PROBLEMATIKA REDENOMINASI RUPIAH SOLUSI ATAU MASALAH BARU
Oleh : Dr. Abdur Rohman.MEI [1] Abtrack Wacana Bank Indonesia (BI) melakukan redenominasi terhadap rupiah telah menimbulkan reak...

https://rohman-utm.blogspot.com/2017/03/problematika-redenominasi-rupiah-solusi.html
Oleh :
Dr. Abdur Rohman.MEI[1]
Abtrack
Wacana Bank
Indonesia (BI) melakukan redenominasi terhadap rupiah telah menimbulkan reaksi pro dan kontra, mengingat belum
jelasnya permasalahan ini. Misalnya Dalam redenominasi tersebut, BI
berencana akan menghilangkan 3 digit dari nilai pecahan rupiah yang ada.
Misalnya dari Rp1.000 menjadi
Rp1. Harga barang yang semula Rp 1.000 juga
berubah menjadi seharga Rp 1. Contohnya, pada harga bawang putih 1 kilogram
Rp.4000, dengan redenominasi tiga digit nolnya dihilangkan, maka harga bawang
putih menjadi Rp.4. Harga
bawang putih tetap, hanya nominalnya saja yang disederhanakan. Daya beli uang
yang dikenakan redenominasi pun tetap. Dengan uang Rp.4, masyarakat tetap dapat
membeli 1 kilogram bawang putih. Ada yang berpendapat bahwa redenominasi memilki banyak
keuntungan dan kelemahan bahkan ada pendapat redenominasi adalah
solusi semu dan menambah masalah baru dalam dunia perbankan. Mengapa bisa
demikian? Apa keuntungan dan kelemahan redenorasi ? Apa bedanya redenominasi
dengan Sanering ? dan bagaimanakah redenominasi dalam prespektif ekonomi Islam?.
Key Word : Redenominasi, Sanering dan ekonomi Islam
Pendahuluan
Beberapa waktu terakhir ini banyak diberitakan
di berbagai media tentang rencana Bank Indonesia (BI) selaku Bank Sentral di
Indonesia yang akan melakukan redenominasi terhadap rupiah.Rencana ini telah menimbulkan
reaksi pro dan kontra, mengingat belum jelasnya permasalahan ini. Belum lagi munculnya
kekhawatiran di tengah masyarakat akan terjadinya sanering kembali seperti yang
pernah terjadi pada tahun 1966,
terus menuai silang pendapat.[2] Meski
demikian, kebijakan moneter yang
bertujuan untuk ‘memangkas’ angka nol dalam penulisan mata uang rupiah—tanpa
mengurangi nilainya—bukanlah hal baru. Menurut catatan Ioana sejak 1923-2002
terdapat lebih dari 80 negara telah menerapkan kebijakan tersebut. Polandia, Bulgaria
dan Turki dianggap sukses menjalankan kebijakan tersebut. Sementara Brazil dan
Argentina justru menuai inflasi tinggi pasca kebijakan itu sehingga harus
melakukannya beberapa kali.[3]
Umumnya
redenominasi dilakukan pasca terjadi hyperinflasi yang
menyebabkan nilai suatu mata uang merosot tajam. Kebijakan teknis tersebut
merupakan upaya pemerintah untuk meyakinkan publik bahwa masa inflasi tinggi
telah berakhir. Dengan demikian, redenominasi bukan merupakan penyebab
stabilitas moneter namun merupakan hasil dari proses stabilisasi. Redenominasi
sekaligus merupakan bentuk pengakuan kepada publik atas kesalahan
kebijakan ekonomi sebelumnya yang telah mendorong terjadinya inflasi tinggi dan
memburuknya nilai tukar domestik di pasar internasional[4].
Implikasi
Keuntungan
dari redenominasi antara lain terjadinya efisiensi dalam pencatatan nilai mata
uang karena pencatatan nol akan lebih sedikit seperti pada transaksi jual beli,
label harga, laporan akuntansi, catatan statistik, dan perangkat lunak pengolahan
data. Disamping kepraktisan, aspek psikologis berupa tingkat kepercayaan
terhadap mata uang tersebut diharapkan lebih tinggi karena nilainya terlihat
lebih kuat terhadap mata uang lain.
Secara
operasional proses redenominasi mata uang nasional tidak mempunyai efek pada
inflasi jika kondisi perekonomian relatif stabil.[4] Hanya
saja jika yang perlu dijaga adalah sejauh mana presepsi publik menilai dampak
dari kebijakan tersebut. Jika publik berespektasi bahwa akan terjadi inflasi
pasca kebijakan tersebut maka dalam jangka pendek kebijakan redenominasi akan
dapat mendorong terjadinya inflasi. Publik yang memiliki ekspektasi yang tinggi
pada inflasi setidaknya akan melakukan beberapa penyesuaian antara lain:
menukar uangnya dalam bentuk mata uang lain, atau membelanjakan uangnya pada
barang-barang berharga seperti emas dan tanah. Dengan demikian, nilai tukar
mata uang tersebut justru melemah. Barang impor semakin mahal sehingga
menyebabkan inflasi (imported inflation). Selain itu, inflasi di dalam negeri akibat
tingginya permintaan barang juga akan menggerek inflasi sehingga mendorong Bank
Sentral untuk melakukan pengetatan moneter dengan menaikkan suku bunga. Jika
pengetatan tersebut berlangsung lama maka sektor riil akan terpukul akibat
naiknya suku bunga kredit. Dampak inflasi tersebut tidak hanya merugikan
masyarakat kecil yang tidak dapat melindungi aset mereka namun juga pegawai dan
buruh yang tidak memiliki daya tawar untuk mengkompensasi inflasi dengan
kenaikan upah.
Kemampuan
bank sentral dalam mensosialisasikan kebijakan redenominasi sangat menentukan
tingkat kepercayaan publik pada aspek positif kebijakan itu baik tujuan, waktu
serta mekanisme operasionalnya. Sayangnya persoalan sosialisasi di negeri ini
seringkali bermasalah sehingga kebijakan pemerintah tidak berjalan optimal
sebagaimana yang terjadi pada konversi minyak tanah ke gas, BLT dan Raskin.
Bank sentral Rusia misalnya gagal meyakinkan publik bahwa redenominasi
Rubel tidak akan membuat harga naik. Sebaliknya rumor yang menyatakan
sebaliknya justru lebih mempengaruhi publik sehingga membuat inflasi naik dari
28 persen menjadi 86 persen pada 1999. Hal yang sama juga terjadi pada
Afganistan (2002) ketika pemerintah negara itu memotong tiga angka nol mata
uang Afgani. Rakyat negara itu justru berbondong-bondong memborong mata uang
dollar dan mata uang baru menyebabkan nilai mata uang lama merosot tajam.[5]
Dalam
masa transisi redenominasi, pihak swasta yang menjual barang dan jasa harus
mengeluarkan biaya ekstra karena harus menuliskan dua harga pada label produk yang
mereka jual atau setidaknya tenaga tambahan untuk memberi penjelasan. Selain
itu, pemerintah dan swasta juga terpaksa mengeluarkan biaya tambahan untuk
melakukan harmonisasi dan perubahan sistem pencatatan manual dan elektronik
yang berhubungan dengan mata uang tersebut. Bank Sentral dalam jangka waktu
tertentu juga harus menganggarkan biaya untuk mencetak uang baru dan menarik
uang lama. Di saat yang sama, pemerintah dan DPR dituntut untuk melakukan
sinkronisasi undang-undang dan pembuatan aturan baru terkait redenominasi
tersebut.
Instabilitas
Mata Uang Kertas
Redenominasi
sebenarnya tidak perlu dilakukan jika pemerintah mampu menjaga kestabilan nilai
tukar rupiah dalam jangka panjang. Meski harus diakui bahwa untuk melakukan hal
itu tidak mudah. Hal ini karena rupiah sebagaimana mata uang lainnya merupakan
standar mata uang kertas (fiat money) yang
sifatnya rentan digrogoti inflasi. Ini karena, otoritas moneter saat ini tidak
lagi diikat oleh ketentuan untuk mengkaitkan antara jumlah uang beredar dengan
cadangan emas atau mata uang kuat lainnya sejak diakhirinya perjanjian Bretton
Woods tahun 1971. Dengan demikian, masing-masing bank sentral berwenang untuk
meningkatkan jumlah uang beredar dengan mencetak uang yang lebih banyak
sehingga menyebabkan inflasi bahkan di beberapa negara terjadi hyperinflasi.
Selain
itu, kestabilan mata uang kertas juga dipengaruhi rezim nilai tukar yang
diadopsi oleh suatu negara. Rupiah misalnya atas saran IMF menetapkan rezim
kurs mengambang. Artinya nilai tukar rupiah terhadap dollar ditentukan
berdasarkan supply and demand. Semakin tinggi permintaan terhadap Rupiah maka
nilainya akan meningkat atau terapresiasi. Sebaliknya jika penawaran meningkat
seperti terjadi lonjakan permintaan devisa oleh importir, meningkatnya pembayaran
utang luar negeri baik swasta maupun pemerintah atau aksi spekulasi para
investor di pasar modal dan pasar uang maka nilai rupiah terhadap dollar akan
merosot atau terdepresiasi. Bank Indonesia memang dapat melakukan
intervensi untuk menjaga nilai tukar Rupiah dengan cara membeli
dollar–disamping instrumen moneter lainnya–ketika harga rupiah merosot dan
sebaliknya melepas cadangan devisanya ketika nilainya dianggap terlalu kuat.
Namun tindakan tersebut sangat dintentukan oleh seberapa besar cadangan devisa
yang dimiliki oleh otoritas moneter tersebut. Hal ini pula yang dialami
Indonesia pada krisis tahun 1997/8 silam ketika rupiah mengalami deprsiasi yang
sangat tajam– dari Rp 2.500 pada Juli 1997 sampai menembus Rp 14.000-an –akibat
meningkatnya permintaan dollar dalam waktu singkat. Sejak saat itu nilai tukar
rupiah terhadap dollar mengalami pelemahan yang sangat besar dengan kurs
rata-rata Rp9.230 dari tahun 1998-2012. Contoh mutakhir dari masalah ini adalah
Pakistan yang terpaksa meminjam ke IMF untuk meningkatkan cadangan devisanya
agar mampu menahan laju pelemahan Rupee.[6]
Apalagi
saat ini selain mengadopsi rezim kurs mengambang, Indonesia juga menganut
liberalisasi sektor modal dan perdagangan. Dampak dari liberalisasi ini
diantaranya dalam waktu singkat Indonesia dapat kebanjiran modal jangka
pendek (hot money) di pasar modal sehingga nilai tukar
rupiah menguat terhadap dollar. Namun penguatan ini bisa berbalik tajam ketika
modal-modal tersebut sewaktu-waktu dapat keluar jika terjadi shock baik eksternal maupun internal sehingga
nilai rupiah kembali terjungkal. Inilah salah satu penyakit yang ditimbulkan
oleh mata uang kertas. Volatilitas nilai tukar tersebut secara faktual telah
berdampak buruk pada perekonomian. Salah satu negatif ketidakstabilan
mata uang adalah rugi kurs yang kerap dialami oleh perusahaan-perusahaan yang
melakukan transaksi dengan mata uang asing. Pada semester I-2012 misalnya PLN
mengalami rugi kurs sebesar Rp 6 triliun yang membuat laba BUMN tersebut anjlok
96 persen.[7]
Standar
Emas dan Perak
Berdasarkan
hal diatas jelas bahwa wacana redenominasi yang digelindingkan pemerintah
merupakan kebijakan moneter yang tidak memberikan pengaruh berarti bagi
perekonomian terutama terkait dengan kestabilan nilai tukar rupiah. Oleh karena
itu, yang justru mendesak dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan tinjauan
ulang terhadap standar mata uang kertas yang diberlakukan saat ini yang telah
terbukti secara faktual mudah digrogoti inflasi, menciptakan ketidakstabilan
moneter yang berdampak pada kestabilan perekonomian secara umum. Adapun
solusinya adalah dengan mengganti dengan standar mata uang emas dan perak yang
terbukti secara historis menciptakan kestabilan dan inflasi rendah yang
terkendali.
Lebih
dari itu, Islam telah mewajibkan
penggunaan mata uang emas dan perak sebagai jenis mata uang yang dijadikan
sebagai mata uang resmi negara yang dijadikan sebagai alat transaksi dan tolak
ukur barang dan jasa. Berbagai dalil syara secara tegas menunjukkan wajibnya
penggunaan mata uang tersebut yaitu adanya larangan penimbunan (al-kanz) emas dan perak (QS: at-Taubah: 34) dan
tidak pada harta lainnya; pengkaitan emas dan perak pada sejumlah hukum yang
bersifat permanen seperti, pembayaran diyat dengan emas dan perak,
penetapan kadar objek pencurian dengan emas yakni ¼ dinar emas. Dalam proses
pertukaran dan transaksi Rasulullah juga telah menetapkan (taqrir) emas dan perak sebagai mata uang.ketika
syara mewajibkan zakat uang maka ia dinisbahkan kepada emas dan perak dan
kadarnya dengan ukuran emas dan perak serta hukum pertukaran mata uang selalu
dikaitkan dengan emas dan perak[8] Dengan
demikian, standar mata uang yang diperintahkan di dalam Islam adalah standar
mata uang emas dan perak bukan mata uang kertas seperti saat ini. wallahu a’lam bisshawab.
Washington,
DC. http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1347407
[4] Iona, op.cit
[6] http://www.bloomberg.com/news/2013-01-07/pakistan-seen-needing-imf-bailout-as-rupee-plunges-before-vote.html
[7] http://finance.detik.com/read/2012/09/03/163858/2006588/1034/rugi-kurs-rp-6-triliun-laba-pln-jeblok-96
[8] Taqiyuddin an-Nabhany, An-Nidzam al-Iqtishady fil Islam, Beirut: Darul Ummah,
cet. VI hal. 271
[1]
Dosen Ekonomi Syariah di Universitas Trunojoyo Madura Prodi Ekonomi Syariah....
[2]
Redenominasi
adalah kebijakan untuk menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi
pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi
nilai mata uang tersebut. Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada
harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah. Misalnya uang
nominal Rp 1.000 dipangkas menjadi Rp1. Pada saat yang sama seluruh barang yang
tadinya bernilai Rp1.000 berubah menjadi bernilai Rp1,-. Demikian pula dengan
konvensi nominal pecahan lainnya. Berbeda dengan sanering dimana terjadi
pemotongan nilai uang namun tidak tidak dilakukan pada harga-harga barang,
sehingga daya beli masyarakat menurun.seperti Rp1.000 dipotong menjadi Rp1
sementara harga tidak dilakukan penyesuaian.
[3]
Duca
Ioana, 2005. The National Currency
Re-Denomination Experience in Several Countries: A Comparative Analysis.
Paper presented at the International Multidisciplinary
Symposium Universitaria Simpro, 2005 http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm? abstract_id=1347407
[4] Layna
Mosley, 2005. Dropping Zeros, Gaining Credibility?
Currency Redenomination in Developing Nation. Paper presented at the 2005
Annual Meetings of the American Political Science Association,