisi Allah. Tapi kenyataannya, yang bergelar ulama bisa saja sama sekali tak
mulia, tapi busuk. Ulams su' di mata publik bisa saja tetap dianggap ulama,
tapi sejatinya mereka palsu, itulah yg dikecam keras Ghazali.
Dari sini umat belajar untuk bersikap
kritis dan tidak mudah terkecoh dengan penampilan luar suatu lembaga
agama. Kalau mengkritik lalu mereka yang disebut ulama, tak lantas itu
melecehkan ulama yang menafikan keadaban bahkan hingga menghina Islam.
Al-Ghazali mengecam keras banyak ulama
pada zamannya yang mnrtnya su'. Tak lantas Ghazali menghina Islam. Justru
dengan begitu Al-Ghazali menyelamatkan ulama dari diri mereka sendiri.
Hari ini bangsa Indonesia sedang dicoba
baik ummat muslimnya maupun para ulama’nya. Semoga artikel ini sedikit
memberikan pencerahan, terhadap kasus yang mendera para ulama. Siapa yang
sebenarnya yang tergolong ulama suu dan akhirat. ( dikutip dari berbagai sumber) --amans_07-utm2018)