rohmans

URGENSI ETIKA BISNIS ISLAM

A.    Pengertian Etika dan Bisnis a.          Etika Etika berasal dari Bahasa Yunani Kuno  ethos . Dalam bentuk kata tunggal kata t...


A.  Pengertian Etika dan Bisnis
a.        Etika
Etika berasal dari Bahasa Yunani Kuno ethos. Dalam bentuk kata tunggal kata tersebut mempunyai banyak arti, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berfikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Dan artinya adalah adat kebiasaan dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “Etika” yang oleh filosof Yunani Besar, Aristoteles (384-322SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral[1]
Menurut Franz Magnis-Suseno etika[2] merupakan salah satu disiplin pokok dalam filsafat, ia merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar berhasil menjadi sebagai manusia.

Dalam kamus bahasa Inggris, etika (ethic) mengandung empat pengertian. Pertama, etika adalah prinsip tingkah laku yang benar atau baik atau kumpulan dari prinsip-prinsip itu. Kedua, etika, merupakan sistem prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral. Ketiga, dalam kata-kata “ethics” (yaitu “ethic” dengan  tambahan “s” tapi dalam penggunaan mufrad (singular), diartikan sebagai kajian tentang hakikat umum moral dan pilihan-pilihan khusus moral. Kempat,ethics” (yaitu “ethic” dengan tambahan “s” dalam penggunaan mufrad (tunggal) dan jamak (plural), ialah ketentuan-ketentuan atau ukuran-ukuran yang mengatur tingkah laku para anggota suatu profesi[3]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti : 1). Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). 2). Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. 3). Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.[4]
K. Bertens dalam bukunya yang berjudul Etika, memilih arti yang ketiga sebagai pengertian etika yang paling substansial. Menurutnya etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Jika disebut “etika suku indian”, Etika Protestan (ingat bukunya Max Weber, The Protestant Ethic and The Spirit Of Capitalism), Etika Islam, maka maksudnya bukan ilmu, melainkan dalam pengertian yang telah disebut yaitu sebagai nilai mengenai benar salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat.[5] Sampai disini etika dapat juga disebut sebagai sistem nilai yang dapat berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun sosial.
Disamping itu etika dapat diartikan sebagai kode etik yang merupakan kumpulan asas atau nilai moral. Seperti, kode etik dokter, kode etik pers dan lain-lain. Bisa juga etika sebagai ilmu tentang baik dan buruk, etika disini sama artinya dengan filsafat moral.

Adapun moral yang berasal dari bahasa latin mos (jamaknya mores) secara etimologis bermakna adat kebiasaan. Jika didefinisikan, moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau satu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam batasan ini pengertian moral sama dengan etika dalam pengertian ketiga.5
Adalagi ungkapan amoral. Kamus Concise Oxford Dictionary menerangkan kata amoral sebagai, “tidak berhubungan dengan konteks moral” atau “di luar suasana moral (non moral)”. Sedangkan immoral bertentangan dengan moralitas yang baik atau “secara moral buruk”[6]
Kata yang sering dipertukarkan dengan etika adalah etiket. Etiket secara sederhana berarti sopan santun, atau menyangkut cara suatu perbuatan dilakukan dalam suatu pergaulan. Jadi etiket lebih menyangkut perbuatan lahiriah. Sebagai contoh, ketika makan bersama, etiket melarang makan dengan tangan kiri atau ribut. Namun apabila makan sendiri ketika tidak ada orang yang menyaksikan maka dalam suasana tersebut etiket tidak berlaku.
Di muka telah dijelaskan, ada persamaan antara etika dan moral. Namun keduanya dapat di bedakan. Amin Abdullah yang menulis desertasi, The idea of universality of ethical Norms In Ghazali and Kant, menyebut moral adalah aturan-aturan normatif (dalam Islam disebut dengan akhlak) yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang dan waktu. Penerapan tata nilai moral dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat tertentu menjadi kajian antropologi sedangkan etika adalah bidang garap filsafat. Realitas moral dalam kehidupan masyarakat yang terjernihkan lewat studi kritis (critical studies) adalah wilayah yang dibidangi etika. Jadi studi kritis terhadap moralitas menjadi wilayah etika, sehingga moral tidak lain adalah objek material dari etika.[7]
Dalam pengertian sederhana moral adalah seperangkat tata nilai yang sudah jadi dan siap pakai sedangkan etika mempertanyakan secara kritis rumusan-rumusan baik-buruk yang telah mengkristal dalam kehidupan sosial, untuk selanjutnya dirumuskan kembali. Tegasnya, jika moral lebih condong kepada pengertian “nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri”, maka etika merupakan ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk. Bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk (ethics atau `ilm al-akhlaq) dan moral (akhlak) adalah praktiknya[8]. Etika tidak berbicara bagaimana seharusnya, namun apa yang harus dilakukan, tentu saja dalam bingkai baik buruk.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia etika dijelaskan dengan arti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Etika juga diartikan kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Serta diartikan  nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat[9]

b.        Bisnis
Bisnis termasuk kata yang sering digunakan orang, namun tidak semuanya memahami kata bisnis secara tepat dan proporsional. Adapun pengertian bisnis adalah sebuah aktivitas yang mengarah pada peningkatan nilai tambah melalui proses penyerahan jasa, perdagangan atau pengelolaan barang (produksi), guna memaksimalkan keuntungan[10]
Sedangkan secara umum bisnis[11] diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan atau rizki dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya dengan cara mengelola sumber daya ekonomi secara efektif dan efisien.[12] Skinner mendefinisikan bisnis sebagai pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau memberi manfaat. Menurut Anoraga dan Soegiastuti, bisnis memiliki makna dasar sebagai “the buying and selling of goods and services”.
Adapun dalam pandangan Straub dan Attner, bisnis tak lain adalah suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barangbarang dan jasa-jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit.[13] Dalam Islam bisnis dapat dipahami sebagai serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram).8
Lebih ringkas dari itu Brown dan Petrello menyebut bisnis adalah suatu lembaga yang menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam pengertian yang sederhana bisnis adalah lembaga yang menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan orang lain[14]Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bisnis ialah usaha komersial di dunia perdagangan, bidang usaha, usaha dagang[15]
B.  Etika Bisnis dan Etika Bisnis Islam
a.        Etika Bisnis
Etika bisnis lahir di Amerika pada tahun 1970-an kemudian meluas ke Eropa tahun 1980-an dan menjadi fenomena global di tahun 1990-an jika sebelumnya hanya para teolog dan agamawan yang membicarakan masalahmasalah moral dari bisnis, sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis, dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat, akan tetapi ironisnya justru negara Amerika yang paling gigih menolak kesepakatan Bali pada pertemuan negara-negara dunia tahun 2007 di Bali. Ketika sebagian besar negara-negara peserta mempermasalahkan etika industri negara-negara maju yang menjadi sumber penyebab global warming agar dibatasi, Amerika menolaknya.[16]
Etika bisnis adalah cara-cara atau perilaku etik dalam bisnis yang dilakukan oleh manajer/kru. Semua ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness),  sesuai dengan hukum yang berlaku tidak bergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat. Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan dengan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis sering kali kita temukan area abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum[17]
Menurut Bertens etika bisnis adalah studi tentang aspek-aspek moral dari kegiatan ekonomi dan bisnis. Etika ini dapat dipraktikkan dalam tiga taraf. Pertama,  taraf makro, etika bisnis akan berbicara tentang aspek-aspek bisnis secara keseluruhan, seperti persoalan keadilan. Kedua, taraf meso (madya), etika bisnis menyelidiki masalah-masalah etis di bidang organisasi seperti serikat buruh, lembaga konsumen, perhimpunan profesi, dan lain-lain. Ketiga, taraf mikro, yang memfokuskan pada individu dalam hubungannya dalam kegiatan bisnis seperti tanggung jawab etis karyawan dan majikan, manajer, produsen dan konsumen[18]
Berbicara tentang bisnis,  maka kajian yang dibahas tak jauh mengenai kajian ekonomi. M. Abdul Mannan menjelaskan dalam buku Teori dan Praktek Ekonomi Islam, bahwa ilmu ekonomi Islam adalah ilmu tentang manusia, bukan sebagai individu yang terisolasi, tetapi mengenai individu sosial yang meyakini nilai-nilai hidup Islam.[19] Hal ini menjelaskan bahwa nilai-nilai hidup (etika) berperan penting dalam dunia bisnis.
b.        Etika Bisnis Islam
Ada beberapa terma dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan konsep bisnis dalam Islam. Diantaranya adalah kata :al Tijarah, al-bai’u,tadayantum, dan isytara.
Terma tijarah, berawal dari kata dasar t-j-r, tajara, tajranwa tijaratan, yang bermakna berdagang, berniaga. At-tijaratunwalmutjar; perdagangan atau perniagaan, attijariyyu wal mutjariyyu; yang berarti mengenai perdagangan atau perniagaan.[20]
Dalam al-Qur’an terma tijarah ditemui sebanyak delapan kali dan tijaratuhum sebanyak satu kali. Bentuk tijarah terdapat dalam surat al-Baqarah (2): 282, an-Nisa (4): 29, at-Taubah (9): 24, an-Nur (24): 37, Fatir (35): 29, as-Shaff (61): 10, pada surat al-Jum’ah (62): 11 (disebut dua kali). Adapun Tijaratuhum pada surat al-Baqarah (2): 16.[21]
Dalam penggunaan kata tijarah pada ayat-ayat di atas terdapat dua macam pemahaman. Pertama, dipahami dengan perdagangan yaitu pada surat al-Baqarah (2): 282. Kedua, dipahami dengan perniagaan dalam pengertian umum. Hal ini menarik dalam pengertian-pengertian ini, dihubungkan dengan konteksnya masing-masing adalah pengertian perniagaan tidak hanya berhubungan dengan hal-hal yang bersifat material atau kuantitas, tetapi perniagaan juga ditujukan kepada hal yang bersifat immaterial kualitatif. Al-Qur’an menjelaskan:
Katakanlah jika Bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istriistri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan Allah maka tungguhlah sampai Allah mendatangkan keputusannya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq.42
Wahai orang-orang yang beriman sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? Yaitu kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.43
Ayat-ayat di atas menjelaskan tentang petunjuk transaksi yang menguntungkan  dan perniagaan yang bermanfaat, sehingga pelakunya akan mendapatkan keuntungan besar dan keberhasilan yang kekal. Perniagaan dimaksud adalah tetap dalam keimanan, keikhlasan amal kepada Allah dan berjihad dengan jiwa dan harta dengan menyebarkan agama dan meninggikan kalimat-Nya.[22]
Dari pemahaman di atas dapat diambil pemaknaan bahwa prilaku bisnis bukan semata-mata perbuatan dalam hubungan kemanusiaan semata tetapi mempunyai sifat Ilahiyah. Adanya sikap kerelaan diantara yang berkepentingan, dan dilakukan dengan keterbukaan merupakan ciri-ciri dan sifat-sifat keharusan dalam bisnis. Jika ciri-ciri dan sifat-sifat di atas tidak ada, maka bisnis yang dilakukan tidak akan mendapat keuntungan dan manfaat. Ayat-ayat di atas jelas memperlihatkan hakikat bisnis yang bukan semata-mata material, tetapi juga immaterial.
Adapun terma bai’ dari kata ba’a, terdapat dalam al-Qur’an dalam berbagai variasinya. Baya’tum, yubayi’naka, yubayi’una, yubayi’unaka, fabayi’hunna, tabaya’tum, bai/, bibai’ikum, biya’un. Dari kata-kata tersebut yang paling banyak digunakan adalah kata bai’, yaitu sebanyak enam kali dan yubayi’unaka sebanyak dua kali. Adapun kata-kata lainnya masing-masing disebutkan satu kali.[23]
Al-bai’u berarti menjual, lawan dari isytara[24] atau memberikan sesuatu yang berharga dan mengambil dari padanya suatu harga dan keuntungannya. Terma bai’un dalam al-Qur’an digunakan dalam dua pengertian: Pertama, jual beli dalam konteks tidak ada jual beli pada hari qiamat, karena itu al-Qur’an menyeru agar membelanjakan, mendayagunakan dan mengembangkan harta benda berada dalam proses yang tidak bertentangan dengan keimanan dan bertujuan untuk mencari keuntungan yang dapat menjadi bekal pada hari kiamat.47 Kedua, al-bai’u dalam pengertian jual beli yang halal, dan larangan untuk memperoleh atau mengembangkan harta benda dengan jalan riba.[25]
Kemudian al-Qur’an menggunakan terma Isytara. Kata isytara dengan berbagai ragamnya sebanyak dua puluh lima kali. Dalam bentuk isytara disebut satu kali, isytaru tujuh kali, yasytarun lima kali, tasytaru dua kali, dan syarau, syarauhu, yasyruna, yasyri, yasytari, yasytaru masing-masing satu kali.[26]
Secara umum kata isytara dan berbagai ragamnya lebih banyak mengandung makna transaksi antara manusia dengan Allah atau transaksi sesama manusia yang dilakukan karena dan untuk Allah, atau juga transaksi dengan tujuan keuntungan manusia walaupun dengan menjual ayat-ayat Allah.[27]
Selain itu al-Qur’an juga menggunakan terma tadayantum yang disebutkan satu kali yaitu pada surat al-Baqarah (2): 282. Ayat ini digunakan dalam pengertian muamalah yakni jual beli, utang piutang, sewa menyewa dan lain sebagainya yang jika dilakukan tidak secara tunai hendaknya pencatatan dengan benar.[28]
Dari penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa terma bisnis dalam al-Qur’an baik yang terambil dari terma tijarah, al-bai, isytara, tadayantum, pada hakikatnya tidak semata-mata bersifat material, tetapi juga immaterial. Untuk itu pelaku bisnis harus sealu menjaga profesionalisme terhadap sesama dan menjaga ketaatan terhadap Allah Swt. Dalam konteks inilah al-Qur’an menawarkan keuntungan dengan suatu bursa yang tidak pernah mengenal kerugian, yaitu tijarahlan tabura.[29]
Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin harta dan jiwa mereka dan imbalannya mereka memperoleh surga.....Siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) Allah, maka bergembiralah dengan jual beli yang kamu lakukan itu, itulah kemenangan yang besar.[30]
Bisnis dalam Islam bertujuan untuk mencapai empat hal utama
1.      Target hasil: profit-materi dan benefit-nonmateri, artinya bahwa bisnis tidak hanya untuk mencari profit (qimahmadiyah atau nilai materi) setinggi-tingginya, tetapi juga harus dapat memperoleh dan memberikan benefit (keuntungan atau manfaat) nonmateri kepada internal organisasi perusahaan dan eksternal (lingkungan), seperti terciptanya suasana persaudaraan, kepedulian sosial dan sebagainya.
2.      Benefit, yang dimaksudkan tidaklah semata memberikan manfaat kebendaan, tetapi juga dapat bersifat nonmateri. Islam memandang bahwa tujuan suatu amal perbuatan tidak hanya berorientasi pada qimahmadiyah. Masih ada tiga orientasi lainnya, yakni qimahinsaniyah, qimahkhuluqiyah, dan qimahruhiyah. Dengan qimahinsaniyah, berarti pengelola berusaha memberikan manfaat yang bersifat kemanusiaan melalui kesempatan kerja, bantuan sosial (sedekah), dan bantuan lainnya. Qimahkhuluqiyah, mengandung pengertian bahwa nilai-nilai akhlak mulia menjadi suatu kemestian yang harus muncul dalam setiap aktivitas bisnis sehingga tercipta hubungan persaudaraan yang Islami, bukan sekedar hubungan fungsional atau profesional. Sementara itu qimahruhiyah berarti aktivitas dijadikan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.55
3.      Pertumbuhan, jika profit materi dan profit non materi telah diraih, perusahaan harus berupaya menjaga pertumbuhan agar selalu meningkat. Upaya peningkatan ini juga harus selalu dalam koridor syariah, bukan menghalalkan segala cara. Keberlangsungan, target yang telah dicapai dengan pertumbuhan setiap tahunnya harus dijaga keberlangsungannya agar perusahaan dapat exis dalam kurun waktu yang lama.
4.      Keberkahan, semua tujuan yang telah tercapai tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada keberkahan di dalamnya. Maka bisnis Islam menempatkan berkah sebagai tujuan inti, karena ia merupakan bentuk dari diterimanya segala aktivitas manusia. Keberkahan ini menjadi bukti bahwa bisnis yang dilakukan oleh pengusaha muslim telah mendapat ridla dari Allah Swt., dan bernilai ibadah.[31]

Konsep bisnis dalam Islam banyak dijelaskan dalam al-Qur’an dengan menggunakan beberapa terma, seperti; tijarah, al-bai, isytara dan tadayantum. Dari kesemua term tersebut menunjukkan bahwa bisnis dalam perspektif Islam pada hakikatnya tidak semata-mata bersifat material yang tujuannya hanya semata-mata mencari keuntungan duniawi, tetapi juga bersifat immaterial yang tujuannya mencari keuntungan dan kebahagiaan ukhrawi. Untuk itu bisnis dalam Islam disamping harus dilakukan dengan cara profesional yang melibatkan ketelitian dan kecermatan dalam proses manajemen dan administrasi agar terhindar dari kerugian, ia juga harus terbebas dari unsur-unsur penipuan (gharar), kebohongan, riba dan praktek-praktek lain yang dilarang oleh syariah. Karena pada dasarnya aktivitas bisnis tidak hanya dilakukan antar sesame manusia tetapi juga dilakukan antara manusia dengan Allah. Dalam konteks inilah al-Qur’an menawarkan keuntungan dengan suatu bisnis yang tidak pernah mengenal kerugian yang oleh al-Qur’an diistilahkan dengan “tijaratan lan tabura”. Karena walaupun seandainya secara material pelaku bisnis Muslim merugi, tetapi pada hakikatnya ia tetap beruntung karena mendapatkan pahala atas komitmenya dalam menjalankan bisnis yang sesuai dengan syariah.
Dalam pandangan Islam bisnis merupakan aspek kehidupan yang dikelompokkan kedalam masalah muamalah, yakni masalah yang berkenaan dengan hubungan yang bersifat horizontal dalam kehidupan manusia. Meskipun demikian, sektor ini mendapatkan penekanan khusus dalam ekonomi Islam, karena keterkaitannya secara langsung dengan sektorriil. Sistim ekonomi Islam memang lebih mengutamakan sektorriil dibandingkan dengan sektor moneter, dan transaksi jual beli memastikan keterkaitan kedua sektor yang dimaksud. Keutamaan sistem ekonomi yang mengutamakan sektor riil seperti ini, pertumbuhan bukanlah merupakan ukuran utama dalam melihat perkembangan ekonomi yang terjadi,tetapi pada aspek pemerataan, dan ini memang lebih dimungkinkan dengan pengembangan ekonomi sektor riil.
Pemikiran etika bisnis Islam muncul ke permukaan dengan landasan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Ia merupakan kumpulan aturan-aturan ajaran dan nilai-nilai yang dapat menghantarkan manusia dalam kehidupannya menuju tujuan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat. Etika bisnis Islam tak jauh berbeda dengan pengejawantahan hukum dalam fiqih muamalah. Dengan kondisi demikian maka pengembangan etika bisnis Islam yang mengedepankan etika sebagai landasan filosofisnya merupakan agenda yang signifikan untuk dikembangkan[32]
Dalam Sejarah agama Islam tampak pandangan positif terhadap perdagangan dan kegiatan ekonomis. Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang, dan agama Islam disebarluaskan terutama melalui para pedagang muslim. Dalam Al Qur’an terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang mencari kekayaan dengan cara halal (QS: 2;275) “Allah telah menghalalkan perdagangan dan melarang riba”. Islam menempatkan aktivitas perdagangan dalam posisi yang amat strategis di tengah kegiatan manusia mencari rezeki dan penghidupan. Hal ini dapat dilihat pada sabda Rasulullah SAW: “Perhatikan olehmu sekalian perdagangan, sesungguhnya di dunia perdagangan itu ada sembilan dari sepuluh pintu rezeki”. Dawam Rahardjo justru mencurigai tesis Weber tentang etika Protestantisme, yang menyitir kegiatan bisnis sebagai tanggung jawab manusia terhadap Tuhan mengutipnya dari ajaran Islam.[33]
Kunci etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak pada pelakunya, itu sebabnya misi diutusnya Rasulullah ke dunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak. Seorang pengusaha muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis Islami yang mencakup Husnul Khuluq. Pada derajat ini Allah akan melapangkan hatinya, dan akan membukakan pintu rezeki, di mana pintu rezeki akan terbuka dengan akhlak mulia tersebut, akhlak yang baik adalah modal dasar yang akan melahirkan praktik bisnis yang etis dan moralis. Salah satu dari akhlak yang baik dalam bisnis Islam adalah kejujuran (QS: Al Ahzab;70-71).
Sebagian dari makna kejujuran adalah seorang pengusaha senantiasa terbuka dan transparan dalam jual belinya”Tetapkanlah kejujuran karena sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan kepada surga” (Hadits). Akhlak yang lain adalah amanah, Islam menginginkan seorang pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya dengan memenuhi hak-hak Allah dan manusia, serta menjaga muamalahnya dari unsur yang melampaui batas atau sia-sia.
Seorang pebisnis muslim adalah sosok yang dapat dipercaya, sehingga ia tidak menzholimi kepercayaan yang diberikan kepadanya “Tidak ada iman bagi orang yang tidak punya amanat (tidak dapat dipercaya), dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji”, “pedagang yang jujur dan amanah (tempatnya di surga) bersama para nabi, Shiddiqin (orang yang jujur) dan para syuhada” (Hadits). Sifat toleran juga merupakan kunci sukses pebisnis muslim, toleran membuka kunci rezeki dan sarana hidup tenang. Manfaat toleran adalah mempermudah pergaulan, mempermudah urusan jual beli, dan mempercepat kembalinya modal” Allah mengasihi orang yang lapang dada dalam menjual, dalam membeli serta melunasi hutang” (Hadits).
Konsekuen terhadap akad dan perjanjian merupakan kunci sukses yang lain dalam hal apapun sesungguhnya Allah memerintah kita untuk hal itu “Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu” (QS: Al- Maidah;1), “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya” (QS: Al Isra;34). Menepati janji mengeluarkan orang dari kemunafikan sebagaimana sabda Rasulullah “Tanda-tanda munafik itu tiga perkara, ketika berbicara ia dusta, ketika sumpah ia mengingkari, ketika dipercaya ia khianat” (Hadits).
Islam mengatur agar persaingan di pasar dilakukan dengan adil, sehingga seluruh bentuk transaksi yang menimbulkan ketidakadilan dilarang, yaitu:
1.     Talaqqirukban dilarang karena pedagang yang menyongsong di pinggir kota akan memperoleh keuntungan dari ketidaktahuan penjual dari daerah pinggiran atau kampung akan harga yang berlaku di kota. Mencegah masuknya pedagang desa ke kota ini (entry barrier), akan menimbulkan pasar yang tidak kompetitif.
2.     Mengurangi timbangan atau sukatan dilarang, karena barang dijual dengan harga yang sama untuk jumlah yang lebih sedikit.
3.     Menyembunyikan barang cacat karena penjual mendapatkan harga yang baik untuk kualitas yang buruk.
4.     Transaksi Najasy dilarang, karena si penjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik.
5.     Ikhtikar dilarang, karena bermaksud mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.
6.     Ghaban Fahisy dilarang, karena menjual di atas harga pasar.[34]
Secara normatif meurut Quraish Shihab, al-Qur’an  relatif lebih banyak memberikan prinsip-prinsip mengenai bisnis yang bertumpu pada kerangka penanganan bisnis sebagai pelaku ekonomi dengan tanpa membedakan kelas[35]
 Allah berfirman, Wahai orang-orang yang berimanmaukah kamu Aku, yang maha mengetahui ini, menunjukkan kepada kamu suatu perniagaan besar yang bila kamu melakukannya maka ia dapat menyelamatkan kamu atas izin Allah dari siksa yang pedih? Perniagaan itu adalah perjuangan di jalan Allah karena jika kamu mau maka hendaklah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni meningkatkan iman kamu dan memperbaharuinya dari saat ke saat, dan juga berjihad, yakni bersungguh-sungguh, dari saat ke saat mencurahkan apa yang kamu miliki berupa tenaga, pikiran, waktu, dan dengan harta-harta dan jiwa-jiwa kamu masing-masing di jalan Allah, yang demikian itu, yakni beriman dan berjihad, yang sungguh tinggi nilainya lagi luhur baik buat kamuJika kamu mengetahui bahwa hal tersebut baik maka tentulah kamu mengerjakannya[36]
Yang dimaksud dengan kata tijarah dalam ayat ini adalah amal-amal saleh. Memang al-Quran sering kali menggunakan kata itu untuk makna tersebut karena motivasi beramal saleh – oleh banyak orang – adalah untuk memperoleh ganjaran persis seperti perniagaan yang dijalankan seseorang guna meraih keuntungan[37].
A. Riawan Amin menjelaskan dalam bukunya “Menggagas Manajemen Syariah” bahwa prinsip-prinsip etika bisnis menurut al-Quran yaitu[38] diganti al-Ghazali
1.        Melarang bisnis yang dilakukan denagn proses kebatilan (QS. 4:29). Bisnis harus didasari pada kerelaan dan keterbukaan antara kedua belah pihak dan tanpa ada pihak yang dirugikan . orang yang berbuat batil termasuk perbuatan aniaya, melanggar hak dan berdosa  besar (QS. 4:30). Sementara orang yang menjauhinya, maka akan selamat dan akan mendapat kemuliaaan (QS. 4:31).
2.        Bisnis tidak boleh mengandung unsur riba (QS. 2:275).
Berdasarkan uraian di atas, kajian ini akan berupaya mencari prinsip-prinsip etika bisnis dalam perspektif al-Quran, yaitu etika bisnis yang mengedepankan nilai-nilai al-Quran. Pernyataan ini pada satu sisi bertujuan menolak anggapan bahwa bisnis hanya merupakan aktifitas keduniaan yang terpisah dari persoalan etika dan pada sisi lain akan mengembangkan prinsip-prinsip etika bisnis al-Qur’an , sebagai upaya konseptualisasi sekaligus mencari landasan
Bisnis dalam Islam bertujuan untuk mencapai empat hal utama: (1) target hasil: profit-materi dan benefit-nonmateri, (2) pertumbuhan, (3) keberlangsungan, (4) keberkahan.[39]
Target hasil: profit-materi dan benefit-nonmateri, artinya bahwa bisnis tidak hanya untuk mencari profit (qimahmadiyah atau nilai materi) setinggi-tingginya, tetapi juga harus dapat memperoleh dan memberikan benefit (keuntungan atau manfaat) nonmateri kepada internal organisasi perusahaan dan eksternal (lingkungan), seperti terciptanya suasana persaudaraan, kepedulian sosial dan sebagainya.
Benefit, yang dimaksudkan tidaklah semata memberikan manfaat kebendaan, tetapi juga dapat bersifat nonmateri. Islam memandang bahwa tujuan suatu amal perbuatan tidak hanya berorientasi pada qimahmadiyah. Masih ada tiga orientasi lainnya, yakni qimahinsaniyah, qimahkhuluqiyah, dan qimahruhiyah. Dengan qimahinsaniyah, berarti pengelola berusaha memberikan manfaat yang bersifat kemanusiaan melalui kesempatan kerja, bantuan sosial (sedekah), dan bantuan lainnya. Qimahkhuluqiyah, mengandung pengertian bahwa nilai-nilai akhlak mulia menjadi suatu kemestian yang harus muncul dalam setiap aktivitas bisnis sehingga tercipta hubungan persaudaraan yang Islami, bukan sekedar hubungan fungsional atau profesional. Sementara itu qimahruhiyah berarti aktivitas dijadikan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.55
Pertumbuhan, jika profit materi dan profit non materi telah diraih, perusahaan harus berupaya menjaga pertumbuhan agar selalu meningkat. Upaya peningkatan ini juga harus selalu dalam koridor syariah, bukan menghalalkan segala cara. Keberlangsungan, target yang telah dicapai dengan pertumbuhan setiap tahunnya harus dijaga keberlangsungannya agar perusahaan dapat exis dalam kurun waktu yang lama.
Keberkahan, semua tujuan yang telah tercapai tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada keberkahan di dalamnya. Maka bisnis Islam menempatkan berkah sebagai tujuan inti, karena ia merupakan bentuk dari diterimanya segala aktivitas manusia. Keberkahan ini menjadi bukti bahwa bisnis yang dilakukan oleh pengusaha muslim telah mendapat ridla dari Allah Swt., dan bernilai ibadah.[40]

C.  Urgensi Etika Bisnis : Islam dan kontemporer
Bisnis Kontemporer, jika dicermati secara saksama nampak sebagai suatu realitas yang teramat kompleks. Kompleksitas bisnis tidak bisa dipahami secara terpisah dari masyarakat yang pada dirinya sendiri juga memliki struktur sangat kompleks. Bagaimanapun perilaku mencerminkan akhlak (etika) seseorang. Atau dengan kata lain, perilaku berelasi dengan etika. Apabila seseorang taat pada etika, berkecendrungan akan menghasilkan perilaku yang baik dalam setiap aktivitas atau tindakannya, tanpa kecuali dalam aktivitas bisnis. Secara konkret bisa diilustrasikan jika seorang pelaku bisnis yang peduli pada etika, bisa diprediksi ia akan bersikap jujur, amanah adil selalu melihat kepentingan orang lain (moral altruistik) dan sebagainya. Sebaliknya bagi mereka yang tidak mempunyai kesadaran akan etika, dimanapun dan kapanpun saja tipe kelompok orang kedua ini akan menampakkan sikap kontra poduktif dengan sifat tipe kelompok orang pertama dalam mengendalikan bisnis.[41]
Menurut Qardhawi,[42] antara ekonomi (bisnis) dan akhlak (etika) tidak pernah terpisah sama sekali, seperti halnya antara ilmu dan akhlak, antara politik dan akhlak,dan antara perang dan akhlak. Akhlak adalah daging dan urat nadi kehidupan islami. Karena risalah islam adalah risalah akhlak. Sebagaimana pula tidak pernah terpisah antara agama dan negara, dan antara materi dan ruhani. Seorang muslim yakin akan kesatuan hidup dan kesatuan kemanusiaan. Sebab itu tidak bisa diterima sama sekali tindakan pemisahan antara kehidupan dunia dan agama sebagaimana yang terjadi di eropa.
Seorang pengusaha dalam pandangan etika islam bukan sekedar mencari keuntungan, melainkan juga keberkahan yaitu kemantapan dari usaha itu dengan memperoleh keuntungan yang wajar dan diridhai oleh Allah Swt. Ini berarti yang harus diraih oleh seorang pedagang dalam melakukan bisnis tidak sebatas keuntungan materi tetapi yang penting lagi adalah keuntungan immateriil (spiritual). Kebendaan yang profan (tidak bersangkutan dengan agama atau tujuan keagamaan)[43] baru bermakna apabila diimbangi dengan kepentingan spiritual yang transenden (ukhrawi).
Akan tetapi , perlu disadari bagaimanapun dalam dunia usaha (bisnis) mau tidak mau akan muncul masalah-masalah etis dan masalah-masalah etis itu sudah barang tentu harus dicarikan jalan kluarnya.[44]Terlebih lagi secara realitas, dunia usaha di tanah air masih maemandang etika bisnis sebagai sesuatu yang asing, yang sulit ditempatkan ke dalam dunia bisnis sehari-hari. Maraknya penggunaaan zat tambahan baik untuk penyedap, pengawet, pewarna dan lain sebagainya merupakan nsalah satu contoh kecil yang memperkuat tesis itu. Belum lagi kasus-kasus besar yang menyangkut masalah perusakan lingkungan hidup, kejahatan perbankan, pembalakan hutan dan lain-lain, semakin meyakini betapa penting peran etika bisnis dalam mengantisipasi penyimpangan yang banyak merugikan bangsa itu
Dalam islam, tuntutan bekerja adalah merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap muslim agar kebutuhan hidupnya sehari-hari bisa terpenuhi. Salah satu jalan untuk memenuhi kebutuhan itu antara lain  melalui aktifitas bisnis sebagaimana telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah saw sejak masih usua muda.[45]  Oleh karena itu, sebagai pelaku bisnis terutama sebagai Muslim, ia harus menyibukkan diri dengan masalah-masalah etis. Dengan kata lain, profesionalitas dalam bisnis dituntut juga adanya kompetensi yang memadai dalam memecahkan tantangan etika bisnis yang sekarang mulai longgar (permissive). Kemampuan untuk menentukan sikap-sikap etis yang tepat, termasuk kompetensi sebagai usahawan atau manajer. Begitu pula sebuah perusahaan hanya akan berhasil dalam waktu panjang apabila berpegang pada standar-standar etis yang berlaku.
Urgensi etika bisnis menurut perspektif etika kontemporer, dapat dilihat cukup banyaknya gejala yang menunjukkan bahwa dunia baru baik itu tampaknya makin jauh dari jangkauan umat manusia. Ketidakpastian makin kuat resonansinya. Ketidaktenangan tampak dimana-mana. Bahkan timbul ketakutan peradaban manusia akan mengalami kemunduran. Jika ditanyakan, mengapa demikian? Jawabannya tidak mudah ditemukan karena tidak ada satu faktorpun yang dampaknya begitu kuat sehingga faktor tesebut menjadi satu-satunya penyebab.”[46]
D.  Sistem  etika kontemporer
Meskipun banyak ahli dari Barat berusaha mengembangkan teori serta kode etika bisnis, mereka belum mampu menyusun kode moral perilaku yang efektif untuk bisnis. Sebagian besar moralitas dan etika merupakan sistem utilitarian dan materialistik. Hal ini mudah dipahami karena konsep sekularisasi dalam kehidupan serta kurangnya sumber petunjuk yang otentik di dunia Barat. Etika kontemporer sebagian besar merupakan buatan manusia yang sifatnya relatif dan situasional serta kurang “legitimate” dukungan otoritas di belakangnya.[47]
Ahli manajemen , Harold koontz mengakui bahwa di Barat, tidak ada sumber standar etika. Dalam bangsa yang mempunyai agama negara, mungkin terdapat pusat sumber kewenangan dalam mengajarkan praktik etika. Di AS, dengan banyaknya budaya etika dan agama, tidak seorang pun yang menilik gereja, pemerintah, institusi pendidikan, asosiasi swasta sebagai pusat tradisi etika[48]. Sehingga yang terjadi, mereka mengembangkan standar etika berdasarkan pengalaman dan perasaan. Wajar jika kurang otentik dan legitimasi. Mereka tidak percaya bahwa ada standar etika permanen myang bisa di ikuti oleh hidup manusia. Di lain pihak mereka percaya bahwa konsep moral, seperti halnya konsep lain, akan selalu berubah seiring waktu.
Perspektif  Barat pada etika bisnis umumnya seperti yang di ungkapkan oleh Drucker berikut ini: Banyak Khotbah yang diajarkan pada etika bisnis dan pebisnis. Kebanyakan tidak ada yang bisa dilakukan terkait bisnis serta sedikit saja terkait etika. Hal ini seperti mempekerjakan gadis panggilan untuk menghibur pelanggan, bukanlah masalah etika melainkan estetika.[49]Bisa disimpulkan bahwa dunia Barat memandang bisnis dan etika merupakan perilaku yang terpisah.
E.  Isu-Isu Bisnis Kontemporer: Potret Buram Perilaku Bisnis Di Indonesia
Sungguh ironis sekali kedengarannya, Indonesia sebagai sebuah negara Muslim terbesar di dunia dengan sumber daya yang melimpah, tetapi justru mengapa masih banyak masyarakat yang belum terentas dari kemiskinan. Yang lebih memprihatinkan lagi bahwa dewasa ini Bangsa Indonesia kurang mendapat kepercayaan dari orang lain (Internasional) yang menyebabkan betapa sulitnya menarik investor asing menanamkan modalnya di negeri ini. Ini mengindikasikan ada sesuatu yang tidak beres dan salah urus. Selain faktor lain seperti masalah etika dan hukum yang seyogyanya dijunjung tinggi oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama di kalangan pelaku ekonomi maupun pengambil kebijakan. Bukankah disadari bahwa menjunjung tinggi nilai moral dan hukum adalah merupakan bagian ajaran agama apapun secara universal.
Itu berarti, selama ini muslim Indonesia belum sepenuh hati mengaplikasikan nilai-nilai islam sebagai keyakinannya. Secara jujur, nilai-nilai Rabbaniyah (Ilahiyah) belum terimplementasi dalam kehidupan bisnis yang berpotensi bisa merugikan perekonomian bangsa dalam skala makro. Bahkan jika sekiranya implementasi itu justru akan menguntungkan Bangsa Indonesia yang kurang lebih 90 % penduduknya sebagai muslim. Di sinilah relevansi membangun nilai-nilai Rabbaniyah dalam perekonomian Indonesia agar bangsa menjadi kuat dan bisa kompetitif dengan bangsa lain di dunia. Dalam realitas justru menunjukkan hal sebaliknya. Banyak ditemukan keganjalan perilaku bisnis yang secara signifikan bisa ikut mempengaruhi perkembangan ekonomi secara makro. Beragam perilaku itu tidak lagi sebagai variabel pendukung, tetapi sebaliknya akan menjadi faktor penghambat kemajuan ekonomi bangsa.
Misalnya saja, pada pertengahan tahun 1997, Asia dilanda krisis ekonomi, termasuk Indonesia. Kejadian ini lebih dikenal dengan istilah krisis moneter. Penyebab utamanya karena liberalisasi ekonomi yang diterapkan pemerintah Orde Baru. Pihak swasta bebas mengambil utang luar negeri tanpa pengawasan pemerintah, di samping utang pemerintah sendiri. Pinjaman jangka pendek, digunakan dalam investasi modal jangka panjang. Akibatnya, pada saat utang jatuh tempo pengusaha karbitan ini tidak mampu membayar kewajibannya. Demikian pula perusahaan Bank meminjam modal luar negeri dengan bunga rendah, 3-4 % setahun. Uang ini mereka pinjamkan lagi dengan tingkat bunga yang cukup tinggi, 18-20% setahun. Dangan praktik tamak ini perbankan akan meraup untung yang sungguh fantastik. Namun demikian, dengan perubahan harga dollar, harga rupiah merosot tajam sehingga pengusaha yang mendapat pinjaman luar negeri sangat kewalahan. Utang mereka dalam rupiah menjadi berlipat ganda jumlahnya sehingga mereka tidak mampu lagi membayar. Keadaan ini diperparah lagi oleh pihak perbankan, karena mereka meminjamkan sebagian besar modalnya kepada industri milik orang bank sendiri.[50]
Akibat yang dirasakan industri nasional mengalami kehancuran karena harga barang impor sangat tinggi (bila dinilai dengan rupiah), harga pokok barang industri menjadi tinggi, harga jual tinggi, akhirnya hasil produksi tidak laku. Di sana sini daya beli menurun karena banyak terjadi pemutusan hubungan kerja. Akibat lebih jauh, nama Indonesia jatuh di mata Internasional.
Tidak hanya itu, dalam bidang perbankan, para nasabah mulai gelisah dan hilang kepercayaan. Mereka secara massif berusaha menarik dana simpanannya dari bank. Akibatnya, bamk kekurangan likuiditas guna memenuhi tuntutan nasabah. Pengusaha perbankan terpaksa minta bantuan likuiditas kepada Bank Indonesia (BI). Dengan kebijaksanaan pemerintah saat itu, BI diperintahkan untuk membantu bank-bank yang mulai kehabisan dana yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).Namun celakanya lagi, bantuan yang diberikan dengan niat yang baik pemerintah itu disalahgunakan pula oleh pengusaha perbankan. Bantuan itu bukan untuk membayar uang nasabah, tetapi digunakan untuk kepentingan diri sendiri atau dilarikan keluar negeri. Akhirnya muncul lagi krisis jilid kedua, yaitu krisis BLBI.  
Akhirnya bisa dipahami bahwa ekonomi Indonesia yang dinilai tumbuh pesat dengan modal pinjaman luar negeri itu ternyata hanya sebuah fatamorgana di tengah panasnya perekonomian Indonesia. Krisis ini terjadi karena semua pelaku dan sistem yang dianut jauh dari nilai-nilai spiritual yang tidak mengedepankan nilai kejujuran, keadilan, keterbukaan, dan lain sebagainya. Mereka menilai parameter sukses itu adalah dengan ukuran meteri, atau seberapa besar keuntungan yang bisa dikuasai. Mereka lebih banyak mengejar keuntungan sepihak dan jangka pendek, tidak lagi keuntungan jangka panjang. Karena itu mereka lebih mementingkan kepentingan sendiri daripada kepentingan orang lain. Nilai moral terjauh dari hati mereka, karena orang lain hanya diposisikan sebagai objek pemerasan untuk meraih keuntungan. Inilah wajah sistem kapitalisme yang sangat paradoks dengan nilai-nilai sistem ekonomi yang berbasiskan Rabbaniyah.
F.  Peran Etika Dalam Bisnis
Secara umum, etika adalah ilmu normatif penuntun hidup manusia, yang memberi perintah apa yang seharusnya kita kerjakan. Maka etika mengarahkan manusia menuju aktualisasi kapasitas terbaiknya. Dengan menerapkan etika dan kejujuran dalam berusaha dapat menciptakan baik aset langsung maupun tidak langsung yang akhirnya meningkatkan nilai entitas bisnis itu sendiri. Banyak kasus diberbagai negara yang membuktikan hal tersebut. Apalagi dengan tingkat persaingan yang semakin tinggi, kepuasan konsumenlah yang menjadi faktor utama agar perusahaan sustainable dan dapat dipercaya dalam jangka panjang. Konsumen cenderung semakin kritis dengan memperhatikan perilaku perusahaan yang memproduksi barang-barang yang akan mereka konsumsi.
Pada dasarnya praktik etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik internal perusahaan maupun dengan eksternal. Perusahaan yang menerapkan etika, dapat meningkatkan motivasi kru dalam bekerja, bahwa bekerja selain dituntut menghasilkan yang terbaik, juga diperoleh dengan cara yang baik pula. Penerapan etika juga melindungi prinsip kebebasan berusaha serta meningkatkan keunggulan bersaing. Selain itu, penerapan etika bisnis juga mencegah agar perusahaan tidak terkena sanksi-sanksi pemerintah karena berperilaku tidak beretika yang dapat digolongkan sebagai pebuatan melawan hukum.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa tanpa suatu etika yang menjadi acuan, para pebisnis akan lepas tidak terkendali, mengupayakan segala cara, mengorbankan apa saja untuk mencapai tujuannya. Pada umumnya filosofi yang mendomonasi para pebisnis adalah bagaimana cara memaksimalkan keuntungan. Pebisnis seperti ini, sepeti yang dikatakan oleh Charles Diskens : “Semua perhatian, dorongan, harapan, pandangan, dan rekanan mereka meleleh dalam dolar. Manusia dinilai dari dolarnya”. Theodore Levitt mengatakn bahwa para pebisnis ada hanya untuk satu tujuan, yaitu untuk menciptakan dan mengalirkan nilai kepuasan dari suatu keuntungan hanya pada dirinya dan nilai budaya, nilai spiritual dan moral tidak menjadi pertimbangan dalam pekerjaannya. Akibatnya sungguh mengerikan. Mereka dapat menyebabkan perang antarbangsa, antarlembaga, dan antarperusahaan. Mereka menganggap dan membuat bisnis seolah medan perang. Dalam perekonomian yang berjalan berdasarkan prinsip pasar dimana “bisnis adalah bisnis”, kebebasan berusaha adalah yang utama. Namun kebebasan untuk mengejar tujuan bisnis juga mengandung kewajiban untuk memastikan bahwa kebebasan itu diperoleh secara bertanggung jawab.
Perumusan dan penetapan etika bisnis merupakan salah satu dari sekian banyak upaya pemersatu (internal intergration) yang diusahakan oleh pemimpin perusahaan untuk meningkatkan daya tahan bisnisnya. Itu  dilakukan dengan mengindahkan prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang baik (good corporate gorvemance) sekaligus memenuhi kewajibannya sebagai warga masyarakat yang bertanggung jawab (corporate sosial responsibility).[51]
Etika bisnis juga berhubungan dengan nilai merek (brand value). Perilaku bisnis yang beretika berkontribusi pada pembangunan citra dari nilai merek sebuah produk. Salah satu caranya dengan memberikan pelatihan mengenai etika pada kru. Hasilnya sungguh luar biasa. Misalnya, menurunnya biaya, menurunnya pelputasi, anggaran dan perusakan pada merek atau reputasi, dan pada akhirnya menurunnya hukuman akibat melanggar aturan yang telah ditentukan. Sehingga diperlukan kemampuan untuk menghasilkan ‘brand value’ dan reputasi dengan standar integrasi bisnis dan tanggung jawab sosial yang tinggi. CSR tidak hanya sebuah pilihan, CSR merupakan prasarat integral dan mutlak untuk kesuksesan bisnis dalam jangka panjang. Meningkatnya CSR bararti meningkatnya manajemen kualitas.[52]  



[1] Nur Ahmad Fadhil dan Azhari Akmal, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2001),.25.
[2] Dataran etika normatif (teoritis). Disini ada beberapa kelompok pemikiran.(1) Teleologis, paham bahwa baik-buruknya tindakan etis ditentukan oleh tujuan tertentu.Karena itu, menurut kaum teleolog, etika adalah konsep yang relatif terhadap tujuan. (Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta, Gramedia,1996),1087).Termasuk dalam kategori ini, antara lain; (a) etika eudamonia, bahwa baik buruknya tindakan manusia dilihat dari sejauh mana ia mampu mengantarkan sipelaku pada kebahagiaan tertinggi. (Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika (Yogya, Kanisius, 1997), 30). Tokoh utamanya adalah Aristoteles; (b) etika egoisme, bahwa baik buruk perbuatan individu diukur dari kemampuannya meningkatkan kesejahteraan, kebahagiaan dan kepentingan pribadi sipelaku. (Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 180). Tokohnya, antara lain, GC. Scotti dan Max Sterner; (c) etika utilitarianisme, bahwa benar salahnya perbuatan dilihat pada dampaknya dalam memberikan sebanyak mungkin kebaikan, pada diri pelaku dan kebaikan kepada sebanyak mungkin orang lain. Tokohnya adalah Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). (2) Deontologis, kebalikan dari teleologis, bahwa baik buruk tindakan tidak dilihat pada tujuan atau konsekuensi tindakan melainkan padaperbuatan itu sendiri,dengan merujuk pada aturan perilaku formal, dimana aturan perilaku formal ini dihasilkan dari intuisi atau apriori.(Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung, Rosda Karya, 1995), 102). Misalnya, berbohong adalah jelek, karena perbuatan bohong itu sendiri secara moral memang tidak baik, meski ia dilakukan untuk tujuan-tujuan yang baik. Tokoh pemikiran etika ini adalah Immanuel Kant (1724-1804). (3)Relativisme, bahwa dalam putusan-putusan moral tidak ada kriteria yang absolut. Semua tergantung pada kebudayaan masing-masing individu, sehingga nilai moralitas masing-masing orang atau masyarakat akan berbeda. Pemikiran ini dianut, antara lain, oleh Protagoras, Pyrho, Westermack, Joseph Fletcher dan kaum skeptis.(4) Nihilisme, suatu paham yang menyangkal keabsahan alternatif positif manapun. Menurut paham ini, semua putusan nilai etis telah kehilangan kesahehannya, sehingga tidak ada satupun yang bisa digunakan sebagai patokanetis. Paham ini, antara lain, diberikan oleh Nietzche (1844-1900), Schopenhauer dan Giorgias.(5)Universalisme, bahwa apa yang dianggap baik oleh seseorang harus juga dianggap baik atau benar oleh orang lain dalam situasi yang sama. Misalnya,
[3] Ibid, 11
[4] Departemen Pendidikan  Dan Kebudayaan, Kamus Besar      Bahasa  Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,1995), 271
2Ibid.,11
[5] Ibid., 4-7
[6] Ibid.,

[7] Amin Abdullah, Falsafah kalam Di Era Post Modernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1995),.146-147
[8] Haidar Bagir, “Etika “Barat”, Etika Islam”, Pengantar dalam buku, Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam Antara Al_Ghazali dan kant, (Bandung : Mizan, 2002). 15

9K.Bertens, 235-240
[9] Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2001309.
[10] Sknaer sebagaimana dikutip oleh Ismail Yusanto dan Wijaya Kusuma, Menggagas Bisnis Islami (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), 22.
[11] Bisnis dapat juga didefinisikan sebagai kegiatan tukar menukar barang atau jasa atau keduanya.Pada masa awal sebelum uang ditemukan, tukar menukar barang dinamakan barter yaitu menukar barang dengan barang. Pada masa modern perdagangan dilakukan dengan penukaran uang. Setiap barang dinilai dengan sejumlah uang. Pembeli akan menukar barang atau jasa dengan sejumlah uang yang diinginkan penjual. Dan aktivitas perdagangan ini merupakan kegiatan utama dalam sistem ekonomi yang diterjemahkan sebagai sistem aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa (Wikipidia/bisnis.com).
[12] Muslich, Etika Bisnis Islami. Landasan Filosofis, Normatif, dan Substansi Implementatif (Yogyakarta: Ekonisia Fakultas Ekonomin UII, 2004),46.
[13] Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami ( Jakarta: Gema Insani Press, 2002),15.
[14] ibid
[15]Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 157.
[16] Hamam Burhanuddin, Etika Ekonomi dan Bisnis. Perspektif Agama-Agama di Indonesia Economic and Business Ethics. Religious Perspectives in Indonesia (Geneva: Globethics.net, 2014), 13
[17]A. Riawan Amin, Menggagas Manaajemen Syariah, Teori dan Praktek The Celestial Management, (Jakarta: Salemba Empat. 2010), 32
[18]Nur Ahmad Fadhil dan Azhari Akmal,.53-53.
[19]M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Terj M. Nastangin (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995),  19
[20] Kamusal-Munawwir (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), 139.
[21] Fu’adAbdulBaqi,Mu’jamal-Mufahrasy(Kairo:DarulFikr,1981),152  42 Departemen Agama RI, op. cit.,QS. At-Taubah (9):24. 43 Ibid., QS. As-Shaff (61): 10-11
[22] Musthafaal-Maraghi, Tafsiral-Maraghi, terjemahan Bahrun Abu Bakardkk., jilid 28, 29, 30 (Semarang: PT Toha Putra, 1993), 145-146.
[23] Fu’ad Abdul Baqi, Al-Mu’jam Mufahrasy, Op. cit, 141.
[24] Kamusal-Munawwir, op.cit.,134. 47 Lihat QS. al-Baqarah (2):254
[25] Lihat QS. al-Baqarah (2):275
[26] Fu’ad Abdul Baqi, op.cit.,381
[27] Seperti beberapa ayat berikut: QS. at-Taubah (2): 111 digunakan dalam pengertian membeli dalam konteks Allah membeli diri dan harta orang-orang mukmin, QS. al-Baqarah  (2): 16; membeli kehidupan duniadengankehidupan akhirat, QS. al-Baqarah (2): 86; menjual diri dengan kekafiran, QS. al-Baqarah (2): 90; membeli kesesataan dengan petunjuk, QS. al-Baqarah (2): 175; menukar iman dengan kekafiran, QS. AliImran (3): 177, 187; menukar ayat Allah dengan harga yang sedikit.
[28] QS. al-Baqarah (2): 282
[29] Quraish Shihab, “Etika Bisnis dalam Wawasan al-Qur’an”, Jurnal Ulumul Qur’an 3 / VII/97,5.
[30] QS. At-Taubah (9):111.
[31] Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma, 18. 55 Ibid.,19
[32]Muhammad dan R. Lukman Fauroni,  Visi Al-Quran: Tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), 3.
[33] M. Dawam Raharjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi (Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999), 262.
[34] Anas Zarqa, “Qawaid al-Mubadalat fi al-Fiqh al-Islami, Reviewof Islamic Economics 1.2 (Leicester: International Association for Islamic Economics, 1991).
[35] ibid
[36]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,  (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 31.
[37] ibid
[38]A. Riawan Amin, 32.
[39] Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma,.,18. 55 Ibid.,19.
[40] Ibid.,20.
[41]Muhammad Djakfar, Etika Bisnis Islami. (Malang : UIN malang press,2008). 85
[42]Yusuf Qardhawi, Dawr al-Qiyam wa al-akhlak fi al-iqtisad al-islami, (kairo- mesir: Maktabah Wahbah, 1995).  57
[43]Kamus pusat bahasa, KBBI. (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), 897
[44]Suseno, Etika Bisnis, 1
[45] Buchari Alma, Dasar-Dasar Etika bisnis Islami,  (Bandung: Alfabeta, 2003), 14.
[46]Sondang p.siagian, Etika Bisnis (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1996). 5-6
[47]S.F ahmad, “The Ethical Responsibility of Business: Islamic Principles and Implication”,proceedings of The Seminar on Islamic Principles of Organisational Behaviour (IIIT, Herndorn, USA, 1988), 2
[48]H. Koontz, management, (Auckland: Mc Graw-Hills International Book Company,1980). 103.
[49]P.F. Drucker, Management, (London: Pan Books,1979). 294-295.
[50]Buchari Alma, Dasar-dasar Etika Bisnis Islami ,(Bandung: Alfabeta,2003), 43.

[51]A. Riawan Amin. Menggagas Manajemen Syariah ( Jakarta: salemba Empat, 2010). 12
[52] Ibid, 13

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Profile

About Me
Dr. Abdurrohman S.Ag. M.EI
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura. . Selengkapnya

Total Pageviews

Recent Posts

Random

Comments

Contact Us

Name

Email *

Message *

Populer

item