Belajar Politik dari Imam Al-Ghazali
Jika saat ini politik dianggap sebagai sesuatu yang kotor, maka sejatinya ia bukanlah tanpa akar sejarah. Politik dalam arti perebutan kekua...

https://rohman-utm.blogspot.com/2017/04/belajar-politik-dari-imam-al-ghazali.html
Jika saat ini politik dianggap sebagai sesuatu yang kotor, maka sejatinya ia bukanlah tanpa akar sejarah. Politik dalam arti perebutan kekuasaan yang penuh dengan intrik kotor ternyata telah terjadi sejak akhir masa Khulafa Ar-Rasyidin. Perebutan kekuasaan antara Bani Umayyah dan Abbasiyah adalah sejarah kelam umat Islam. Tidak hanya berhenti sampai di situ, bahkan akhir dari kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad adalah masa paling kelam bagi sejarah politik Islam. Kekuasaan khalifah yang hanya symbol, intrik kekuasaan untuk mendapatkan pengaruh terjadi antara berbagai suku bangsa yang berada di sekitar poros kekuasaan.
Praktik-praktik politik yang menyimpang dari ajaran Islam semisal korupsi dan penyimpangan dalam kekuasaan memunculkan keprihatinan bagi seorang ulama besar yang digelari dengan Hujjatul Islam. Beliau adalah Abu Hamid Al-Ghazali, seorang ulama yang berhasil memadukan antara fiqh dengan tasawuf, analisisnya terhadap sistem politik yang ada tampak dari kritik-kritik tajam terhadap penguasa. Kritik tajam yang disampaikan tidak hanya kepada para penguasa yang telah menyimpang dari ajaran politik Islam, bahkan ia juga mengkritik para ulama yang telah meninggalkan amanah ulama-nya kepada kepentingan kekuasaan dan duniawi lainnya.
Kritik tajam al-Ghazali dituangkan dalam beberapa karyanya, seperti Al-Tibr al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk, Ihya’ Ulumuddin, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan Fadhaih al-Batiniyah. Kitab Al-Tibr al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk adalah karya utama tentang politik beliau yang berisi nasihat-nasihat untuk penguasa. Karya itu adalah kumpulan tulisan beliau yang dihadiahkan kepada Sultan Muhammad Ibnu Malik dari dinasti Saljuk. Menurut Imam al-Ghazali, khalifah adalah pelindung pelaksanaan syari’at. Perjalanan hukum ilahi menjadi tanggung jawab seorang penguasa. Maka, menurut beliau keberadaan negara adalah sangat urgen. Karena syiar-syiar agama tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa adanya seorang imam (pemimpin negara). Sehingga pemimpin beserta seluruh abdi negara harus menjalankan politik berdasarkan Islam.
Gagasan menarik dari hasil analisis Al-Ghazali adalah bahwa penyimpangan yang dilakukan oleh para penguasa sejatinya berasal dari penyimpangan yang telah dilakukan oleh para ulama. Artinya bahwa krisis kepemimpinan yang terjadi pada penguasa sejatinya terjadi karena krisis yang terjadi pada kalangan ulama. Analisisnya mengingatkan kita kepada amanah yang ada pada pundak ulama dan ahli agama lainnya. Jika penguasa berlaku menyimpang dari Islam, hal ini disebabkan karena ulama tidak lagi memiliki fungsi sebagai pemberi nasehat kepada penguasa. Analisis Al-Ghazali sendiri didasarkan pada keadaan politik pada masa Bani Buwwaih yang berada pada kemerosotan figure penguasa.
Selanjutnya Al-Ghazali juga berpendapat bahwa corak keberagamaan yang menyimpang dari jalan Ahlu Sunnah wal Jama’ah juga menjadi sebab penyimpangan yang dilakukan oleh para penguasa. Dasar analisis ini adalah adanya pemimpin pada masa hidup beliau yang beraliran Syiah yang merupakan oposisi bagi kelompok sunny sejak dahulu. Kesimpulan Al-Ghazali sangat menarik jika kita kaitkan dengan kondisi saat ini, bagaimana tidak jika Syiah dianggap bukan sebuah ancaman saat ini, maka ketika ia berkuasa akan menjadi ancaman yang serius. Bahkan menjadi musibah bagi umat Islam, karena politik mereka didasarkan kepada fanatik golongan dan dengan mudah menghancurkan orang-orang yang berada di luar kelompoknya.
Pendapat-pendapat Al-Ghazali dalam bidang politik sangat relevan jika dikorelasikan dengan keadaan politik di negeri ini. Penyimpangan kekuasaan yang tampak nyata, perebutan kekuasaan yang kasat mata, hingga tindakan korupsi yang merajalela adalah fakta sehingga kembali membuka gagasan politik Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali sangat urgen dilakukan.
Beberapa hal yang bisa diambil sebagai bahan pelajaran bagi umat Islam di Indonesia dari beliau diantaranya adalah:
Pertama, urgensi kekuasaan yang didasarkan kepada nilai-nilai Islam sebagai pelaksana dalam keberlangsungan kehidupan bernegara dan beragama. Negara juga berfungsi sebagai pemegang otoritas publik yang akan meredam berbagai kekacauan, permusuhan, pertumpahan darah dan masalah sosial ekonomi lainnya. Lebih dari itu, negara adalah pelaksana dari hukum-hukum Allah ta’ala.
Kedua, gagasan pemerintahan dari Al-Ghazali adalah negara berdasarkan agama, bukan negara sekuler yang memisahkan antara agama dan politik. Hal ini karena Islam secara jelas menyebutkan tentang model-model dari kepemimpinan. Salah satunya adalah bahwa tujuan politik dalam Islam adalah untuk mensejahterakan rakyatnya di dunia dan juga di akhirat. Sehingga penguasa bertanggungjawab bagi rakyatnya dunia dan akhirat. Tujuan ini hanya bisa dilakukan jika penguasa berkolaborasi dan bekerjasama dengan ulama. Pendapat Al-Ghazali didasarkan pada sebuah hadis Nabi SAW bahwa dunia adalah bagaikan ladang yang manusia dapat memanen hasilnya di akhirat kelak.
Ketiga, gagasan Al-Ghazali mengenai negara juga didasarkan pada kenyataan bahwa kekuasaan dan politik adalah sebuah amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannyadi akhirat kelak. Sehingga wajib bagi para ulama untuk senantiasa memberikan nasehatnya kepada para penguasa dengan cara yang bijak sebagai bentuk amar ma’ruf nahi mungkar. Fungsi seperti ini yang sepertinya saat ini sudah mulai hilang pada zaman kita saat ini, banyak dari ulama dan ahli agama yang lebih mementingkan urusan keduniaan dan tidak berani berkata benar di depan penguasa. Mereka takut dan khawatir kalau mereka mengatakan kebenaran maka posisinya akan dicopot atau digantikan oleh orang lain. Inilah yang oleh al-Ghazali dsebut sebagai ulama su’ (ulama yang buruk) karena lebih mementingkan dunia daripada amanah ilmu.
Merujuk pada beberapa gagasan besar dari Hujjatul Islam aL-Ghazali maka sudah selayaknya umat Islam di Indonesia untuk kembali memperbaiki diri agar terwujud kepemimpinan yang baik. Terkhusus kepada para ahli agama dan ulama, pada pundak merekalah sejatinya negara ini berada. Jika ulama hanya mementingkan kepentingan dunia dan takut melakukan amar ma’ruf nahi mungkar kepada penguasa, maka bersiaplah akan menghadapi pemerintah yang buruk sebagai bala atas amanah agama yang diembannya. Wallahu a’lam. (fkis-utm)
Praktik-praktik politik yang menyimpang dari ajaran Islam semisal korupsi dan penyimpangan dalam kekuasaan memunculkan keprihatinan bagi seorang ulama besar yang digelari dengan Hujjatul Islam. Beliau adalah Abu Hamid Al-Ghazali, seorang ulama yang berhasil memadukan antara fiqh dengan tasawuf, analisisnya terhadap sistem politik yang ada tampak dari kritik-kritik tajam terhadap penguasa. Kritik tajam yang disampaikan tidak hanya kepada para penguasa yang telah menyimpang dari ajaran politik Islam, bahkan ia juga mengkritik para ulama yang telah meninggalkan amanah ulama-nya kepada kepentingan kekuasaan dan duniawi lainnya.
Kritik tajam al-Ghazali dituangkan dalam beberapa karyanya, seperti Al-Tibr al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk, Ihya’ Ulumuddin, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan Fadhaih al-Batiniyah. Kitab Al-Tibr al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk adalah karya utama tentang politik beliau yang berisi nasihat-nasihat untuk penguasa. Karya itu adalah kumpulan tulisan beliau yang dihadiahkan kepada Sultan Muhammad Ibnu Malik dari dinasti Saljuk. Menurut Imam al-Ghazali, khalifah adalah pelindung pelaksanaan syari’at. Perjalanan hukum ilahi menjadi tanggung jawab seorang penguasa. Maka, menurut beliau keberadaan negara adalah sangat urgen. Karena syiar-syiar agama tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa adanya seorang imam (pemimpin negara). Sehingga pemimpin beserta seluruh abdi negara harus menjalankan politik berdasarkan Islam.
Gagasan menarik dari hasil analisis Al-Ghazali adalah bahwa penyimpangan yang dilakukan oleh para penguasa sejatinya berasal dari penyimpangan yang telah dilakukan oleh para ulama. Artinya bahwa krisis kepemimpinan yang terjadi pada penguasa sejatinya terjadi karena krisis yang terjadi pada kalangan ulama. Analisisnya mengingatkan kita kepada amanah yang ada pada pundak ulama dan ahli agama lainnya. Jika penguasa berlaku menyimpang dari Islam, hal ini disebabkan karena ulama tidak lagi memiliki fungsi sebagai pemberi nasehat kepada penguasa. Analisis Al-Ghazali sendiri didasarkan pada keadaan politik pada masa Bani Buwwaih yang berada pada kemerosotan figure penguasa.
Selanjutnya Al-Ghazali juga berpendapat bahwa corak keberagamaan yang menyimpang dari jalan Ahlu Sunnah wal Jama’ah juga menjadi sebab penyimpangan yang dilakukan oleh para penguasa. Dasar analisis ini adalah adanya pemimpin pada masa hidup beliau yang beraliran Syiah yang merupakan oposisi bagi kelompok sunny sejak dahulu. Kesimpulan Al-Ghazali sangat menarik jika kita kaitkan dengan kondisi saat ini, bagaimana tidak jika Syiah dianggap bukan sebuah ancaman saat ini, maka ketika ia berkuasa akan menjadi ancaman yang serius. Bahkan menjadi musibah bagi umat Islam, karena politik mereka didasarkan kepada fanatik golongan dan dengan mudah menghancurkan orang-orang yang berada di luar kelompoknya.
Pendapat-pendapat Al-Ghazali dalam bidang politik sangat relevan jika dikorelasikan dengan keadaan politik di negeri ini. Penyimpangan kekuasaan yang tampak nyata, perebutan kekuasaan yang kasat mata, hingga tindakan korupsi yang merajalela adalah fakta sehingga kembali membuka gagasan politik Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali sangat urgen dilakukan.
Beberapa hal yang bisa diambil sebagai bahan pelajaran bagi umat Islam di Indonesia dari beliau diantaranya adalah:
Pertama, urgensi kekuasaan yang didasarkan kepada nilai-nilai Islam sebagai pelaksana dalam keberlangsungan kehidupan bernegara dan beragama. Negara juga berfungsi sebagai pemegang otoritas publik yang akan meredam berbagai kekacauan, permusuhan, pertumpahan darah dan masalah sosial ekonomi lainnya. Lebih dari itu, negara adalah pelaksana dari hukum-hukum Allah ta’ala.
Kedua, gagasan pemerintahan dari Al-Ghazali adalah negara berdasarkan agama, bukan negara sekuler yang memisahkan antara agama dan politik. Hal ini karena Islam secara jelas menyebutkan tentang model-model dari kepemimpinan. Salah satunya adalah bahwa tujuan politik dalam Islam adalah untuk mensejahterakan rakyatnya di dunia dan juga di akhirat. Sehingga penguasa bertanggungjawab bagi rakyatnya dunia dan akhirat. Tujuan ini hanya bisa dilakukan jika penguasa berkolaborasi dan bekerjasama dengan ulama. Pendapat Al-Ghazali didasarkan pada sebuah hadis Nabi SAW bahwa dunia adalah bagaikan ladang yang manusia dapat memanen hasilnya di akhirat kelak.
Ketiga, gagasan Al-Ghazali mengenai negara juga didasarkan pada kenyataan bahwa kekuasaan dan politik adalah sebuah amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannyadi akhirat kelak. Sehingga wajib bagi para ulama untuk senantiasa memberikan nasehatnya kepada para penguasa dengan cara yang bijak sebagai bentuk amar ma’ruf nahi mungkar. Fungsi seperti ini yang sepertinya saat ini sudah mulai hilang pada zaman kita saat ini, banyak dari ulama dan ahli agama yang lebih mementingkan urusan keduniaan dan tidak berani berkata benar di depan penguasa. Mereka takut dan khawatir kalau mereka mengatakan kebenaran maka posisinya akan dicopot atau digantikan oleh orang lain. Inilah yang oleh al-Ghazali dsebut sebagai ulama su’ (ulama yang buruk) karena lebih mementingkan dunia daripada amanah ilmu.
Merujuk pada beberapa gagasan besar dari Hujjatul Islam aL-Ghazali maka sudah selayaknya umat Islam di Indonesia untuk kembali memperbaiki diri agar terwujud kepemimpinan yang baik. Terkhusus kepada para ahli agama dan ulama, pada pundak merekalah sejatinya negara ini berada. Jika ulama hanya mementingkan kepentingan dunia dan takut melakukan amar ma’ruf nahi mungkar kepada penguasa, maka bersiaplah akan menghadapi pemerintah yang buruk sebagai bala atas amanah agama yang diembannya. Wallahu a’lam. (fkis-utm)