rohmans

PENGEMIS DALAM EKONOMI ISLAM

( Makalah ini telah diterbitkan di jurnal "DINAR" Prodi Ekonomi Syariah ) A. Latar Belakang Masalah             Secara ekspli...

( Makalah ini telah diterbitkan di jurnal "DINAR" Prodi Ekonomi Syariah)

A. Latar Belakang Masalah

            Secara eksplisit al-Qur’an memerintahkan umat manusia untuk memegang nilai-nilai ajaran Islam secara total, menyeluruh, utuh, dan kaffah.Umat Islam diperintahkan melaksanakan ajaran yang berkaitan dengan kewajiban individu kepada Allah, kewajiban individu kepada lingkungan, dan kewajiban individu kepada sesama anggota masyarakat lainnya. Pemihakan dan pengabdian terhadap salah satu saja dari tiga bidang kewajiban agama oleh pemeluk Islam akan merusak keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam Islam.[1]
            Namun dalam realitanya, peradaban Islam lebih  didominasi oleh  peradaban  teks yang tidak  bersentuhan langsung  dengan tiga  bidang   di atas. Konstruksi makna yang berkembang selama ini hanya  mengedepankan dan mengunggulkan aspek transendensi dan sakralitas, tapi mengesampingkan aspek sosiologis yang menyapa realitas kemanusiaan dengan santun dan elegan. Yang perlu dilakukan sekarang adalah penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan untuk menyemangati nilai-nilai  kemanusiaan.
Sebagai sebuah sistem ajaran yang komprehensif, Islam tidak hanya mengandung sistem ritual semata, melainkan juga  mencakup sistem sosial-kemasyarakatan[2]. Surat al-Mâ’ûn,[3] misalnya,  menggambarkan   tema  ketuhanan dan kepedulian sosial.[4] Ayat ini dipahami bahwa  keberagamaan  seseorang berkaitan secara sangat  signifikan  dengan  perilaku  sosial, kesalehan ritual bukan saja menjadi tidak sempurna, akan tetapi justru sangat absurd jika tanpa dibarengi dengan kesalehan sosial. Kaitan kedua aspek tersebut  semakin jelas apabila mengamati begitu banyaknya ayat-ayat al-Qur’ân yang menerangkan keimanan dan perbuatan baik.[5] Kedua aspek tersebut sebenarnya merupakan manifestasi dari konsep hubungan relasional habl min Allâh wa habl min al-nâs.
 Islam adalah agama yang mengandung sistem pergerakan yang dinamis, meskipun ayat dan sunnah sangat terbatas, akan tetapi ayat-ayat dan sunnah itu mengacu pada terlaksananya Maqasid al-Syari’ah, yang belum tentu tergambar dalam teks secara eksplisit. Untuk menjembatani antara teks yang terbatas yang di dalamnya terkandung nilai-nilai yang tersembunyi dan yang akan dipakai untuk menjawab problematika kemanusiaan yang akan muncul, maka dipakailah sarana ijtihad sebagai prinsip gerakan dalam struktur ajaran Islam.[6]
            Manusia, sebagai makhluk yang mengandung unsur material, tentunya dituntut untuk memenuhi kebutuhan materialnya yang secara hirarkis terumuskan dalam tiga tingkatan.Pertama kebutuhan dlaruri atau elementer, yaitu suatu kebutuhan yang jika tidak terpenuhi, dapat mengakibatkan kebinasaan eksistensi manusia yang bersangkutan secara mental maupun fisik. Kedua, kebutuhan haji, komplementer, yaitu suatu kebutuhan yang jika tidak terpenuhi tidak sampai mengancam eksistensi akan tetapi dapat mendatangkan kesulitan dalam perkembangannya. Ketiga, kebutuhan takmili, suplementer, yaitu, kebutuhan yang jika tidak terpenuhi tidak mendapatkan kesulitan, apalagi kebinasaan, akan tetapi  kurang memberikan  kemudahan dan kelengkapan.[7]           
            Berdasarkan pokok pikiran yang tersebut dalam latar belakang masalah di atas, maka pokok persoalan dalam tesis ini terumuskan dalam:  Mengapa mereka mengemis, Mengapa mereka menjadikan meminta-minta di lingkungan makam Sunan Ampel sebagai pilihan mata pencaharian, Bagaimana strategi Ekonomi Islam untuk menanggulangi Fenomena mengemis? 

Teori Penunjang Tentang Pengemis
            Review atas hasil penelitian pendahulu, menunjukkan bahwa perhatian dari para ahli kemasyarakatan terhadap fenomena masalah pengemis lebih terkait dengan masalah patologi sosial. Para ahli patologi sosial melihat masalah pengemis sebagai tingkah laku yang berbeda dan menyimpang dari kebiasaan serta norma umum pada suatu tempat dan waktu tertentu, sekalipun tingkah laku tersebut di tempat dan waktu lain di terima oleh masyarakat lainnya.[8]
Hasil Penelitian Terdahulu
            Sejauh pengamatan penulis, karya ilmiah berupa buku atau laporan-laporan hasil penelitian yang membahas secara khusus tentang pengemis dalam perspektif ekonomi Islam dan relevansinya dengan pemberdayaan ekonomi umat belum ditemukan. Namun, beberapa tulisan yang dimuat dalam majalah, atau tulisan singkat yang menjadi salah satu topik dalam sebuah buku, yang tertuang dalam salah satu bab atau sub bab dari sebuah buku sudah ditemukan,  di antaranya:
1. Mushkilat al-Faqr wa Kaifa ‘Alajaha al-Islâm
            Dalam karya ini, Yûsuf Qardâwî menyebutkan bahwa Islam tidak akan bersikap dingin dan membiarkan nasib fakir miskin yang terlantar. Dalam konteks ini, sesungguhnya Allah SWT.telah menetapkan bagi mereka suatu hak tertentu yang berada dalam harta orang-orang kaya, dan suatu bagian yang tetap dan pasti, yaitu zakat.
2. Al-Nuzûm al-Mâliyyah fî al-Islâm
            Kitab yang ditulis oleh Qutb Ibrahim Muhammad ini memaparkan pembahasan infaq pada bab tiga, yaitu tentang al-infâq al-‘âm. Salah satu pembahasannya adalah bahwa infaq  harus disalurkan untuk kebutuhan yang tepat dan bermanfaat bagi kepentingan umum, dan bukan untuk kemanfaatan individual.[9]Kemudian, yang menarik dari pembahasan tersebut adalah bahwa infaq itu dapat memberikan pengaruh besar terhadap daur kehidupan masyarakat.[10]
3. Al-Qur’an; Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan
Dalam buku ini, Ziauddin Ahmad memaparkan tentang solusi-solusi yang ditawarkan oleh al-Qur’an dalam memberantas kemiskinan dan pencapaian pemerataan pendapatan agar seseorang tidak menjadi peminta-minta, namun menjadi seorang yang mampu berdiri sendiri.
4. Kemiskinan dalam Perspektif al-Qur’ân
            Karya ini merupakan karya disertasi M. Saad IH, salah seorang doktor tafsir dari IAIN Syarif Hidayatullah.Walaupun karya ini mengungkap secara hermeunitik kemiskinan dalam al-Qur’ân, namun dalam karya ini tidak ditemukan secara konkret tentang upaya pemberdayaan umat yang, secara sosial-ekonomi, tak berdaya.
            Bertitik tolak pada uraian singkat ini, dan karena masih sedikitnya buku-buku atau karya ilmiah lain yang membahas secara khusus tentang pengemis dalam perspektif ekonomi Islam, maka penelitian tentang topik ini dipandang urgen untuk dilaksanakan
5. Pengemis dalam Tinjauan  Filsafat Hukum Islam
Karya ini merupakan karya tesis Muhaimin. Dalam karyanya ini ia hanya melihat fenomena mengemis dari aspek filsafat hukum Islam dengan mengemukakan berbagai macam tipologi-tipologi dari pengemis itu sendiri, sehingga perlu juga rasanya untuk meneliti fenomena mengemis dalam  aspek ekonomi Islam.
            Dari  review itu nampak tidak ada studi kajian yang mengarahkan kajian mereka kepada eksploitasi tradisi ziarah  yang diharapkan dapat dijadikan salah satu instrumen untuk ikut menanggulangi permasalahan tersebut dengan seobyektif mungkin.
C. Pengemis dalam prespektif ekonomi Islam
Dalam perspektif Islam, kerja dipandang bernilai sejauh dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia dan menciptakan keseimbangan dalam kehidupan individu dan sosial. Tetapi kewajiban atas kerja ini, dan perjuangan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan seseorang dan keluarganya selalu dijaga dan dijauhkan dari akibat menjadi berlebih-lebihan dengan penegasan al-Qur’an atas kesementaraan hidup, bahayanya kelobaan atau kerakusan dan iri hati, serta pentingnya manusia untuk menjauhkan diri dari akumulasi kekayaan secara berlebihan.[11]
Islam juga mengajarkan bahwa tidak semua cara mencari penghidupan boleh ditempuh, sebab banyak jalan yang tidak dibenarkan. Secara sangat eksplisit Islam melarang orang memakan harta yang didapatkan secara tidak benar, kecuali dengan jalan perdagangan yang dilakukan atas suka sama suka dan saling merelakan. Di sini terlihat betapa ajaran Islam menempatkan usaha perdagangan sebagai salah satu bidang penghidupan yang sangat dianjurkan oleh agama, dan harus menggunakan cara-cara  yang halal, dan bahwa Islam juga menempatkan prinsip kebebasan pada tempat yang begitu sentralnya guna mengejar tujuan keduniawian, namun serta merta dengan hal itu sekaligus juga mengharuskan umat Islam bekerja secara etik menurut norma yang secara garis besar  telah disuratkan dan disiratkan dalam al-Qur’an dan hadith. Dengan ungkapan lain, bahwa nilai-nilai dan teknik kegiatan keduniawian  yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an dan Hadith  sepenuhnya merupakan legitimasi untuk dipraktekkan oleh umat Islam. Beberapa dari norma tersebut di atas merupakan bagian dari rangkaian sistem nilai yang mewajibkan  manusia untuk bekerja keras.[12]
Akan tetapi pada realitas kehidupan, kita terpaksa melihat sebuah kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi idealisasi dari nilai-nilai keislaman tersebut. Hal itu terbukti dengan semakin seringnya kita menyaksikan semakin dalamnya jurang pemisah antara si miskin dan si kaya, di mana kondisi miskin seringkali  menimbulkan imbas negatif dan destruktif. Karena kemiskinan, seseorang secara psikologis mudah dihinggapi rasa rendah diri dan mudah 'diremehkan' (inferioris) oleh orang-orang dari kalangan elit (upper class) yang kebanyakan memiliki sifat sombong, kikir dan arogan .
            Dalam sistem sosial-ekonomi, Islam mengakui hak milik individu dan hak milik komunal.Kedua-duanya diperhatikan tanpa ada yang diabaikan.Demikian halnya dengan kemerdekaan individu, diakui sepanjang tidak mengganggu kemerdekaan individu lainnya dan tidak mengacaukan keseimbangan masyarakat.[13] Kemerdekaan individu, sebagai salah satu ciri ekonomi Islam, tidak mutlak dan tanpa batas, melainkan dibatasi oleh dua hal; pertama, individu bebas bergerak di bidang ekonomi selama tidak melanggar dan memperkosa hak-hak individu lainnya atau membahayakan kepentingan umum, dan kedua, ia harus mengambil cara yang halal dan tidak menggunakan cara-cara yang haram.[14]
            Kepentingan individu adalah fitrah, demikian halnya dengan kepentingan masyarakat. Karenanya,  di antara kedua kepentingan tersebut terdapat suatu ikatan yang erat.[15]Dalam kesejahteraan individu terdapat kesejahteraan masyarakat, begitu juga sebaliknya. Kesejahteraan individu dan sosial bersama-sama menghendaki agar antara nafsu egoisme dan nafsu altruisme terdapat keselarasan yang sehat, sehingga tercapai apa yang disebut ekonomi kesejahteraan.[16]
            Menjamin hak individu berarti menjamin hak tiap-tiap individu dalam keseluruhan masyarakat, dan menjamin hak masyarakat berarti menjamin hak keseluruhan anggota masyarakat yang terdiri atas individu-individu.Untuk merealisasikan hal tersebut, diperlukan adanya keseimbangan dan keadilan dalam mendistribusikan hak-hak tadi.[17]
            Dengan demikian, al-Qur’ân--walaupun menganjurkan sumbangan sukarela dan menekankan keinsafan pribadi--lebih menekankan kepada pelaksanaan hak dan kewajiban.Hak dan kewajiban mempunyai porsi tersendiri, karena keduanya dapat melahirkan paksaan bagi yang berkewajiban untuk melaksanakannya. Kelebihan harta mereka wajib diberikan kepada orang yang membutuhkan yang,  secara sosial-ekonomi, tidak berdaya.
Keberadaan kelompok orang yang tidak berdaya, seperti orang fakir[18], orang miskin[19], atau anak yatim[20], merupakan fenomena yang lazim ditemukan dalam struktur masyarakat manapun.Masalah ketidakberdayaan bisa timbul dari berbagai aspek, baik aspek internal maupun aspek eksternal. Berbagai penyebab itu sangat berpengaruh, secara langsung atau tidak langsung, pada proses menjamurnya kemiskinan di tengah masyarakat.[21]Salah satu faktor yang menyebabkan kemiskinan adalah problem sosial. Problem ini terkait dengan perilaku sosial dan kolektif, artinya, kemiskinan tidak murni lahir dari dalam diri individu manusia, akan tetapi, perilaku yang tidak mendorong pada kemajuan ekonomi itu lebih disebabkan oleh kultur sosial masyarakat. Ini dibenarkan kaum liberalis yang menyebutkan bahwa pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang baik, hanya saja ia sangat rentan terhadap pengaruh lingkungannya, sehingga menurut mereka, budaya kemiskinan hanyalah semacam realistic and situational adaptation pada lingkungan yang penuh diskriminasi dan peluang yang sempit.[22] Selain karena kultur sosial, kesenjangan sosial pun menjadi pemicu munculnya kemiskinan.[23]
Mengapa ada sejumlah warga masyarakat yang menderita kemiskinan merupakan pertanyaan yang sudah seringkali dikedepankan untuk dipikirkan dan sekaligus dicarikan solusi atas penyakit sosial ini.[24]Yang lebih tragis adalah kondisi tersebut diperparah dengan kebiasaan-kebiasaan yang 'kurang terpuji', yaitu sebuah kebiasaan mengemis yang hampir-hampir menjadi sebuah profesi yang terabsahkan. Padahal prinsip yang selalu ditekankan dalam Islam adalah tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, sebagaimana disabdakan oleh Rasul:

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهم عَنْهم قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ مَا تَرَكَ غِنًى وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ تَقُولُ الْمَرْأَةُ إِمَّا أَنْ تُطْعِمَنِي وَإِمَّا أَنْ تُطَلِّقَنِي وَيَقُولُ الْعَبْدُ أَطْعِمْنِي وَاسْتَعْمِلْنِي وَيَقُولُ الِابْنُ أَطْعِمْنِي إِلَى مَنْ تَدَعُنِي فَقَالُوا يَا أَبَا هُرَيْرَةَ سَمِعْتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا هَذَا مِنْ كِيسِ أَبِي هُرَيْرَةَ
Islam sangat peduli bahwa kaum miskin harus ditolong dengan cara yang tidak merendahkan martabatnya. Cara terbaik untuk menolong orang miskin adalah dengan dorongan dan bimbingan agar mampu berdiri sendiri.[25]Al-Qur’an memerintahkan orang untuk pergi dan mencari orang –orang tertentu yang membutuhkan tetapi tidak membiarkan mereka mengulurkan tangan untuk meminta.Al-Qur’an juga memberi peringatan bahwa derma menjadi kurang bernilai di hadapan Tuhan apabila derma tersebut diikuti dengan suatu tindakan yang melukai perasaan si penerima.[26]
Terkait dengan tradisi mengemis yang tumbuh dan berkembang di lingkungan makam para wali songo, khususnya dimakam Sunan Ampel,[27]  sudah menjadi kebiasaan dan cara hidup (way of life) yang telah melembaga lama sekali, hal ini jelas-jelas merupakan tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma etika yang berlaku secara umum.
Penyimpangan tingkah laku mengemis dapat berkembang secara sistematik menjadi satu subkultur, yaitu satu sistem tingkah laku yang menghasilkan organisasi sosial, nilai-nilai, rasa kebanggaan, norma dan moral tertentu yang semuanya berbeda dengan situasi umum. Semua tingkah laku yang menyimpang dari norma umum itu kemudian di rasionalisasi atau dibenarkan oleh semua anggota kelompok dengan pola menyimpang yang sistematik. Pada umumnya kelompok-kelompok masyarakat semacam ini mempunyai peraturan-peraturan yang sangat berat yang diperlukan untuk bisa menegakkan konformitas dan kepatuhan anggota-anggotanya. Dalam situasi dan kondisi semacam ini pertumbuhan sosio-psikologis dari pribadi dan kelompok cenderung menjadi abnormal atau menyimpang
Sedang tinjauan dari sudut budaya menunjukkan bahwa tradisi mengemis telah berakar sejak masa lampau, para ahli menyatakan bahwa mempersoalkan hal semacam ini dianggap melanggar hal yang keramat.Kelompok pengemis termasuk kelompok Laggard yang pada umumnya banyak mengalami kendala dalam menerima gagasan baru.Kendala itu dapat dikelompokkan atas kendala eksternal dan internal. Kendala internal antara lain yang terkait dengan karakteristik individu.
Masalah mengemis yang terjadi ditengah-tengah masyarakat ini menunjukkan betapa rendahnya kualitas sumber daya manusia. Tradisi masyarakat ini menunjukkan kondisi permasalahan yang dihadapi masyarakat lapisan bawah yang bersifat multi dimensional, dan multi directional, seperti rendahnya taraf hidup, rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya tingkat kemampuan adopsi inovasi, rendahnya kesadaran kehidupan beragama, dan lain-lain.
Dan tradisi itu hampir-hampir tidak ada penyelesaian, termasuk dari perspektif ekonomi Islam, sehingga 'kondisi yang menggantung' ini termanfaatkan oleh fihak-fihak yang berkepentingan untuk memanfaatkannya.

BIBLIOGRAPHY

Abd al-Wâhid, Mustafâ,  al-Mujtama’ al-Islâm : Ahdâfuh wa Da’âimuh, Awdâuh wa Khasâisuh Mesir: Dâr al-Ta’lîf, 1969
Abû Zahrah, Muhammad, Usûl al-Fiqh, Mesir: Dâr al-Fikr al-’Arabî, t.t.
Al-Mawdûdî, Abû A’lâ,  Usus al-Iqtisâd Bayna al-Islâm wa al-Nuzûm al-Mu’âsirah,  Beirut: Dâr al-Fikr, 1980
Al-Qattân, Mannâ’, Mabâhith fî ‘Ulûm al-Qur’ân,  t.t. Mansurat al-‘Asr al Hadith, 1973
Antonio, Muhammad Syafi’i,  Bank Syari’ah : dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Arikunto, Suharsimi,  Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek,  Jakarta: Rineka Cipta, 1993
Baswir, Revrison,  Agenda Ekonomi Kerakyatan,  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Blij H. J. De.Human Geography: Culture, Society and Space, New York: John Willeyand Sons, 1999
Bogdan, Robert, dan Steven J. Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods : a Phenomenological Approach to the Social Sciences,  New York: A Wiley-Interscience Publication, 1975
Griffin, Keith,  Alternative Strategies For Economic Development, London: Macmillan, 1989
Grutchy, Allan G,  Comparative Economic System, Houghton: Miffin Company, 1977
Hadi, Sutrisno,  Metodologi Riset,  Yogyakarta: FE UI, 1993
Kartono, Kartin,  Patologi Sosial, Jakarta: Rajawali, 1988
Kerlinger, Fred N.,  Foundation of Behavioral Research,  New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1973
Khan, Akram, Muhammad, “Faqr”, dalam Glossary of Islamic Economics,  London: Mansell Ltd., 1990
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat,  Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990
Mas’udi, Masdar F., "Zakat; Konsep Harta Yang Bersih” dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam sejarah, Jakarta; Paramadina,1994
Matthew B. Miles, A. Michael Huberman, Qualitative Data Analysis,  London: Sage Publications, 1984
Moleong, Lexy J.,  Metodologi Penelitian Kualitatif,  Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993
Muhadjir, Noeng,  Metodologi Penelitian Kualitatif,  Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996
Muhaimin, Yahya, Etos Kerja dan Moral Pembangunan,Dalam; Sekitar Kemiskinan dan Keadilan, Jakarta;UI Press,1987
Muhammad al-’Assal, Ahmad dan Fathi Ahmad Abd al-Karîm, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, terj. Imam Saefuddin, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Muhammad, Ibrâhîm, Qutb, Al-Nuzûm al-Mâliyyah fî al-Islâm,  t.t.: t.p., t.t.
Nasution, S. ,Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif,  Bandung: Transito, 1997
Qutb, Muhammad,  al-Insân Bayna al-Mâdiyyah wa al-Islâm t.t.: t.p., 1968.
Rahman, Afzalur,  Economic Doctrines of Islam, vol. 1, Lahore: Islamic Publication Ltd., 1990
Rahmat, Jalaluddin,  “Sufisme dan Kemiskinan”, dalam Sekilas Kemiskinan dan Keadilan, ed. Sri Edi Swasono, Jakarta: UI Press, 1987
Shaih, Aziz, Abdool, “Concept of Zakah : a Survey of Quranic Text and Their Explanation in Sharîah and Contemporary Economics”, dalam Reading in Islamic Fiscal Policy, ed. Sayed Afzal Peerzade New Delhi: Adam Publisher and Distribution, 1996
Shaltût, Mahmûd,  al-Islâm : ‘Aqîdah wa Sharî’ah, cet. 5,  t.t.: Dâr al-Shurûq, t.t.
Shihab, M. Quraish,  Membumikan al-Qur’ân,  Bandung: Mizan, 1999
Suprayogo, Imam,  Metodologi Penelitian Sosial-Agama,  Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001
Surahmad, Winarno,  Metodologi Penelitian,  Jakarta: Balai Pustaka, 1975
Vredenbergh, J. ,Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat,  Jakarta: Gramedia, 1978
Vredenbreght, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1978
Wahid,  Abd., Islam di Tengah Pergulatan Sosial, Yogyakarta;Tiara Wacana,1993
Wajdi, Farid, M.,  Dâirah Ma’ârif al-Qarn al-’Ishrîn, jil. 9,  Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
Zousky A.J., Romis,  The Selection and Use of Instrtuctional Media, London: Kogan Paga, 1988





















[1] Yahya Muhaimin, Etos Kerja dan Moral Pembangunan, Dalam; Sekitar Kemiskinan dan Keadilan,(Jakarta;UI Press,1987),47
[2] Muhammad Abû Zahrah, Usûl al-Fiqh (Mesir: Dâr al-Fikr al-’Arabî, t.t.), 95 ; Mahmûd Shaltût, al-Islâm : ‘Aqîdah wa Sharî’ah, cet. 5 (t.t.: Dâr al-Shurûq, t.t.), 89.
[3]al-Mâ’ûn, 107:1-3.
[4] Mannâ’ al-Qattân, Mabâhith fî ‘Ulûm al-Qur’ân (t.t.: Mansûrât al-’Asr al-Hadîth, 1973), 63. Ayat-ayat al-Qur’ân yang memuat prinsip persamaan pada umumnya mengemukakan kritik sosial terhadap praktek-praktek eksploitasi manusia atas manusia yang lain, baik dalam bentuk perbudakan, perdagangan yang curang maupun pengabaian dan pencaplokan harta anak-anak yatim.
[5] Misalnya dalam surat al-Baqarah, 2:25, 2:82, 2:277 ; Ali ‘Imrân, 3:57 ; al-Nisâ’, 4:57, 4:122, 4:173 ; al-Mâidah, 5:9 ; al-Inshiq­q, 8 4:25 ;  al-T în,  95:6 ; al-’Asr, 103:3.
[6] Salah seorang yang bersungguh-sungguh membantu ijtihad dengan memakai Maqasid al-Shari’ah ini adalah Abu Ishaq al-Shatibi dengan membangun pemikiran antara lain melalui praktek para sahabat Nabi
[7]Masdar F.Mas’udi, "Zakat; Konsep Harta Yang Bersih” dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam sejarah,(Jakarta;Paramadina,1994), 652
[8] Kartini-Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1988), 9
[9] Qutb Ibrâhîm Muhammad, Al-Nuzûm al-Mâliyyah fî al-Islâm (t.t.: t.p., t.t.), 125.
[10]Ibid., 132.
[11] Misalnya dalam QS.:4:32
[12] Sayyid Hussen Nasr, Pandangan Islam………6
[13]Ahmad Muhammad al-’Assal dan Fathi Ahmad Abd al-Karîm, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, terj. Imam Saefuddin (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 74 ; Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, vol. 1 (Lahore: Islamic Publication Ltd., 1990), 74.
[14] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 17.
[15] Muhammad Qutb, al-Insân Bayna al-Mâdiyyah wa al-Islâm (t.t.: t.p., 1968), 138. ; Lihat juga M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ân (Bandung: Mizan, 1999), 324-325.
[16]Abû A’lâ al-Mawdûdî, Usus al-Iqtisâd Bayna al-Islâm wa al-Nuzûm al-Mu’âsirah (Beirut: Dâr al-Fikr, 1980), 14.
[17] Mustafâ ‘Abd al-Wâhid, al-Mujtama’ al-Islâm : Ahdâfuh wa Da’âimuh, Awdâuh wa Khasâisuh (Mesir: Dâr al-Ta’lîf, 1969), 217.
[18] Fakir berasal dari kata Arab al-faqr.Faqr adalah suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan pokok atau suatu kondisi kekurangpuasan terhadap kehidupan.Bahkan, istilah ini memiliki konotasi sebagai suatu bentuk kelalaian dalam pemenuhan kebutuhan material, meskipun ada kemampuan untuk memiliki atau memenuhinya.Kata fakir, dalam konteks ini, berarti orang melarat yang tidak memiliki sesuatu pun dalam hidupnya, bahkan tidak memiliki pekerjaan yang dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan. Kata fakir sudah digunakan sejak zaman nabi Mûsâ sebagaimana dalam al-Qur’ân (28 : 24). Di sini kata fakir digunakan untuk menyebut seseorang yang menganggur yang meninggalkan negaranya sebab takut kalau tertindas, untuk mencari sumber kehidupan di negara lain. Karenanya, setiap imigran yang meninggalkan negaranya sebab adanya pergantian politik seperti yang terjadi di Palestina dan India setelah Perang Dunia II juga disebut fakir. Fakir juga digunakan dalam al-Qur’ân sebagai sebutan terhadap penduduk Makkah yang hijrah ke Madinah untuk mencari perlindungan dari ketertindasan orang Quraish. Penjelasan selengkapnya lihat Muhammad Akram Khan, “Faqr”, dalam Glossary of Islamic Economics (London: Mansell Ltd., 1990), 44 ; Abdool Aziz Shaih, “Concept of Zakah : a Survey of Quranic Text and Their Explanation in Sharîah and Contemporary Economics”, dalam Reading in Islamic Fiscal Policy, ed. Sayed Afzal Peerzade (New Delhi: Adam Publisher and Distribution, 1996), 5-6.
[19] Miskin adalah orang yang kebutuhannya masih tergantung kepada orang lain. Yang juga tergolong dalam kategori ini adalah orang yang tidak dapat bekerja atau dapat bekerja tetapi hasilnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan keluarganya.Perbedaan antara fakir dan miskin menurut definisi di atas terletak pada masih ada atau tidaknya sumber kehidupan.Dalam fakir, tidak ada lagi sumber penghidupan, sedangkan dalam miskin masih terdapat sumber pendapatan tetapi tidak mencukupi jika dipergunakan. Karenanya, keberadaan orang fakir lebih parah dari pada orang miskin, walaupun keduanya sama-sama masih membutuhkan bantuan orang lain. Dengan demikian, orang fakir dan miskin mendapat porsi perhatian cukup banyak dalam al-Qur’ân, antara lain sebagai penerima bagian fidyah (2:184), penerima bagian zakat (9:60 ; 30:38), penerima bagian harta ghanîmah (8:4), penerima bagian kafarat sumpah (5:89), dan penerima bagian kafarat zihâr (58:4), serta dalam konteks yang lebih umum (69:34 ; 89:18, dan lain-lain).
[20]M. Farid Wajdi, Dâirah Ma’ârif al-Qarn al-’Ishrîn, jil. 9 (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), 913.
[21] Jalaluddin Rahmat, “Sufisme dan Kemiskinan”, dalam Sekilas Kemiskinan dan Keadilan, ed. Sri Edi Swasono (Jakarta: UI Press, 1987), 24.
[22]Ibid.,25.
[23]Berbagai peliknya problem kemiskinan diperkuat dengan adanya pembagian kemiskinan ke dalam tiga kelompok, yaitu; kemiskinan natural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural. Kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah, seperti karena sakit, lanjut usia, atau karena bencana alam. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh faktor-faktor budaya, seperti malas, tidak disiplin, boros, dan lain sebagainya.Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia, seperti distribusi aset produktif yang tidak merata, kebijakan ekonomi yang tidak adil, korupsi dan kolusi, serta tatanan perekonomian dunia yang cenderung menguntungkan masyarakat tertentu (kaum pemilik modal). Lihat Revrison Baswir, Agenda Ekonomi Kerakyatan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 21.
[24] Abd.Wahid, Islam di Tengah Pergulatan Sosial,(Yogyakarta;Tiara Wacana,1993)16-17
[25] Keith Griffin, Alternative Strategies For Economic Development, (London: Macmillan, 1989), 218-219
[26] Allan G. Grutchy, Comparative Economic System, (Houghton: Miffin Company, 1977), 627
[27]Letak makam Sunan Ampel in bisa dikatakan cukup strategis. Jumlah pintu gapura yang langsung  menuju ke makam ada tiga pintu dan penulis melakukan interview dengan para informan  mulai dari pintu masuk sampai di depan halaman masjid Sunan Ampel.

Related

Semua 1045492064629842363

Follow Us

Profile

About Me
Dr. Abdurrohman S.Ag. M.EI
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura. . Selengkapnya

Total Pageviews

Recent Posts

Random

Comments

Contact Us

Name

Email *

Message *

Populer

item