rohmans

AL-GHAZALI DAN KEGIATAN TRANSAKSI EKONOMI

( Menelusuri Konsep Ekonomi Islam Tentang Kegiatan Ekonomi Dalam Ihya Ulum al-Din) Abtrak Perkembangan pemikiran ekonomi Islam dewasa in...

( Menelusuri Konsep Ekonomi Islam Tentang Kegiatan Ekonomi Dalam Ihya Ulum al-Din)

Abtrak
Perkembangan pemikiran ekonomi Islam dewasa ini tidak saja dicermat secara makro tetapi juga dilihat secara mikro, termasuk menggali pemikiran masa lampau dengan menghadirkan pemikir ekonom muslim Hujjat al-Islam Imam al-Ghazali. Penelitian terhadap pemikiran ekonomi al-Ghazali ini terbilang penting. Hal ini bukan dikarenakan masih sangat langkanya kajian pemikiran al-Ghazali, penelitian tentang pemikiran al-Ghazali tidak terhitung jumlahnya baik dikalangan muslim maupun non muslim, rata-rata mereka memposisikan al-Ghazali sebagai tokoh Filosof, Tashawwuf, Teolog dan ahli Fiqh. Namun yang menjadikan penelitian ini menarik dan penting adalah penelitian ini dikosentrasikan pada kajian pemikiran ekonomi al-Ghazali khususnya pada kegiatan ekonomi. Dalam penelitian ini akan menjawab masalah Bagaimanakah kegiatan ekonomi menurut Imam al-Ghazali terkait dengan transaksi yang diperbolehkan dan yang dilarang.




A. Pendahuluan





Penelitian terhadap pemikiran ekonomi al-Ghazali ini terbilang penting. Hal ini bukan dikarenakan masih sangat langkanya kajian pemikiran al-Ghazali, penelitian tentang pemikiran al-Ghazali tidak terhitung jumlahnya baik dikalangan muslim maupun non muslim, rata-rata mereka memposisikan al-Ghazali sebagai tokoh Filosof, Tashawwuf, Teolog dan ahli Fiqh. Namun yang menjadikan penelitian ini menarik dan penting adalah penelitian ini dikosentrasikan pada kajian pemikiran ekonomi al-Ghazali khususnya pada kegiatan ekonomi.







Para peneliti memandang luasnya pengetahuan Imam al-Ghazali, mengemukakan dengan berbagai bentuk tulisan sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya. Misalnya para fuqoha’ membahas sosok al-Ghazali melalui karya kitab fiqhnya, yang terkenal seperti: al-Basith, al-Wasith, al-Wajiz dan al-Khulashah. Dan tidak sedikit pula para peneliti menggunakan kitab Ihya’ Ulum al-Din yang didalamnya banyak menjelaskan maintream fiqhiyah, seperti taklid madzhab, pembahasan tentang adil dan lain-lain.







Dari kalangan ilmu Ushul fiqh banyak para peneliti karya al-Ghazali dalam kitab “Al-Mankhul min Ta`liqat al-Ushul“ yang ditulis pada masa mudanya dengan meringkas pendapat gurunya Imam al-Haramain. Di samping itu al-Ghazali juga menulis kitab al-Mustasfa fi Ilmi al-Ushul yang kemudian kitab tersebut dinilai sebagai pilar ilmu Ushul fiqh, dan “ Sifa' al-Ghalil “







Bagi para peneliti yang gemar mempelajari filsafat, ilmu kalam dan logika, kebanyakan mereka mengkaji karya-karya Imam al-Ghazali melalui kitab-kitabnya antara lain Maqashid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah, al-Munqid min al-Dhalal, al-Iqtishad fi al-I'tiqad, Fashl al-Tafriqah, al-Maqsud al-Asma Fi Sharh Asma' Allah al-Husna, Mi'yar al-Ulum, Muhiq al- Nadhar, Al-Qisthas al-Mustaqim, Iljam al-Awam Fi al-Ilm al-Kalam, Jawahir al-Qur'an, Kimya as-Sa`'adah, Ma'arij al-Quds dan Mishkat al-Anwar.[1] Sekalipun yang terakhir ini masih diragukan sebagai karyanya.







Kajian sejarah pemikiran dalam Islam sangat penting, mengingat sejarah adalah laboratorium umat manusia dan akan membantu menemukan sumber-sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer di satu pihak, dan di pihak lain akan memberi kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai sejarah pemikiran ekonomi Islam selama ini. Keduanya akan memperkaya ekonomi Islam kontemporer dan membuka jangkauan lebih luas bagi konseptualisasi dan aplikasinya.[2]





B. Pemikiran Ekonomi al-Ghazali Tentang Kegiatan Ekonomi






Al-Ghazali menyatakan dalam ihya ulum al-din Sebagai akibat perkembangan perekonomian untuk memenuhi kebutuhan manusia, maka seorang individu ketika melakukan aktivitas ekonominya tidak jarang harus melibatkan individu lainya, sehingga diperlukan aturan transaksi agar terjerumus dalam kedhaliman:






Ketahuilah sesungguhnya muamalah ( pergaulan dalam bertransaksi) yang dilakukan seseorang dinilai sah menurut hukum yang berlaku, namun ia disertai degan kedhaliman yang dapat menyebabkan si pelaku bisnis terancam murka Allah. Sebabnya adalah tidak semua larangan berakibat tidak sahnya suatu akad yang dilakukan. Adapun kedhaliman yang dimaksud adalah yang dapat menimbulkan madharat pada pihak lain.[3]





Selanjutnya al-Ghazali membagi kegiatan ekonomi menjadi dua yaitu


1. Kegiatan ekonomi yang diperbolehkan


Salah satu karakteristik ekonomi Islam adalah dibawah frame halal dan haram. Seluruh kegiatan ekonomi yang merusak nilai moral atau tak diharapkan untuk dilaksanakan. Sedang yang lain diperbolehkan. Itulah prinsip yang diajarkan oleh Islam, melalui petunjuk dan sunahnya. Oleh karenanya ada al-Ghazali beberapa kali mengutip sejumlah ayat yang sangat relevan dengan masalahnya dan menyatakan dengan kalimatnya sendiri terkait dengan kegiatan ekonomi, sehingga nampak kegiatan ekonomi yang dibangun oleh al-Ghazali berlandaskan etika dan norma syariah.


Adapun kegiatan ekonomi yang diperbolehkan menurut al-Ghazali adalah sebagai berikut:


a. Aqd al-Ba’i ( akad Jual Beli )


Salah satu akad yang diperbolehkan adalah jual beli ( selling contract), dalam hal ini al-Ghazali memberikan persyaratan khusus, sebagaimana yang telah dilakukan ulaa pendahulunya melalui karya fiqh mereka. Bagi al-Ghazali, jual beli diperbolehkan dengan syarat ada tiga macam; al-Aqid, al-Ma’qud alaihi dan lafadz


Rukun pertama : Pelaku transaksi ( aqid ) al-Ghazali memberikan peringatan kepada pelaku trsansaki, agar jangan bertransaksi dengan anak kecil yang belum baligh,orang gila, budak dan orang buta. Mengapa demikian karena anak kecil tidak termasuk mukallaf ( belum dibebani tanggungjawab hukum) walu telah mendapatkan izin dari walinya. Seorang budak, tidak sah jual belinya kecuali mendapat izin mejikannya. Sedangkan orang buta jika ingin melakukan transaksi harus diwakilkan pada teman yang bisa melihat, jika tidak ! maka transaksinya menjadi tidak sah.


Rukun Kedua : Barang yang diperjualbelikan (al-Ma`qud alaihi )


Barang yang diperjualbelikan menurut al-Ghazali harus memiliki enam syarat: 1) Barang yang diperjualbelikan tidak mengandung najis secara subtansinya. 2) Barang yang diperjualbelikan harus sesuatu yang bermanfaat,3) Barang yang diperjualbelikan harus benar-benar milik penjual, 4) Barang yang diperjualbelikan dapat diserah terimakan dalam hukum syariat maupun dalam kenyataan, 5) Barang yang diperjualbelikan benar-benar diketahui secara pasti kadar,bentuk dan sifatnya 6. Barang yang diperjualbelikan harus diserahterimakan dengan cara yang sempurna.


Rukun Ketiga Melafalkan transaksi jual beli ( lafadz Aqd ). Lafad jual beli bisa juga disebut dengan ijab qabul adalah lafal transaksi jual beli. Menurut al-Ghazali Syaratnya adalah 1.Adanya ucapan ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) yang berlangsung secara berkesinambungan. Yaitu dengan kata-kata yang jelas (sharih) maupun yang terselubung (kinayah).[4]


b. Aqad Salam (jual beli secara inden)


Yang dimaksud dengan jual beli salam adalah jual beli secara inden. Secara terminologi adalah menjual sesuatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dulu, sedangkan barang diserahkan di kemudian hari.[5]


al-Ghazali dalam transaksi jual beli model salam seperti ini, menegaskan bagi pelaku bisnis baik dari pihak penjual maupun pembeli, harus memperhatikan sepuluh persyaratan :






1. Hendaknya jumlah yang dibayarkan (atau barang untuk penukaranya) sesuai dengan harga yang sama untuk barang yang sudah di inden tersebut. Sehingga seandainya barang tersebut tidak mungkin diserahkan pada waktu yang telah di janjikan, dapatlah diperhitungkan kembali sesuai harga yang telah dibayarkan. Karenanya, jika si pemesan membayar segengam dirham secara acak, untuk harga segenggam gandum misalnya, maka transaksi tersebut tidak sah,menurut sebagian ulama.


2. Hendaklah membayarkan membayarkan harga yang diinden,pada saat terjadi transaksi, sebelum keduaanya berpisah.apabila mereka berpisah seblum diterimanya barang yang dipesan tersebut, maka transaksi itu dianggap batal.


3. Barang yang di inden hendaknya dari jenis yang diketahui sifat-sifatnya, seperti biji-bijian, logam, hewan, kapas, wol, sutra, susu, daging, minyak wangi dan sebagainya. Tidak dibenarkan dari jenis barang hasil adonan atau kerajinan dan sebagainya yang tidak diketahui secara pasti bagian-bagiannya; seperti panah dan anak panah, atau sepatu dan sandal yang bermacam-macam jenis, ukuran dan kualitasnya, atau kulit binatang dan sebagainya. Tetapi dibenarkan menjual roti secara inden, sedangkan kemungkinan adanya sedikit perbedaan kadar garam dan air didalamnya, atau lama atau tidaknya waktu memasaknya, semua itu dimanfaatkan dan dapat ditoleransi.


4. Hendaknya disebutkan sifat-sifat barang se rinci mungkin. Sedemikian rupa sehingga apa saja kira-kira sifat yang kira-kira dapat membedakan harga barang tersebut , hendaknya disebutkan agar tidak ada pihak yang dirugikan kelak .ini merupakan pengganti melihatnya secara langsung dalam jual beli secara kontan.


5. Hendaknya menentukan jangka waktu tertentu untuk menyerahkan barang yang di inden, dengan menyebutkan berapa hari atau bulan. Tetapi tidak dibenarkan menentukan waktu yang tidak dapat dipastikan cepat atau lambatnya, misalnya sampai masa panen atau masa memetik buah-buahan .


6. Hendaknya menyebutkan waktu penyerahannya pada saat barang seperti itu biasanya dapat diserahkan dan diserahkan. Karenanya jangan menjanjikan penyerahan buah anggur misalnya, diluar waktu keberadaannya menurut kebiasaan. Begitu juga buah-buahan yang lain .Akan tetapi sekiranya telah menentukan waktu saat ketika buah anggur dapat diperoleh ,menurut kebiasaan, namun ketika barang datang saat penyerahan, ternyata hal itu tidak dapat dipenuhi, disebabkan adanya hama yang menyerang, misalnya, maka si pemesan berhak menunda waktu penyerahan, ataupun membatalkan inden tersebut dan menerima kembali uangnya .


7. Hendaknya menentukan dengan jelas tempat akan di serahkan nya barang yang diinden, agar tidak menimbulkan perselisihan dikemudian hari


8. .Hendaknya tidak memastikakannya dari tempat tertentu misalnya gandum dari ladang ini atau buah-buahan dari kebun ini menurut yang demikian itu tidak sah sebagai hutang, tetapi sekiranya disebutkan dari kota atau dari desa besar tertentu, maka hal itu dibolehkan.


9. Hendaknya barang yang di inden itu tidak termasuk jenis langka yang mat mahal harganya disamping amat sulit mendapatkannya. Misalnya jenis berlian atau mutiara yang langka atau sangat jarang diperoleh.


10. Hendaknya tidak melakukan inden bahan makanan sepanjang harga penukarannya juga bahan makanan, baik yang sana jenisnya ataupu tidak. Tidak pula melakukan inden mata uang tertentu sepanjang harga penukarannya juga mata uang yang sama, mengingat bahwa semua itu termasuk transaksi riba yang diharamkan.[6]






c. Aqad Ijarah ( Sewa menyewa/Upah mengupah )


Ijarah artinya sewa, upah, jasa atau imbalan secara terminologi adalah suatu transaksi yang didalamnya ada manfaat terhadap yang tuju, tertentu bersifat bisa dimanfaatkan, dengan suatu imbalan[7]


Konsep Ijarah menurut al-Ghazali merupakan aqad kerjasama antara yang satu dengan yang lain untuk mendapatkan keuntungan dan mendatangkan manfaat. Maksudnya adalah; biasanya dalam tradisi masyarakat, orang terkadang memiliki satu barang( binatang) sementara yang lain memiliki modal (uang), kemudian terjadi kerjasama antara pemilik modal dan pemilik barang disebut dengan ijarah. Sebagaimana ungkapannya:


ثُمَّ هَذِهِ اْلأَمْوَالُ الَّتِي تَنْقَِلُ لاَ يَقْدِرُ اْلإِنْسَانُ عَلىَ حَمْلِهَا فَتَحْتَاجُ إِلىَ دَوَابِ تَحْمِلُهَا وَصَاحِبُ اْلمَالِ قَدْ لاَ تَكُوْنُ لَهُ دَابَّةٌ فَتَحْدَثُ مُعَامَلةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَالِكِ الدَّابَّةِ تُسَمَّى الإِجَارَةُ وَيَصِيْرُ اْلكِرَاءُ نَوْعًا مِنَ اْلاِكْتِسَابِ


Kemudian harta-harata yang akan dipindahkan, niscaya manusia itu tidak mampu membawanya. Pemilik harta terkadang tidak memiliki binatang, maka timbulah suatu kerja sama antara pemilik harta dan pemilik binatang, yaitu yang disebut dengan Ijarah. Maka yang demikian itu termasuk bentuk dari usaha[8] (kegiatan ekonomi).





Bagi al-Ghazali kerja sama dengan system Ijarah bukan merupakan suatu hal yang begitu saja dilakukan. Akan tetapi harus memenuhi syarat dan rukunnya[9]. Menurutnya hukum sewa menyewa itu halal seperti halnya jual beli (aqad ba’i), apabila memenuhi syarat rukun-nya yaitu:


Syarat yang harus dipenuhi dalam Ijarah sama dengan ba’I ( jual beli). Sedangkan rukun ijarah adalah sebagai berikut:


Rukun Pertama: yaitu pembayaran upah, ada beberapa kebiasaan yang seharusnya dihindari agar transaksi persewaan tersebut sah adanya. Diantaranya, sewa menyewa rumah termasuk perbaikan dan renovasi dilakukan oleh penyewa. Menyewa tenaga penyembelih hewan, dengan perjanjian boleh mengambil kulitnya sebagai upahnya. Atau menyewa tukang sampah untuk membuang bangkai dengan perjanjian boleh mengambil kulitnya dan banyak la contoh lain.


Rukun kedua jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja hendaklah mendatangkan manfaat bagi si penyewa, sebagai imbalan upah yang dibayarkan. Selanjutnya al-Ghazali menerangkan beberapa praktek transaksi ijarah yang sering dilakukan oleh para pelaku persewaan diantara adalah hendaknya pekerjaan itu benar-benar dilakukan oleh pekerja dan tidak bertentangan dengan agama. Pekerjaan yang dikerjakan hendaknya suatu yang jelas, seperti tukang jahit harus mengerti harus mengerti apa yang harus dikerjakan dan sebagainya.[10]


c. Aqad Qirad ( Kerja sama/ Equity patnership )


1. Pengertian Qirad atau mudharabah


Qirad adalah sebutan yang diberikan oleh ulama’ Hijaz, sedangkan ulama’ Iraq biasa menyebutnya dengan Mudarabah. Secara bahasa, Qirad berarti putus dan Mudharabah berarti bepergian.[11] Sedangkan menurut secara istilah adalah akad antara dua belah pihak yang satu (Investor) mengeluarkan sejumlah uang kepada yang lain (pengelola) untuk diperdagangkan, dan laba dibagi menjadi dua sesuai dengan kesepakatan.[12]


Bagi al-Ghazali syarat-syarat dalam aqad mudharabah ini ada tiga macam yaitu modal, laba dan pekerjaan.[13]


Syarat pertama: modal harus berupa uang, seperti dinar, dirham, atau sejenisnya yang sah, modal harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran, modal harus ada, bukan berupa utang dan modal harus diberikan kepada pengusaha. Berikut ungkapan-nya:


رَأْسُ الْمَالِ وَشَرْطُهُ أَنْ يَكُوْنَ نَقْدًا مَعْلُوْمًا مُسْلِمًا ِإلىَ الْعَامِلِ فَلاَ يَجُوْزُ اْلقِرَاضُ عَلىَ اْلفُلُوْسِ وَلاَ عَلَى الْعَرُوْضِ فَإِنَّ التِّجاَرَةَ تَضِيْقُ فِيْهِ وَلاَ يَجُوْزُ عَلىَ صِرَةٍ مِنَ الدَّراَهِمِ لِأَنَ قَدْرَ الرِّبْحِ لاَ يُتَبَيَّنُ


Modal yang diserahkan oleh pemilik modal kepada harus berupa sejumlah uang tertentu dan berlaku secara sah, bukuan fulus [14] maupun barang-barang dagangan, karena menyulitkan perhitungan. Tidak boleh juga dengan sekantong dirham misalnya laba yang akan diperoleh kelak, tidak adapat diketahui pasti.[15]


Syarat kedua Laba/Keuntungan


Menurut al-Ghazali dalam pembagian keuntungan in harus jelas prosentasenya, sesuai dengan perjanjian saat kerjasama. Berikut adalah pernyataannya:


اَلرِّبْحُ وَلْيَكُنْ مَعْلُوْمًا بِالْجُزْئِيَّةِ بِأَنْ يَشْتَرِطَ لَهُ الثُّلُثُ أَوِ النِّصْفُ أَوْ مَا شَاء َفَلَوْ قَالَ عَلىَ أَنّ لَكَ مِنَ الرِّبْحِ مِاَئةً وَالْبَاقِي ِلي لمََ ْيَجُزْ إِذْ رُبَّمَا لاَ يَكُوْنُ الرِّبْحُ أَكْثَرُ مِنْ مِائَةٍ فَلاَ يَجُوْزُ تَقْدِيْرُهُ بِمِقْدَارٍ مُعَيَّنٍ بَلْ ِبِمِقْدَارٍ شَائِعٍ


Bagian laba (keuntungan) untuk pekerja harus ditentukan prosentasenya, misalnya sepertiga, setengah atau lainnya, sesuai dengan perjanjian. Karenanya, seandainya si pemilik modal berkata” Bagian anda dari laba perusahaan ini sebanyak seratus, dan sisanya untuk-ku,” maka akad qirad tersebut tidak sah, mengingat laba yang diperoleh belum tentu lebih dari seratus. Oleh karena itu harus dengan prosentase.[16]


Dalam system ekonomi Islam konsep Mudharabah adalah mekanisme Islami untuk menggunakan aset-aset moneter dalam kegiatan produktif dengan mentransformasikan aset-aset tersebut menjadi faktor-faktor produksi sebagai akibat dari adanya kerja sama antara investor dan pengelola (pengusaha). Imbalan yang diberikan kepada investor adalah berupa bagi hasil, yaitu prosentase yang ditentukan terlebih dahulu dari seluruh laba proyek yang bersangkutan, sedangkan sisa dari jumlah ini bisa dikatakan laba bersih adalah imbalan bagi si pengelola. Perbedaan pokok antara bagi hasil dan bunga yang ditujukan kepada perusahaan adalah bahwa bunga merupakan beban yang telah ditetapkan bagi perusahaan yang bersangkutan, sedangkan bagi hasil merupakan bagian dari laba proyek tertentu yang bisa naik turun sejalan dengan naik turunnya hasil kegiatan-kegiatan perusahaan yang bersangkutan.[17]


Jadi, sebagai teman usaha dalam arti sebenarnya, investor mempunyai kepentingan langsung dan kepedulian yang jelas terhadap kegiatan perusahaan, walaupun ia tidak ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan perusahaan. Investor tertarik dengan kemungkinan perusahaan untuk mendapatkan laba karena bagi hasilnya yang tertinggi merupakan fungsi positif dari kemungkinan perusahaan untuk mendapatkan laba tersebut.


Secara teoritik Mudharabah memiliki landasan ganda, yaitu: prinsip ketetapan pemilikan dan prinsip kerja sama (koperasi). Prinsip ketetapan pemilikan berarti bahwa investor berhak penuh untuk menuntut aset-aset moneter-nya serta kenaikan yang timbul dari aset-aset tersebut. Sedangkan prinsip kerjasama berarti bahwa kedua belah pihak, yang sama-sama memiliki berbagai unsur, juga sama-sama memiliki hasil-hasilnya dalam pengertian yang sebenarnya yang tidak dapat direalisasikan dengan pengembalian yang pasti kepada salah satu pihak.[18]


Syarat ketiga pekerjaan harus jelas apa yang kan dilakukan oleh mudharib atau pekerja, sehingga keuntungannya juga jelas, untuk apa digunakan. Berikut ungkapan-nya:


Pekerjaan yang menjadi tanggungjawab si pekerja harus berupa perdagangan bebas, yang geraknya dipersempit dengan menentukan jenis usaha atau jangka waktu tertentu saja. Misalnya, apabila si pemilik modal mensyaratkan anggunan modalnya itu dalam peternakan hewan tertentu, lalu hasilnya yang berupa anak-anak dari hewan itu dibagi antara mereka berdua, atau dalam membeli gandum untuk diolah menjadi roti lalu membagi labanya antara mereka berdua, maka qqirad tersebut tidak sah adanya. Hal ini mengingat bahwa qirad diperbolehkan dalam agama, khususnya dalam perdagangan, yakni jual beli dan apa saja yang berkaitan dengannya secara langsung. Sedangkan usaha peternakan atau pembuatan roti adalah sejenis pekerjaan tangan (ketrampilan). Dan seandainya si pemilik modal memprsempit gerak si pekerja, dengan membuat ketentuan tidak membeli slain dari si Fulan, atau tidak memperdagangkan selain kain sutera berwarna merah, atau membuat persyaratan lain yang mempersempit pintu perdagangannya, maka akad perseroan tersebut tidak sah. [19]


d. Aqad Syirkah ( Kerja sama/ Patnership Contrack)
Secara etimologis, al Shirkah[20] berasal dari kata Sharaka[21] yang berarti percampuran yang erat antara sesuatu sehingga sulit dibedakan. Kata ini merupakan kata penyebut bagi salah satu bentuk kerjasama bisnis yang dalam hukum positif disebut dengan perserikatan dagang.[22]


Secara terminologis, para ulama’ memberikan definisi yang berbeda-beda. Seperti pendapat Imam Maliki, bahwa shirkah merupakan suatu keizinan untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka. Sementara imam Syafi’i dan Hanabilah berpendapat bahwa shirkah merupakan hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati. Sedangkan definisi yang diberikan oleh imam Hanafiyah adalah suatu akad yang dilakukan oleh orang-orang yang berkerjasama dalam modal dan keuntungan.[23]





Adapun al-Ghazali membagi syirkah uqud empat bagian[24] Yaitu: Shirkah Mufawadlah (hak dan tanggung jawab sepenuhnya), Shirkah Abdan ( tenaga ketrampilan dan menejemen) Shirkah Wujuh ( niat ba’i jaminan kredit dan kontrak) dan Shirkah inan ( hak dan tanggung jawab terbatas.


1). Shirkah Mufawadlah, adalah perserikatan antara dua orang atau lebih pada suatu objek dengan ketentuan masing-masing pihak menyertakan modal yang sama besarnya dan melakukan kerjasama yang sebanding antara satu sama lain, sehingga masing-masing pihak dapat bertindak hukum atas nama perserikatan. Unsur terpenting dalam shirkah ini adalah adanya hak, kewajiban dan tanggung jawab yang sama besarnya bagi tiap anggota baik dalam hal modal, kerja maupun keuntungan. Oleh sebab itu jika salah satu pihak melakukan sebuah transaksi untuk perserikatan, yang telah dilalui dengan persetujuan dari mitra serikat-nya, maka transaksi tersebut sah. Ia bertindak atas nama dan merupakan wakil dari anggota perserikatan. Akan tetapi bila tidak berdasarkan persetujuan mitra serikatnya maka transaksi yang dilakukan adalah tidak sah.[25]


Menurut al-Ghazali, syirkah semacam ini dianggap tidak sah, karena salah satunya terdapat adanya perbedaan dalam modal. Ia menganggap transaksi model seperti tidak sah dan bathil.[26]


2) Shirkah Abdan (a’mal). Yaitu perserikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk menerima satu pkerjaan, seperti servis alat elektronik, loundry dan lain-lain. Hasil atau imbalan yang diterima dari pekerjaan tersebut dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan. Menurut al-Ghazali, syirkah semacam ini dianggap tidak sah [27]






3)Shirkah Wujuh. Yaitu perserikatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang tidak mempunyai modal sama sekali. Perserikatan berlaku khusus dalam jual beli, di mana pembelian dilakukan secara kredit dan penjualan dengan kontan, sedangkan keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan. Pihak yang berserikat membeli suatu komoditas tersebut kepada pihak lain dengan tunai. Praktek seperti ini, mirip “makelar” dizaman sekarang. Kerjasama ini lazim disebut musharakah piutang.[28] Menurut al-Ghazali syirkah semcam ini juga dianggap tidak sah.[29]






4) Shirkah Inan,[30] adalah perserikatan dalam modal dalam suatu perdagangan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan keuntungan dibagi bersama. Dalam perserikatan ini modal masing-masing pihak tidak diharuskan sama besarnya. Demikian juga dalam hal tanggungjawab dan kerja. Keuntungan yang diperoleh dari bisnis, dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama, sedangkan kerugian yang diderita menjadi tanggung jawab bersama sesuai dengan prosentase modal/saham masing-masing.[31] al-Ghazali membenarkan dan memperbolehkan syirkah inan berikut adalah ungkapan-nya:


شِرْكَةُ الْعِناَنِ وَهُوَ أَنْ يَخْتَلِطَ مَالاَهُمَا بِحَيْثُ يَتَعَذَّرُ التَّمْيِيْزَ بَيْنَهُمَا ِإلاَّ بِقِسْمِهِ وَيَأذَنُ كُلٌّ مِنْهُمَا لِصَاحِبِهِ فِي التَّصَرُّفِ ثُمَّ حَكَمَهُمَا تَوْزِيْعُ الرِّبْحِ وَالْخَسْرَانِ عَلىَ قَدْرِ المَالَيْنِ


Syirkah inan yaitu menggabungkan sejumlah harta dua orang (atau lebih) untuk digunakan sebagai modal perdagangan, sehingga tidak diketahui milik masing-masing kecuali dengan membaginya (sesuai dengan besar kecilnya prosentase harta yang telah disetorkan). Selain itu masing-masing mengizinkan pesero yang lain untuk menjalankan perdagangan tersebut, dengan keuntungan maupun kerugian ditanggung bersama oleh para pesero sesuai dengan besar kecilnya modal masing-masing.[32]





Pendapat al-Ghazali tentang syirkah, al-muwafadhah, Abdan, dan al-Wujuh tidak memperbolehkan bagi pelaku bisnis, menurutnya kontrak yang benar adalah kontrak inan. Karena Syirkah Inan mencampurkan modal anggota mitra untuk mentasharufkan (dijalankan usaha bersama) dengan system bagi hasil (profit loss –sharing principle). Bagi al-Ghazali mensyaratkan pada syirkah ini tidak boleh memakai modal uang, melainkan barang-barang (komoditas). Karena menurutnya jika kontrak (syirkah) dengan bermodalkan uang, maka akan bercampur aduk dengan qiradh.[33]


Artinya, jika dalam qiradh modal hanya perorangan, sedangankan syirkah modal ditanggung bersama serta pengelolaanyapun tidak dibebankan pada satu orang, melainkan dijalankan oleh pemegang modal (pemegang saham). Sedangkan dalam Qiradh modal sepenuhnya dijalankan oleh mudharib.






3. Kegiatan Ekonomi yang tidak diperbolehkan


Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu karakteristik ekonomi Islam adalah dibawah frame halal dan haram. Artinya seluruh kegiatan ekonomi yang merusak nilai moral atau tidak diperbolehkan dan dilarang untuk dilaksanakan. Berikut adalah beberapa kegitan ekonomi yang tidak diperbolehkan menurut al-Ghazali adalah sebagai berikut:


a. Aqad Riba[34]


b. Menimbun ( Ihtikar/Hoarding)






Penimbunan dalam literature fiqh disebut Ihtikar, yang secara lughawi berati menahan untuk menaikkan harga, dan berbuat aniaya. Definisi ihtikar yang dibuat para fuqaha meski berbeda-beda, tidak jauh dar ma’na aslinya, yang intinya adalah menyimpan bahan-bahan yang dibutuhkan masyarakat untuk menaikkan harga. Sebagian ulama membatasai penimbunan hanya pada bahan makanan pokok (al-qut) sementara yang lain berpendapat penimbunan mencakup semua barang yang dibutuhkan masyarakat. Melihat berbagai dampak itu, menimbun menurut ajaran Islam adalah haram.






Menimbun barang merupakan praktik kegiatan ekonomi, yang menurut sejumlah hadist, sangat dicela. Sebab, itu merupakan bentuk eksploitasi terhadap penduduk muslim dan menyalah gunakan kebebasan pasar. Misalnya yang dilakukan oleh penjual makanan pokok (seperti beras, gandum dan sebagainya) seraya menunggu (atau mendorong) naiknya harga. Ini adalah kedhaliman yang sifatnya umum, pelakunya tercela dalam pandangan agama. Sebagaimana hadits nabi:


مَنْ اِحْتَكَرَ الطَّعاَمَ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ تَصَدَّقَ بِهِ لَمْ تَكُنْ صَدَقَتُهُ كَفَارَةً لاِحْتِكَارِهِ






Barang siapa menimbun makanan pokok selama empat puluh hari, kemudian makanan tersebut disedekahkan sekalipun, maka sedekahnya tidak cukup sebagai tebusan (kafarah) atas dosa penimbunannya[35]


Dalam versi lain ada sebuah hadith yang dikutip al-Ghazali


حديث ابن عمر مَنْ اِحْتَكَرَ الطَّعاَمَ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فَقَدْ بَرَئَ مِنَ اللهِ وَبَرَئَ الله مِنْهُ رواه أحمد والحاكم بسند جيد وقال ابن عدي ليس بمحفوظ من حديث ابن عمر وقيل فَكَأنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًا


Barang siapa menimbun makanan pokok selama empat puluh hari, maka ia telah lelah berlepas tangan dari Allah, dan Allah-pun berlepas tangan darinya[36]( Dalam versi lain “ …… maka ia seolah-olah telah membunuh umat secara keseluruhan.






Atas dasar hadits diatas dan beberapa hadits yang lain al-Ghazali berpendapat, perdagangan dengan model penimbunan, termasuk perbuatan yang kurang disukai. Oleh karenanya dalam hal ini al-Ghazali memberikan solusi bagi para pedagang makanan pokok untuk tidak mengmbil untung maksimal, karena makanan pokok adalah kebutuhan primer masyarakat, maka tidak sewajarnya mengambil keuntungan.. Namun jika tidak merupakan bahan pokok al-Ghazali memperbolehkan.[37]


اَلتِّجَارَةُ فِي الْأَقْوَاتِ مِمَّا لاَ يُسْتَحَبُّ لِأَنَّهُ طَلَبُ رِبْحٍ وَاْلأَقْوَاتُ أُصُوْلٌ خُلِقَتْ قِوَامًا وَالرِّبْحُ مِنَ الْمَزَايَا فَيَنْبَغِي أَنْ يَطْلبََ الرِّبْحَ فِيْمَا خَلَقَ مِنْ جُمْلَةِ المْزَاَياَ الَّتِي لاَ ضَرُوْرَةَ لِلْخَلْقِ إِلَيْهَا


Usaha perdagangan makanan pokok- ada umumnya-termasuk yang kurang disukai, mengingat bahwa hal itu merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat, yang tidak sepatutnya seseorang mengambil keuntungan darinya. Yang lebih patut, sekiranyanya keuntungan itu diperoleh dari perdagangan sesuatu yang tidak merupakan kebutuhan primer..[38]


Dari pernyataan al-Ghazali tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa al-Ghazali sangat memahami benar bahwa ihtikar sangat berbahaya bagi kehidupan ekonomi manusia, seperti telah dijelaskan dalam hadith diatas, dampak penimbunan barang seperti membunuh seluruh umat manusia.


b. Mencampur uang palsu dan uang asli.[39]


Menurut al-Ghazali Perbuatan mencampur uang palsu dan uang asli Adalah perbuatan yang jelas-jelas mengandung unsur gharar, sebab akan banyak merugikan masyarakat luas. Berikut adalah ungkapan al-Ghazali


تَرْوِيْجَ الزَّيْفِ مِنَ الدَّرَاهِمِ فِي أَثْنَاءِ النَّقْدِ فَهُوَ ظُلْمٌ إِذْ يَسْتَضِرُّ بِهِ اْلمُعَامِلُ إِنْ لَمْ يَعْرِفْ وَإِنْ عَرَفَ فَسَيَرُوْجَهُ عَلىِ غَيْرِهِ فَكَذِلكَ الثَّالِثُ وَالرَّابِعُ وَلاَ يَزَالُ يَتَرَدَّدُ فِي اْلأَيْدِي وَيَعُمُّ الضَّرَرُ وَيَتَّسِعُ الْفَسَادُ وَيَكُوْنُ وِزْرُ الكُلِّ وَبَالُهُ رَاجِعًا عَلَيْهِ فَإِنَّهُ هُوَ الَّذِي فَتَحَ هَذَا الْبَابُ


Mencampur uang palsu jelas merupakan kedhaliman. Sebab penerima – jika mengetahui–akan membayarkannya kepada orang lain. Dan jika tidak mengetahui- akan membayarkanya kepada orang lain, lalu kepada penerima ketiga, keempat dan seterusnya. Dan uang palsu tersebut akan berpindah-pindah tangan, yang menimbulkan kerugian masyarakat yang lama makin parah. Dalam hal ini, dosanya kembali kepada sipedagang yang mengedarkannya dengan sengaja dan sadar, mengingat dialah yang membuka pintu kerusakan pertama kali.[40]


Al-Ghazali menilai keberadaan uang palsu dalam perekonomian harus dimusnahkan untuk agar tidak boleh beredar. al-Ghazali menyebutkan untuk menjaga keadilan dan menjauhi dalam berbisnis ( kegiatan ekonomi). Karena hal tersebut dinilai oleh al-Ghazali sebagai suatu yang berbahaya ( madharat) yang dirasakan oleh masyarakat..


Kembali pada konsep uang palsu dan mereka yang mengedarkannya, maka al-Ghazali memberikan al-Ghazali memberikan anjuran dan nasehat kepada pelaku bisnis agar:


Pertama : apabila telah mengetahui uang palsu, mak segera untuk dilenyapkan atau melaporkan kepada pihak yang berwajib, agar diselidiki lebih luas, karena kemungkinan bukan uang itu sja yang beredar.


Kedua: Bagai kaum muslimin ( pelaku bisnis) yang usaha dengan berdagang, seyogyanya belajar mengetahui caranya membedakan anatar uang palsu dan asli. Agar peredaran-nya dapat dibatasi, sebab pedagang mempunyai peranan yang cukup besar dalam peredaran uang. Yang demikian itu memperkecil gerak peredaran uang palsu tersebut.[41]


Ide al-Ghazali tentang uang palsu sungguh luar biasa, jika menemukan segera di lenyapkan, hanya saja al-Ghazali belum memberikan solusi bagi pengedar dan pembuat uang palsu. al-Ghazali hanya menyatakan bahwa mengedarkan uang palsu akan membuka pintu kerusakan.


Mengingat bahaya uang palsu pada system perekonomian, dalam KUHP pasal 249 disebutkan, hukuman bagi orang yang sengaja mengedarkan upal dipidana paling lama empat bulan dua minggu atau denda Rp 300 juta. Bahkan RUU Mata Uang ini, disebutkan sanksi pidana bagi orang yang meniru atau memalsukan uang rupiah dipidana paling ringan tiga tahun atau maksimal 15 tahun. Dengan denda sedikitnya Rp 450 juta dan maksimal Rp 5 miliar. Sementara bagi orang yang ketahuan terbukti membelanjakan, menyimpan (termasuk di bank), atau menyuruh orang lain membelanjakan, maka hukumannya minimum lima tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara dengan denda sama. [42]


d. Memuji barang secara berlebih-lebih-an


Dalam kehidupan yang serba canggih dewasa ini, hidup dan matinya sebuah proses ekonomi ternyata tidak sesederhana yang baru saja digambarkan. Sudah tabiat produsen untuk berusaha sekuat tenaga “mengeksploitasi” need konsumen dengan harapan mencari keuntungan yang banyak. Dengan promosi yang gencar, sistem pembayaran yang “merangsang” serta hadiah-hadiah yang ditawarkan, konsumen seakan tidak memiliki alasan untuk tidak memiliki daya beli. Sistem kredit misalnya, merupakan bagian dari upaya produsen dalam memprovokasi konsumen agar terus membeli, sampai akhirnya perilaku konsumsi mereka menjadi lepas kendali.


Lantas muncul pertanyaan apa hubungan al-Ghazali dengan iklan komersial besar-besaran atau promosi yang cenderung berakhir dengan kebohongan ? al-Ghazali memberikan arahan bagaimana seorang muslim seharusnya memberikan informasi tentang suatu produk pada konsumennya. Berikut adalah ungkapan-nya :


فَهُوَ تَرْكُ الثَّنَاءِ فَإِنْ وَصَفَهُ لِلسِّلْعَةِ إِنْ كَانَ بِمَا لَيْسَ فِيْهَا فَهُوَ كَذَبَ فَإِنْ قَبْلَ الْمُشْتَرِي ذَلِكَ فَهُوَ تَلْبِيْسٌ وَظُلْمٌ مَعَ كَوْنِهِ كَذِبًا وَإِنْ لَمْ يَقْبُلْ فَهُوَ كَذَبَ وَإِسْقَاطَ مَرُوْءَةٍ


Hendaklah seorang pedagang tidak membiasakan diri untuk memuji-muji barang dagangannya. Sebab apabila ia memuji-nya dengan suatu sifat yang tidak ada padanya, maka yang demikian itu merupakan kebohongan. Dan apabila si pembeli mempercayai pengucapan-nya, maka yang demikian itu merupakan penipuan dan kezaliman, disamping kebohongan. Dan apabila si pembeli tidak mempercayainya, maka yang demikian merupakan kebohongan ditambah dengan kehilangan kehormatan diri [43]


Selanjutnya al-Ghazali mengutip al-Qur’an bahwa setiap gerak gerik kita akan selalu dimintai pertanggungjawaban tentang apa saja yang telah diucapkan.


$¨B àáÏÿù=tƒ `ÏB @Aöqs% žwÎ) Ïm÷ƒy‰s9 ë=‹Ï%u‘ Ó‰ŠÏGtã


Tiada suatu ucapan-pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Pengawas yang selalu hadir.[44]


Al-Ghazali memahami bahwa apabila pujian terhadap dagangan merupakan penipuan dan kezaliman, disamping kebohongan seta menghilangkan kehormatan diri.


C. Sirkulasi yang Berkeadilan


Sirkulasi menurut pandangan ekonom adalah kumpulan perjanjian dan prosesnya yang dilakukan oleh manusia dalam menjalankan aktivitasnya, dengan pengertian lain sirkulasi adalah pendayagunaan barang dan jasa lewat kegiatan jual beli baik sebagai sarana perdagangan maupun tukar menukar barang[45]


Sirkulasi dalam Islam sangatlah fleksibel dan moderat, ia berada dengan ciri sosialis yang menolak kebebasan pasar dan tidak sama dengan sistem kapitalis yang menganut pasar bebas.[46] Sementara Islam selalu berpegang selalu berpegang pada asas kebebasan dalam hal muamalah, termasuk dalam aktivitas pasar. Manusia bebas membeli, menjual, serta tukar menukar barang jasa. Mereka menawarkan dan menjual barang miliknya dan membeli barang kebutuhannya.


Pada dasarnya Islam menganut kebebasan terikat, yaitu kebebasan yang berdasarkan keadilan. al-Ghazali mengutarakan pendapatnya tentang keadilan dalam transaksi adalah sebagai berikut :


اِعْلَمْ أَنَّ الْمُعَامَلَةَ قَدْ تَجْرِي عَلىَ وَجْهٍ يَحْكُمُ الْمُفْتِي بِصِحَّتِهَا وَاِنْعِقَادِهَا وَلَكِنَّهَا تَشْتَمِلُ عَلىَ ظُلْمٍ يَتَعَرَّضُ بِهِ الْمُعَامِلُ لِسُخْطِ اللهِ تعالى إِذْ لَيْسَ كُلُّ نَهْيٍ يَقْتَضِي فَسَادَ الْعَقْدِ وَهذَا الظُّلْمُ


“ Apa saja yang menyebabkan madharat atas diri orang lain yang terkait dengan transaki (aktivitas jual beli atau perdaganga Pen) adalah kedhaliman. Sedang yang disebut dengan keadilan adalah dari seseorang adalah sepanjang tidak menimbulkan mudharat atas diri orang lain.[47]






Islam sangat menjunjung keadilan yang merupakan norma yang paling utama dalam seluruh aspek perekonomian. Hal ini dapat kita tangkap beberapa pesan Allah dalam al-Qur’an.:


“ Allah menyukai orang yang bersikap adil dan sangat memusuhi kedzaliman, bahkan melaknatnya. Ingatlahm kutukan Allah (ditimpakan) atas orang –orang yang dhalim. ”[48]


al-Ghazali selanjutnya memberikan menawarkan konsep peraturan sirkulasi atau perdagangan Islami agar tercipta suatu keadilan yaitu dengan menjauhi transaksi yang didalamnya ada unsur kedhaliman yaitu :


1. Kedhaliman yang menimbulkan bahaya (mudharat ) bagi masyarakat luas


Adapun yang termasuk dalam kategori Kedhaliman yang menimbulkan bahaya (mudharat ) bagi masyarakat luas menurut al-Ghazali, diantaranya adalah:


a. Penimbunan barang yang dilakukan oleh penjual makanan pokok (seperti beras, gandum dan sebagainya) seraya menunggu ( atau mendorong) naiknya harga. Ini adalah kedhaliman yang sifatnya umum, pelakunya tercela dalam pandangan agama. Sebagaimana hadits nabi:


مَنْ اِحْتَكَرَ الطَّعاَمَ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ تَصَدَّقَ بِهِ لَمْ تَكُنْ صَدَقَتُهُ كَفَارَةً لاِحْتِكَارِهِ


Barang siapa menimbun makanan pokok selama empat puluh hari, kemudia makanan tersebut disedekahkan sekalipun, maka sedekahnya tidak cukup sebagai tebusan (kafarah) atas dosa penimbunannya[49]






Atas dasar hadits diatas dan beberapa hadits yang lain al-Ghazali berpendapat, perdagangan dengan model penimbunan, termasuk perbuatan yang kurang disukai. Oleh karenanya dalam hal ini al-Ghazali memberikan solusi bagi para pedagang makanan pokok untuk tidak mengmbil untung maksimal, karena makanan ppokok adalah kebutuhan primer masyarakat, maka tidak sewajarnya mengambil keuntungan.. Namun jika, jika tidak merupakan bahan pokok al-Ghazali memperbolehkan.[50]


b. Mencampur uang palsu dan uang asli.


Menurut al-Ghazali Perbuatan mencampur uang palsu dan uang asli Adalah perbuatan yang jelas-jelas mengandung unsur, sebab akan banyak merugikan masyarakat luas. Berikut adalah ungkapan al-Ghazali


تَرْوِيْجُ الزَّيْفِ مِنَ الدَّرَاهِمِ فيِ أَثْنَاءِ النَّقْدِ فَهُوَ ظُلْمٌ إِذْ يَسْتَضُرُّ بِهِ ِالْمُعَامِلُ ِإنْ لَمْ يَعْرِفْ وَإِنْ عُرِفَ فَسَيَرُوْجَهُ عَلىَ غَيْرِهِ فَكَذَلِكَ الثَّالِثُ والرَّابِعُ وَلاَ يَزَالُ يَتَرَدَّدُ فِي اْلأَيْدِي وَيَعُمُّ الضَّرَرُ وَيَتَّسِعُ الْفَسَادُ وَيَكُوْنُ وِزْرُ الْكُلِّ وَبَالُهُ رَاجِعًا عَلَيْهِ فَإِنَّهُ هُوَ الَّذِي فَتَحَ هَذَا الْبَابَ


Mencampur uang palsu jelas merupakan kedhaliman. Sebab penerima – jika mengetahui – akan membayarkannya kepada orang lain. Dan jika tidak mengetahui- akan membayarkanya kepada orang lain, lalu kepada penerima ketiga, keempat dan seterusnya. Dan uang palsu tersebut akan berpindah-pindah tangan, yang menimbulkan kerugian masyarakat yang lama makin parah. Dalam hal ini, dosanya kembali kepada sipedagang yang mengedarkannya dengan sengaja dan sadar, mengingat dialah yang membuka pintu kerusakan pertama kali.[51]






2. Kedhaliman yang menimbulkan bahaya bagi salah satu pihak dari para pelaku .


Diantaranya adalah tidak memuji barang dagangannya, karena yang demikian itu merupakan suatu kebohongan. Tidak memalsu dan menipu (ghara). Curang dalam timbangan, tidak jujur dalam menentukan harga pasar.[52] Berikut adalah ungkapan al-Ghazali


فَكُلُّ مَا يَسْتَضِرُّ بِهِ الْمُعَامِلُ فَهُوَ ظُلْمٌ وَإِنَّمَا الْعَدْلُ لاَ يَضُرُّ بِأَخِيْهِ َالْمُسْلِمِ وَالضَّابِطُ الْكُلِّي فِيْهِ أَنْ لاَ يَحِبَ لِأَخِيْهِ إِلاَّ مَا يَحِبُ لِنَفْسِهِ فَكُلُّ مَا لَوْ عُوْمِلَ بِهِ شَقَّ عَلَيْهِ وَثَقَلَ عَلىَ قَلْبِهِ فَيَنْبَغِي أَنْ لاَ يُعَامِلَ غَيْرُهُ بِهِ بَل يَنْبَغِي أَنْ يَسْتَوِي عِنْدَهُ دِرْهَمَهُ وَدِرْهَمَ غَيْرِهِ قَالَ بَعْضُهُمْ مَنْ بَاعَ أخَاهُ شَيْئًا بِدِرْهَمٍ وَلَيْسَ يَصْلُحُ لَهُ لَوْ اِشْتَرَاهُ لِنَفْسِهِ إِلاَّ بِخَمْسَةِ دَوَانِقِ فَإنَّهُ قَدْ تَرَكَ النَّصْحُ اْلمَأْمُوْرُ بِهِ فِي الْمُعَامَلَةِ وَلَمْ يَحِبْ لِأَخِيْهِ مَا يَحِبُ لِنَفْسِهِ هَذِهِ جُمْلَتُهُ فَأَمَّا تَفْصِيْلُهُ فَفِي أَرْبَِِعِةِ أُمُوْرٍ أَنْ لاَ يَثْنِيَ عَلىَ السِّلْعَةِ بِمَا لَيْسَ فِيْهَا وَأَنْ لاَ يَكْتُمْ مِنْ عُيُوْبِهاَ وَخِفَايًا صِفَاتُهَا شَيْئًا أَصْلاً وَأَنْ لاَ يَكْتُمْ فِي وَزْنِهَا وَمِقْدَارِهَا شَيْئًا وَأنْ لاَ يَكْتُمْ مِنْ سَعْرِهَا مَا لُوْ عَرَفَهُ الْمُعَامِلُ لاَمْتَنَعَ عَنْهُ


Apa saja yang menyebabkan madharat atas diri orang lain terkait dengan transaksi, adalah bentuk kedhaliman, sedang yang disebut dengan keadilan dari seseorang adalah sepanjang tidak menimbulkan madharat kepada orang lain. Batasan umumnya adalah dengan tidak menyukai sesuatu bagi saudaranya yang lain kecuali seseorang merasa juga bagi dirinya. Segala sesuatu, yang seandainya seseorang merasa terganggu atau tersakiti hatinya apabila ditujukan kepadanya, hendaklah tidak ia tujukan pula kepada orang lain. Hendaknya ia memiliki penilaian yang sama antara uangnya sendiri dan uang orang lain. Dia katakan: Barang siapa menjual satu barang kepada orang lain dengan harga satu dirham, sedangkan barang tersebut tidak akan dibelinya untuk dirinya sendirinya kecuali dengan harga lima dhanaq ( satu danaq sama dengan seperenam dirham), maka ia tidak meninggalkan ketulusan yang diperintahkan kepadanya dalam berbisnis, dan orang lain tidak menyukainya. Demikian secara umum tentang kedhaliman dalam berbisnis. Adapun rinciannya dapat dibagi empat hal yaitu tidak memuji barang dagangannya, karena yang demikian itu merupakan suatu kebohongan. Tidak memalsu dan menipu (gharar). Curang dalam timbangan, tidak jujur dalam menentukan harga pasar.

Dari uraian yang dijelaskan al-Ghazali tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya yang menjadi dasar norma, etika dalam transaksi sirkulasi baik-jual beli maupun perdagangan adalah. Disinilah letak filosofi pemikiran ekonomi al-Ghazali yang selalu dilandasi etika dan moral dalam menjalankan aktivitas ekonomi harus didasari dengan keadilan dan melakukan hal yang terbaik.



































[1] Ahmad Syamsuddin, al-Ghazali: Hayatuh, Atharuh, Falsafatuh (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990 M), 23.


[2]Monzer Kahf, Ekonomi Islam; Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Aditya Media, 2000), 9. Menurutnya Kajian sejarah ekonomi Islam diarahkan pada dua aspek pertama; Sejarah pemikiran ekonomi dan Kedua: sejarah unit-unit ekonomi seperti individu-individu, badan usaha dan ilmu ekonomi sendiri.


[3] Badawi Thabanah, Ihya’ Ulum al-Din al-Ghazali Juz 2 (Kairo: Dar al-Salam Ihya’ Kutub al-Arabiyah, 1957), 80 Selanjutnya dibaca al-Ghazali, Ihya...


[4] al-Ghazali, Ihya’ Vol. II, 66-70.


[5] M.Ali Hasan, Maumalah, 143.






[6] al-Ghazali, Ihya’ II, 71.


[7] M.Ali Hasan, Muamalah,..227.


[8] al-Ghazali, Ihya’ III, 222


[9] Al-Ghazali, Ihya’ II, 72


[10] ibid.


[11] Shamsuddin Muhammad, Mughni al Muhtaj (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1994), 397. Dalam pengertian lain Mudharabah merupakan kontrak yang melibatkan antara dua kelompok, yaitu pemilik modal ( investor ) yang mempercayakan modalnya kepada pengelola ( mudharib) untuk digunakan dalam aktivitas perdagangan. Mudharib dalam hal ini memberikan kontribusi pekerjaan waktu, dan mengelola usahanya sesuai dengan ketentuan yang dicapai dalam kontrak, salah satunya adalah untuk mencapai keuntungan (profit) yang dibagikan antara pihak investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disetujui bersama. Lihat Abdullah Saeed Islamic Banking and interest A Study of the Prohition of Riba an its Contemporery Interpresation.terj Muhammad Ufuqul Mubin dan Nurul Huda, (Yoqyakarta: Pustaka Pelajar, 2003 ), 91.


[12] Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, IV (Damaskus : Dar al Fikr, 1994), 836.


[13] Al-Ghazali, Ihya’II, 73


[14] Fulus menurut bahasa adalah mata uang yang terbuat dari tembaga. al-Ghazali tidak membenarkan memakai fulus pada masanya, karena fulus terbuat dari tembaga dan tidak tetap nilainya maupun nilai logam itu sendiri dalam pembuatannya. Maka al-Ghazali menetapkan memakai uang yang sah pada zamannya yaitu dinar dan dirham.


[15] Al-Ghazali, Ihya’II, 73


[16] Ihya’II, 73


[17] Monzer Kahf, Ekonomi Islam, terj. Mahnun Husein (Yogyakarta : Pustaka pelajar, 1995), 94.


[18] Ibid,95.


[19] Al-Ghazali, Ihya’II, 73-74


[20].Shirkah disebut juga dengan Sharikah, sedang bentuk jamaknya adalah Sharikat yang berarti perusahaan bersama, asosiasi, persekutuan, perseroan, Lihat. Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdor Kamus Kontemporer, Arab-Indonesia ( Yokyakarta: Multi karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 2001) 1129-1130. Disini disebutkan beberapa macam bentuk shirkah berjumlah 16 bentuk . Kata Shirkah juga disebut al-Musharakah yang berarti akad kerja sama antara dua belah pihak ( Patnership,Projek financing particapation) lihat Muhammad Syafi`I Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek ( Jakarta: Gema Insani Press,2001),90. Sedang shirkah (kemitraan kerja) menurut bahasa asalnya, merupakan penghubung dua tanah atau lebih, dimana sifat dari tanah yang dihubungkan tersebut sulit dibedakan satu dengan lainya.Lihat Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, jilid IV terj, Drs.Soroyo dan Drs. Nastangin ( Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1996),365.


[21]. Kata sharaka disebut dalam al-Quran sebanyak 170 kali, meskipun tidak satupun dari bentuk tersebt yang secara jelas menunjukkan pengertian “ kerjasama” dalam dunia bisnis. Namun jika melihat keterangan dari nabi, sahabat dan ulama yang menyatakan keabsahan Musharakah untuk dilaksanakan dalam dunia bisnis.Lihat Abdullah Saeed “ Bank Islam dan Bunga: Study Kritis dan Interpretasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2003),106-107.


[22] Nasrun Harun, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratam, 2000), 165.


[23] Wahbah Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, IV, (Bairut :Dar al Fikr al Mu’ashar, tt), 875


[24] Al-Ghazali, Ihya’ II, 74


[25] lihat Taqyuddin, Membangun, 126.


[26] Al-Ghazali, Ihya’ II, 73


[27] Ibid,


[28] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 93.


[29] al -Ghazali, Ihya’II, 73


[30]Nilai kekayaan yang diperserokan tidak harus sama, namun yang harus sama adalah keterlibatannya dalam mengelola kekayaan tersebut. Sedangkan pembangaian labanya tergantung kesepakatan mereka. Sehingga boleh membagi laba secara merata, dan boleh tidak sama. Syaidina Ali berkata “ Laba itu tergantung pada apa yang mereka sepakati bersama “( HR.Abd al Razak, dalam al-Jami `) Lihat, Tagyuddin An Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, (Surabaya: Risalah Gusti,1999 ), 156-157.


[31] Ibid, 168 – 169.


[32] al-Ghazali, Ihya’ II, 73


[33] Ibid,73


[34] Penjelasan tentang riba diterangkan pada bab kebijakan moneter menurut al-Ghazali


[35] HR.Abu Mansur al-Dailami dalam musnad al-firdaus dari Ali dan al-Khatib dalam Tarikhnya.


[36] HR. Ahmad dan al-Hakim dari Ibnu Umar dengan sanad kuat


[37] al-Ghazali, Ihya’ II, 74.


[38] al-Ghazali, Ihya’ Vol. II, 74. Itulah sebabnya dari kalangan tabiin berpean kepada seorang teman, “ jangan membiarkan anak-anakmu berkecimpung dalam dua jenis perdagangan dan dua jenis profesi. Yaitu perdagangan makanan pokok dan perdagangan kain kafan. Sebab ia, akan senantiasa mengharapkan kenaikan harga dan kematian warga. Sedangkan kedua profesi yang dimaksud adalah sebagai tukang potong hewan, karena menyebabkan kerasnya hati; atau sebagai sebagai tukang pandai besi karena kerjanya adalah menghiasi dunia dengan emas dan perak


[39] Tentang keterangan lebih banyak ciri-ciri unag palsu menurutal-Ghazali bsa dilihat pada bab kebijakan moneter al-Ghazali


[40] Al-Ghazali, Ihya II, 74-75.


[41] Ihya II, 74


الأول أَنَّهُ إِذاَ رَدَّ عَلَيْهِ شَيْءٌ مِنْهُ فَيَنْبَغِي أَنْ يَطْرَحَهُ فِي بِئْرٍ بِحَيْثَ لاَ تَمْتَدُّ إِلَيْهِ الْيَدُ وَإِيَّاهُ أَنْ يَرْوِجَهُ فِي بَيْعٍ آخَرٍ وَإنْ أَفْسَدَهُ بِحَيْثُ لاَ يُمْكِنُ التَّعَامُلُ بِهِ جَازَ الثاني أَنَّهُ يَجِبُ عَلىَ التَّاجِرِ تَعَلُّمَ النَّقْدِ لا َلِيَسْتَقْصِيَ لِنَفْسِهِ


[42]N evy “Hukuman Mati Bagi Pemalsu-Pengedar Upalu“ dalam Republika online: http/www.republika.co.id. Selasa, 02 Mei 2006






[43] Ihya’ II, 76-77


[44] al-Qur’an surah Qaf, ayat 18


[45] Qardawi, Nurma, 171.


[46]Sistem kapitalis yang kuat, bendera konglamerat semakin berkibar, sedangkan yang melarat semakain terkapar


[47] al-Ghazali, Ihya’ II, 74.


[48] al-Quran, Surah al-Hud,18.


[49] HR.Abu Mansur al-Dailami dalam musnad al-firdaus dari Ali dan al-Khatib dalam Tarikhnya.


[50] al-Ghazali, Ihya’ II, 74.


[51] Ibid., 74-75.


[52] Ibid., 76.

Related

Semua 3178192760314260437

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Profile

About Me
Dr. Abdurrohman S.Ag. M.EI
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura. . Selengkapnya

Total Pageviews

Recent Posts

Random

Comments

Contact Us

Name

Email *

Message *

Populer

item