A. Biografi Singkat al-Shaibani Abu Abdillah Muhammad Ibn al-Hasan Ibn Farqad al-Shaibani lahir pada tahun 132 H (750 M) di ko...
https://rohman-utm.blogspot.com/2017/12/pemikiran-ekonomi-islam-al-syaibani.html
A. Biografi Singkat al-Shaibani
Abu Abdillah Muhammad Ibn
al-Hasan Ibn
Farqad al-Shaibani lahir pada tahun 132 H (750
M) di kota Wasith dengan kuniyah (julukan)
Abu Abdullah, ibukota Irak pada masa akhir
pemerintahan Bani Umawiyyah, ayahnya berasal dari negeri Shaiban diwilayah
jazirah Arab. Bersama orang tuanya, al-Shaibani pindah ke kota Kufah
yang ketika itu merupakan salah satu pusat kegiatan ilmiah. Di kota tersebut, al-Shaibani
belajar fiqih, sastra, bahasa dan hadits kepada para ulama’ setempat, seperti
Mus’ar Ibn Kadam, Sufyan Tsauri, Umar Ibn
Dzar, dan Malik Ibn Maghul. Pada periode ini pula, al-Shaibani
yang baru berusia 14 tahun berguru kepada Abu Hanifah selama 4 tahun, yakni hingga
Abu Hanifah meninggal dunia. Setelah itu, ia berguru pada Abu Yusuf, salah
seorang murid terkemuka dan pengganti Abu Hanifah, hingga keduanya tercatat
sebagai penyebar mazhab Hanafi.. Bersama-sama
dengan Abu Yusuf, mereka berdua disebut dua orang sahabat (shohiban) dan
dua orang murid (muridan).
Dalam menuntut
ilmu, al-Shaibani tidak hanya berintraksi dengan para ulama’ ahl al-ra’yi, tetapi juga ulama al-hadits. Ia, layaknya ulama terdahulu,
berkelana ke berbagai tempat, seperti Madinah, Makkah, Syria, Basrah, dan
Khurasan untuk belajar kepada para ulama besar, seperti Malik Ibn Anas, Sufyan Ibn ‘Uyainah dan Auza’i. al-Shaibani juga pernah bertemu dengan
al-Syafi’i ketika belajar al-Muwatta’ pada Malik Ibn Anas. Hal tersebut memberikan nuansa baru
dalam pemikiran fiqihnya . Al-Shaibani menjadi lebih banyak mengetahui berbagai
hadits yang luput dari perhatian Abu Hanifah. Dari keluasan pendidikannya ini,
ia mampu mengomIbn asikan antara aliran ahl
al-ra’yi di Irak dengan ahl al-hadits
di Madinah.
Setelah memperoleh ilmu yang memadai, al-Shaibani
kembali ke Baghdad yang pada saat itu telah berada dalam kekuasaan Daulah Bani
Abbasiah. Di tempat ini, ia mempunyai peranan penting dalam majelis ulama dan
kerap didatangi para penuntut ilmu. Hal tersebut semakin mempermudahnya dalam
mengembangkan madzhab Hanafi, apalagi di tunjang kebijakan pemerintah saat itu
yang menetapkan mazhab Hanafi sebagai mazhab negara. Berkat keluasan ilmunya
tersebut, setelah Abu Yusuf meninggal dunia, Khalifah Harun Al-Rasyid
mengangkatnya sebagai hakim di kota Riqqah, Irak. Namun tugas ini hanya
berlangsung singkat karena ia kemudian mengundurkan diri untuk lebih
berkonsentrasi pada
pengajaran dan penulisan
fiqih. Al-Shaibani meninggal dunia pada tahun 189 H (804 M) di kota al-Ray,
dekat Teheran, dalam usia 58 tahun. 45
B. Karya-karya Al-Syaibani
Dalam menuliskan pokok-pokok pemikiran fiqihnya,
Al-Shaibani menggunakan istihsan sebagai metode ijtihadnya. Ia merupakan sosok
ulama yang sangat produktif. Kitab-kitabnya dapat diklasifikasikan ke dalam dua
golongan , yaitu :
Asy-Syaibani cukup produktif dalam menulis buku. Kitab-kitab
yang ditulisnya dapat diklasifikasi dalam dua golongan berikut.
1.
Zahir ar-Riwayah, kitab-kitab yang ditulis berdasarkan pelajaran
yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan karya
tulis yang mengungkapkan pokok-pokok
pikirannya dalam ilmu fikih. Asy-Syaibani lah yang menukilkan dan merekam
pandangan Imam Abu Hanifah dalam Zahir ar-Riwayah ini. Kitab Zahir
ar-Riwayah terdiri atas enam judul, yaitu al-Mabsut, al-Jami’
al-Kabir, al-Jami’ as-Sagir, as-Siyar al-Kabir, as-Siyar
as-Sagir, dan az-Ziyadat. Keenam kitab ini berisikan pendapat Imam
Abu Hanifah tentang berbagai masalah keislaman, seperti fikih, usul fikih, ilmu
kalam, dan sejarah. Keenam kitab ini kemudian dihimpun oleh Abi al-Fadl
Muhammad Ibn Muhammad Ibn Ahmad al-Maruzi (w.334 H/945 M) salah seorang
ulama fikih Mazhab Hanafi, dalam salah satu kitab yang berjudul al-Kafi.
2.
An-Nawadir, kitab-kitab yang ditulis oleh asy-Syaibani
berdasarkan pandangannya sendiri. Kitab-kitab yang termasuk dalam an-Nawadir
adalah Amali Muhammad fi al-Fiqh (pandangan asy-Syaibani tentang
berbagai masalah fikih), ar-Ruqayyat (himpunan keputusan terhadap
masalah hilah dan jalan keluarnya) ditulis ketika menjadi hakim di
Riqqah (Irak). Ar-Radd ‘ala ahl al-Madinah (penolakan pandangan
orang-orang Madinah), az-Ziyadah (pendapat asy-Syaibani yang tidak
terangkum dalam keempat buku tersebut di atas), kitab yang dikarangnya setelah al-Jami’
al-Kabir serta al-Asar. Kitab yang terakhir ini melahirkan polemik
tentang hak-hak non muslim di negara Islam dan ditanggapi oleh Imam asy-Syafi’i
dalam kitabny al-Umm. Imam asy-Syafi’I menulis bantahan dan kritik
secara khusus terhadap asy-Syaibani dengan judul ar-Radd ‘ala Muhammad Ibn Hasan (bantahan terhadap pendapat Muhammad
Ibn al-Hasan asy-Syaibani).
C. Pemikiran Ekonomi
Al-Syaibani
Dalam mengungkapkan pemikiran ekonomi Al-Shaibani,
para ekonomi muslim banyak merujuk pada kitab al-Kasb, sebuah kitab yang
lahir sebagai respons penulis terhadap sikap zuhud yang tumbuh dan berkembang
pada abad kedua hijriah. Secara keseluruhan, kitab ini mengemukakan kajian
mikroekonomi yang berkisar pada teori Kasb (pendapatan) dan
sumber-sumbernya serta pedoman prilaku produksi dan konsumsi. Kitab tersebut
termasuk kitab pertama di dunia Islam yang membahas permasalahan ini . Oleh
karena itu, tidak berlebihan bila Dr, Ai-Janidal menyebut al-Shaibani sebagai
salah seorang perintis ilmu ekonomi dalam Islam.
Beberapa pokok pemikiran ekonomi al-Shaibani adalah sebagai berikut;
1. Teori Konsumsi
Imam Muhammad membagi
kebutuhan pokok-fisik menjadi empat seraya menulis: “Kemudian
Allah SWT. menciptakan anak cucu Adam dengan suatu ciptaan di mana tubuh (fisik)
mereka tidak akan dapat hidup kecuali dengan empat perkara, yaitu makanan,
minuman, pakaian, dan tempat tinggal (rumah)”. As-Syaibani lebih lanjut
menyatakan: Adapun tempat tinggal, maka mereka telah diciptakan dengan
suatu ciptaan di mana fisiknya tidak mampu menahan teriknya panas . . .
sehingga dapat menunaikan amanat Allah Ta’ala yang dipikulnya dan hal itu tidak
mungkin direalisasikan kecuali dengan terpenuhinya kebutuhan tempat tinggal.
Dengan demikian, kebutuhan ini sama kedudukannya dengan kebutuhan makan dan
minum”.
Berdasarkan tulisan as-Syaibani tersebut, beliau
menegaskan inti konsumsi seorang muslim hendaknya tidak sekedar memenuhi dan
melampiaskan kebutuhan hidup saja, tetapi untuk memertahankan kondisi fisik
manusia agar tetap prima untuk melaksanakan kewajiban utama manusia di dunia,
yaitu beribadah kepada Allah.
Nafaqoh (konsumsi) sangat
pokok karena selain untuk memenuhi kebutuhan pokok untuk bertahan hidup juga
ada keterkaitannya dengan zakat. Islam memiliki pola, cara dan gaya sendiri
dalam konsumsi. Islam memiliki parameter sendiri dalam konsumsi dengan
istilah-istilah seperti israf, tabzir, turf dan lain-lain.
Menurut Imam Muhammad kebutuhan pokok (dhoruriyyat)
ada 4 yaitu makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Perilaku konsumsi seorang
muslim berbeda dengan perilaku konsumsi non-muslim. Perilaku konsumsi Islami
adalah dapat membedakan antara syahwat, keinginan (wants) dan kebutuhan
(hajat), sedangkan dalam perilaku konsumsi non-muslim tidak membedakan
antara syahwat, keinginan (wants) dan kebutuhan (hajat).
Sistematika tingkatan konsumsi menurut
as-Syaibani berbeda dengan ulama sebelumnya yang mengacu pada dhoruriyah,
hajjah, dan tahisniyah, tetapi beliau menjelaskan lagi lebih mendetail.
Tingkat pemenuhan kebutuhan menurut as-Syaibani terbagi menjadi tiga dan
tingkatan rerendah tersebut terbagi dua. Tingkatan konsumsi terendah pertama
adalah al-mutadanni. Tingkat ini adalah tingkat konsumsi yang
tidak melakukan konsumsi sedikitpun. Mungkin sukar didapatkan contoh manusia
yang tidak melakukan konsumsi sedikitpun, namun beliau mencatat contoh tersebut
ada pada kelompok al-mutaqosysyifah dari golongan Sufi.
As-Syaibani mengatakan:
“Jika
mereka meninggalkan makan dan minum, maka mereka telah bermaksiat (melanggar
ajaran Islam) karena meninggalkan (makan dan minum) mengandung arti
menghancurkan diri sendiri”.
Tingkatan konsumsi terendah kedua
adalah konsumsi hanya sebatas kebutuhan perut (sadd ar-ramq) dengan
takaran yang memungkinkan untuk menjalankan ibadah saja.
Tingkatan konsumsi kedua dalam tingkatan
konsumsi adalah kifayah atau kecukupan. Tahapan ini dimulai
dari batas teratas tingkatan pertama dan berakhir pada sarof. al-Syaibani lebih mengutamakan pemenuhan
konsumsi pada batas bawah dari tingkatan kifayah karena inilah
yang pola konsumsi yang dicontohkan Nabi dan orang-orang shaleh.
Tingkatan konsumsi ketiga adalah israf atau
berlebih-lebihan. Tingkatan ini dimulai dari ujung atas dari tingkatan kedua.
al-Syaibani tidak menganjurkan untuk seorang muslim berada pada tingkatan
konsumsi seperti ini, karena berlebih-lebihan bukanlah apa yang diajarkan
Islam. Islam sejatinya mengajarkan kesederhaan dalam kegiatan konsumsi
2. Teori Produksi
Menurut as-Syaibani usaha produktif (al-Iktisab)
adalah usaha untuk menghasilkan harta melalui cara-cara yang
diperbolehkan secara syar’i (halal). Dalam ekonomi konvensional,
produsen dikatakan rasional dengan melakukan usaha produktif dengan satu
tujuan, yaitu memaksimalkan profit. Berbeda
dengan pandangan konvensional tentang produksi, as-Syaibani mengatakan bahwa
tujuan utama dari usaha produktif adalah bukan hanya sekedar mengejar
keuntungan semata, tetapi juga untuk membantu orang lain melakukan ketaatan dan
ibadah dengan niat menolong diri sendiri dan orang lain dalam melaksanakan
ketaatan kepada Allah. Dengan niat luhur tersebut dalam usaha produktif,
produsen tidak hanya mendapatkan keuntungan yang bersifat duniawi, tetapi juga
mendapatkan balasan kebaikan dari Allah.
Dalam kitab al-Kasab al-Syaibani menulis:
”Mencari (rizki) dengan usaha produktif
(kasab) adalah kewajiban bagi tiap Muslim . . . Ini merupakan penjelasan bahwa
seseorang yang melakukan kasab akan dapat mencapai derajat di atasnya.
Kedudukan di atasnya ini tidak mungkin dapat dicapai kecuali dengan melakukan
kewajiban. Dan oleh karena tidak mungkin melakukan suatu kewajiban kecuai
dengan melakukan hal tersebut (kasab), maka kasab hukumnya adalah wajib ain
seperti kewajiban untuk melakukan tharah untuk menunaikan shalat. Hal ini dapat
dijelaskan dengan beberapa jalan, pertama orang dapat melaksanakan kewajiban
agama dengan kekuatan badannya. Kekuatan badan tidak akan dapat dicapai kecuali
dengan makan dan makan hanya dapat dipenuhi dengan kasab. Demikian juga, shalat tidak dapat ditunaikan
kecuali dengan menutup aurat. Menutup aurat tidak mungkin bisa direalisasikan
kecuali dengan kasab. Oleh karena itu sesuatu yang tidak memungkinkan
dipenuhinya suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itu hukumnya
wajib juga”
Al-Kasb (kerja)
Al-Shaibani mendifinisikan al-kasb (kerja) sebagai mencari perolehan mencari harta memalui
berbagai cara yang halal. Dalam ekonomi, aktifitas
demikian termasuk dalam aktifitas produksi. Definisi ini mengindikasikan bahwa
yang dimaksud dengan aktifitas produksi dalam ekonomi Islam adalah berbeda
dalam aktifitas produksi dalam ekonomi konvensional.
Dalam ekonomi Islam tidak semua aktifitas yang menghasilkan barang atau jasa
disebut sebagai aktifitas produksi, karena aktifitas produksi sangat terkait
dengan halal haramnya suatu barang atau jasa dan cara memperolehnya. Dengan
kata lain, aktifitas menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang dapat
disebut sebagai aktifitas produksi.
Dalam pandangan Islam , aktifitas produksi merupakan
bagian dari kewajiban ‘imaratul kaun,
yakni menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk. Berkenaan dengan hal
tersebut, al-Shaibani menegaskan bahwa kerja yang merupakan unsur utama
produksi mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan karena
menunjang pelaksaan ibadah kepadah Allah swt. Dan karenanya, hukum bekerja
adalah wajib. Hal ini di dasarkan pada dalil-dalil berikut;
Firman Allah
“Apabila telah di
tunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan perbanyaklah ingat kepada Allah
supaya kamu beruntung.” (QS al-Jumu’ah : 10).
“Mencari pendapatan
adalah wajib bagi setiap muslim” ( HR. Muslim )
Al-Syaibani
menyatakan bahwa sesuatu yang dapat menunjang terlaksananya yang wajib, sesuatu itu menjadi wajib
pula hukumnya. Lebih jauh ia menguraikan untuk melaksanakan berbagai kewajiban,
seseorang memerlukan kekuatan jasmani dan kekuatan jasmani itu sendiri dapat
diperoleh dengan mengkonsumsi makanan yang di dapat dari hasil kerja keras.
Dengan demikian, kerja mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunaikan
kewajiban, maka hukum bekerja adalah wajib.
Asy-Syaibani
juga menyatakan bahwa bekerja merupakan ajaran para rasul terdahulu dan kaum
muslimin diperintahkan
untuk meneladani cara hidup mereka. Dari uraian tersebut, tampak jelas bahwa
orientasi bekerja dalam pandangan al-Syaibani adalah hidup untuk meraih
keridhaan Allah SWT. Di sisi lain, kerja merupakan usaha untuk mengaktifkan
roda perekonomian, termasuk proses produksi, konsumsi dan distribusi yang
berimplikasi secara makro meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
3. Kekayaan dan
Kefakiran
Menurut al-Shaibani sekalipun banyak dalil yang
menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, namun sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi. Ia menyatakan bahwa apabila manusia telah merasa cukup dari
apa yang dibutuhkan kemudian bergegas pada kebajikan, sehingga mencurahkan
perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka. Dalam konteks
ini sifat-sifat fakir diartikannya sebagai kondisi yang cukup (kifayah)
bukan kondisi papa dan meminta-minta (kafafah). Dengan demikian, pada
dasarnya al-Shaibani menyerukan agar manusia hidup dalam kecukupan, baik untuk
diri sendiri maupun keluarganya. Di sisi lain, ia berpendapat bahwa sifat-sifat
kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam kemewahan. Sekalipun begitu, ia
tidak menentang gaya hidup yang lebih dari cukup selama kelebihan tersebut
hanya dipergunakan untuk kebaikan.
4. Klasifikasi
Usaha-usaha Perekonomian
Menurut al-Shaibani, usaha-usaha perekonomian terbagi
atas 4 macam yaitu; sewa menyewa, perdagangan, pertanian dan perindustrian.
Di antara keempat usaha perekonomian tersebut
al-Shaibani lebih mengutamakan pertanian karena pertanian memproduksi berbagai
kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksanakan berbagai
kewajibannya.
Sementara itu dari segi hukum, al-Shaibani membagi
usaha-usaha perekonomian menjadi 2 yaitu; fardu kifayah dan fardu ‘ain.
5. Spesialisasi
dan Distribusi Pekerjaan
Al-Shaibani mengatakan bahwa manusia dalam hidupnya
selalu membutuhkan yang lain. Seseorang tidak akan menguasai pengetahuan semua
hal yang dibutuhkan sepanjang hidupnya dan, kalaupun manusia berusaha keras,
usia akan membatasinya diri manusia.
Lebih
lanjut al-Shaibani menandaskan bahwa seorang yang fakir membutuhkan orang kaya
sedangkan orang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Al-Syaibani juga mengatakan “apabila
seseorang bekerja dengan niat melaksanakan ketaatan kepadanya atau membantu
saudaranya untuk melaksanakan ibadah kepadanya, maka pekerjaan tersebut niscaya
akan diberi pahala sesuai dengan niatnya. Dengan demikian, distribusi
pekerjaan seperti di atas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek
secara bersamaan, yaitu aspek religius dan aspek ekonomi. 47
Rey atau Ray
(Bahasa Persia: شهر ری, Shahr-e-Ray, "City of Ray"), juga dikenal sebagai
Rhages adalah ibu kota Rey County, Provinsi Tehran, Iran. Kota Ray adalah kota
tertua di provinsi ini.
Ikhwan Abidin
Basri. Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik (Solo: Aqwam,
2008), .75
Ahmad Ifham
Sholihin. Buku Pintar Ekonomi Syariah. (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2010), 122.
Al-Sarakhsi,
1989, 264 dalam Ikhwan Abidin Basri. Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama
Klasik (Solo: Aqwam, 2008), 76.