PENGEMIS DALAM EKONOMI ISLAM
( Makalah ini telah diterbitkan di jurnal "DINAR" Prodi Ekonomi Syariah ) A. Latar Belakang Masalah Secara ekspli...

https://rohman-utm.blogspot.com/2017/01/pengemis-dalam-ekonomi-islam.html
( Makalah ini telah diterbitkan di jurnal "DINAR" Prodi Ekonomi Syariah)
A. Latar Belakang Masalah
Secara eksplisit al-Qur’an
memerintahkan umat manusia untuk memegang nilai-nilai ajaran Islam secara
total, menyeluruh, utuh, dan kaffah.Umat Islam diperintahkan melaksanakan
ajaran yang berkaitan dengan kewajiban individu kepada Allah, kewajiban
individu kepada lingkungan, dan kewajiban individu kepada sesama anggota
masyarakat lainnya. Pemihakan dan pengabdian terhadap salah satu saja dari tiga
bidang kewajiban agama oleh pemeluk Islam akan merusak keselarasan, keserasian,
dan keseimbangan dalam Islam.[1]
Namun
dalam realitanya, peradaban Islam lebih
didominasi oleh peradaban teks yang tidak bersentuhan langsung dengan tiga
bidang di atas. Konstruksi makna
yang berkembang selama ini hanya
mengedepankan dan mengunggulkan aspek transendensi dan sakralitas, tapi
mengesampingkan aspek sosiologis yang menyapa realitas kemanusiaan dengan
santun dan elegan. Yang perlu dilakukan sekarang adalah penafsiran ulang
terhadap teks-teks keagamaan untuk menyemangati nilai-nilai kemanusiaan.
Sebagai
sebuah sistem ajaran yang komprehensif, Islam tidak hanya mengandung sistem
ritual semata, melainkan juga mencakup
sistem sosial-kemasyarakatan[2]. Surat al-Mâ’ûn,[3] misalnya, menggambarkan tema
ketuhanan dan kepedulian sosial.[4] Ayat ini dipahami
bahwa keberagamaan seseorang berkaitan secara sangat signifikan
dengan perilaku sosial, kesalehan ritual bukan saja menjadi
tidak sempurna, akan tetapi justru sangat absurd jika tanpa dibarengi dengan kesalehan sosial. Kaitan kedua
aspek tersebut semakin jelas apabila
mengamati begitu banyaknya ayat-ayat al-Qur’ân yang menerangkan keimanan dan
perbuatan baik.[5] Kedua aspek
tersebut sebenarnya merupakan manifestasi dari konsep hubungan relasional habl min Allâh wa habl min al-nâs.
Islam
adalah agama yang mengandung sistem pergerakan yang dinamis, meskipun ayat dan
sunnah sangat terbatas, akan tetapi ayat-ayat dan sunnah itu mengacu pada
terlaksananya Maqasid
al-Syari’ah,
yang belum tentu tergambar dalam teks secara eksplisit. Untuk menjembatani
antara teks yang terbatas yang di dalamnya terkandung nilai-nilai yang
tersembunyi dan yang akan dipakai untuk menjawab problematika kemanusiaan yang
akan muncul, maka dipakailah sarana ijtihad sebagai prinsip gerakan dalam
struktur ajaran Islam.[6]
Manusia, sebagai makhluk yang
mengandung unsur material, tentunya dituntut untuk memenuhi kebutuhan
materialnya yang secara hirarkis terumuskan dalam tiga tingkatan.Pertama
kebutuhan dlaruri atau elementer,
yaitu suatu kebutuhan yang jika tidak terpenuhi, dapat mengakibatkan kebinasaan
eksistensi manusia yang bersangkutan secara mental maupun fisik. Kedua,
kebutuhan haji, komplementer,
yaitu suatu kebutuhan yang jika tidak terpenuhi tidak sampai mengancam
eksistensi akan tetapi dapat mendatangkan kesulitan dalam perkembangannya.
Ketiga, kebutuhan takmili, suplementer,
yaitu, kebutuhan yang jika tidak terpenuhi tidak mendapatkan kesulitan, apalagi
kebinasaan, akan tetapi kurang
memberikan kemudahan dan kelengkapan.[7]
Berdasarkan pokok pikiran yang
tersebut dalam latar belakang masalah di atas, maka pokok persoalan dalam tesis
ini terumuskan dalam: Mengapa mereka
mengemis, Mengapa mereka menjadikan meminta-minta di lingkungan makam Sunan
Ampel sebagai pilihan mata pencaharian, Bagaimana strategi Ekonomi Islam untuk
menanggulangi Fenomena mengemis?
Teori
Penunjang Tentang Pengemis
Review atas hasil penelitian pendahulu, menunjukkan bahwa
perhatian dari para ahli kemasyarakatan terhadap fenomena masalah pengemis
lebih terkait dengan masalah patologi sosial. Para ahli patologi sosial melihat
masalah pengemis sebagai tingkah laku yang berbeda dan menyimpang dari
kebiasaan serta norma umum pada suatu tempat dan waktu tertentu, sekalipun
tingkah laku tersebut di tempat dan waktu lain di terima oleh masyarakat
lainnya.[8]
Hasil Penelitian
Terdahulu
Sejauh pengamatan penulis, karya ilmiah berupa buku atau
laporan-laporan hasil penelitian yang membahas secara khusus tentang pengemis
dalam perspektif ekonomi Islam dan relevansinya dengan pemberdayaan ekonomi
umat belum ditemukan. Namun, beberapa tulisan yang dimuat dalam majalah, atau
tulisan singkat yang menjadi salah satu topik dalam sebuah buku, yang tertuang
dalam salah satu bab atau sub bab dari sebuah buku sudah ditemukan, di antaranya:
1. Mushkilat
al-Faqr wa Kaifa ‘Alajaha al-Islâm
Dalam karya ini, Yûsuf Qardâwî menyebutkan bahwa Islam
tidak akan bersikap dingin dan membiarkan nasib fakir miskin yang terlantar.
Dalam konteks ini, sesungguhnya Allah SWT.telah menetapkan bagi mereka suatu
hak tertentu yang berada dalam harta orang-orang kaya, dan suatu bagian yang
tetap dan pasti, yaitu zakat.
2. Al-Nuzûm al-Mâliyyah fî al-Islâm
Kitab yang ditulis oleh Qutb Ibrahim
Muhammad ini memaparkan pembahasan infaq pada bab tiga, yaitu tentang al-infâq al-‘âm. Salah satu
pembahasannya adalah bahwa infaq harus
disalurkan untuk kebutuhan yang tepat dan bermanfaat bagi kepentingan umum, dan
bukan untuk kemanfaatan individual.[9]Kemudian, yang
menarik dari pembahasan tersebut adalah bahwa infaq itu dapat memberikan
pengaruh besar terhadap daur kehidupan masyarakat.[10]
3. Al-Qur’an; Kemiskinan dan Pemerataan
Pendapatan
Dalam
buku ini, Ziauddin Ahmad memaparkan tentang solusi-solusi yang ditawarkan oleh
al-Qur’an dalam memberantas kemiskinan dan pencapaian pemerataan pendapatan
agar seseorang tidak menjadi peminta-minta, namun menjadi seorang yang mampu
berdiri sendiri.
4. Kemiskinan dalam Perspektif
al-Qur’ân
Karya ini merupakan
karya disertasi M. Saad IH, salah seorang doktor tafsir dari IAIN Syarif
Hidayatullah.Walaupun karya ini mengungkap secara hermeunitik kemiskinan dalam
al-Qur’ân, namun dalam karya ini tidak ditemukan secara konkret tentang upaya
pemberdayaan umat yang, secara sosial-ekonomi, tak berdaya.
Bertitik tolak pada uraian singkat
ini, dan karena masih sedikitnya buku-buku atau karya ilmiah lain yang membahas
secara khusus tentang pengemis dalam perspektif ekonomi Islam, maka penelitian
tentang topik ini dipandang urgen untuk dilaksanakan
5. Pengemis dalam Tinjauan Filsafat Hukum Islam
Karya
ini merupakan karya tesis Muhaimin. Dalam karyanya ini ia hanya melihat
fenomena mengemis dari aspek filsafat hukum Islam dengan mengemukakan berbagai
macam tipologi-tipologi dari pengemis itu sendiri, sehingga perlu juga rasanya
untuk meneliti fenomena mengemis dalam
aspek ekonomi Islam.
Dari
review itu nampak tidak
ada studi kajian yang mengarahkan kajian mereka kepada eksploitasi tradisi
ziarah yang diharapkan dapat dijadikan
salah satu instrumen untuk ikut menanggulangi permasalahan tersebut dengan
seobyektif mungkin.
C. Pengemis dalam
prespektif ekonomi Islam
Dalam
perspektif Islam, kerja dipandang bernilai sejauh dilaksanakan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan manusia dan menciptakan keseimbangan dalam kehidupan
individu dan sosial. Tetapi kewajiban atas kerja ini, dan perjuangan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan seseorang dan keluarganya selalu dijaga dan
dijauhkan dari akibat menjadi berlebih-lebihan dengan penegasan al-Qur’an atas
kesementaraan hidup, bahayanya kelobaan atau kerakusan dan iri hati, serta
pentingnya manusia untuk menjauhkan diri dari akumulasi kekayaan secara
berlebihan.[11]
Islam juga
mengajarkan bahwa tidak semua cara mencari penghidupan boleh ditempuh, sebab
banyak jalan yang tidak dibenarkan. Secara sangat eksplisit Islam melarang
orang memakan harta yang didapatkan secara tidak benar, kecuali dengan jalan
perdagangan yang dilakukan atas suka sama suka dan saling merelakan. Di sini
terlihat betapa ajaran Islam menempatkan usaha perdagangan sebagai salah satu
bidang penghidupan yang sangat dianjurkan oleh agama, dan harus menggunakan
cara-cara yang halal, dan bahwa Islam
juga menempatkan prinsip kebebasan pada tempat yang begitu sentralnya guna
mengejar tujuan keduniawian, namun serta merta dengan hal itu sekaligus juga
mengharuskan umat Islam bekerja secara etik menurut norma yang secara garis
besar telah disuratkan dan disiratkan
dalam al-Qur’an dan hadith. Dengan ungkapan lain, bahwa nilai-nilai dan teknik
kegiatan keduniawian yang tidak
disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an dan Hadith sepenuhnya merupakan legitimasi untuk
dipraktekkan oleh umat Islam. Beberapa dari norma tersebut di atas merupakan
bagian dari rangkaian sistem nilai yang mewajibkan manusia untuk bekerja keras.[12]
Akan tetapi
pada realitas kehidupan, kita terpaksa melihat sebuah kenyataan yang tidak
sesuai dengan apa yang menjadi idealisasi dari nilai-nilai keislaman tersebut.
Hal itu terbukti dengan semakin seringnya kita menyaksikan semakin dalamnya
jurang pemisah antara si miskin dan si kaya, di mana kondisi miskin
seringkali menimbulkan imbas negatif dan
destruktif. Karena kemiskinan, seseorang secara psikologis mudah dihinggapi
rasa rendah diri dan mudah 'diremehkan' (inferioris) oleh orang-orang dari kalangan elit (upper class) yang kebanyakan memiliki sifat
sombong, kikir dan arogan .
Dalam sistem sosial-ekonomi, Islam mengakui hak milik
individu dan hak milik komunal.Kedua-duanya diperhatikan tanpa ada yang
diabaikan.Demikian halnya dengan kemerdekaan individu, diakui sepanjang tidak
mengganggu kemerdekaan individu lainnya dan tidak mengacaukan keseimbangan
masyarakat.[13] Kemerdekaan
individu, sebagai salah satu ciri ekonomi Islam, tidak mutlak dan tanpa batas,
melainkan dibatasi oleh dua hal; pertama, individu bebas bergerak di bidang
ekonomi selama tidak melanggar dan memperkosa hak-hak individu lainnya atau
membahayakan kepentingan umum, dan kedua, ia harus mengambil cara yang halal
dan tidak menggunakan cara-cara yang haram.[14]
Kepentingan individu adalah fitrah,
demikian halnya dengan kepentingan masyarakat. Karenanya, di antara kedua kepentingan tersebut terdapat
suatu ikatan yang erat.[15]Dalam kesejahteraan
individu terdapat kesejahteraan masyarakat, begitu juga sebaliknya.
Kesejahteraan individu dan sosial bersama-sama menghendaki agar antara nafsu
egoisme dan nafsu altruisme terdapat keselarasan yang sehat, sehingga tercapai
apa yang disebut ekonomi kesejahteraan.[16]
Menjamin hak individu berarti
menjamin hak tiap-tiap individu dalam keseluruhan masyarakat, dan menjamin hak
masyarakat berarti menjamin hak keseluruhan anggota masyarakat yang terdiri
atas individu-individu.Untuk merealisasikan hal tersebut, diperlukan adanya
keseimbangan dan keadilan dalam mendistribusikan hak-hak tadi.[17]
Dengan demikian, al-Qur’ân--walaupun
menganjurkan sumbangan sukarela dan menekankan keinsafan pribadi--lebih
menekankan kepada pelaksanaan hak dan kewajiban.Hak dan kewajiban mempunyai
porsi tersendiri, karena keduanya dapat melahirkan paksaan bagi yang
berkewajiban untuk melaksanakannya. Kelebihan harta mereka wajib diberikan
kepada orang yang membutuhkan yang,
secara sosial-ekonomi, tidak berdaya.
Keberadaan
kelompok orang yang tidak berdaya, seperti orang fakir[18], orang miskin[19], atau anak yatim[20], merupakan
fenomena yang lazim ditemukan dalam struktur masyarakat manapun.Masalah
ketidakberdayaan bisa timbul dari berbagai aspek, baik aspek internal maupun
aspek eksternal. Berbagai penyebab itu sangat berpengaruh, secara langsung atau
tidak langsung, pada proses menjamurnya kemiskinan di tengah masyarakat.[21]Salah satu faktor
yang menyebabkan kemiskinan adalah problem sosial. Problem ini terkait dengan
perilaku sosial dan kolektif, artinya, kemiskinan tidak murni lahir dari dalam
diri individu manusia, akan tetapi, perilaku yang tidak mendorong pada kemajuan
ekonomi itu lebih disebabkan oleh kultur sosial masyarakat. Ini dibenarkan kaum
liberalis yang menyebutkan bahwa pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang
baik, hanya saja ia sangat rentan terhadap pengaruh lingkungannya, sehingga
menurut mereka, budaya kemiskinan hanyalah semacam realistic and situational
adaptation pada lingkungan yang penuh diskriminasi dan peluang yang sempit.[22] Selain karena
kultur sosial, kesenjangan sosial pun menjadi pemicu munculnya kemiskinan.[23]
Mengapa ada
sejumlah warga masyarakat yang menderita kemiskinan merupakan pertanyaan yang
sudah seringkali dikedepankan untuk dipikirkan dan sekaligus dicarikan solusi
atas penyakit sosial ini.[24]Yang lebih tragis
adalah kondisi tersebut diperparah dengan kebiasaan-kebiasaan yang 'kurang
terpuji', yaitu sebuah kebiasaan mengemis yang hampir-hampir menjadi sebuah
profesi yang terabsahkan. Padahal prinsip yang selalu ditekankan dalam Islam
adalah tangan di atas lebih baik daripada
tangan di bawah, sebagaimana disabdakan oleh Rasul:
حَدَّثَنَا عُمَرُ
بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ
قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهم عَنْهم قَالَ قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ مَا تَرَكَ غِنًى
وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ
تَقُولُ الْمَرْأَةُ إِمَّا أَنْ تُطْعِمَنِي وَإِمَّا أَنْ تُطَلِّقَنِي
وَيَقُولُ الْعَبْدُ أَطْعِمْنِي وَاسْتَعْمِلْنِي وَيَقُولُ الِابْنُ أَطْعِمْنِي
إِلَى مَنْ تَدَعُنِي فَقَالُوا يَا أَبَا هُرَيْرَةَ سَمِعْتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا هَذَا مِنْ كِيسِ أَبِي
هُرَيْرَةَ
*
Islam sangat
peduli bahwa kaum miskin harus ditolong dengan cara yang tidak merendahkan
martabatnya. Cara terbaik untuk menolong orang miskin adalah dengan dorongan
dan bimbingan agar mampu berdiri sendiri.[25]Al-Qur’an
memerintahkan orang untuk pergi dan mencari orang –orang tertentu yang
membutuhkan tetapi tidak membiarkan mereka mengulurkan tangan untuk
meminta.Al-Qur’an juga memberi peringatan bahwa derma menjadi kurang bernilai
di hadapan Tuhan apabila derma tersebut diikuti dengan suatu tindakan yang
melukai perasaan si penerima.[26]
Terkait
dengan tradisi mengemis yang tumbuh dan berkembang di lingkungan makam para
wali songo, khususnya dimakam Sunan Ampel,[27] sudah menjadi kebiasaan dan cara hidup (way of life) yang telah melembaga lama sekali,
hal ini jelas-jelas merupakan tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma
etika yang berlaku secara umum.
Penyimpangan
tingkah laku mengemis dapat berkembang secara sistematik menjadi satu
subkultur, yaitu satu sistem tingkah laku yang menghasilkan organisasi sosial,
nilai-nilai, rasa kebanggaan, norma dan moral tertentu yang semuanya berbeda
dengan situasi umum. Semua tingkah laku yang menyimpang dari norma umum itu
kemudian di rasionalisasi atau dibenarkan oleh semua anggota kelompok dengan
pola menyimpang yang sistematik. Pada umumnya kelompok-kelompok masyarakat
semacam ini mempunyai peraturan-peraturan yang sangat berat yang diperlukan
untuk bisa menegakkan konformitas dan kepatuhan anggota-anggotanya. Dalam
situasi dan kondisi semacam ini pertumbuhan sosio-psikologis dari pribadi dan
kelompok cenderung menjadi abnormal atau menyimpang
Sedang
tinjauan dari sudut budaya menunjukkan bahwa tradisi mengemis telah berakar
sejak masa lampau, para ahli menyatakan bahwa mempersoalkan hal semacam ini
dianggap melanggar hal yang keramat.Kelompok pengemis termasuk kelompok Laggard yang pada umumnya banyak mengalami
kendala dalam menerima gagasan baru.Kendala itu dapat dikelompokkan atas
kendala eksternal dan internal. Kendala internal antara lain yang terkait
dengan karakteristik individu.
Masalah
mengemis yang terjadi ditengah-tengah masyarakat ini menunjukkan betapa
rendahnya kualitas sumber daya manusia. Tradisi masyarakat ini menunjukkan
kondisi permasalahan yang dihadapi masyarakat lapisan bawah yang bersifat multi dimensional, dan multi directional, seperti rendahnya
taraf hidup, rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya tingkat kemampuan adopsi
inovasi, rendahnya kesadaran kehidupan beragama, dan lain-lain.
Dan tradisi
itu hampir-hampir tidak ada penyelesaian, termasuk dari perspektif ekonomi
Islam, sehingga 'kondisi yang menggantung' ini termanfaatkan oleh fihak-fihak
yang berkepentingan untuk memanfaatkannya.
BIBLIOGRAPHY
Abd al-Wâhid, Mustafâ, al-Mujtama’ al-Islâm : Ahdâfuh wa
Da’âimuh, Awdâuh wa Khasâisuh Mesir: Dâr al-Ta’lîf, 1969
Abû Zahrah, Muhammad, Usûl
al-Fiqh, Mesir: Dâr al-Fikr al-’Arabî, t.t.
Al-Mawdûdî, Abû A’lâ, Usus al-Iqtisâd Bayna al-Islâm wa al-Nuzûm
al-Mu’âsirah, Beirut: Dâr al-Fikr,
1980
Al-Qattân, Mannâ’, Mabâhith
fî ‘Ulûm al-Qur’ân, t.t. Mansurat
al-‘Asr al Hadith, 1973
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah : dari Teori ke Praktek, Jakarta:
Gema Insani Press, 2001
Arikunto,
Suharsimi, Prosedur Penelitian :
Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:
Rineka Cipta, 1993
Baswir, Revrison, Agenda Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Blij H. J. De.Human
Geography: Culture, Society and Space, New York: John Willeyand Sons, 1999
Bogdan, Robert, dan
Steven J. Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods : a
Phenomenological Approach to the Social Sciences, New York: A Wiley-Interscience
Publication, 1975
Griffin, Keith, Alternative Strategies For Economic
Development, London: Macmillan, 1989
Grutchy, Allan G, Comparative Economic System, Houghton:
Miffin Company, 1977
Hadi, Sutrisno, Metodologi Riset, Yogyakarta: FE UI, 1993
Kartono, Kartin, Patologi Sosial, Jakarta: Rajawali, 1988
Kerlinger, Fred
N., Foundation of Behavioral
Research, New York: Holt, Rinehart
and Winston, Inc., 1973
Khan, Akram, Muhammad, “Faqr”,
dalam Glossary of Islamic Economics, London:
Mansell Ltd., 1990
Koentjaraningrat, Metode-metode
Penelitian Masyarakat, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1990
Mas’udi, Masdar F.,
"Zakat; Konsep Harta Yang Bersih” dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam
dalam sejarah, Jakarta; Paramadina,1994
Matthew B. Miles, A. Michael
Huberman, Qualitative Data Analysis, London:
Sage Publications, 1984
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996
Muhaimin, Yahya, Etos
Kerja dan Moral Pembangunan,Dalam; Sekitar Kemiskinan dan Keadilan,
Jakarta;UI Press,1987
Muhammad al-’Assal, Ahmad dan Fathi
Ahmad Abd al-Karîm, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, terj. Imam
Saefuddin, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Muhammad, Ibrâhîm,
Qutb, Al-Nuzûm al-Mâliyyah fî al-Islâm, t.t.: t.p., t.t.
Nasution, S. ,Metode
Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung:
Transito, 1997
Qutb, Muhammad, al-Insân Bayna al-Mâdiyyah wa al-Islâm t.t.:
t.p., 1968.
Rahman, Afzalur, Economic Doctrines of Islam, vol. 1,
Lahore: Islamic Publication Ltd., 1990
Rahmat, Jalaluddin, “Sufisme dan Kemiskinan”, dalam Sekilas
Kemiskinan dan Keadilan, ed. Sri Edi Swasono, Jakarta: UI Press, 1987
Shaih, Aziz, Abdool, “Concept of
Zakah : a Survey of Quranic Text and Their Explanation in Sharîah and
Contemporary Economics”, dalam Reading in Islamic Fiscal Policy, ed.
Sayed Afzal Peerzade New Delhi: Adam Publisher and Distribution, 1996
Shaltût, Mahmûd, al-Islâm : ‘Aqîdah wa Sharî’ah, cet.
5, t.t.: Dâr al-Shurûq, t.t.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’ân, Bandung: Mizan, 1999
Suprayogo, Imam, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001
Surahmad, Winarno, Metodologi Penelitian, Jakarta: Balai Pustaka, 1975
Vredenbergh, J. ,Metode
dan Teknik Penelitian Masyarakat, Jakarta:
Gramedia, 1978
Vredenbreght, Metode dan Teknik
Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1978
Wahid, Abd., Islam di Tengah Pergulatan Sosial,
Yogyakarta;Tiara Wacana,1993
Wajdi, Farid, M., Dâirah Ma’ârif al-Qarn al-’Ishrîn, jil.
9, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
Zousky A.J.,
Romis, The Selection and Use of
Instrtuctional Media, London: Kogan Paga, 1988
[1]
Yahya Muhaimin, Etos Kerja dan Moral Pembangunan, Dalam; Sekitar
Kemiskinan dan Keadilan,(Jakarta;UI Press,1987),47
[2]
Muhammad Abû Zahrah, Usûl al-Fiqh (Mesir: Dâr al-Fikr al-’Arabî, t.t.),
95 ; Mahmûd Shaltût, al-Islâm : ‘Aqîdah wa Sharî’ah, cet. 5 (t.t.: Dâr
al-Shurûq, t.t.), 89.
[4]
Mannâ’ al-Qattân, Mabâhith fî ‘Ulûm al-Qur’ân (t.t.: Mansûrât al-’Asr
al-Hadîth, 1973), 63. Ayat-ayat al-Qur’ân yang memuat prinsip persamaan pada
umumnya mengemukakan kritik sosial terhadap praktek-praktek eksploitasi manusia
atas manusia yang lain, baik dalam bentuk perbudakan, perdagangan yang curang
maupun pengabaian dan pencaplokan harta anak-anak yatim.
[5]
Misalnya dalam surat al-Baqarah, 2:25, 2:82, 2:277 ; Ali ‘Imrân, 3:57 ;
al-Nisâ’, 4:57, 4:122, 4:173 ; al-Mâidah, 5:9 ; al-Inshiqq, 8 4:25 ; al-T în,
95:6 ; al-’Asr, 103:3.
[6]
Salah seorang yang bersungguh-sungguh membantu ijtihad dengan memakai Maqasid
al-Shari’ah ini adalah Abu Ishaq al-Shatibi dengan membangun pemikiran antara
lain melalui praktek para sahabat Nabi
[7]Masdar
F.Mas’udi, "Zakat; Konsep Harta Yang Bersih” dalam Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam sejarah,(Jakarta;Paramadina,1994), 652
[13]Ahmad
Muhammad al-’Assal dan Fathi Ahmad Abd al-Karîm, Sistem, Prinsip dan Tujuan
Ekonomi Islam, terj. Imam Saefuddin (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 74 ;
Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, vol. 1 (Lahore: Islamic
Publication Ltd., 1990), 74.
[14]
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : dari Teori ke Praktek (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001), 17.
[15]
Muhammad Qutb, al-Insân Bayna al-Mâdiyyah wa al-Islâm (t.t.: t.p.,
1968), 138. ; Lihat juga M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ân
(Bandung: Mizan, 1999), 324-325.
[16]Abû
A’lâ al-Mawdûdî, Usus al-Iqtisâd Bayna al-Islâm wa al-Nuzûm al-Mu’âsirah
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1980), 14.
[17]
Mustafâ ‘Abd al-Wâhid, al-Mujtama’ al-Islâm : Ahdâfuh wa Da’âimuh, Awdâuh wa
Khasâisuh (Mesir: Dâr al-Ta’lîf, 1969), 217.
[18]
Fakir berasal dari kata Arab al-faqr.Faqr adalah suatu kondisi tidak
terpenuhinya kebutuhan pokok atau suatu kondisi kekurangpuasan terhadap
kehidupan.Bahkan, istilah ini memiliki konotasi sebagai suatu bentuk kelalaian
dalam pemenuhan kebutuhan material, meskipun ada kemampuan untuk memiliki atau
memenuhinya.Kata fakir, dalam konteks ini, berarti orang melarat yang tidak
memiliki sesuatu pun dalam hidupnya, bahkan tidak memiliki pekerjaan yang dapat
dijadikan sebagai sumber pendapatan. Kata fakir sudah digunakan sejak zaman
nabi Mûsâ sebagaimana dalam al-Qur’ân (28 : 24). Di sini kata fakir digunakan
untuk menyebut seseorang yang menganggur yang meninggalkan negaranya sebab
takut kalau tertindas, untuk mencari sumber kehidupan di negara lain.
Karenanya, setiap imigran yang meninggalkan negaranya sebab adanya pergantian
politik seperti yang terjadi di Palestina dan India setelah Perang Dunia II
juga disebut fakir. Fakir juga digunakan dalam al-Qur’ân sebagai sebutan
terhadap penduduk Makkah yang hijrah ke Madinah untuk mencari perlindungan dari
ketertindasan orang Quraish. Penjelasan selengkapnya lihat Muhammad Akram Khan,
“Faqr”, dalam Glossary of Islamic Economics (London: Mansell Ltd.,
1990), 44 ; Abdool Aziz Shaih, “Concept of Zakah : a Survey of Quranic Text and
Their Explanation in Sharîah and Contemporary Economics”, dalam Reading in
Islamic Fiscal Policy, ed. Sayed Afzal Peerzade (New Delhi: Adam Publisher
and Distribution, 1996), 5-6.
[19]
Miskin adalah orang yang kebutuhannya masih tergantung kepada orang lain. Yang
juga tergolong dalam kategori ini adalah orang yang tidak dapat bekerja atau
dapat bekerja tetapi hasilnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan
kebutuhan keluarganya.Perbedaan antara fakir dan miskin menurut definisi di
atas terletak pada masih ada atau tidaknya sumber kehidupan.Dalam fakir, tidak
ada lagi sumber penghidupan, sedangkan dalam miskin masih terdapat sumber
pendapatan tetapi tidak mencukupi jika dipergunakan. Karenanya, keberadaan
orang fakir lebih parah dari pada orang miskin, walaupun keduanya sama-sama
masih membutuhkan bantuan orang lain. Dengan demikian, orang fakir dan miskin
mendapat porsi perhatian cukup banyak dalam al-Qur’ân, antara lain sebagai
penerima bagian fidyah (2:184), penerima bagian zakat (9:60 ;
30:38), penerima bagian harta ghanîmah (8:4), penerima bagian kafarat
sumpah (5:89), dan penerima bagian kafarat zihâr (58:4), serta dalam
konteks yang lebih umum (69:34 ; 89:18, dan lain-lain).
[21]
Jalaluddin Rahmat, “Sufisme dan Kemiskinan”, dalam Sekilas Kemiskinan dan Keadilan,
ed. Sri Edi Swasono (Jakarta: UI Press, 1987), 24.
[23]Berbagai
peliknya problem kemiskinan diperkuat dengan adanya pembagian kemiskinan ke
dalam tiga kelompok, yaitu; kemiskinan natural, kemiskinan kultural, dan
kemiskinan struktural. Kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan
oleh faktor-faktor alamiah, seperti karena sakit, lanjut usia, atau karena
bencana alam. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh
faktor-faktor budaya, seperti malas, tidak disiplin, boros, dan lain
sebagainya.Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan
oleh faktor-faktor buatan manusia, seperti distribusi aset produktif yang tidak
merata, kebijakan ekonomi yang tidak adil, korupsi dan kolusi, serta tatanan
perekonomian dunia yang cenderung menguntungkan masyarakat tertentu (kaum
pemilik modal). Lihat Revrison Baswir, Agenda Ekonomi Kerakyatan (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997), 21.
[25]
Keith Griffin, Alternative Strategies For Economic Development, (London:
Macmillan, 1989), 218-219
[27]Letak
makam Sunan Ampel in bisa dikatakan cukup strategis. Jumlah pintu gapura yang
langsung menuju ke makam ada tiga pintu
dan penulis melakukan interview dengan para informan mulai dari pintu masuk sampai di depan
halaman masjid Sunan Ampel.