PINSIP PRINSIP ETIKA BISNIS ISLAM
A. Pendahuluan Etika bisnis merupakan ilmu yang dibutuhkan banyak pihak tetapi masih bersifat problematis dari sisi metodologis...

https://rohman-utm.blogspot.com/2012/02/pinsip-prinsip-etika-bisnis-islam.html
A. Pendahuluan
Etika bisnis merupakan ilmu yang dibutuhkan
banyak pihak tetapi masih bersifat problematis dari sisi metodologis. Ilmu
ini dibutuhkan untuk merubah performen dunia bisnis yang dipenuhi oleh
praktek praktek mal bisnis. Yang dimaksud praktek mal-bisnis adalah
mencakup baik business crimes maupun business tort, yakni business
crimes sebagai perbuatan bisnis yang melanggar hukum pidana atau
business tort sebagai perbuatan bisnis yang melanggar etika.[1] Al-Qur’an sebagai sumber nilai, telah memberikan nilai-nilai
prinsipil untuk mengenali perilaku-perilaku yang bertentangan dengan
nilai-nilai al-Qur’an. Dalam al-Qur’an
terdapat terma-terma, al-bathil, al- fasad dan azh-zhalim yang
dapat difungsikan sebagai landasan-landasan atau muara perilaku yang bertentangan
dengan nilai perilaku yang dibolehkan atau dianjurkan al- Qur’an khususnya
dalam dunia bisnis. Hal ini beralasan bahwa beberapa ayat yang mempunyai
kandungan tentang bisnis, seringkali mengunakan terma-terma di atas ketika
menjelaskan tentang perilaku bisnis yang buruk.[2]
Ketika ayat-ayat al-Qur’an
dengan terma-terma, al-bathil, al- fasad dan azh-zhalim dihubungkan
dengan pengertian hakikat bisnis, dapat diambil kesimpulan bahwa salah
satu landasan praktek mal bisnis adalah setiap praktek bisnis yang
mengandung unsur kebatilan, kerusakan dan kezaliman baik sedikit maupun
banyak, tersembunyi maupun terang-terangan. Dapat menimbulkan
kerugian secara material maupun immateri baik bagi si pelaku, pihak lain
maupun masyarakat. Dapat menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan.
Menimbulkan akibat-akibat moral maupun akibat hukum yang mengikutinya,
baik menurut hukum agama maupun hukum positif. Namun demikian penilaian
terhadap suatu praktek mal bisnis tidak disyaratkan adanya tiga. landasan
kebatilan, kerusakan dan kezhaliman sekaligus, melainkan adanya salah satu dari
ketiga landasan di atas secara otomatis telah memasukan suatu aktivitas maupun
entitas bisnis ke dalam kategori praktek mal bisnis.[3]
B.
Prinsip Prinsip Etika Bisnis Islam
Dengan memperhatikan al-Qur’an melalui praktek mal
bisnis al-bathil, al- fasad dan azh-zhalim, maka
pakar ekonomi muslim mengemukakan sejumlah prinsip (aksioma) dalam ilmu
ekonomi Islam yang mesti diterapkan dalam bisnis syari’ah, antara lainn[4]
1.
Tawhid ( Kesatuan )
Secara esensial, tawhid dipandang sebagai paradigma Islam bagi
penghambaan makhluk pada sang pencipta dan dalam melaksanakan seluruh perintahNya.
Di samping keterkaitan secara vertikal Tawhid juga menjadi perekat bagi hubungan antar
manusia. Sehingga bagaikan uang logam dengan dua sisi tak terpisah. Tawhid mengajarkan bahwa Allah adalah pencipta dan
mengajarkan kebersamaan, dan persaudaraan sesama manusia.[5]
Di samping itu tawhid juga mengandung arti bahwa alam semesta
didesain dan diciptakan
secara sadar oleh Allah, yang bersifat esa dan unik, dan ia tidak terjadi
karena kebetulan atau aksiden.[6]
Penciptaan alam baik flora maupun fauna ditundukkan Allah sebagai sumber daya
ekonomis dan keindahan bagi umat manusia.[7]
Sementara manusia sendiri dihadapan Allah adalah sama, hanya taqwa dan amal
shaleh yang membedakannya.[8]
Sehingga segala sesuatu yang diciptakan-Nya memiliki suatu tujuan. Tujuan
inilah yang akan memberikan arti dan signifikansi bagi eksistensi jagat raya,
di mana manusia merupakan salah satu bagiannya.[9]
Implikasi dari doktrin tawhid adalah terbukanya kesempatan yang sama bagi
manusia dalam memperoleh rizki Allah meskipun ketidakmerataan ekonomi di antara
manusia tidak terlepas dari kekuasaan Allah. Namun, dalam kerangka tawhid ,
perbedaan kemampuan secara ekonomis ini justru mendorong pada adanya
persaudaraan, saling membantu dan bekerja sama dalam bidang ekonomi melalui
mekanisme shirkah, qirad, dan sebagainya.[10]
Konsep tauhid merupakan dimensi vertikal Islam sekaligus
horizontal yang memadukan segi politik, sosial ekonomi kehidupan manusia
menjadi kebulatan yang homogen yang konsisten dari dalam dan luas sekaligus
terpadu dengan alam luas.[11]
Dari konsepsi ini, maka Islam menawarkan keterpaduan agama,
ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini maka
pengusaha muslim dalam melakukan aktivitas bisnis harus memperhatikan tiga hal:14
(1), tidak diskriminasi terhadap
pekerja, penjual, pembeli, mitra kerja atas dasar pertimbangan ras, warna
kulit, jenis kelamin atau agama.[12] (2), Allah yang paling ditakuti dan
dicintai.[13] (3),
tidak menimbun kekayaan atau serakah, karena hakikatnya kekayaan merupakan
amanah Allah.[14]
Tauhid mengantarkan manusia pada pengakuan akan keesaan Allah
selaku Tuhan semesta alam. Dalam kandungannya meyakini bahwa segala sesuatu
yang ada di alam ini bersumber dan berakhir kepada-Nya. Dialah pemilik mutlak
dan absolut atas semua yang diciptakannya. Oleh sebab itu segala aktifitas
khususnya dalam muamalah dan bisnis manusia hendaklah mengikuti aturan-aturan
yang ada jangan sampai menyalahi batasan-batasan yang telah diberikan.
2.Khilafah (Perwakilan)
Selain Tawhid konsep khilafah dalam Islam menempatkan
manusia sebagai wakil Allah di muka bumi.[15]
Manusia dipandang paling mulianya ciptaan Allah dibanding makhluk lainnya,
malaikat sekalipun. Dalam diri manusia terdapat kombinasi bumi dan spirit
ketuhanan serta dilengkapi dengan kesadaran, kebijaksanaan dan kreativitas.
Selain itu manusia mendapat sarana berupa sumber-sumber materi yang dapat
membantunya dalam mengemban misinya secara efektif. Dalam konteks ini Islam
menilai bahwa manusia bebas untuk mengatur kehidupannya dengan pola ekonomi
yang manapun, bukan manusia yang dikendalikan hukum-hukum ekonomi, sebagaimana
pernyataan Marx Weber. Pola ekonomi yang dipilih manusia dalam mengatur
kehidupannya merupakan penentu bagi sifat dan gagasannya tentang dirinya
sendiri. Meski bebas memilih, manusia sebagai khalifah harus tetap memandang
bahwa agama merupakan sarana mengatur kehidupan di bumi.[16]
Dengan demikian, konsep khilafah
itu bersifat kreatif dari sekedar status. Keberadaan manusia sebagai khalifah Allah terletak pada
daya kreatifitas mereka dalam memakmurkan bumi.[17] Karenanya, sebagai upaya
mewujudkan khalifah manusia, al-Faruqi menilai pentingnya membangun
pemerintahan dengan sistem khilafah, bukan dawlah (negara)
sebagaimana yang dipraktekkan negara-negara Barat. Sebab, sistem khilafah lebih
dekat dengan tradisi Islam dan berakar pada tawhid sementara sistem dawlah sangat jauh
dari esensi konsep ummah dalam Islam.[18]
3.‘Adalah (keadilan)
Prinsip keadilan merupakan salah satu sumbangan
terbesar Islam kepada umat manusia untuk dilaksanakan dalam setiap aspek
kehidupan. Islam memberikan suatu aturan yang dapat dilaksanakan sebagai
pengganti amalan-amalan tradisional yang amat bertentangan. Setiap anggota
masyarakat didorong untuk memperbaiki kehidupan material di samping berusaha
untuk memperbaiki kehidupan spiritual dan mengingatkan bahwa setiap benda di
dunia ini adalah untuk diambil manfaatnya. Tetapi secara bersamaan, Islam
mendidik mereka bertanggung jawab bukan saja kepada isteri dan keluarga, tetapi
juga saudara-saudaranya yang miskin dan melarat, negara dan akhirnya seluruh
makhluk. Setelah mendapat manfaat dari harta kekayaannya masing-masing sudah
selayaknya memberikan faedah yang sama kepada masyarakat yang lain.[19]
Persaudaraan sebagaimana
ungkapan di atas yang merupakan bagian integral dari konsep tawhid dan khilafah akan tetap menjadi
konsep kosong yang tidak memiliki substansi, jika tidak dibarengi dengan
keadilan sosio-ekonomi. Sehingga konsep ini merupakan kunci untuk memahami ilmu
ekonomi, Islam dan masyarakat Islam yang bertujuan untuk menciptakan
“keseimbangan” dalam masyarakat.[20]
4. Tawazun
(Keseimbangan)
Keseimbangan Ajaran
Islam berorientasi pada terciptanya karakter manusia yang memiliki sikap dan prilaku yang seimbang dan adil dalam konteks hubungan antara manusia
dengan diri sendiri, dengan orang lain (masyarakat) dan dengan lingkungan.[21]
Keseimbangan ini sangat ditekankan oleh Allah dengan menyebut
umat Islam sebagai ummatan wasathan.
Ummatan wasathan adalah umat yang memiliki kebersamaan, kedinamisan dalam
gerak, arah dan tujuannya serta memiliki aturan-aturan kolektif yang berfungsi
sebagai penengah atau pembenar. Dengan demikian keseimbangan, kebersamaan,
kemodernan merupakan prinsip etis mendasar yang harus diterapkan dalam
aktivitas maupun entitas bisnis.[22]
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa pembelanjaan harta benda
harus dilakukan dalam kebaikan atau jalan Allah dan tidak pada sesuatu yang
dapat membinasakan diri.[23] Harus
menyempurnakan takaran dan timbangan dengan neraca yang benar.[24]
Dijelaskan juga bahwa ciri-ciri orang yang mendapat kemuliaan dalam pandangan
Allah adalah mereka yang membelanjakan harta bendanya tidak secara berlebihan
dan tidak pula kikir, tidak melakukan kemusyrikan, tidak membunuh jiwa yang
diharamkan, tidak berzina, tidak memberikan kesaksian palsu, tidak tuli dan
tidak buta terhadap ayat-ayat Allah.[25]
Agar keseimbangan ekonomi dapat terwujud maka harus terpenuhi
syarat-syarat berikut: (1), produksi, konsumsi dan distribusi harus berhenti
pada titik keseimbangan tertentu demi menghindari pemusatan kekuasaan ekonomi
dan bisnis dalam genggaman segelintir orang. (2), setiap kebahagiaan individu
harus mempunyai nilai yang sama dipandang dari sudut sosial, karena manusia
adalah makhluk teomorfis yang harus
memenuhi ketentuan keseimbangan nilai yang sama antara nilai sosial marginal
dan individual dalam masyarakat. (3), tidak mengakui hak milik yang tak
terbatas dan pasar bebas yang tak terkendali.[26]
Keseimbangan) merupakan konsep yang
menunjukkan adanya keadilan sosial. Kehendak bebas (Free Will)
yakni manusia mempunyai suatu potensi dalam menentukan pilihan-pilihan yang
beragam, karena kebebasan manusia tidak dibatasi. Tetapi dalam kehendak bebas
yang diberikan Allah kepada manusia haruslah sejalan dengan prinsip dasar
diciptakannya manusia yaitu sebagai khalifah di bumi. Sehingga kehendak bebas
itu harus sejalan dengan kemaslahatan kepentingan individu telebih lagi pada
kepentingan umat.
4.Free will (Kehendak Bebas).
Manusia sebagai khalifah di muka bumi sampai batas-batas
tertentu mempunyai kehendak bebas untuk mengarahkan kehidupannya kepada tujuan
yang akan dicapainya. Manusia dianugerahi kehendak bebas (free will) untuk membimbing kehidupannya sebagai khalifah. Berdasarkan
aksioma kehendak bebas ini, dalam bisnis manusia mempunyai kebebasan untuk
membuat suatu perjanjian atau tidak, melaksanakan bentuk aktivitas bisnis
tertentu, berkreasi mengembangkan potensi bisnis yang ada.24
Dalam mengembangkan kreasi terhadap pilihan-pilihan, ada dua
konsekuensi yang melekat. Di satu sisi ada niat dan konsekuensi buruk yang
dapat dilakukan dan diraih, tetapi di sisi lain ada niat dan konsekuensi baik
yang dapat dilakukan dan diraih. Konsekuensi baik dan buruk sebagai bentuk risiko
dan manfaat yang bakal diterimanya yang dalam Islam berdampak pada pahala dan
dosa.[27]
Kebebasan merupakan bagian penting dalam
nilai etika bisnis islam,tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan
kolektif.Kepentingan individu dibuka lebar.Tidak adanya batasan pendapatan bagi
seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala
potensi yang dimilikinya.Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi
kebutuhan pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap
individu terhadap masyarakatnya melalui zakat.infak dan sedekah.
5. Responsibility
(Pertanggungjawaban)
Segala kebebasan dalam melakukan bisnis oleh manusia tidak
lepas dari pertanggungjawaban yang harus diberikan atas aktivitas yang
dilakukan sesuai dengan apa yang ada dalam al-Qur’an” Tiap-tiap diri
bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”.[28] Kebebasan
yang dimiliki manusia dalam menggunakan potensi sumber daya mesti memiliki
batas-batas tertentu, dan tidak digunakan sebebas-bebasnya, melainkan dibatasi
oleh koridor hukum, norma dan etika yang tertuang dalam al-Qur’an dan Sunnah
rasul yang harus dipatuhi dan dijadikan referensi atau acuan dan landasan dalam
menggunakan potensi sumber daya yang dikuasai. Tidak kemudian digunakan untuk
melakukan kegiatan bisnis yang terlarang atau yang diharamkan, seperti judi,
riba dan lain sebagainya. Apabila digunakan untuk melakukan kegiatan bisnis
yang jelas-jelas halal, maka cara pengelolaan yang dilakukan harus juga
dilakukan dengan cara-cara yang benar, adil dan mendatangkan manfaat optimal
bagi semua komponen masyarakat yang secara kontributif ikut mendukung dan
terlibat dalam kegiatan bisnis yang dilakukan.[29]
Pertanggunjawaban ini secara mendasar akan mengubah
perhitungan ekonomi dan bisnis karena segala sesuatunya harus mengacu pada
keadilan. Hal ini diimplementasikan minimal pada tiga hal, yaitu: (1), dalam
menghitung margin, keuntungan nilai upah harus dikaitkan dengan upah minimum
yang secara sosial dapat diterima oleh masyarakat. (2), economicreturn bagi pemberi pinjaman modal harus dihitung
berdasarkan pengertian yang tegas bahwa besarnya tidak dapat diramalkan dengan
probabilitas nol dan tak dapat lebih dahulu ditetapkan (seperti sistem bunga).
(3), Islam melarang semua transaksi alegotoris
yang dicontohkan dengan istilah gharar
(penipuan).[30]
Tanggung Jawab (Responsibility)
terkait erat dengan tanggung jawab manusia atas segala aktifitas yang dilakukan
kepada Tuhan dan juga tanggung jawab kepada manusia sebagai masyarakat. Karena
manusia hidup tidak sendiri dia tidak lepas dari hukum yang dibuat oleh manusia
itu sendiri sebagai komunitas sosial. Tanggung jawab kepada Tuhan tentunya
diakhirat, tapi tanggung jawab kepada manusia didapat didunia berupa
hukum-hukum formal maupun hukum non formal seperti sangsi moral dan lain
sebagainya.
6 Benevolence (Kebenaran)
Kebenaran
disini juga meliputi kebajikan dan kejujuran. Maksud dari kebenaran adalah
niat, sikap dan perilaku benar dalam melakukan berbagai proses baik
itu proses transaksi, proses memperoleh komoditas, proses
pengembangan produk maupun proses perolehan keuntungan.
Adapun prinsip-prinsip
etika bisnis menurut Al-Qur’an dapat dijelaskan sebagai berkut:
1. Melarang bisnis yang
dilakukan dengan proses kebatilan (QS. 4:29). Bisnis harus didasari
kerelaan dan keterbukaan antara kedua belah pihak dan tanpa ada pihak yang
dirugikan. Orang yang berbuat batil termasuk perbuatan aniaya,
melanggar hak dan berdosa besar (QS.4:30). Sedangkan orang yang
menghindarinya akan selamat dan mendapat kemuliaan (QS.4:31).
2. Bisnis tidak boleh mengandung unsur
riba (QS. 2:275).
3. Kegiatan bisnis juga
memiliki fungsi sosial baik melalui zakat dan sedekah (QS.9:34).
Pengembangan harta tidak akan terwujud kecuali melalui interaksi antar
sesama dalam berbagai bentuknya.
4. Melarang pengurangan hak atas suatu barang
atau komoditas yang didapat atau diproses dengan media takaran atau timbangan
karena merupakan bentuk kezaliman (QS. 11:85), sehingga dalam praktek bisnis,
timbangan harus disempurnakan (QS. 7:85, QS. 2:205).
5. Menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan
baik ekonomi maupun sosial, keselamatan dan kebaikan serta tidak menyetujui
kerusakan dan ketidakadilan.
6. Pelaku bisnis
dilarang berbuat zalim (curang) baik bagi dirinya sendiri maupun kepada
pelaku bisnis yang lain (QS. 7:85, QS.2:205).
Etika bisnis Islam sebenarnya telah diajarkan Nabi Muhammad SAW saat
menjalankan perdagangan. Karakteristik Nabi Muhammad SAW sebagai pedagang
adalah, selain dedikasi dan keuletannya juga memiliki sifat shidiq, fathanah,
amanah dan tabligh. Ciri-ciri itu masih ditambah Istiqamah, yang semuanya beliau lakukan atas
pedoman al-Qur’an diantaranya :
1. Shidiq berarti mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan dan
amal perbuatan atas dasar nilai-nilai yang diajarkan Islam.
2. Fathanah berarti mengerti, memahami, dan menghayati secara
mendalam segala yang menjadi tugas dan kewajibannya. Sifat ini akan menimbulkan
kreatifitas dan kemampuan melakukakan berbagai macam inovasi yang bermanfaat.
3. Amanah berarti tanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas dan
kewajiban. Amanah ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang
optimal, dan ihsan (kebajikan) dalam segala hal.
4. Tablig mengajak
sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
5. Istiqamah atau konsisten dalam iman dan nilai-nilai kebaikan,
meski menghadapi godaan dan tantangan. Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan
dalam keteguhan, kesabaran serta keuletan sehingga menghasilkan sesuatu yang
optimal.[31]
Selain dari pada itu Rasululah Saw, sangat banyak memberikan petunjuk mengenai
etika bisnis, Ciri-ciri Rasulullah Saw berbisnis diantaranya adalah:
1)
Bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam
doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis.
Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam
tataran ini, beliau bersabda: “Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan
yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (H.R. Al-Quzwani). “Siapa
yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami” (H.R. Muslim). Rasulullah
sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang
meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian atas
2)
Kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku
bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan
sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan Bapak ekonomi kapitalis, Adam
Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan
bisnis. Tegasnya, berbisnis, bukan mencari untung material semata, tetapi
didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
3)
Tidak melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad saw sangat intens
melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi
bisnis Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi bersabda, “Dengan melakukan
sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah”.
Dalam hadis riwayat Abu Zar, Rasulullah saw mengancam dengan azab yang pedih
bagi orang yang bersumpah palsu dalam bisnis, dan Allah tidak akan
memperdulikannya nanti di hari kiamat (H.R. Muslim). Praktek sumpah palsu
dalam kegiatan bisnis saat ini sering dilakukan, karena dapat meyakinkan
pembeli, dan pada gilirannya meningkatkan daya beli atau pemasaran. Namun,
harus disadari, bahwa meskipun keuntungan yang diperoleh berlimpah, tetapi
hasilnya tidak berkah.
4)
Ramah-tamah. Seorang pelaku bisnis, harus bersikap ramah
dalam melakukan bisnis. Nabi Muhammad Saw
mengatakan, “Allah merahmati
seseorang yang ramah dan
toleran dalam berbisnis” (H.R.
Bukhari dan Tarmizi).
5)
Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang
lain tertarik membeli dengan harga tersebut. Sabda Nabi Muhammad, “Janganlah
kalian melakukan bisnis najsya (seorang pembeli tertentu, berkolusi dengan
penjual untuk menaikkan harga, bukan dengan niat untuk membeli, tetapi agar
menarik orang lain untuk membeli).
6)
Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli
kepadanya. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian
menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain”
(H.R. Muttafaq ‘alaih).
7)
Tidak melakukan ihtikar. Ihtikar ialah
(menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya
suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh). Rasulullah
melarang keras perilaku bisnis semacam itu.
8)
Takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan,
timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: “Celakalah
bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang
lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk
orang lain, mereka mengurangi” (QS. 83: 112).
9)
Bisnis tidak boleh mengganggu kegiatan ibadah kepada Allah.
Firman Allah, “Orang yang tidak dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat
Allah, dan dari mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu
hari yang hari itu, hati dan penglihatan menjadi goncang”.
10)
Membayar upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad
Saw bersabda, “Berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya”.
Hadist ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditundatunda.
Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang dilakuan.
11)
Tidak monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis
ialah melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah
eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air,
udara dan tanah dan kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral.
Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan
kepada orang lain. Ini dilarang dalam Islam.
12)
Tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat)
yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial. Misalnya,
larangan melakukan bisnis senjata di saat terjadi chaos (kekacauan) politik.
Tidak boleh menjual barang halal, seperti anggur kepada produsen minuman keras,
karena ia diduga keras, mengolahnya menjadi miras. Semua bentuk bisnis tersebut
dilarang Islam karena dapat merusak esensi hubungan sosial yang justru harus
dijaga dan diperhatikan secara cermat.
13)
Komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan
halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi,
dan sebagainya. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan
bisnis miras, bangkai, babi dan “patung-patung” (H.R. Jabir).
14)
Bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman
Allah, “Hai orangorang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku
dengan suka-sama suka di antara kamu” (QS. 4: 29).
15)
Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya. Rasulullah
memuji seorang muslim yang memiliki perhatian serius dalam pelunasan hutangnya.
Sabda Nabi Saw, “Sebaik-baik kamu, adalah orang yang paling segera membayar
hutangnya” (H.R. Hakim).
16)
Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) belum
mampu membayar. Sabda Nabi Saw, “Barang siapa yang menangguhkan orang yang
kesulitan membayar hutang atau membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di
bawah naunganNya pada hari yang tak ada naungan kecuali naungan-Nya” (H.R.
Muslim).
17)
Bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Firman
Allah, “Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu
beriman (QS. al-Baqarah: 278) Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah
sebagai orang yang kesetanan (QS. 2: 275). Oleh karena itu Allah dan
Rasulnya mengumumkan perang terhadap riba.
Dengan ciri-ciri
etika bisnis Islam yang tersebut diatas, kita dapat mengetahui perbedaan
bagaimana etika bisnis dalam Islam dengan etika bisnis kebanyakan budaya barat.
Perbedaan tersebut antara lain sebagai berikut:
C.
Upaya Membangun Bisnis
yang Sesuai dengan Al-Qur’an
Selama ini dalam pemikiran kita telah didominasi oleh pandangan hidup Materialisme
pada satu sisi dan pandangan keterpisahan antara kehidupan dunia dan
kehidupan agama. Kedua sisi ini harus disadari telah membenamkan kesadaran kita
kepada keyakinan bahwa bisnis merupakan aktivitas duniawi yang hanya
diperuntukan bagi pemenuhan kebutuhan hidup yang bersifat jasmaniah semata.
Karena itu upaya mewujudkan etika bisnis untuk membangun bisnis yang sesuai
dengan al-Qur’an dapat di lakukan
beberapa hal,
pertama, suatu rekonstruksi kesadaran baru tentang bisnis. Pandangan
bahwa etika bisnis sebagai bagian tak terpisahkan atau menyatu merupakanstruktur
fundamental sebagai perubah terhadap anggapan dan pemahaman tentangkesadaran
sistem bisnis amoral yang telah memasyarakat. Bisnis dalam al-Qur’an disebut sebagai aktivitas yang bersifat
material sekaligus immaterial. Sehingga suatu bisnis dapat disebut
bernilai, apabila kedua tujuannya yaitu pemenuhan kebutuhan material
dan spiritual telah dapat terpenuhi secara seimbang. Dengan pandangan
kesatuan bisnis dan etika, pemahaman atas prinsip-prinsip etika Suatu
bisnis bernilai, apabila memenuhi kebutuhan material dan spiritual secara
seimbang, tidak mengandung kebatilan, kerusakan dan kezaliman. Akan tetapi
mengandung nilai kesatuan,keseimbangan, kehendak bebas,
pertanggung-jawaban, kebenaran, kebajikan dan kejujuran. Dengan demikian etika bisnis
dapat dilaksanakan oleh siapapun.
Kedua, yang patut dipertimbangkan dalam upaya mewujudkan etika
bisnis untuk membangun tatanan bisnis yang Islami yaitu diperlukan suatu cara
pandang baru dalam melakukan kajian-kajian keilmuan tentang bisnis dan ekonomi
yang lebih berpijak pada paradigma pendekatan normatifetik sekaligus empirik
induktif yang mengedepankan penggalian dan pengembangan nilai-nilai al-Qur’an ,
agar dapat mengatasi perubahan dan pergeseran zaman yang semakin cepat. Atau
dalam kategori pengembangan ilmu pengetahuan modern harus dikembangkan
dalam pola pikir abductive pluralistic.[32] Dengan pola pikir ini pengembangan ilmu-ilmu keislaman
akan menjadi tajam dan proaktif terhadap persoalan-persoalan
kontemporer dan dapat mentransformasikannorma-norma dan nilai-nilai agama
ke dalam bingkai keilmuan sebagai cultural force.
[2]R. Lukman Fauroni, Rekonstruksi Etika
Bisnis: Perspektif Al-Qur’an , (Iqtisad Journal Of Islamic Economics Vol. 4, No. 1, 2003), 96
[3] Beekun, Rafiq Issa, Islamic
Business Ethict, (Virginia:
International In- titute ofIslamic Thought, 1997) dan
lihat juga Naqvi,
Syed Nawab, 1993. Ethict and Eco- nomics: An Islamic Syntesis,diterjemahkan
oleh Husin Anis: Etika dan Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis
Islami, Bandung: Mizan. 1993), 50
[4] Sri
Nawatmi, Etika Bisnis Prespektif Islam, Fokus Ekonomi (FE), April
2010 Vol. 9, No.1, (Semarang : Unisversitas Stikubank, 2010) , 54-55
[5] M. Nejatullah
Shiddiqi, Muslim Economic Thingking, (Leicester: The Islamic Foundation,
1981), 5
[7] Ibid, 6: 142 – 145; 16: 10 – 16
[8] Ibid, 2: 213; 40: 13
[9] Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi..., 204
[10] Ahmad Muflih Syaifuddin, “Perbandingan Sistem Ekonomi Islam dengan
Kapitalisme dan Marxisme” dalam Wawasan Islam dan Ekonomi, ed.
Mustofa Kamal, (Jakarta: FEUI, 1997), 128
[11] Syed Nawab Naqvi, Ethics and Economics. An Islamic Synthesis, telah diterjemahkan
oleh Husin Anis, Etika dan Ilmu Ekonomi.
Suatu Sintesis Islami ( Bandung: Mizan,
1993), 50-51. 14 Rafiq Issa Beekun, Islamic
Business Ethics (Virginia: International Institute of Islamic Thought,
1997), 20-23.
[12] QS. al-Hujurat
(49): 13.
[13] QS. al-An’am
(6): 163.
[14] QS.al-Kahfi(18):46.
[15] al-Qur'an, 2: 30 ; 6: 165; 38: 28
[16] Ismail Raji
al-Faruqi, “Is the Muslim Definable in Term of his Economic Pursuits?”
dalam Islamic Perspectives, ed. Khursyid Ahmad M dan Zafar Ishaq
Anshari, (London: The Islamic Foundation, tt), 192
[17] Saefuddin dan
Marasbessy, Desekularisasi Pemikiran, 87
[18] Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid......, 143
[19]Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Vol I, Terj. Soeroyo,
Nastangin (Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995), 74
[20] Akbar S.
Ahmad, Discovering Islam : Making Sence Moslem History and Society,
Terj. Nurding Ram dan Ramli Yakub dalam Citra Muslim : Tinjauan Sejarah dan
Sosiologi, (Jakarta : Erlangga, 1992), 235
[21]
Muslich,Etika Bisnis Islam,......37.
[22] Muhammad dan Lukman Fauroni, Visi al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), 13.
[23] QS. al-Baqarah
(2):195.
[24] QS. al-Isra
(17):35.
[25] QS. al-Furqan
(25):67-68,72-73.
[26] Syed Nawab Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi,....99 dan Rafiq Issa Beekun, Islamic Business Ethics,..... 24
[27]
Muslich, Etika Bisnis Islam,.....42, Lihat juga QS. An-Nisa (4):85, QS.al-Kahfi (18):29.
[28] QS. al
Mudassir (74): 38.
[29]
Muslich, Etika bisnis Islam., 43.
[30] Syed
Nawab Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi,...103.
[32]Lukman Fauroni, Rekonstruksi Etika
Bisnis: Perspektif Al-Qur’an, (Iqtisad Journal Of Islamic
Economics Vol. 4, No. 1, 2003), 104