URGENSI ETIKA BISNIS ISLAM
A. Pengertian Etika dan Bisnis a. Etika Etika berasal dari Bahasa Yunani Kuno ethos . Dalam bentuk kata tunggal kata t...

https://rohman-utm.blogspot.com/2012/02/urgensi-etika-bisnis-islam.html
A. Pengertian Etika
dan Bisnis
a. Etika
Etika berasal dari
Bahasa Yunani Kuno ethos. Dalam bentuk kata tunggal kata tersebut
mempunyai banyak arti, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara
berfikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan.
Dan artinya adalah adat kebiasaan dan arti terakhir inilah menjadi latar
belakang bagi terbentuknya istilah “Etika” yang oleh filosof Yunani Besar,
Aristoteles (384-322SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral[1]
Menurut Franz
Magnis-Suseno etika[2] merupakan salah
satu disiplin pokok dalam filsafat, ia merefleksikan bagaimana manusia harus
hidup agar berhasil menjadi sebagai manusia.
Dalam kamus bahasa
Inggris, etika (ethic) mengandung
empat pengertian. Pertama, etika
adalah prinsip tingkah laku yang benar atau baik atau kumpulan dari prinsip-prinsip itu. Kedua, etika, merupakan sistem
prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral.
Ketiga, dalam kata-kata “ethics” (yaitu “ethic” dengan tambahan “s” tapi dalam penggunaan mufrad (singular), diartikan sebagai
kajian tentang hakikat umum moral dan pilihan-pilihan khusus moral. Kempat, “ethics” (yaitu “ethic”
dengan tambahan “s” dalam penggunaan mufrad
(tunggal) dan jamak (plural), ialah ketentuan-ketentuan atau
ukuran-ukuran yang mengatur tingkah
laku para anggota suatu profesi[3]
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti : 1). Ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak). 2). Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. 3). Nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.[4]
K. Bertens dalam
bukunya yang berjudul Etika, memilih arti yang ketiga sebagai pengertian etika
yang paling substansial. Menurutnya etika adalah nilai-nilai dan norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok dalam mengatur
tingkah lakunya. Jika disebut “etika suku indian”, Etika Protestan (ingat
bukunya Max Weber, The Protestant Ethic
and The Spirit Of Capitalism),
Etika Islam, maka maksudnya bukan ilmu,
melainkan dalam pengertian yang telah disebut yaitu sebagai nilai mengenai
benar salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat.[5]
Sampai disini etika dapat juga disebut sebagai sistem nilai
yang dapat berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun sosial.
Disamping itu etika
dapat diartikan sebagai kode etik yang merupakan kumpulan asas atau nilai
moral. Seperti, kode etik dokter, kode etik pers dan lain-lain. Bisa juga etika
sebagai ilmu tentang baik dan buruk, etika disini sama artinya dengan filsafat
moral.
Adapun moral yang
berasal dari bahasa latin mos
(jamaknya mores) secara etimologis
bermakna adat kebiasaan. Jika didefinisikan,
moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau satu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam batasan ini pengertian
moral sama dengan etika dalam pengertian ketiga.5
Adalagi ungkapan
amoral. Kamus Concise Oxford Dictionary
menerangkan kata amoral sebagai, “tidak berhubungan dengan konteks moral” atau
“di luar suasana moral (non moral)”. Sedangkan immoral bertentangan dengan
moralitas yang baik atau “secara moral buruk”[6]
Kata yang sering
dipertukarkan dengan etika adalah etiket. Etiket secara sederhana berarti sopan
santun, atau menyangkut cara suatu perbuatan dilakukan dalam suatu pergaulan.
Jadi etiket lebih menyangkut perbuatan lahiriah. Sebagai contoh, ketika makan
bersama, etiket melarang makan dengan tangan kiri atau
ribut. Namun apabila makan sendiri ketika tidak ada orang yang menyaksikan maka
dalam suasana tersebut etiket tidak berlaku.
Di muka telah
dijelaskan, ada persamaan antara etika dan moral. Namun keduanya dapat di
bedakan. Amin Abdullah yang menulis desertasi, The idea of universality of ethical Norms In Ghazali and Kant, menyebut moral adalah aturan-aturan normatif (dalam Islam disebut dengan akhlak)
yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang dan
waktu. Penerapan tata nilai moral dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat
tertentu menjadi kajian antropologi sedangkan etika adalah bidang garap
filsafat. Realitas moral dalam kehidupan masyarakat yang terjernihkan lewat
studi kritis (critical studies) adalah
wilayah yang dibidangi etika. Jadi studi kritis terhadap moralitas menjadi
wilayah etika, sehingga moral tidak lain adalah objek material dari etika.[7]
Dalam pengertian
sederhana moral adalah seperangkat tata nilai yang sudah jadi dan siap pakai
sedangkan etika mempertanyakan secara kritis rumusan-rumusan baik-buruk yang
telah mengkristal dalam kehidupan sosial, untuk selanjutnya dirumuskan kembali.
Tegasnya, jika moral lebih condong kepada pengertian “nilai baik dan buruk dari
setiap perbuatan manusia itu sendiri”, maka etika merupakan ilmu yang
mempelajari tentang baik dan buruk. Bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk (ethics atau `ilm al-akhlaq)
dan moral (akhlak) adalah praktiknya[8].
Etika tidak berbicara bagaimana seharusnya, namun apa yang harus dilakukan,
tentu saja dalam bingkai baik buruk.
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia etika dijelaskan dengan arti
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak). Etika juga diartikan kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak. Serta diartikan nilai mengenai benar dan salah yang
dianut suatu golongan atau masyarakat[9]
b. Bisnis
Bisnis
termasuk kata yang sering digunakan orang, namun tidak semuanya memahami kata
bisnis secara tepat dan proporsional. Adapun pengertian bisnis adalah sebuah
aktivitas yang mengarah pada peningkatan nilai tambah melalui proses penyerahan
jasa, perdagangan atau pengelolaan barang (produksi), guna memaksimalkan
keuntungan[10]
Sedangkan secara umum bisnis[11]
diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh
pendapatan atau penghasilan atau rizki dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
keinginan hidupnya dengan cara mengelola sumber daya ekonomi secara efektif dan
efisien.[12]
Skinner mendefinisikan bisnis sebagai pertukaran barang, jasa, atau uang yang
saling menguntungkan atau memberi manfaat. Menurut Anoraga dan Soegiastuti,
bisnis memiliki makna dasar sebagai “the
buying and selling of goods and services”.
Adapun dalam
pandangan Straub dan Attner, bisnis tak lain adalah suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barangbarang dan
jasa-jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit.[13] Dalam Islam bisnis dapat dipahami sebagai
serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi
jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun
dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan
haram).8
Lebih ringkas dari
itu Brown dan Petrello menyebut bisnis adalah suatu lembaga yang menghasilkan
barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam pengertian yang
sederhana bisnis adalah lembaga yang menghasilkan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan orang lain[14]Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bisnis ialah usaha komersial di dunia
perdagangan, bidang usaha, usaha dagang[15]
B. Etika Bisnis dan
Etika Bisnis Islam
a. Etika Bisnis
Etika bisnis lahir
di Amerika pada tahun 1970-an kemudian meluas ke Eropa tahun 1980-an dan
menjadi fenomena global di tahun 1990-an jika sebelumnya hanya para teolog dan
agamawan yang membicarakan masalahmasalah moral dari bisnis, sejumlah filsuf
mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis, dan
etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang
meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat, akan tetapi ironisnya justru negara
Amerika yang paling gigih menolak kesepakatan Bali pada pertemuan negara-negara
dunia tahun 2007 di Bali. Ketika sebagian besar negara-negara peserta
mempermasalahkan etika industri negara-negara maju yang menjadi sumber penyebab
global warming agar dibatasi, Amerika menolaknya.[16]
Etika bisnis adalah
cara-cara atau perilaku etik dalam bisnis yang dilakukan oleh manajer/kru.
Semua ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness), sesuai
dengan hukum yang berlaku tidak bergantung pada kedudukan individu ataupun
perusahaan di masyarakat. Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur
oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan dengan
standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis sering kali kita
temukan area abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum[17]
Menurut Bertens
etika bisnis adalah studi tentang aspek-aspek moral dari kegiatan ekonomi dan
bisnis. Etika ini dapat dipraktikkan dalam tiga taraf. Pertama, taraf
makro, etika bisnis akan berbicara tentang aspek-aspek bisnis secara
keseluruhan, seperti persoalan keadilan. Kedua, taraf meso (madya),
etika bisnis menyelidiki masalah-masalah etis di bidang organisasi seperti
serikat buruh, lembaga konsumen, perhimpunan profesi, dan lain-lain. Ketiga, taraf
mikro, yang memfokuskan pada individu dalam hubungannya dalam kegiatan bisnis
seperti tanggung jawab etis karyawan dan majikan, manajer, produsen dan
konsumen[18]
Berbicara tentang
bisnis, maka kajian yang dibahas tak jauh mengenai kajian ekonomi.
M. Abdul Mannan menjelaskan dalam buku Teori dan Praktek Ekonomi Islam,
bahwa ilmu ekonomi Islam adalah ilmu tentang manusia, bukan sebagai individu
yang terisolasi, tetapi mengenai individu sosial yang meyakini nilai-nilai
hidup Islam.[19] Hal
ini menjelaskan bahwa nilai-nilai hidup (etika) berperan penting dalam dunia
bisnis.
b. Etika Bisnis Islam
Ada beberapa terma dalam al-Qur’an yang berkaitan
dengan konsep bisnis dalam Islam. Diantaranya adalah kata :al Tijarah, al-bai’u,tadayantum,
dan isytara.
Terma tijarah,
berawal dari kata dasar t-j-r, tajara, tajranwa tijaratan, yang bermakna berdagang, berniaga. At-tijaratunwalmutjar;
perdagangan atau perniagaan, attijariyyu
wal mutjariyyu; yang berarti mengenai perdagangan atau perniagaan.[20]
Dalam al-Qur’an terma tijarah ditemui sebanyak delapan kali dan tijaratuhum sebanyak satu kali. Bentuk tijarah terdapat dalam surat al-Baqarah (2): 282, an-Nisa (4): 29,
at-Taubah (9): 24, an-Nur (24): 37, Fatir (35): 29, as-Shaff (61): 10, pada
surat al-Jum’ah (62): 11 (disebut dua kali). Adapun Tijaratuhum pada
surat al-Baqarah (2): 16.[21]
Dalam penggunaan kata tijarah pada ayat-ayat di atas terdapat dua macam pemahaman.
Pertama, dipahami dengan perdagangan yaitu pada surat al-Baqarah (2): 282. Kedua,
dipahami dengan perniagaan dalam pengertian umum. Hal ini menarik dalam
pengertian-pengertian ini, dihubungkan dengan konteksnya masing-masing adalah pengertian
perniagaan tidak hanya berhubungan dengan hal-hal yang bersifat material atau
kuantitas, tetapi perniagaan juga ditujukan kepada hal yang bersifat immaterial kualitatif. Al-Qur’an
menjelaskan:
Katakanlah jika Bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, istriistri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan,
perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal
yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan dari
berjihad di jalan Allah maka tungguhlah sampai Allah mendatangkan keputusannya.
Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq.42
Wahai orang-orang yang beriman sukakah kamu aku tunjukkan
suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? Yaitu kamu
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan
jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.43
Ayat-ayat di atas menjelaskan tentang petunjuk
transaksi yang menguntungkan dan
perniagaan yang bermanfaat, sehingga pelakunya akan mendapatkan keuntungan
besar dan keberhasilan yang kekal. Perniagaan dimaksud adalah tetap dalam
keimanan, keikhlasan amal kepada Allah dan berjihad dengan jiwa dan harta
dengan menyebarkan agama dan meninggikan kalimat-Nya.[22]
Dari pemahaman di atas dapat diambil pemaknaan
bahwa prilaku bisnis bukan semata-mata perbuatan dalam hubungan kemanusiaan
semata tetapi mempunyai sifat Ilahiyah. Adanya sikap kerelaan diantara yang
berkepentingan, dan dilakukan dengan keterbukaan merupakan ciri-ciri dan
sifat-sifat keharusan dalam bisnis. Jika ciri-ciri dan sifat-sifat di atas
tidak ada, maka bisnis yang dilakukan tidak akan mendapat keuntungan dan
manfaat. Ayat-ayat di atas jelas memperlihatkan hakikat bisnis yang bukan
semata-mata material, tetapi juga immaterial.
Adapun terma bai’
dari kata ba’a, terdapat dalam
al-Qur’an dalam berbagai variasinya. Baya’tum,
yubayi’naka, yubayi’una, yubayi’unaka,
fabayi’hunna, tabaya’tum, bai/,
bibai’ikum, biya’un. Dari kata-kata tersebut yang paling banyak digunakan
adalah kata bai’, yaitu sebanyak enam
kali dan yubayi’unaka sebanyak dua
kali. Adapun kata-kata lainnya masing-masing disebutkan satu kali.[23]
Al-bai’u berarti menjual, lawan dari isytara[24] atau
memberikan sesuatu yang berharga dan mengambil dari padanya suatu harga dan
keuntungannya. Terma bai’un dalam
al-Qur’an digunakan dalam dua pengertian: Pertama, jual beli dalam konteks
tidak ada jual beli pada hari qiamat, karena itu al-Qur’an menyeru agar
membelanjakan, mendayagunakan dan mengembangkan harta benda berada dalam proses
yang tidak bertentangan dengan keimanan dan bertujuan untuk mencari keuntungan
yang dapat menjadi bekal pada hari kiamat.47 Kedua, al-bai’u
dalam pengertian jual beli yang halal, dan larangan untuk memperoleh atau
mengembangkan harta benda dengan jalan riba.[25]
Kemudian al-Qur’an menggunakan terma Isytara. Kata isytara dengan berbagai ragamnya sebanyak dua puluh lima kali.
Dalam bentuk isytara disebut satu
kali, isytaru tujuh kali, yasytarun lima kali, tasytaru dua kali, dan syarau, syarauhu, yasyruna, yasyri, yasytari, yasytaru masing-masing
satu kali.[26]
Secara umum kata isytara dan berbagai ragamnya lebih banyak mengandung makna
transaksi antara manusia dengan Allah atau transaksi sesama manusia yang
dilakukan karena dan untuk Allah, atau juga transaksi dengan tujuan keuntungan
manusia walaupun dengan menjual ayat-ayat Allah.[27]
Selain itu al-Qur’an juga menggunakan terma tadayantum yang disebutkan satu kali
yaitu pada surat al-Baqarah (2): 282. Ayat ini digunakan dalam pengertian
muamalah yakni jual beli, utang piutang, sewa menyewa dan lain sebagainya yang
jika dilakukan tidak secara tunai hendaknya pencatatan dengan benar.[28]
Dari penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa
terma bisnis dalam al-Qur’an baik yang terambil dari terma tijarah, al-bai, isytara,
tadayantum, pada hakikatnya tidak semata-mata bersifat material, tetapi juga immaterial.
Untuk itu pelaku bisnis harus sealu menjaga profesionalisme terhadap sesama dan
menjaga ketaatan terhadap Allah Swt. Dalam konteks inilah al-Qur’an menawarkan
keuntungan dengan suatu bursa yang tidak pernah mengenal kerugian, yaitu tijarahlan tabura.[29]
Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin harta dan
jiwa mereka dan imbalannya mereka memperoleh surga.....Siapakah yang lebih
menepati janjinya (selain) Allah, maka bergembiralah dengan jual beli yang kamu
lakukan itu, itulah kemenangan yang besar.[30]
Bisnis dalam Islam bertujuan untuk mencapai empat
hal utama
1. Target hasil: profit-materi dan benefit-nonmateri,
artinya bahwa bisnis tidak hanya untuk mencari profit (qimahmadiyah atau nilai materi) setinggi-tingginya, tetapi juga
harus dapat memperoleh dan memberikan benefit (keuntungan atau manfaat)
nonmateri kepada internal organisasi perusahaan dan eksternal (lingkungan),
seperti terciptanya suasana persaudaraan, kepedulian sosial dan sebagainya.
2. Benefit, yang dimaksudkan tidaklah semata
memberikan manfaat kebendaan, tetapi juga dapat bersifat nonmateri. Islam
memandang bahwa tujuan suatu amal perbuatan tidak hanya berorientasi pada qimahmadiyah. Masih ada tiga orientasi
lainnya, yakni qimahinsaniyah, qimahkhuluqiyah, dan qimahruhiyah. Dengan qimahinsaniyah, berarti pengelola
berusaha memberikan manfaat yang bersifat kemanusiaan melalui kesempatan kerja,
bantuan sosial (sedekah), dan bantuan lainnya. Qimahkhuluqiyah, mengandung pengertian bahwa nilai-nilai akhlak
mulia menjadi suatu kemestian yang harus muncul dalam setiap aktivitas bisnis
sehingga tercipta hubungan persaudaraan yang Islami, bukan sekedar hubungan
fungsional atau profesional. Sementara itu qimahruhiyah
berarti aktivitas dijadikan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah
Swt.55
3. Pertumbuhan, jika profit materi dan profit non
materi telah diraih, perusahaan harus berupaya menjaga pertumbuhan agar selalu
meningkat. Upaya peningkatan ini juga harus selalu dalam koridor syariah, bukan
menghalalkan segala cara. Keberlangsungan, target yang telah dicapai dengan
pertumbuhan setiap tahunnya harus dijaga keberlangsungannya agar perusahaan
dapat exis dalam kurun waktu yang
lama.
4. Keberkahan, semua tujuan yang telah tercapai tidak
akan berarti apa-apa jika tidak ada keberkahan di dalamnya. Maka bisnis Islam
menempatkan berkah sebagai tujuan inti, karena ia merupakan bentuk dari
diterimanya segala aktivitas manusia. Keberkahan ini menjadi bukti bahwa bisnis
yang dilakukan oleh pengusaha muslim telah mendapat ridla dari Allah Swt., dan
bernilai ibadah.[31]
Konsep bisnis dalam Islam banyak dijelaskan dalam al-Qur’an
dengan menggunakan beberapa terma, seperti; tijarah,
al-bai, isytara dan tadayantum. Dari
kesemua term tersebut menunjukkan bahwa bisnis dalam perspektif Islam pada
hakikatnya tidak semata-mata bersifat material
yang tujuannya hanya semata-mata mencari keuntungan duniawi, tetapi juga bersifat immaterial
yang tujuannya mencari keuntungan dan kebahagiaan ukhrawi. Untuk itu bisnis dalam Islam disamping harus dilakukan
dengan cara profesional yang melibatkan ketelitian dan kecermatan dalam proses
manajemen dan administrasi agar terhindar dari kerugian, ia juga harus terbebas
dari unsur-unsur penipuan (gharar),
kebohongan, riba dan praktek-praktek
lain yang dilarang oleh syariah.
Karena pada dasarnya aktivitas bisnis tidak hanya dilakukan antar sesame
manusia tetapi juga dilakukan antara manusia dengan Allah. Dalam konteks inilah
al-Qur’an menawarkan keuntungan dengan suatu bisnis yang tidak pernah mengenal
kerugian yang oleh al-Qur’an diistilahkan dengan “tijaratan lan tabura”. Karena walaupun seandainya secara material
pelaku bisnis Muslim merugi, tetapi pada hakikatnya ia tetap beruntung karena
mendapatkan pahala atas komitmenya dalam menjalankan bisnis yang sesuai dengan
syariah.
Dalam
pandangan Islam bisnis merupakan aspek kehidupan yang dikelompokkan kedalam
masalah muamalah, yakni masalah yang berkenaan dengan hubungan yang bersifat
horizontal dalam kehidupan manusia. Meskipun demikian, sektor ini mendapatkan
penekanan khusus dalam ekonomi Islam, karena keterkaitannya secara langsung
dengan sektorriil. Sistim ekonomi Islam memang lebih mengutamakan sektorriil
dibandingkan dengan sektor moneter, dan transaksi jual beli memastikan
keterkaitan kedua sektor yang dimaksud. Keutamaan sistem ekonomi yang
mengutamakan sektor riil seperti ini, pertumbuhan bukanlah merupakan ukuran
utama dalam melihat perkembangan ekonomi yang terjadi,tetapi pada aspek pemerataan,
dan ini memang lebih dimungkinkan dengan pengembangan ekonomi sektor riil.
Pemikiran etika
bisnis Islam muncul ke permukaan dengan landasan bahwa Islam adalah agama yang
sempurna. Ia merupakan kumpulan aturan-aturan ajaran dan nilai-nilai yang dapat
menghantarkan manusia dalam kehidupannya menuju tujuan kebahagiaan hidup baik
di dunia maupun akhirat. Etika bisnis Islam tak jauh berbeda dengan
pengejawantahan hukum dalam fiqih muamalah. Dengan kondisi demikian maka
pengembangan etika bisnis Islam yang mengedepankan etika sebagai landasan
filosofisnya merupakan agenda yang signifikan untuk dikembangkan[32]
Dalam Sejarah agama Islam tampak pandangan positif terhadap
perdagangan dan kegiatan ekonomis. Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang,
dan agama Islam disebarluaskan terutama melalui para pedagang muslim. Dalam Al
Qur’an terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak
dilarang mencari kekayaan dengan cara halal (QS: 2;275) “Allah telah menghalalkan perdagangan dan melarang riba”. Islam
menempatkan aktivitas perdagangan dalam posisi yang amat strategis di tengah
kegiatan manusia mencari rezeki dan penghidupan. Hal ini dapat dilihat pada
sabda Rasulullah SAW: “Perhatikan olehmu
sekalian perdagangan, sesungguhnya di dunia perdagangan itu ada sembilan dari
sepuluh pintu rezeki”. Dawam Rahardjo justru mencurigai tesis Weber tentang
etika Protestantisme, yang menyitir kegiatan bisnis sebagai tanggung jawab
manusia terhadap Tuhan mengutipnya dari ajaran Islam.[33]
Kunci etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak pada
pelakunya, itu sebabnya misi diutusnya Rasulullah ke dunia adalah untuk
memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak. Seorang pengusaha muslim
berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis Islami yang mencakup Husnul Khuluq. Pada derajat ini Allah
akan melapangkan hatinya, dan akan membukakan pintu rezeki, di mana pintu
rezeki akan terbuka dengan akhlak mulia tersebut, akhlak yang baik adalah modal
dasar yang akan melahirkan praktik bisnis yang etis dan moralis. Salah satu
dari akhlak yang baik dalam bisnis Islam adalah kejujuran (QS: Al Ahzab;70-71).
Sebagian dari makna kejujuran adalah seorang pengusaha
senantiasa terbuka dan transparan dalam jual belinya”Tetapkanlah kejujuran karena sesungguhnya kejujuran mengantarkan
kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan kepada surga” (Hadits).
Akhlak yang lain adalah amanah, Islam menginginkan seorang pebisnis muslim
mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya dengan memenuhi hak-hak Allah
dan manusia, serta menjaga muamalahnya dari unsur yang melampaui batas atau
sia-sia.
Seorang pebisnis muslim adalah sosok yang dapat dipercaya,
sehingga ia tidak menzholimi kepercayaan yang diberikan kepadanya “Tidak ada iman bagi orang yang tidak punya
amanat (tidak dapat dipercaya), dan tidak ada agama bagi orang yang tidak
menepati janji”, “pedagang yang jujur dan amanah (tempatnya di surga) bersama
para nabi, Shiddiqin (orang yang jujur) dan para syuhada” (Hadits). Sifat
toleran juga merupakan kunci sukses pebisnis muslim, toleran membuka kunci
rezeki dan sarana hidup tenang. Manfaat toleran adalah mempermudah pergaulan,
mempermudah urusan jual beli, dan mempercepat kembalinya modal” Allah mengasihi orang yang lapang dada dalam
menjual, dalam membeli serta melunasi hutang” (Hadits).
Konsekuen terhadap akad dan perjanjian merupakan kunci sukses
yang lain dalam hal apapun sesungguhnya Allah memerintah kita untuk hal itu “Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad
itu” (QS: Al- Maidah;1), “Dan
penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya”
(QS: Al Isra;34). Menepati janji mengeluarkan orang dari kemunafikan
sebagaimana sabda Rasulullah “Tanda-tanda munafik itu tiga perkara, ketika
berbicara ia dusta, ketika sumpah ia mengingkari, ketika dipercaya ia khianat”
(Hadits).
Islam mengatur agar persaingan di pasar dilakukan dengan
adil, sehingga seluruh bentuk transaksi yang menimbulkan ketidakadilan
dilarang, yaitu:
1.
Talaqqirukban dilarang karena pedagang yang menyongsong di pinggir kota
akan memperoleh keuntungan dari ketidaktahuan penjual dari daerah pinggiran
atau kampung akan harga yang berlaku di kota. Mencegah masuknya pedagang desa
ke kota ini (entry barrier), akan menimbulkan pasar yang tidak kompetitif.
2.
Mengurangi timbangan atau sukatan dilarang, karena barang
dijual dengan harga yang sama untuk jumlah yang lebih sedikit.
3.
Menyembunyikan barang cacat karena penjual mendapatkan harga
yang baik untuk kualitas yang buruk.
4.
Transaksi Najasy
dilarang, karena si penjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau menawar
dengan harga tinggi agar orang lain tertarik.
5.
Ikhtikar dilarang, karena bermaksud mengambil keuntungan di atas
keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih
tinggi.
Secara normatif
meurut Quraish Shihab, al-Qur’an relatif
lebih banyak memberikan prinsip-prinsip mengenai bisnis yang bertumpu pada
kerangka penanganan bisnis sebagai pelaku ekonomi dengan tanpa membedakan kelas[35]
Allah
berfirman, Wahai orang-orang yang beriman, maukah kamu Aku,
yang maha mengetahui ini, menunjukkan kepada kamu suatu perniagaan besar yang bila
kamu melakukannya maka ia dapat menyelamatkan kamu atas izin
Allah dari siksa yang pedih? Perniagaan itu adalah perjuangan di
jalan Allah karena jika kamu mau maka hendaklah kamu beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, yakni meningkatkan iman kamu dan memperbaharuinya dari
saat ke saat, dan juga berjihad, yakni
bersungguh-sungguh, dari saat ke saat mencurahkan apa yang kamu miliki berupa
tenaga, pikiran, waktu, dan dengan harta-harta dan jiwa-jiwa kamu masing-masing
di jalan Allah, yang demikian itu, yakni beriman dan berjihad, yang
sungguh tinggi nilainya lagi luhur baik buat kamu. Jika
kamu mengetahui bahwa hal tersebut baik maka tentulah kamu mengerjakannya[36]
Yang dimaksud
dengan kata tijarah dalam ayat ini adalah amal-amal saleh.
Memang al-Quran sering kali menggunakan kata itu untuk makna tersebut karena
motivasi beramal saleh – oleh banyak orang – adalah untuk memperoleh ganjaran
persis seperti perniagaan yang dijalankan seseorang guna meraih keuntungan[37].
A. Riawan Amin menjelaskan dalam bukunya “Menggagas
Manajemen Syariah” bahwa prinsip-prinsip etika bisnis menurut al-Quran
yaitu[38]
diganti al-Ghazali
1. Melarang bisnis yang dilakukan denagn
proses kebatilan (QS. 4:29). Bisnis harus didasari pada kerelaan dan
keterbukaan antara kedua belah pihak dan tanpa ada pihak yang dirugikan . orang
yang berbuat batil termasuk perbuatan aniaya, melanggar hak dan
berdosa besar (QS. 4:30). Sementara orang yang menjauhinya, maka
akan selamat dan akan mendapat kemuliaaan (QS. 4:31).
2. Bisnis tidak boleh mengandung unsur riba
(QS. 2:275).
Berdasarkan
uraian di atas, kajian ini akan berupaya mencari prinsip-prinsip etika bisnis
dalam perspektif al-Quran, yaitu etika bisnis yang mengedepankan nilai-nilai
al-Quran. Pernyataan ini pada satu sisi bertujuan menolak anggapan bahwa bisnis
hanya merupakan aktifitas keduniaan yang terpisah dari persoalan etika dan pada
sisi lain akan mengembangkan prinsip-prinsip etika bisnis al-Qur’an , sebagai
upaya konseptualisasi sekaligus mencari landasan
Bisnis dalam Islam bertujuan untuk mencapai
empat hal utama: (1) target hasil: profit-materi dan benefit-nonmateri, (2)
pertumbuhan, (3) keberlangsungan, (4) keberkahan.[39]
Target hasil: profit-materi dan benefit-nonmateri,
artinya bahwa bisnis tidak hanya untuk mencari profit (qimahmadiyah atau nilai materi) setinggi-tingginya, tetapi juga
harus dapat memperoleh dan memberikan benefit (keuntungan atau manfaat)
nonmateri kepada internal organisasi perusahaan dan eksternal (lingkungan),
seperti terciptanya suasana persaudaraan, kepedulian sosial dan sebagainya.
Benefit, yang dimaksudkan tidaklah semata
memberikan manfaat kebendaan, tetapi juga dapat bersifat nonmateri. Islam
memandang bahwa tujuan suatu amal perbuatan tidak hanya berorientasi pada qimahmadiyah. Masih ada tiga orientasi
lainnya, yakni qimahinsaniyah, qimahkhuluqiyah, dan qimahruhiyah. Dengan qimahinsaniyah, berarti pengelola
berusaha memberikan manfaat yang bersifat kemanusiaan melalui kesempatan kerja,
bantuan sosial (sedekah), dan bantuan lainnya. Qimahkhuluqiyah, mengandung pengertian bahwa nilai-nilai akhlak
mulia menjadi suatu kemestian yang harus muncul dalam setiap aktivitas bisnis
sehingga tercipta hubungan persaudaraan yang Islami, bukan sekedar hubungan
fungsional atau profesional. Sementara itu qimahruhiyah
berarti aktivitas dijadikan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah
Swt.55
Pertumbuhan, jika profit materi dan profit non
materi telah diraih, perusahaan harus berupaya menjaga pertumbuhan agar selalu
meningkat. Upaya peningkatan ini juga harus selalu dalam koridor syariah, bukan
menghalalkan segala cara. Keberlangsungan, target yang telah dicapai dengan
pertumbuhan setiap tahunnya harus dijaga keberlangsungannya agar perusahaan
dapat exis dalam kurun waktu yang
lama.
Keberkahan, semua tujuan yang telah tercapai tidak
akan berarti apa-apa jika tidak ada keberkahan di dalamnya. Maka bisnis Islam
menempatkan berkah sebagai tujuan inti, karena ia merupakan bentuk dari
diterimanya segala aktivitas manusia. Keberkahan ini menjadi bukti bahwa bisnis
yang dilakukan oleh pengusaha muslim telah mendapat ridla dari Allah Swt., dan
bernilai ibadah.[40]
C. Urgensi Etika
Bisnis : Islam dan kontemporer
Bisnis Kontemporer,
jika dicermati secara saksama nampak sebagai suatu realitas yang teramat
kompleks. Kompleksitas bisnis tidak bisa dipahami secara terpisah dari
masyarakat yang pada dirinya sendiri juga memliki struktur sangat
kompleks. Bagaimanapun perilaku mencerminkan akhlak (etika) seseorang.
Atau dengan kata lain, perilaku berelasi dengan etika. Apabila seseorang taat
pada etika, berkecendrungan akan menghasilkan perilaku yang baik dalam setiap
aktivitas atau tindakannya, tanpa kecuali dalam aktivitas bisnis. Secara
konkret bisa diilustrasikan jika seorang pelaku bisnis yang peduli pada etika,
bisa diprediksi ia akan bersikap jujur, amanah adil selalu melihat kepentingan
orang lain (moral altruistik) dan sebagainya. Sebaliknya bagi mereka yang tidak
mempunyai kesadaran akan etika, dimanapun dan kapanpun saja tipe kelompok orang
kedua ini akan menampakkan sikap kontra poduktif dengan sifat tipe kelompok
orang pertama dalam mengendalikan bisnis.[41]
Menurut Qardhawi,[42] antara
ekonomi (bisnis) dan akhlak (etika) tidak pernah terpisah sama sekali, seperti
halnya antara ilmu dan akhlak, antara politik dan akhlak,dan antara perang dan
akhlak. Akhlak adalah daging dan urat nadi kehidupan islami. Karena risalah
islam adalah risalah akhlak. Sebagaimana pula tidak pernah terpisah antara
agama dan negara, dan antara materi dan ruhani. Seorang muslim yakin akan
kesatuan hidup dan kesatuan kemanusiaan. Sebab itu tidak bisa diterima sama
sekali tindakan pemisahan antara kehidupan dunia dan agama sebagaimana yang
terjadi di eropa.
Seorang pengusaha
dalam pandangan etika islam bukan sekedar mencari keuntungan, melainkan juga
keberkahan yaitu kemantapan dari usaha itu dengan memperoleh keuntungan yang
wajar dan diridhai oleh Allah Swt. Ini berarti yang harus diraih oleh seorang
pedagang dalam melakukan bisnis tidak sebatas keuntungan materi tetapi yang
penting lagi adalah keuntungan immateriil (spiritual). Kebendaan yang
profan (tidak bersangkutan dengan agama atau tujuan keagamaan)[43] baru
bermakna apabila diimbangi dengan kepentingan spiritual yang transenden (ukhrawi).
Akan tetapi , perlu
disadari bagaimanapun dalam dunia usaha (bisnis) mau tidak mau akan muncul
masalah-masalah etis dan masalah-masalah etis itu sudah barang tentu harus
dicarikan jalan kluarnya.[44]Terlebih
lagi secara realitas, dunia usaha di tanah air masih maemandang etika bisnis
sebagai sesuatu yang asing, yang sulit ditempatkan ke dalam dunia bisnis
sehari-hari. Maraknya penggunaaan zat tambahan baik untuk penyedap, pengawet,
pewarna dan lain sebagainya merupakan nsalah satu contoh kecil yang memperkuat
tesis itu. Belum lagi kasus-kasus besar yang menyangkut masalah perusakan
lingkungan hidup, kejahatan perbankan, pembalakan hutan dan lain-lain, semakin
meyakini betapa penting peran etika bisnis dalam mengantisipasi penyimpangan
yang banyak merugikan bangsa itu
Dalam islam,
tuntutan bekerja adalah merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap muslim agar
kebutuhan hidupnya sehari-hari bisa terpenuhi. Salah satu jalan untuk memenuhi
kebutuhan itu antara lain melalui aktifitas bisnis sebagaimana telah
dicontohkan oleh baginda Rasulullah saw sejak masih usua muda.[45]
Oleh karena itu, sebagai pelaku bisnis terutama sebagai Muslim, ia harus
menyibukkan diri dengan masalah-masalah etis. Dengan kata lain, profesionalitas
dalam bisnis dituntut juga adanya kompetensi yang memadai dalam memecahkan
tantangan etika bisnis yang sekarang mulai longgar (permissive).
Kemampuan untuk menentukan sikap-sikap etis yang tepat, termasuk kompetensi
sebagai usahawan atau manajer. Begitu pula sebuah perusahaan hanya akan
berhasil dalam waktu panjang apabila berpegang pada standar-standar etis yang
berlaku.
Urgensi etika
bisnis menurut perspektif etika kontemporer, dapat dilihat cukup banyaknya
gejala yang menunjukkan bahwa dunia baru baik itu tampaknya makin jauh dari
jangkauan umat manusia. Ketidakpastian makin kuat resonansinya. Ketidaktenangan
tampak dimana-mana. Bahkan timbul ketakutan peradaban manusia akan mengalami
kemunduran. Jika ditanyakan, mengapa demikian? Jawabannya tidak mudah ditemukan
karena tidak ada satu faktorpun yang dampaknya begitu kuat sehingga faktor
tesebut menjadi satu-satunya penyebab.”[46]
D. Sistem etika kontemporer
Meskipun banyak
ahli dari Barat berusaha mengembangkan teori serta kode etika bisnis, mereka
belum mampu menyusun kode moral perilaku yang efektif untuk bisnis. Sebagian
besar moralitas dan etika merupakan sistem utilitarian dan materialistik. Hal
ini mudah dipahami karena konsep sekularisasi dalam kehidupan serta kurangnya
sumber petunjuk yang otentik di dunia Barat. Etika kontemporer sebagian besar
merupakan buatan manusia yang sifatnya relatif dan situasional serta kurang “legitimate”
dukungan otoritas di belakangnya.[47]
Ahli manajemen ,
Harold koontz mengakui bahwa di Barat, tidak ada sumber standar etika. Dalam
bangsa yang mempunyai agama negara, mungkin terdapat pusat sumber kewenangan
dalam mengajarkan praktik etika. Di AS, dengan banyaknya budaya etika dan
agama, tidak seorang pun yang menilik gereja, pemerintah, institusi pendidikan,
asosiasi swasta sebagai pusat tradisi etika[48]. Sehingga yang terjadi, mereka mengembangkan standar
etika berdasarkan pengalaman dan perasaan. Wajar jika kurang otentik dan
legitimasi. Mereka tidak percaya bahwa ada standar etika permanen myang bisa di
ikuti oleh hidup manusia. Di lain pihak mereka percaya bahwa konsep moral,
seperti halnya konsep lain, akan selalu berubah seiring waktu.
Perspektif Barat
pada etika bisnis umumnya seperti yang di ungkapkan oleh Drucker berikut ini:
Banyak Khotbah yang diajarkan pada etika bisnis dan pebisnis. Kebanyakan tidak
ada yang bisa dilakukan terkait bisnis serta sedikit saja terkait etika. Hal
ini seperti mempekerjakan gadis panggilan untuk menghibur pelanggan, bukanlah
masalah etika melainkan estetika.[49]Bisa
disimpulkan bahwa dunia Barat memandang bisnis dan etika merupakan perilaku
yang terpisah.
E. Isu-Isu Bisnis Kontemporer:
Potret Buram Perilaku Bisnis Di Indonesia
Sungguh ironis
sekali kedengarannya, Indonesia sebagai sebuah negara Muslim terbesar di dunia
dengan sumber daya yang melimpah, tetapi justru mengapa masih banyak masyarakat
yang belum terentas dari kemiskinan. Yang lebih memprihatinkan lagi bahwa
dewasa ini Bangsa Indonesia kurang mendapat kepercayaan dari orang lain
(Internasional) yang menyebabkan betapa sulitnya menarik investor asing
menanamkan modalnya di negeri ini. Ini mengindikasikan ada sesuatu yang tidak
beres dan salah urus. Selain faktor lain seperti masalah etika dan hukum yang
seyogyanya dijunjung tinggi oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama di
kalangan pelaku ekonomi maupun pengambil kebijakan. Bukankah disadari bahwa
menjunjung tinggi nilai moral dan hukum adalah merupakan bagian ajaran agama
apapun secara universal.
Itu berarti, selama
ini muslim Indonesia belum sepenuh hati mengaplikasikan nilai-nilai islam
sebagai keyakinannya. Secara jujur, nilai-nilai Rabbaniyah (Ilahiyah)
belum terimplementasi dalam kehidupan bisnis yang berpotensi bisa merugikan
perekonomian bangsa dalam skala makro. Bahkan jika sekiranya implementasi itu
justru akan menguntungkan Bangsa Indonesia yang kurang lebih 90 % penduduknya
sebagai muslim. Di sinilah relevansi membangun nilai-nilai Rabbaniyah dalam
perekonomian Indonesia agar bangsa menjadi kuat dan bisa kompetitif dengan
bangsa lain di dunia. Dalam realitas justru menunjukkan hal sebaliknya. Banyak
ditemukan keganjalan perilaku bisnis yang secara signifikan bisa ikut
mempengaruhi perkembangan ekonomi secara makro. Beragam perilaku itu tidak lagi
sebagai variabel pendukung, tetapi sebaliknya akan menjadi faktor penghambat
kemajuan ekonomi bangsa.
Misalnya saja, pada
pertengahan tahun 1997, Asia dilanda krisis ekonomi, termasuk Indonesia.
Kejadian ini lebih dikenal dengan istilah krisis moneter. Penyebab utamanya karena
liberalisasi ekonomi yang diterapkan pemerintah Orde Baru. Pihak swasta bebas
mengambil utang luar negeri tanpa pengawasan pemerintah, di samping utang
pemerintah sendiri. Pinjaman jangka pendek, digunakan dalam investasi modal
jangka panjang. Akibatnya, pada saat utang jatuh tempo pengusaha karbitan ini
tidak mampu membayar kewajibannya. Demikian pula perusahaan Bank meminjam modal
luar negeri dengan bunga rendah, 3-4 % setahun. Uang ini mereka pinjamkan lagi
dengan tingkat bunga yang cukup tinggi, 18-20% setahun. Dangan praktik tamak
ini perbankan akan meraup untung yang sungguh fantastik. Namun demikian, dengan
perubahan harga dollar, harga rupiah merosot tajam sehingga pengusaha yang
mendapat pinjaman luar negeri sangat kewalahan. Utang mereka dalam rupiah
menjadi berlipat ganda jumlahnya sehingga mereka tidak mampu lagi membayar.
Keadaan ini diperparah lagi oleh pihak perbankan, karena mereka meminjamkan
sebagian besar modalnya kepada industri milik orang bank sendiri.[50]
Akibat yang
dirasakan industri nasional mengalami kehancuran karena harga barang impor
sangat tinggi (bila dinilai dengan rupiah), harga pokok barang industri menjadi
tinggi, harga jual tinggi, akhirnya hasil produksi tidak laku. Di sana sini
daya beli menurun karena banyak terjadi pemutusan hubungan kerja. Akibat lebih
jauh, nama Indonesia jatuh di mata Internasional.
Tidak hanya itu,
dalam bidang perbankan, para nasabah mulai gelisah dan hilang kepercayaan.
Mereka secara massif berusaha menarik dana simpanannya dari bank. Akibatnya, bamk
kekurangan likuiditas guna memenuhi tuntutan nasabah. Pengusaha perbankan
terpaksa minta bantuan likuiditas kepada Bank Indonesia (BI). Dengan
kebijaksanaan pemerintah saat itu, BI diperintahkan untuk membantu bank-bank
yang mulai kehabisan dana yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI).Namun celakanya lagi, bantuan yang diberikan dengan niat yang baik
pemerintah itu disalahgunakan pula oleh pengusaha perbankan. Bantuan itu bukan
untuk membayar uang nasabah, tetapi digunakan untuk kepentingan diri sendiri
atau dilarikan keluar negeri. Akhirnya muncul lagi krisis jilid kedua, yaitu
krisis BLBI.
Akhirnya bisa
dipahami bahwa ekonomi Indonesia yang dinilai tumbuh pesat dengan modal
pinjaman luar negeri itu ternyata hanya sebuah fatamorgana di tengah panasnya
perekonomian Indonesia. Krisis ini terjadi karena semua pelaku dan sistem yang
dianut jauh dari nilai-nilai spiritual yang tidak mengedepankan nilai
kejujuran, keadilan, keterbukaan, dan lain sebagainya. Mereka menilai parameter
sukses itu adalah dengan ukuran meteri, atau seberapa besar keuntungan yang
bisa dikuasai. Mereka lebih banyak mengejar keuntungan sepihak dan jangka
pendek, tidak lagi keuntungan jangka panjang. Karena itu mereka lebih
mementingkan kepentingan sendiri daripada kepentingan orang lain. Nilai moral
terjauh dari hati mereka, karena orang lain hanya diposisikan sebagai objek
pemerasan untuk meraih keuntungan. Inilah wajah sistem kapitalisme yang sangat
paradoks dengan nilai-nilai sistem ekonomi yang berbasiskan Rabbaniyah.
F. Peran Etika Dalam
Bisnis
Secara umum, etika
adalah ilmu normatif penuntun hidup manusia, yang memberi perintah apa yang
seharusnya kita kerjakan. Maka etika mengarahkan manusia menuju aktualisasi
kapasitas terbaiknya. Dengan menerapkan etika dan kejujuran dalam berusaha
dapat menciptakan baik aset langsung maupun tidak langsung yang akhirnya
meningkatkan nilai entitas bisnis itu sendiri. Banyak kasus diberbagai negara
yang membuktikan hal tersebut. Apalagi dengan tingkat persaingan yang semakin
tinggi, kepuasan konsumenlah yang menjadi faktor utama agar perusahaan
sustainable dan dapat dipercaya dalam jangka panjang. Konsumen cenderung
semakin kritis dengan memperhatikan perilaku perusahaan yang memproduksi
barang-barang yang akan mereka konsumsi.
Pada dasarnya
praktik etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka
menengah maupun jangka panjang. Misalnya dapat mengurangi biaya akibat
dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik internal perusahaan maupun dengan
eksternal. Perusahaan yang menerapkan etika, dapat meningkatkan motivasi kru
dalam bekerja, bahwa bekerja selain dituntut menghasilkan yang terbaik, juga
diperoleh dengan cara yang baik pula. Penerapan etika juga melindungi prinsip
kebebasan berusaha serta meningkatkan keunggulan bersaing. Selain itu, penerapan
etika bisnis juga mencegah agar perusahaan tidak terkena sanksi-sanksi
pemerintah karena berperilaku tidak beretika yang dapat digolongkan sebagai
pebuatan melawan hukum.
Dengan demikian,
menjadi jelas bahwa tanpa suatu etika yang menjadi acuan, para pebisnis akan
lepas tidak terkendali, mengupayakan segala cara, mengorbankan apa saja untuk
mencapai tujuannya. Pada umumnya filosofi yang mendomonasi para pebisnis adalah
bagaimana cara memaksimalkan keuntungan. Pebisnis seperti ini, sepeti yang
dikatakan oleh Charles Diskens : “Semua perhatian, dorongan, harapan,
pandangan, dan rekanan mereka meleleh dalam dolar. Manusia dinilai dari
dolarnya”. Theodore Levitt mengatakn bahwa para pebisnis ada hanya untuk satu
tujuan, yaitu untuk menciptakan dan mengalirkan nilai kepuasan dari suatu
keuntungan hanya pada dirinya dan nilai budaya, nilai spiritual dan moral tidak
menjadi pertimbangan dalam pekerjaannya. Akibatnya sungguh mengerikan. Mereka
dapat menyebabkan perang antarbangsa, antarlembaga, dan antarperusahaan. Mereka
menganggap dan membuat bisnis seolah medan perang. Dalam perekonomian yang
berjalan berdasarkan prinsip pasar dimana “bisnis adalah bisnis”, kebebasan
berusaha adalah yang utama. Namun kebebasan untuk mengejar tujuan bisnis juga
mengandung kewajiban untuk memastikan bahwa kebebasan itu diperoleh secara
bertanggung jawab.
Perumusan dan
penetapan etika bisnis merupakan salah satu dari sekian banyak upaya pemersatu
(internal intergration) yang diusahakan oleh pemimpin perusahaan untuk
meningkatkan daya tahan bisnisnya. Itu dilakukan dengan mengindahkan
prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang baik (good corporate gorvemance)
sekaligus memenuhi kewajibannya sebagai warga masyarakat yang bertanggung jawab
(corporate sosial responsibility).[51]
Etika bisnis juga
berhubungan dengan nilai merek (brand value). Perilaku bisnis yang
beretika berkontribusi pada pembangunan citra dari nilai merek sebuah produk.
Salah satu caranya dengan memberikan pelatihan mengenai etika pada kru.
Hasilnya sungguh luar biasa. Misalnya, menurunnya biaya, menurunnya pelputasi,
anggaran dan perusakan pada merek atau reputasi, dan pada akhirnya menurunnya
hukuman akibat melanggar aturan yang telah ditentukan. Sehingga diperlukan
kemampuan untuk menghasilkan ‘brand value’ dan reputasi dengan standar
integrasi bisnis dan tanggung jawab sosial yang tinggi. CSR tidak hanya sebuah
pilihan, CSR merupakan prasarat integral dan mutlak untuk kesuksesan bisnis
dalam jangka panjang. Meningkatnya CSR bararti meningkatnya manajemen kualitas.[52]
[1] Nur Ahmad Fadhil dan Azhari
Akmal, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama,
2001),.25.
[2] Dataran etika normatif (teoritis). Disini ada
beberapa kelompok pemikiran.(1) Teleologis, paham bahwa baik-buruknya tindakan
etis ditentukan oleh tujuan tertentu.Karena itu, menurut kaum teleolog, etika
adalah konsep yang relatif terhadap tujuan. (Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta, Gramedia,1996),1087).Termasuk dalam
kategori ini, antara lain; (a) etika eudamonia, bahwa baik buruknya tindakan
manusia dilihat dari sejauh mana ia mampu mengantarkan sipelaku pada
kebahagiaan tertinggi. (Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika (Yogya, Kanisius, 1997), 30). Tokoh utamanya adalah
Aristoteles; (b) etika egoisme, bahwa baik buruk perbuatan individu diukur dari
kemampuannya meningkatkan kesejahteraan, kebahagiaan dan kepentingan pribadi
sipelaku. (Lorens Bagus, Kamus Filsafat,
180). Tokohnya, antara lain, GC. Scotti dan Max Sterner; (c) etika
utilitarianisme, bahwa benar salahnya perbuatan dilihat pada dampaknya dalam
memberikan sebanyak mungkin kebaikan, pada diri pelaku dan kebaikan kepada
sebanyak mungkin orang lain. Tokohnya adalah Jeremy Bentham (1748-1832) dan
John Stuart Mill (1806-1873). (2) Deontologis, kebalikan dari teleologis, bahwa
baik buruk tindakan tidak dilihat pada tujuan atau konsekuensi tindakan
melainkan padaperbuatan itu sendiri,dengan merujuk pada aturan perilaku formal,
dimana aturan perilaku formal ini dihasilkan dari intuisi atau apriori.(Tim
Penulis Rosda, Kamus Filsafat
(Bandung, Rosda Karya, 1995), 102). Misalnya, berbohong adalah jelek, karena
perbuatan bohong itu sendiri secara moral memang tidak baik, meski ia dilakukan
untuk tujuan-tujuan yang baik. Tokoh pemikiran etika ini adalah Immanuel Kant
(1724-1804). (3)Relativisme, bahwa dalam putusan-putusan moral tidak ada
kriteria yang absolut. Semua tergantung pada kebudayaan masing-masing individu,
sehingga nilai moralitas masing-masing orang atau masyarakat akan berbeda.
Pemikiran ini dianut, antara lain, oleh Protagoras, Pyrho, Westermack, Joseph
Fletcher dan kaum skeptis.(4) Nihilisme, suatu paham yang menyangkal keabsahan
alternatif positif manapun. Menurut paham ini, semua putusan nilai etis telah
kehilangan kesahehannya, sehingga tidak ada satupun yang bisa digunakan sebagai
patokanetis. Paham ini, antara lain, diberikan oleh Nietzche (1844-1900),
Schopenhauer dan Giorgias.(5)Universalisme, bahwa apa yang dianggap baik oleh
seseorang harus juga dianggap baik atau benar oleh orang lain dalam situasi
yang sama. Misalnya,
[3] Ibid, 11
[4] Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta:Balai Pustaka,1995), 271
2Ibid.,11
[5] Ibid., 4-7
[6] Ibid.,
[7] Amin Abdullah, Falsafah kalam Di Era Post Modernisme, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1995),.146-147
[8] Haidar Bagir, “Etika “Barat”, Etika Islam”,
Pengantar dalam buku, Amin Abdullah, Filsafat
Etika Islam Antara Al_Ghazali dan
kant, (Bandung : Mizan, 2002). 15
9K.Bertens,
235-240
[9] Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,
2001309.
[10] Sknaer sebagaimana dikutip oleh Ismail Yusanto
dan Wijaya Kusuma, Menggagas Bisnis Islami (Jakarta: Gema Insani Press,
2002), 22.
[11] Bisnis dapat juga didefinisikan sebagai
kegiatan tukar menukar barang atau jasa atau keduanya.Pada masa awal sebelum
uang ditemukan, tukar menukar barang dinamakan barter yaitu menukar barang
dengan barang. Pada masa modern perdagangan dilakukan dengan penukaran uang.
Setiap barang dinilai dengan sejumlah uang. Pembeli akan menukar barang atau
jasa dengan sejumlah uang yang diinginkan penjual. Dan aktivitas perdagangan
ini merupakan kegiatan utama dalam sistem ekonomi yang diterjemahkan sebagai
sistem aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi,
pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa (Wikipidia/bisnis.com).
[12] Muslich, Etika
Bisnis Islami. Landasan Filosofis, Normatif, dan Substansi Implementatif (Yogyakarta:
Ekonisia Fakultas Ekonomin UII, 2004),46.
[13] Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet
Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami (
Jakarta: Gema Insani Press, 2002),15.
[14] ibid
[16] Hamam
Burhanuddin, Etika Ekonomi dan Bisnis. Perspektif Agama-Agama
di Indonesia Economic and Business Ethics. Religious Perspectives in Indonesia
(Geneva: Globethics.net, 2014), 13
[17]A. Riawan Amin, Menggagas
Manaajemen Syariah, Teori dan Praktek The Celestial Management, (Jakarta:
Salemba Empat. 2010), 32
[19]M. Abdul Mannan, Teori
dan Praktek Ekonomi Islam, Terj M. Nastangin (Jakarta: Dana Bhakti
Wakaf, 1995), 19
[20]
Kamusal-Munawwir (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), 139.
[21] Fu’adAbdulBaqi,Mu’jamal-Mufahrasy(Kairo:DarulFikr,1981),152 42 Departemen Agama RI, op. cit.,QS. At-Taubah (9):24. 43 Ibid., QS. As-Shaff (61): 10-11
[22] Musthafaal-Maraghi, Tafsiral-Maraghi, terjemahan Bahrun Abu Bakardkk., jilid 28, 29, 30
(Semarang: PT Toha Putra, 1993), 145-146.
[23] Fu’ad
Abdul Baqi, Al-Mu’jam Mufahrasy, Op. cit,
141.
[24] Kamusal-Munawwir, op.cit.,134. 47 Lihat QS. al-Baqarah (2):254
[25] Lihat
QS. al-Baqarah (2):275
[26] Fu’ad
Abdul Baqi, op.cit.,381
[27] Seperti beberapa ayat berikut: QS. at-Taubah
(2): 111 digunakan dalam pengertian membeli dalam konteks Allah membeli diri
dan harta orang-orang mukmin, QS. al-Baqarah (2): 16; membeli kehidupan
duniadengankehidupan akhirat, QS. al-Baqarah (2): 86; menjual diri dengan
kekafiran, QS. al-Baqarah (2): 90; membeli kesesataan dengan petunjuk, QS. al-Baqarah
(2): 175; menukar iman dengan kekafiran, QS. AliImran (3): 177, 187; menukar
ayat Allah dengan harga yang sedikit.
[28] QS. al-Baqarah
(2): 282
[29] Quraish Shihab, “Etika Bisnis dalam Wawasan
al-Qur’an”, Jurnal Ulumul Qur’an 3 /
VII/97,5.
[30] QS.
At-Taubah (9):111.
[31] Muhammad
Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma, 18. 55 Ibid.,19
[32]Muhammad dan R. Lukman
Fauroni, Visi Al-Quran: Tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002), 3.
[33] M. Dawam Raharjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi (Yogyakarta: Lembaga Studi
Agama dan Filsafat, 1999), 262.
[34] Anas Zarqa, “Qawaid al-Mubadalat fi al-Fiqh
al-Islami”, Reviewof Islamic
Economics 1.2 (Leicester: International Association for Islamic Economics,
1991).
[35] ibid
[37] ibid
[39] Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet
Widjajakusuma,.,18. 55 Ibid.,19.
[40] Ibid.,20.
[42]Yusuf Qardhawi, Dawr al-Qiyam
wa al-akhlak fi al-iqtisad al-islami, (kairo- mesir: Maktabah Wahbah,
1995). 57
[47]S.F ahmad, “The Ethical
Responsibility of Business: Islamic Principles and Implication”,proceedings of
The Seminar on Islamic Principles of Organisational Behaviour (IIIT,
Herndorn, USA, 1988), 2
[50]Buchari Alma, Dasar-dasar Etika
Bisnis Islami ,(Bandung: Alfabeta,2003), 43.
[52] Ibid, 13