BELAJAR REDENOMINASI RUPIAH DARI MADURA
Dr.Abdur Rohman,MEI Ketua Pusat Studi Ekonomi Syariah Trunojoyo Madura Wacana redenominasi alias penyederhanaan nilai mata uang rup...

https://rohman-utm.blogspot.com/2017/01/belajar-redenominasi-rupiah-dari-madura.html
Dr.Abdur Rohman,MEI
Ketua Pusat Studi Ekonomi Syariah Trunojoyo Madura
Wacana redenominasi alias
penyederhanaan nilai mata uang rupiah sempat bergulir beberapa waktu lalu,
bahkan januari 2016 akan diberlakukan. Rencana Bank Indonesia melakukan
redenominasi rupiah banyak mengundang kritikan dari berbagai pihak, seperti
ahli ekonomi, pengamat bursa saham, pelaku bisnis dan lain-lainnya. Kalangan
yang menolak adanya redenominasi, terutama datang dari masyarakat kecil dan
pedagang pasar tradisional yang notabene sering sekali, bahkan bisa di katakan
selalu menggunakan rupiah terkecil.
Pro Kontra Redenominasi Rupiah
Pada prinsipnya redenominasi rupiah adalah pemotongan nominal yang
dilakukan pada sebuah mata uang, tanpa mengurangi jumlah nilainya. Prinsip yang
dilakukan pada saat perubahan hanyalah penyebutan namanya saja. Misalnya jika
kita memiliki uang pecahan Rp 100 ribu, untuk membeli sebuah kemeja yang
seharga Rp 100.000. Pada saat diberlakukan redenominasi rupiah 1:1000, maka
Bank Indonesia akan menerbitkan mata uang baru dengan nominal sebesar Rp. 100,
namun nilainya tetap sama dengan jumlah Rp 100.000. Atau contoh yang lain,
uang rupiah Rp. 1.000.000 di potong menjadi Rp.1.000, jika gaji kita Rp.
6.000.000, setelah diredenominasi gaji yang kita terima adalah Rp. 6.000.
Pemotongan atau penyederhanaan ini biasanya dilakukan pada tiga digit terakhir.
Redenominasi rupiah di Indonesia berbeda dengan pengertian Sanering.
Sanering adalah pemotongan nominal mata uang beserta dengan nilainya. Misalnya,
saat ini kita memiliki uang Rp. 100.000 kemudian kita membeli sebuah meja yang
harganya Rp 100.000, jika diberlakukan sanering, maka 1:1000 uang kita akan
terpotong nominalnya beserta dengan nilainya. Bank Indonesia akan mengeluarkan
mata uang baru dengan jumlah pecahan Rp. 100.
Redenominasi rupiah bermanfaat untuk mengurangi penyesuaian pada hardware
dan juga software dalam mengakomodasi digit angka yang semakin besar. Dan saat
ini, kemampuan komputer hanya bisa mangakomodasi 15 digit angka, sementara
nilai APBN telah mencapai 16 digit. Oleh karena itulah hal ini bisa memberi
dampak yang positif bagi dunia perbankan. Jadi dimungkinkan dengan redenominasi
ini semaua perhitungan akan menjadi lebih simple.
Resiko menggunakan uang kertas, uang fiat, kerena difinisi dari
redenominasi adalah pemotongan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa
mengubah nilai tukarnya, namun tidak bisa dipungkiri bahwa redenominasi juga
bermakna mata uang rupiah semakin kehilangan daya belinya. Kenapa demikian?
Coba tanyakan langsung kepada ibu-ibu di pasar, apa yang mereka bisa dapatkan
ketika mempunyai uang Rp 10.000 dulu dengan uang Rp 10.00 saat ini. Barang apa
saja yang mereka bawa pulang dan berapa banyak penurunan barang yang mereka
bisa dapatkan, atau bisa juga ditanyakan kepada pengendara mobil yang sering
menggunakan jasa pak ogah.
Walaupun redenominasi ini berbeda kajiannya dengan inflasi, tapi sebenarnya
hampir tidak terlalu jauh beda, karena efek dari redenominasi ini menjadikan
harga barang dinilai dengan rupiah terkecil yang besar kemungkinan akan
menyebabkan harga barang semakin mahal (sebagai dampak pembulatan ke atas).
Contoh barang yang harganya Rp 1.350 kemungkinan akan menjadi Rp 1.500 dengan
menggunakan Rp 1 dan Rp 0,5 uang yang baru.
Usulan Bank Indonesia melakukan redenominasi bertujuan menciptakan
efisiensi mengingat jumlah transaksi rupiah hingga saat ini diakuinya sudah
sangat besar. “Karena sekarang uang rupiah itu transaksinya sudah dalam jumlah
yang besar dan ini tentunya akan membuat ekonomi kita kurang efisien, membuat
pencetakan jadi mahal, membuat sistem akuntansi kurang efisien,”
Rencananya redenominasi rupiah ini akan dilaksanakan secara penuh pada
tahun 2022 dan untuk masa sosialisasinya akan dilaksanakan secara bertahap.
Selama masa sosialisasi tersebut, akan digunakan dua jenis mata uang rupiah,
yaitu rupiah lama dan rupiah baru. Jadi selama masa transisi, masyarakat bisa
memilih mau membayar barang dengan mata uang lama atau mata uang rupiah baru.
(dbs: Samsudin)
Redenominasi ala Madura
Ditengah pro kontra Redenominasi rupiah, ada hal
menarik untuk dicermati ternyata masyarkat Madura jauh sebelumnya sudah
mengaplikasikan redenominasi dalam transaksi khususnya pada jual beli sepi.
Sekalipun rupiah yang digunakan tidak sama nominnalnya dengan yang mereka
ucapkan. Misalnya saja mereka menjual sapi seharga Rp.8.000.000,- ( Delapan
juta), kemudian sang pembeli bertanya “ brempa hargana ( madura) berapa harganya?..sang penjual menjawab “ belengibu
(Madura) delapan ribu (8000). Yang sebenarnya adalah delapan juta (8.000.000,) yang
dimaksudkan.
Dari sinilah menarik untuk dicermati bahwa
sebenarnya proses redonominasi bisa belajar dari masyarkat madura, yang sudah
dipraktekkan berpuluh-puluh tahun lamanya, sebelum ada wacana Redenominasi BI. Oleh karenanya, BI dalam mewacanakan redenominasi
rupiah, dapat belajar dari masyarakat Madura, sebagai langkah sosialisasi BI
sebelum dipraktekkan pada masyarakat. Sekalipun perlu adanya kajian lebih
lanjut.
Solusi Redenominasi
Berdasarkan tulisan diatas, dan pengalaman negara-negara lain butuh waktu
lima sampai 12 tahun untuk melakukan redenominasi. Oleh karena itu, yang harus dilakukan oleh BI
adalah sosialisasi redenominasi rupiah yang
agak serius, tidak sekedar diwacanakan, sehingga akan menimbulkan pro kontra
ditengah masyarakat. Sosialisasi ini bisa melalui lembag apemerintahan, lembaga
akademik, bisa juga langsung kepada masyarkat luas. Dengan menggunakan pelatihan
pendidikan dan lain-lain, agar masyarakat lebih memahami makna redenominasi rupiah
sebenarnya.
Adapun pola sosialialisasi redenominasi rupiah dapat mengadopsi pola pola
transaksi yang dilakukan masyarakat madura yang sudah melakukan sejak puluhan
tahun, sekalipun dalam bentuk ucapannya saja. Wallahu a’lamu bishawabi ( Fkis-UTM)