RENUNGAN KEMATIAN
“ Seandainya kematian merupakan tempat peristirahatan yang tenang dari seluruh keluh kesah hidup manusia di dunia… niscaya kematian mer...
https://rohman-utm.blogspot.com/2018/04/renungan-kematian.html
“
Seandainya
kematian merupakan tempat peristirahatan yang tenang dari seluruh keluh kesah
hidup manusia di dunia… niscaya kematian merupakan suatu kabar gembira yang
dinanti-natikan bagi setiaps insan… Akan tetapi kenyataannya berbeda… setelah
kematian itu ada pertanggung jawaban dan ada kehidupan…”
Jumat, 27 April 2018
ada mahasiswi Ekonomi Syariah semester VI telah meninggal karena sakit yang
dideritanya. Secara tiba-tiba penulis teriangat beberapa tahun terakhir ini ada
sekitar 5 mahasiswa saya meninggal dengan menyebab yang berbeda-beda, bahkan
pada bulan Nopember 2017 penulis hampir mengalami hal ini, karena sebuah
kecelakaan.
Semoga tulisan dapat dijadikan renungan, ibrah sekaligus menjadi dzikra
al-maut untuk semuanya.
Ihwani
Fillahi.....
Sesungguhnya
Kematian
Adalah Kepastian
Betapa banyak berita
kematian yang sampai di telinga kita, mungkin mengkhabarkan bahwa tetangga
kita, kerabat kita, saudara kita atau teman kita telah meninggal dunia,
menghadap Allah Ta’ala. Akan tetapi betapa sedikit dari diri
kita yang mampu mengambil pelajaran dari kenyataan tersebut. Saudaraku, kita
tidak memungkiri bahwa datangnya kematian itu adalah pasti. Tidak ada manusia
yang hidup abadi. Realita telah membuktikannya. Allah Ta’ala telah
berfirman.
“Setiap
jiwa pasti akan mengalami kematian, dan kelak pada hari kiamat saja lah balasan
atas pahalamu akan disempurnakan, barang siapa yang dijauhkan oleh Allah Ta’ala
dari neraka dan dimasukkan oleh Allah Ta’ala ke dalam surga, sungguh dia adalah
orang yang beruntung (sukses).” (QS. Ali Imran : 185)
Allah Ta’ala juga
telah berfirman,
“Katakanlah
(wahai Muhammad) sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya pasti akan
mendatangi kalian, kemudian kalian akan dikembalikan kepada Dzat Yang Maha
Mengetahui apa yang tersembunyi dan apa yang nampak, kemudian Allah Ta’ala akan
memberitahukan kepada kalian setiap amalan yang dahulu kalian pernah kerjakan.”
(QS. Al Jumu’ah : 8)
Saudaraku, kematian itu
milik setiap manusia. Semuanya akan menjumpai kematian pada saatnya. Entah di
belahan bumi mana kah manusia itu berada, entah bagaimanapun keadaanya,
laki-laki atau perempuan kah, kaya atau miskin kah, tua atau muda kah, semuanya
akan mati jika sudah tiba saatnya. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan
bagi tiap-tiap jiwa sudah ditetapkan waktu (kematiannya), jika telah tiba waktu
kematian, tidak akan bisa mereka mengundurkannya ataupun mempercepat, meskipun
hanya sesaat” (QS. Al A’raf :34)
Saudaraku, silakan
berlindung di tempat manapun, tempat yang sekiranya adalah tempat paling aman
menjadi persembunyian. Mungkin kita bisa lari dari kejaran musuh, selamat dari
kejaran binatang buas, lolos dari kepungan bencana alam. Namun, kematian itu
tetap akan menjemput diri kita, jika Allah Ta’ala sudah
menetapkan. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan
dimanapun kalian berada, niscaya kematian itu akan mendatangi kalian, meskipun
kalian berlindung di balik benteng yang sangat kokoh.” (QS. An Nisa : 78)
Kematian
Adalah Rahasia Sang Pencipta
Kematian manusia sudah
Allah Ta’ala tetapkan
atas setiap hamba-Nya sejak awal penciptaan manusia. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya proses penciptaan
manusia di dalam perut ibu, berlangsung selama 40 hari dalam bentuk air mani,
kemudian menjadi segumpal darah yang menggantung selama 40 hari, kemudian
menjadi segumpal daging selama 40 hari juga. Kemudian Allah mengutus
seorang malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut, dan diperintahkan
untuk mencatat empat ketetapan : rezekinya,
kematiannya, amalannya, dan akhir kehidupannya, menjadi orang bahagia ataukah
orang yang celaka….” (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah Ta’ala telah
berfirman,
“Sesungguhnya
di sisi Allah sajalah pengetahuan tentang (kapankah) datangnya hari kiamat, dan
Dia-lah yang menurunkan air hujan, dan Dia lah yang mengetahui tentang apa yang
ada di dalam rahim, dan tidak ada seorang pun yang mengetahui (dengan pasti)
apa yang akan dia kerjakan esok hari, dan tidak ada seorang pun yang mengetahui di bumi
manakah dia akan mati..” (QS. Luqman : 34)
Saudaraku, jika kita
tidak tahu di bumi manakah kita akan mati, di waktu kapan kah kita akan
meninggal, dan dengan cara apakah kita akan mengakhiri kehidupan dunia ini,
masih kah kita merasa aman dari intaian kematian…? Siapa yang bisa menjamin
bahwa kita bisa menghirup segarnya udara pagi esok hari…? Siapa yang bisa
menjamin kita bisa tertawa esok hari…? Atau…. siapa tahu sebentar lagi giliran
kematian Anda wahai Saudaraku…
Di manakah
saudara-saudara kita yang telah meninggal saat ini…? Yang beberapa waktu silam
masih sempat tertawa dan bercanda bersama kita… Saat ini mereka sendiri di
tengah gelapnya himpitan kuburan… Berbahagialah mereka yang meninggal dengan
membawa amalan sholeh… dan sungguh celaka mereka yang meninggal dengan membawa
dosa dan kemaksiatan…
Faidah
Mengingat Kematian
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Perbanyaklah kalian mengingat
pemutus kelezatan dunia”. Kemudian para shahabat bertanya. “Wahai Rasulullah
apakah itu pemutus kelezatan dunia?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Kematian” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul
Iman, hadits dari shahabat Abu Hurairah)
Ad Daqaaq rahimahullahu mengatakan,
“Barangsiapa yang banyak mengingat kematian, maka akan dianugerahi oleh Allah
tiga keutamaan, [1] bersegera dalam bertaubat, [2] giat dan semangat dalam
beribadah kepada Allah, [3] rasa qana’ah dalam hati
(menerima setiap pemberian Allah)” (Al Qiyamah Ash Shugra,
Syaikh Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar)
Bersegera dalam Bertaubat
Sudah dapat dipastikan
bahwa manusia adalah makhluk yang banyak dosa dan kemaksiatan. Seorang manusia
yang banyak mengingat kematian, dirinya sadar bahwa kematian senantiasa
mengintai. Dia tidak ingin menghadap Allah Ta’ala dengan
membawa setumpuk dosa yang akan mendatangkan kemurkaan Allah Ta’ala. Dia
akan sesegera mungkin bertaubat atas dosa dan kesalahannya, kembali kepada
Allah Ta’ala. Allah
telah berfirman,
“Sesungguhnya
taubat di sisi Allah hanyalah bagi
orang-orang yang mengerjakan keburukan dikarenakan kebodohannya, kemudian
mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima
taubatnya oleh Allah, dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana” (QS. An
Nisa : 17)
Maksud dari berbuat
keburukan karena kebodohan dalam ayat di atas, bukanlah kebodohan seorang yang
tidak mengetahui sama sekali bahwa apa yang dia kerjakan merupakan sebuah
keburukan. Orang yang berbuat buruk dan tidak mengetahui sama sekali tidak akan
dihukum oleh Allah. Akan tetapi yang dimaksud kebodohan di sini adalah
seseorang yang mengetahui bahwa apa yang dia lakukan adalah keburukan, namun
dia tetap saja melakukannya lantaran dirinya dikuasai oleh hawa nafsu. Inilah
makna kebodohan dalam ayat di atas. (Syarah Qowaidul Arba’ Syaikh Sholeh
Fauzan).
Allah Ta’ala berfirman, “Dan
bersegeralah menuju ampunan dari Rabb kalian dan menuju surga yang luasnya
seluas langit dan bumi, yang telah dipersiapkan (oleh Allah) bagi orang-orang
ynag bertaqwa” (QS. Ali Imran : 133)
Giat dan Semangat dalam
Beribadah kepada Allah
Seorang yang banyak
mengingat kematian, akan senantiasa memanfaatkan waktunya untuk beribadah
kepada Allah Ta’ala. Suatu ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma, “Jadilah engkau di dunia ini bagaikan seorang yang asing atau seorang
yang sedang menempuh perjalanan yang jauh”, mendengar sabda
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam ini, lantas Abdullah ibnu Umar berkata, “Jika
engkau berada di sore hari jangan engkau tunggu datangnya pagi hari, jika
engkau berada di pagi hari jangan engkau tunggu datangnya sore hari,
pergunakanlah waktu sehatmu (dalam ketaatan kepada Allah) sebelum datangnya
waktu sakitmu, dan pergunakanlah waktu hidupmu sebelum kematian datang
menjemputmu.” (HR. Bukhari)
Rasa Qana’ah di
Dalam Hati
Allah Ta’ala akan
menanamkan rasa qana’ah di dalam hati seseorang yang
banyak mengingat kematian. Rasa qana’ah yang membuat
seseorang merasa cukup terhadap setiap pemberian Allah Ta’ala, bagaimanapun
dan berapa pun pemberian Allah. Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menyampaikan nasehat kepada Abu Dzar. Abu Dzar berkata,
“Kekasihku yakni Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintah tujuh perkara padaku, (di
antaranya): Beliau memerintahkanku agar mencintai orang miskin dan dekat dengan
mereka, dan beliau memerintahkan aku agar melihat orang yang berada di bawahku
(dalam masalah harta dan dunia), juga supaya aku tidak memperhatikan orang yang
berada di atasku. …” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
Seseorang yang banyak
mengingat kematian, meyakini bahwa segala pemberian Allah dari perbendaharaan
dunia adalah titipan dari Allah. Seluruhnya akan diambil kembali oleh Allah,
dan akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Ta’ala atas seluruh
pemberian tersebut. Nas’alullaha al afiyah.
Kehidupan
setelah Kematian
“Saudaraku, seandainya
kematian merupakan tempat peristirahatan yang tenang dari seluruh keluh kesah
hidup manusia di dunia… niscaya kematian merupakan suatu kabar gembira yang
dinanti-natikan bagi setiap manusia… Akan tetapi kenyataannya berbeda… setelah
kematian itu ada pertanggung jawaban dan ada kehidupan… kehidupan yang
sebenarnya…”
Diantara keimanan kepada
hari kiamat adalah meyakini bahwa setelah kematian ini ada kehidupan. Semuanya
akan berlanjut ke alam kubur kemudian ke alam akhirat. Di sana ada pengadilan
Allah Ta’alayang
Maha Adil. Semua manusia akan diadili, mempertanggungjawabkan setiap amalan
yang dia perbuat. Allah Ta’ala berfirman,
“Barangsiapa
yang berbuat kebaikan meskipun sekecil biji dzarah, niscaya dia akan melihat
hasilnya, dan barang siapa yang berbuat keburukan meskipun sekecil biji dzarah,
niscaya dia akan melihat akibatnya” (QS. Al Zalzalah: 7-8)
Terakhir Saudaraku,
jadilah orang yang cerdas. Orang yang cerdas dalam memandang hakikat kehidupan
di dunia ini. Abdullah Ibnu Umar dia pernah berkata, ‘Aku bersama
Rosulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, lalu seorang laki-laki Anshar datang kepada
beliau, kemudian mengucapkan salam kepada beliau, lalu dia berkata, ‘Wahai
Rasulullah, manakah di antara kaum mukminin yang paling utama?’. Beliau
menjawab, ‘Yang
paling baik akhlaknya di antara mereka.’ Dia berkata lagi,
‘Manakah di antara kaum mukminin yang paling cerdas?’. Beliau menjawab, ‘Yang paling banyak mengingat
kematian di antara mereka, dan yang paling baik persiapannya setelah kematian.
Mereka itu orang-orang yang cerdas.’” (HR. Ibnu Majah)