KONSEP HARTA DALAM ISLAM
A. Pengertian harta Sulit memang mendefinisikan harta secara tepat dan baku, ini dikarenakan harta memiliki sifat...

https://rohman-utm.blogspot.com/2012/02/konsep-harta-dalam-islam.html
A.
Pengertian harta
Sulit
memang mendefinisikan harta secara tepat dan baku, ini dikarenakan harta
memiliki sifat kekhususan yang berbeda-beda dengan akibat yang berbeda pula
dalam melihatnya,[1]dan manusia
selalu membutuhkannnya.[2]Harta juga diartikan sebagai segala
sesuatu yang dapat dimanfaatkan dalam perkara
legal menurut hukum syara.[3] Dalam Islam,[4] harta dianggap sebagai bagian dari
aktivitas dan tiang kehidupan yang dijadikan Allah untuk membantu proses tukar
menukar, dan juga digunakan sebagai ukuran terhadap nilai.[5] Harta Juga merupakan kebiasaan dan
watak manusia suka memiliki harta serta
menyimpanya dan membelanjakannya untuk sesuatu yang bermanfaat. Bahkan
seringkali manusia amat berambisi untuk mengusainya. Ambisi manusia yang paling kuat yang sudah menjadi watak adalah mencintai
harta dan memilikinya. Sehubungan dengan kecintaan manusia terhadap harta Allah berfirman dalam surah Ali Imran ayat 14:
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia;
dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga)”
Di
dalam kamus al-Asri
diterangkan
bahwa kata ما ل (harta) berasal dari kata kerja مول,
ملت, تممال, ملت.
Jadi, harta (ما ل) didefinisikan sebagai segala sesuatu yang
dimiliki.[6] (ما
ل)
(mal)
yang bentuk jamaknya أ مو ا ل (amwal).
Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian harta (mal) dalam bahasa Arab ialah apa saja
yang dimiliki manusia, kata mal itu sendiri berakar dari kata: تمو
يل, تمو لت, مول
. yang berarti yang memberi kaya.
Berikut
pendapat sebagaian ahli fuqaha` dalam mendefinisikan harta diantaranya adalah:
Definisi mal menurut
ulama Hambali ialah apa-apa yang memiliki manfaat yang boleh untuk suatu
keperluan dan atau untuk kondisi darurat.
a.
Imam Hanafi Harta adalah sesuatu yang bisa dipergunakan untuk
keperluan dan atau untuk kondisi sempit
dan dharurat.
b.
Imam Syafi’i berkata bahwa mal ialah barang-barang yang mempunyai
nilai untuk dijual dan nilai harta itu akan terus ada kecuali kalau semua orang
telah meninggalkannya (tidak berguna lagi bagi manusia). Kalau baru sebagian
orang saja yang meninggalkannya, barang itu masih bermanfaat bagi orang lain
dan masih mempunyai nilai bagi mereka.[7]
c.
Ibnu Abidin berkata dalam kitab Radd
al-Muhtar ‘ala ad-Durr al Mukhta>r bahwa yang dimaksud dengan mal ialah
segala yang disukai nafsu atau jiwa dan bisa disimpan sampai waktu ia butuhkan.[8] Nilai mal itu akan ada jika semua
orang atau kebanyakan orang menganggapnya mempunyai nilai (qimah).
Adapun arti tamwi>l ialah memberikan atau mengukuhkan
nilai pada sesuatu harta atau mal dan boleh mengambil manfaat darinya secara
syar’i.
Dari
pendapat-pendapat ulama di atas dapat disimpulkan bahwa mal itu ialah segala
sesuatu yang mempunyai nilai-nilai legal, disukai oleh tabiat manusia, bisa
memiliki, disimpan, dimanfaatkan secara syar’i dan disimpan untuk waktu
kebutuhan serta bebas mengelolanya.[9]
B.
Kedudukan Harta
Perhatian al-Qur’an yang begitu besar
terhadap harta membuktikan bahwa sebenarnya harta merupakan satu kebutuhan manusia yang sangat penting
sehingga al-Qur’an memandang perlu untuk
memberikan garisangarisan yang dapat dikatakan rinci. Hikmahnya adalah agar
manusia tidak terjerumus pada penyimpangan-penyimpangan baik pada pengumpulan harta
ataupun pada pemanfaatannya yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian pada
individu maupun masyarakat.
Menarik untuk dicermati, pada satu sisi Allah
menegaskan harta dapat menjadi alat yang ampuh untuk mendekatkan diri padanya melalui apa yang disebut al-Qur’an dengan jihad. Didalam al-Qur’an surah al-anfal/8:72 Allah berfirman:
Artinya: Sesungguhnya mereka orang-orang yang beriman dan berjihad dengan harta
dan jiwa mereka pada jalan Allah
Jihad dengan harta dapat berbentuk zakat,
infaq, sadaqah, memanfaatkan harta untuk kepentingan sosial dan bentuk-bentuk
lainnya, selama dilakukan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
sebagai wujud pembuktian iman, maka semuanya itu dipandang ibadah.
Sebaliknya pemanfaatan harta secara negatif
yang disebut al-Qur’an dengan mengikuti
jalan syetan (Q.S.al-Isra’/17:64) seperti menafkahkan harta disertai
sifat-sifat riya, (Q.S.al-nisa’/4:38), kikir (Q.S.al-lail/92:8-11), berbangga-bangga
dengan harta (Q.S.al-Hadid/57:20), menghamburhamburkannya, tidak saja
menjauhkannya dari jalan Allah, tetapi juga akan menimbulkan kerusakan bagi
individu dan masyarakat.Al-Qur’an menegaskan, harta yang dimanfaatkan dengan
tidak mengikuti ajaran Allah hanya akan merugikan, karena pemiliknya akan di
azab di akhirat (Q.S.alTaubah/9:69).
Al-Qur’an memberikan arahan agar harta dapat
dimanfaatkan dan dinikmati oleh manusia untuk kebahagiaan kehidupannya di dunia
dan di akhirat. Isyarat ini ditemukan pada Q.S. ali-Imran/3:14.
“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak
dan sawah ladang”
Ayat tersebut mengisyaratkan berbagai jenis
harta, baik hasil pertambangan, pertanian, peternakan dan perdagangan agar
semuanya itu dapat dimanfaatkan untuk menjadi kesenangan hidup manusia secara
individu. Namun pada bagian akhir ayat ada pernyataan (dan di sisi Allahlah
tempat kembali yang baik (surga), seolah-olah mengingatkan manusia dalam
pemanfaatan harta sejalan dengan petunjuk-petunjuk Allah SWT.
Jenis-jenis harta pada ayat di atas juga
mengisyaratkan macam-macam kebutuhan hidup manusia. Hasil pertambangan (emas ,
perak dan lain-lain) mengisyaratkan kebutuhan manusia pada peralatan dan
perhiasan, kuda pilihan mengisyaratkan
kebutuhan manusia pada kendaraan, binatang ternak dan sawah ladang
mengisyaratkan kebutuhan terhadap
sandang, pangan dan papan.
Setelah
terpenuhinya kebutuhan pribadi, harta juga harus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga dan kepentingan sosial,
terlebih lagi orang-orang yang sedang berada dalam kesulitan. Perintah ini
ditemukan pada Q.S.al-Isra’/17:26
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,
kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan harta .
Harta dapat dibelanjakan
atau digunakan untuk keperluan ditujukan untuk kebutuhan hidup atau
diinvestasikan untuk pengembangan harta, atau disimpan saja untuk kegunaan masa
mendatang. Namun kebebasan pemanfaatan harta ini dibatasi untuk sesuatu yang
mendatangkan kebaikan, yaitu jalan-jalan yang tidak melangar ketentuan Allah
dan tidak untuk perkara-perkara haram yang mengakibatkan kerusakan akhlak dan
lingkungan sosial.
Jadi tegaslah bahwa pemanfaatan harta adalah untuk melakukan
kebaikan (ibadah), menegakkan keadilan sosial, dengan memberikan nafkah pada
diri sendiri, anggota keluarga, dan membantu memberikan harta pada fakir
miskin, anak yatim, muallaf, musafir, orang yang tertindas , tawanan dan
orang-oarang yang sedang berjung pada jalan Allah.
Disamping itu, pemanfaatan
harta harus dapat menjadikan seseorang selalu mengingat Allah dan mendekatinya,
menjadikan lebih pandai bersyukur. Ini bisa tercapai bila manusia dalam
memanfaatkan harta selalu mengikuti etika al-Qur’an yaitu pembelanjaan dan penggunaan harta dengan
cara yang sederhana, terhindar dari sifat boros, kikir, berbangga-bangga, riya dan melampau
batas.
C. Pembagian harta
Diantara tujuan syariat Islam[10] adalah menjaga harta[11] dan mengembangkannya
melalui jalur-jalur syar`i untuk medorong kesejahteraan hidup manusia. Namun tidak semua harta dapat
dijadikan bahan acuan untuk mencapai kesejahteraan..
- Dari segi
Sifatnya
1. Mutaqawwam (bernilai) artinya
dapat disahkan oleh syara’ untuk dimanfaatkan.
2. Ghoiru
Mutaqawwam (tak bernilai), artinya
harta dilarang syara’ untuk dipergunakan/ tidak boleh dibelanjakan.
Hukum harta pada mulanya bersifat mutaqawwam dan bisa dipergunakan selama tidak ditemukan nash yang melarang.
Firman Allah dalam surat al-An’am : 145
“Tiada aku peroleh wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang
diharamkan bagi yang hendak memakannya, kecuali kalau makan itu bangkai, atau
darah yang mengalir, atau daging babi, karena semua ini kotor”
Dilihat dari segi
pemanfaatannya
Dalam konsep akuntansi modern, [13] harta itu disebut pokok
atau ushul. Sudah biasa di
kalangan ahli akuntansi klasik bahwa mal atau ushul itu dibagi
menjadi dua macam ; 1) Ushul Thabit (harta tetap),[14] yaitu harta yang
membantu perjalanan aktivitas, tetapi bukan untuk tujuan perdagangan atau
barter; 2) Ushul Mutadawilah (harta yang bergerak),[15] yaitu harta yang
dimaksudkan untuk diputar dan dipakai untuk berdagang.[16]
Sedang jika harta dilihat dari pemanfaatannya dibagi menjadi
bagaian;
1.Harta yang
pemanfaatannya tidak menghabiskan benda tersebut dan tetap utuh ( isti`mali), seperti rumah, lahan, lahan pertanian
2.Harta yang
pemanfaatannya, mengahabiskan benda tersebut(istihlaki), seperti pakaian,makanan,minuman dan sabun.
Sebagai akibat dari perbedaan tersebut, maka ulama` fiqh hanya
melihat dari segi akadnya saja. Untuk harta yang bersifat istihlaki, akadnya hanya yang bersifat tolong-menolong saja. Sedang yang
sifatnya isti`mali disaming tolong-menolon,
dapat juga ditransaksiakan dengan cara mengambil imbalan(jasa) seperti
sewa-menyewa ( al-Ijarah)
-
Dilihat dari Status (
Kedudukan)
Sedang harta jika dilihat dari segi kedudukannya dapat dibagi
menjadi tiga bagaian :
3. Harta
yang telah dimiliki (al-mal al-mamluk)[17], baik pribadi maupun
milik badan hukum ( negara, organisasi kemasyarakatan)
5. Harta
yang dilarang untuk memilikinya ( al-ma>l
al-mahju>r)[19]. Misalnya tanah wakaf[20] yang nilai kemanfataannya
untuk kepentingan umum.
-
- Dilihat dari segi kepemilikannya
Harta jika dilihat dari segi kepemilikannya, ulama fiqih
berendapat bahwa:
1.Harta nilikpribadi yang pemiliknya
bebas menentukan manfaatnya selam tidak merugikan orang lain.
- Harta Gono Gini (jawa)
Berkenan
dengan masalah harta, masih ada istilah lain yang perlu diketahui yaitu harta Gono
Gini, Dalam Insiklopedi Hukum Islam, dijelaskan,
bahwa harta gono gini adalah harta bersama milik suami istri yang mereka
peroleh semasa perkawinan.[22]
Dalam masyarakat Indonesia, hampir
semua daerah mempunyai pengertian, bahwa harta bersama antara suami istri
memang adadengan istilah yang berbeda untuk masing-masing daerah.[23]
Dalam hukum Islam harta gono gini
pada dasarnya tidak dikenal, karena hal itu sudah dibahas secara khusus dalam
kitab fiqh. Hal ini sejalan dengan asa kepemilikan harta secara individual
(pribadi) Atas dasar inilah suami wajib memberikan nafkah dalam bentuk biaya hidup
dengan segala kelengkapannya untuk anak istrinya dari harta suami sendiri.
Selanjutnya, apabila salah seorang suami-istri meninggal dunia maka harta
peninggalannya itu adalah harta pribadinya
secara penh yang dbagikan kepada ahli warisnya[24], termasuk istrinya.
Sedang di Indonesia harta bersama
dalam perkawinan diatur dalam UU n.1 1974,Bab IV pada pasal 35[25], pasal 36[26], dan pasal 37[27]
B.
Definisi Kepemilikan
Kepemilikan ( ﺔﺒﮐﻠﻣ ) berasal darikata milik ( ﻚﻠﻣﻠﺍ ) yang berari pendapatan seseorang yang diberi wewenang untuk
mengalokasikan harat yang dikuasai orang lain dengan keharusan untuk selalu
memperhatikan sumber ( pihak ) yang menguasainya. Dengan definisi ini, maka
terdapat perbedaan pendapat antara kepemilikan ( ﺔﺒﮐﻠﻣ ) dan penguasaan ( ﻚﻠﻣﺗ ). Perbedaan itu terlihat pada esensi ﻚﻠﻣﺗ dipahami sebagai bentuk penguasaan, kemampuan
dan perdagangan sebagaimana proses dalam suatu perbaikan sedangkan kepemilikan
( ﺔﺒﮐﻠﻣ ) menunjuk hanya kepada milik dengan keharusan unuk selalu
memperhatikan pihak yang menguasai,baik melalui kemampuan,usaha, tidak adanya
rivalitas,atau dengan cara yang dapat dirasakan oleh pemiliknya melalui
pemberian seperti hibah dan warisan.[28]
.
Memiliki adalah
dengan makna menguasai. Memiliki suatu benda, misalnya berarti mempunyai hak
mengatur dan memanfaatkannya, selama tidak terdapat larangan syara`. Dengan
kepemilikan, pihak yang tidak memiliki tidak berhak menggunakan tanpa izin
pemilik resmi.
Keterkaitan
antara manusia dengan hartanya berbeda dengan keterkaitan manusia dengan kepemilikan.
Sebab kepemilikan bukanlah hal yang bersifat materi. Dalam Islam kepemilikan membutuhkan
legalisasi dari syara`. Menurut syara kepemilikan adalah bentuk ikatan antara individu terkait dengan
harta, yang pada tahapan proses kepemilikan, syara` mensyaratkan berbagai hal
yang disebut dengan asbab al-milki (asal-usul kepemilikan
). Selanjutnya pasca kepemilikan, mengharuskan beberapa aturan dalam pengoprasian harta daan dalam
pengembangannya. Semuanya dimaksudkan agar segalanya sesuai dengan tuntunan
syara`. Kepemilikan berarti hak khusus
yang didapatkan sipemilik sehingga ia mempunyai hak menggunakan sejauh tidak
melakukan pelanggaran pada garis-garis syariah.[29]
1.Kepemilikan
dalam al-Qur`an
Al
Qur`an
telah mengatur secara jelas tentang masalah hak milik, diantaranya adalah
sebagai berikut : “ Manusia sebagai Khalifah Allah dibumi berhak mengurus dan memanfaatkan milik
mutlak Allah itu dengan cara-cara yang
benar dan halal dan berhak memperoleh hasil bagian dari usahanya ( QS. 4:32,
14:51 )
Berdasarkan ayat
tersebut pada dasarnya Hukum Islam mengakui
tidak mengakui hak milik secara mutlak, karena hak kepemilikan secara
mutlak ada pada Allah.[30]
2.
Sebab-sebab kepemilikan Harta
Adapun yang menyebabkan seseorang
memiliki harta dalam hukum Islam adalah sebagai berikut :
1.Disebabkan Ihraz al Mubahat ( memiliki benda yang boleh dimiliki ) adalah suatu
benda yang memang dapat/boleh dijadikan sebagi objek kepemilikan., maksudnya
tidaklah benda tersebut milik orang lain dan tidak pula ada larangan hukum
agama untuk diambil sebagai pemilik.
2. Disebabkan adanya al-uqud ( akad ) yang dimaksud adalah adanya perjanjian ( perbuatan ) seseorang atau lebih dalam merngikatkan
dirinya terhadap orang lain. Dalam hal ini tentunya adalah perjanjian hukum
untuk menimbulkan hak dan kewajiban.
3.Disebabkan karena Khalafiyah ( Pewarisan ) adalah memperoleh hak milik karena disebakan menempati tempat rang lain,
yang tidak bisa diganggu gugat dan merupakan dasar-dasar yang tetap.
4. Disebabkan al-Tawaludu min al mamluk ( beranak pinak )[31] adalah sesuatu yang lahir/terjadi
dari benda yang dimiliki merupakan hak pemilik barang atau harta
tersebut. Contah misalnya : anak binatang yang lahir dari induknya ,merupakan
hak milik bagi pemilik induk binatang tersebut.
3.
Cara Memanfaatkan hak Milik
Cara
memanfaatkan hak milik atau
mempergunakan harta kekayaan, Islam telah memberikan jalan dengan jelas
diantaranya adalah sebagai berikut : Tidak boleh boros dan tidak boleh kikir (
QS.17:26-27, 25:67), harus hati-hati dan
bijaksana, selalu mempergunakan akal sehat dalam memanfaatkan harta (QS..17:29,2
:282). Seyogyanya disalurkan melalui lembaga-lembaga yang telah ditentukan oleh
Islam melalui shadaqah, infaq, hibah, qurban,zakat dan waqaf.
D. Pembagaian harta kepemilikan
1. Harta Individual
Hak Milik secara Individual, Rafiq Yunus secara sederhana menjelaskan bahwa Islam sangat memperhatikan masalah hak
milik individu, bahkan seseorang mati demi mempertahankan hak miliknya, ia tergolong syahid.[32]. Adapun hal dapat menjadikan harta menjadi milik individual adalah salah
satunya adalah Menghidupkan tanah yang mati, sebagaimana sabda Rasulullah “ Barang siapa yang menghidupkan tanah mati,
maka tanah itu untuknya”[33]
Sedang
Ahmad Muhammad Al-assal, menyebutkan hak kepemilikan
dapat didapatkan melalui bekerja,
bercocok tanam menghidupkan tanah mati, kontrak pemindaan hak milik, pergantian
kedudukan dengan cara mewariskan atau mewasiatkan.[34].
Dalam
Islam hak Individual hanya bisa
dimanfaatkan pada seesuatu yang berguna sesuai dengan syariat Islam. Dan setiap individu berhak menikmati hak miliknya,menggunakan secara
produktif dan melindungi dari penyia-nyiaan (pemubadziran) untuk sesuatu yang
kurang bermanfaat.
2. Harta Kepimilikan Umum
Yang dimaksud dengan hak milik
umum adalah harta yang telah ditetapkan oleh syara` bagi kaum muslim dan
menjadikan harta tersebut milik bersama. Adapun bagaian yang termasuk harta
milik umum adalah sebagai berikut :
1.Sarana umum yang diperlukan oleh
seluruh kaum muslim dalam kehidupan sehari hari seperti air sungai dan laut,
jalan raya, hutan dan lain-lain[35].
2.Harta-harta yang [ada asalnya
terlarang bagi individu tertentu untuk memilikinya.
3, barang tambang ( sumber alam ) yang jumlahnya tak terbatas
Menurut Rafiq Yunus harta milik umum dapat
diklafikasikan menjadi tiga bagian :
Pertama : Marafiq adalah bentuk jamak dari kata mirfaq, yaitu seluruh sarana yang
dapat dimanfaatkan . Meliputi sarana yang ada dipedesaan, propinsi maupun yang dibuat oleh negara selama sarana
tersebut bermanfaat dan dapat membantu[36] seperti air baik sungai,laut jalan raya dan hutan seperti yang telah
disabdakan nabi, “ Manusia berserikat dalam tiga hal yaitu, air,padang
rumput dan api”
Kedua : al-Hima ( Tanah suaka) tanah yang
diurus oleh pemerintah untuk kepentingan kaum muslimien[37]. Seperti sabda nabi لا
حمى الا الله ولرسوله Tidak ada penguasaan kecuali bagi Allah dan
Rasul-Nya. Makna hadith tersebut adalah
tidak boleh seorangpun memiliki sesuatu yang merupakan milik semua manusia untuk dirinya sendiri
Ketiga :.Al-Auqaf bentuk jamak dari waqaf artinya adalah waqaf
untuk semua manusia ( menjadi milik umum ), maksudnya adalah manahan sesuatu
harta yang kekal zatnya untuk diambil menfaatnya sesuai dengan ajaran Islam .[38] Menurut Ibn Taimiyah harta waqaf dapat
digantikan kepada hal yang lain, asal dapat memberikan manfaat yang lebih besar.[39]Walau pandangan tersebut banyak yang menentang
dikalangan ulama` fiqih Islam
.
6. Hak
Milik Negara ( Bait al mal )
Bait al mal adalah pos yang dkhususkan untuk pemasukan atau pengeluran harta
yang menjadi hak kum muslimin.[40]. sekaligus merupakan
Institusi khusus negara yang menangani
harta baik yang bisa dipindahkan
(seperti uang) maupun yang tidak bisa dipindahkan (seperti tanah),[41] bangunan,barang
tambang, maupun harta benda lainya.
Sumber pemasukan
tetap dari baitul mal adalah fai[42] Ghanimah,anfal, kharaj,[43] jizyah[44] dan pemasukan dari
berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara mislanya Ushur,Khumus[45], rikas tambang,
serta harta zakat. Hanya saja zakat dimasukkan pada khas khusus baitul mal,
yang dipersiapkan untuk delapan asnaf yang disebutkan dalam al-Qur’an.
Kekayaan negara,
merupakan kekayaan umum (publik). Kepala
negara hanya bertindak sebagai sebagai pemegang amanah. Adalah merupakan
kewajiban bagi negara untuk bekerja keras bagi kemajuan ekonomi masyarakat, mengembangkan keamanan
sosial dan mengurangi jurang perbedaan dalam distribusi pendapatan. Artinya
negara tidak boleh sembarangan mengeluarkan pendapatan negara tanpa adanya
unsur kemaslahatan bersama.
7. Prinsip-prinsip alternatif dalam
kepemilikan
Isu pertama dalam prinsip-prinsip keadilan kontemporer menyangkut kepemilikan.
Bersama-sama dengan asumsi-asumsi kebebasan dan kompetisi, Adam Smith sebagai
penggagas Liberalisme Klasik meletakkan kepentingan diri (self-interest) sebagai basis kepemilikan. Asumsi ini oleh
Libertarianisme dijadikan prinsip pertama dalam keadilan, yaitu setiap orang memiliki dirinya sendiri.
Berbeda dari Liberalisme Klasik dan Libertarianisme, Prinsip Egalitarianisme
Radikal mengedepankan kepemilikan bersama, dan konsekuensinya mengabaikan
kepemilikan pribadi dan mengekang kebebasan individu. Dua prinsip keadilan
tersebut menemukan jalan buntu dalam memecahkan tarik ulur antara kepentingan
pribadi dan kepentingan kolektif atau sosial.
Kepemilikan
merupakan subjek penting dalam kerangka keadilan ekonomi. Pengakuan atas hak
kepemilikan adalah prasyarat untuk berhubungan dengan dan melakukan transaksi
atas kekayaan. Postulat alQur’an tentang kepemilikan menyatakan: Allah Maha Memiliki segalanya,
langit, bumi dan beserta isinya (Saba’ 34:22); Allah adalah pemilik
manfaat dan mudharat, kehidupan, kematian dan kebangkitan (al-Furqan 25:3);
Allah juga yang memiliki rezeki untuk semua makhluk (al-`Ankabut 29:17).
Postulat di atas
menegaskan “posisi awal” bahwa seluruh sumber daya adalah hak mutlak Allah. Proposisi ini
merupakan antitesis dari dua prinsip keadilan Liberalisme Klasik dan Prinsip
Libertarianisme. Prinsip keadilan pertama menyatakan setiap orang memiliki
dirinya sendiri. Manusia adalah pemilik dirinya sendiri, karena itu ia memiliki
kebebasan mutlak untuk mengupayakan dan memenuhi kepentingan-kepentingannya
sendiri tanpa harus peduli pada kepentingan-kepentingan orang lain. Secara
hakiki, proposisi ini mengandung problem ontologis dari perspektif al-Qur’an. Yakni, proposisi ini tidak menjawab masalah krusial tentang asal
dan tujuan (sangkan-paran) dari
segala ciptaan yang ada di alam semesta. Proposisi ini juga mencerminkan bias
antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dari semesta raya. Karena
ketidakjelasan asal, maka proposisi ini juga tidak memberikan arah yang tegas
tentang dimensi teleologis dari semua ciptaan, termasuk tujuan manusia sendiri.
Bias antroposentris mengarahkan prinsip keadilan Liberalisme Klasik dan
Libertarianisme meletakkan manusia sebagai tujuan dalam dirinya sendiri, bukan
sesuatu yang pada akhirnya kembali kepada asal ciptaan sebagai tujuan akhir.
Prinsip keadilan
kedua menyatakan dunia pada awalnya tidak
dimiliki siapa pun. Proposisi ini jelas merupakan kebalikan dari postulat
keadilan dalam al-Qur’an tentang kepemilikan primordial atas segala sesuatu. Dengan
menyadari posisi awal dari kepemilikan sesungguhnya atas sumber daya, bahkan
manusia sendiri, al-Qur’an meletakkan kepemilikan manusia dalam proporsi temporal. Postulat
ini bermaksud agar manusia sebagai homo
socius and economicus menyadari peran dan fungsinya berhadapan dengan Kuasa
dan Pemilik Mutlak atas segala sesuatu.
Postulat al-Qur’an tentang kepemilikan di atas merupakan titik pijak untuk
melahirkan rumus turunan yang disebut sebagai prinsip-prinsip fundamental
kepemilikan antara lain: sumber daya adalah hak Allah (al-Hadid 57:2); sumber
daya adalah amanat (al-Hadid 57:7); cara memperoleh yang benar (al-Baqarah
2:215). Secara umum, pernyataanpernyataan al-Qur’an
menjelaskan pengakuan dua tingkat kepemilikan, yakni kepemilikan nyata dan mutlak, dan kepemilikan terbatas dan merupakan mandat dari Pemilik Mutlak.
Allah adalah pemilik sejati dan mutlak atas seluruh kekayaan (al-Nur 24: 42).
Teori
|
Prinsip
|
implikasi
|
Libertarianisme
|
Pada awalnya dunia ini tidak ada yang memiliki
Absolutisme selfinterest
Kepemilikan individu mutlak
|
Kepentingan diri berada di atas segalanya tidak
mengenal fungsi sosial kekayaan; pajak dan retribusi sosial semacamnya
merupakan perampasan atas kepemilikan pribadi; enggan menerima hak
kepemilikan publik dan cenderung meminimalkan barang-barang publikuntuk
kesejahteraan sosial privatisasi atas sumber daya publik dan HaKI
|
Egalitarianisme Radikal
|
Kebebasan individu
dibatasi Absolutisme kepemilikan kolektif
|
Kepentingan
kolektif sebagai panglima; negara cenderung totaliter karena akumulasi
kekuasaan politik dan
ekonomi;
elite penguasa sebagai personifikasi negara
|
Etika al-Qur’an
|
Kepemilikan individu terbatas
Kepemilikan kolektif
dijamin Sumber daya bukan kepemilikan eksklusif
|
Ada
fungsi sosial dalam kepemilikan pribadi baik melalui sarana wajib maupun
sukarela; kepemilikan kolektif untuk kesejahteraan bersama; sumber daya
menjadi hak bersama semua spesies makhluk
hidup yang perlu dijaga kelestariannya; menolak
privatisasi atas sumber daya milik publik dan HaKI atas kekayaan milik
bersama masyarakat
|
Tabel 1
Perbandingan
teori kepemilikan dan implikasinya
Sejalan dengan
postulat dan prinsip-prinsip kepemilikan, al-Qur’an
memperkenalkan keunikan konsep tentang kepemilikan pribadi. Ini terletak pada
fakta bahwa legitimasi “kepemilikan tergantung pada
usaha/kerja yang melekat padanya” (al-Nisa’ 4:32). al-Qur’an hadir dengan mempertahankan moderasi, keseimbangan antara dua hal,
yaitu mengakui kepemilikan pribadi dan kepemilikan untuk mengamankan distribusi
kesejahteraan yang sangat luas dan menguntungkan melalui institusi-institusi
yang dibangunnya.
Pangkal kepemilikan
publik berpijak pada ayat: “Dia Allah yang telah menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu” (al-Baqarah 2:29). Ada sumber daya alam bebas yang
diciptakan Allah untuk seluruh manusia, seperti air, ruang angkasa, dan sumber
daya laut. Sumber daya lain seperti mata air, hutan dan bumi, kehidupan liar,
dan sumber daya bumiseperti bahan tambang, mineral, minyak bumi fosil, adalah
milik kolektivitas penduduk yang tinggal di wilayah yang mengandung sumber daya
tersebut, seperti dinyatakan hadis berikut:
“Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Kaum Muslim itu beryarikat dalam tiga hal, yakni (kepemilikan) air,
rerumputan (hutan) dan api (sumber energi), dan menjualnya adalah haram.Abu
Said berkata, yaitu air yang mengalir”[46]
B. Harta Yang Halal, Haram
dan Syubhat
Al-Qur’an menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di
alam ini diciptakan Allah SWT untuk kepentingan dan kebahagian
manusia .Kendati demikian bukan berarti manusia bebas untuk menikmatinya. Ada
aturanaturan yang telah digariskan Allah dalam kitabnya tentang pengelolaan dan
pemanfaatan isi alam baik dalam bentuk perintah ataupun larangan.
Peraturan –peraturan itu berguna
untuk membatasi manusia yang cenderung memiliki sifat tamak dan rakus, tidak
pernah merasa puas terhadap harta yang pada gilirannya dapat mencelakakan
dirinya sendiri. Banyak sekali ayat-ayat dan hadis-hadis nabi yang menunjukkan
kecenderungan negatif manusia tersebut. Dapatlah dikatakan, aturan-aturan itu
penting agar manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya dan mampu memilah dan
memilih mana yang penting, berguna dan mana pula yang sekedar hiasan semata.
Ditinjau dari kaca mata hukum Islam,
harta itu ada yang bendanya (a`in)
halal (boleh dikumpulkan dan dimanfaatkan) dan ada pula yang haram
(dilarang
mengumpulkannya, mengkonsumsi dan memproduksinya). Diantara dua katagori tersebut ada yang
disebut syubhat (tidak jelas kehalalannya dan keharamannya). Dalam wilayah
bisnis katagori halal dan haram ini juga berlaku. Rafiq Isa Beekun menyebutnya
dengan Halal and Haram Business Areas.4
Dari sisi
mendapatkannya atau memperolehnya demikian juga ada yang halal , haram dan syubhat.
Katagorisasi ini berangkat dari sebuah hadis Rasul yang artinya:
Yang halal itu telah jelas dan yang
haram itu juga jelas, dan antara keduanya adalah hal-hal yang syubhat. Barang
siapa yang bergelimang pada hal-hal syubhat diibaratkan seorang yang
mengembalakan kambingnya dipinggir jurang .
Pernyataan hadis di atas yang
menyebut bahwa sesuatu yang halal itu jelas, begitu pula yang haram, berpijak
pada satu kenyataan bahwa al-Qur’an dan hadis sebagai sumber hukum Islam telah
memberikan keteranganketerangan yang rinci dan tegas menyangkut katagori tersebut.
Berbeda dengan yang syubhat, keterangannya tidak begitu jelas, namun apakah ia
dikatagorikan kepada halal atau haram dapat dilihat dari indikasi-indikasi yang
ada.
Menarik untuk dicermati adalah metode yang
digunakan al-Qur’an dalam mengungkap dan
menjelaskan harta yang halal dan yang haram.. Ketika menyebut hal-hal yang
diharamkan al-Qur’an menggunakan bahasa
yang rinci dan tegas.Contohnya pada surah al-maidah/5:3
“Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi yang disembelih atas nama
selain Allah, yang tercekek, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang
diterkam binatang buas, kecuali yang kamu sempat menyembelihnya dan diharamkan
bagimu menyembelih untuk berhala… “
Sedangkan ketika menjelaskan hal-hal
yang dihalalkan, al-Qur’an menggunakan
bahasa yang gelobal seperti firman Allah di bawah ini:
“ Wahai manusia, ,makanlah yang halal lagi baik dari apa saja yang
terdapat dibumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan, karena
sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagi kamu”.
Hikmah semua ini adalah untuk
memberikan kemudahan bagi manusia dalam menggunakan harta. Pengungkapan harta
yang haram dengan rinci adalah bertujuan agar manusia tidak mengalami
kebingungan dalam menentukannya. Jika tidak dijelaskan, dipastikan manusia akan berbeda dalam
menentukan mana yang haram dan mana yang tidak karena manusia akan dipengaruhi
oleh kepentingan pribadinya (hawa
al-nafs). Ternyata jumlah harta yang haram itu sedikit, sehingga manusia tidak mengalami
kesulitan dalam mengidentifikasinya.
Ini berbeda ketika Allah menjelaskan
harta-harta yang halal dengan ungkapan yang global. Allah SWT hanya menyebutkan
halalan tayyiba (halal lagi baik).
Tidak dijelaskan apa-apa saja yang halal lagi baik tersebut. Seandainya Allah
juga merincinya, disamping jumlahnya sangat banyak, alQur’an menjadi jauh lebih
tebal dan tidak fleksibel. Hal ini akan menimbulkan kesulitan bagi manusia
sendiri. Kesulitan ini bisa saja dalam mengidentifikasi harta-harta yang halal
dan lebih sulit lagi ketika muncul produk-produk baru yang tentu saja tidak
disentuh al-Qur’an . Muncullah persoalan baru tentang kejelasan hukumnya. Di
satu sisi produk baru tersebut bisa jadi dibutuhkan manusia. Pada sisi lain
kejelasan hukumnya belum ada karena tidak ditegaskan oleh al-Qur’an .
Mengantisipasi persoalan yang seperti inilah, metode yang ditempuh al-Qur’an ketika menjelaskan harta yang haram dengan
cara merincinya sedangkan harta yang halal dijelaskannya dengan global.
Semuanya dalam rangka memberikan kemudahan dan kemaslahatan bagi manusia.
Menyangkut
harta yang syubhat sebenarnya di sini
ada keleluasaan manusia dalam menentukan sikap. Rasulullah hanya memberikan
isyarat, bermain-main dengan barang yang syubhat tak obahnya seperti pengembala
kambing yang mengembalakan kambingnya dipinggir jurang, sehingga besar
kemungkinan akan jatuh kedalamnya. Artinya, bermain-main dengan harta yang
syubhat dapat menjerumuskan manusia pada hal-hal yang diharamkan. Dengan isyarat yang diberikan Rasul,
seyogiyanya harta-harta yang syubhat (tidak jelas kehalalan dan keharamannya)
itu dihindari agar kita tidak terjerumus pada harta-harta yang haram.
D.
Cara Memperoleh Harta Yang Halal
Di muka telah dijelaskan bahwa harta itu dapat
dikumpulkan dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Al-Qur’an juga dalam hal ini memberikan tuntunan cara
pengumpulan harta, mana cara yang dibolehkan syari’at dan mana yang dilarang.
Merujuk kepada al-Qur’an akan ditemukan paling tidak tiga cara
pengumpulan harta. Pertama, lewat eksplorasi sumber daya alam. Kedua, lewat
usaha perdagangan. Ketiga, lewat pemberian orang lain.
Eksploarasi sumber daya alam
adalah produksi yang memungut langsung hasil bahan-bahan alamiah yang ada
dipermukaan dan perut bumi. Tentu saja ini membutuhkan usaha manusia untuk
menguaknya.Tanpa usaha manusia harta itu akan tetap tersimpan dan tidak dapat
termanfaatkan dengan baik. Eksplorasi sumber daya alam mengisyaratkan pentingnya penguasaan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi yang harus dimiliki manusia.
Berkaitan dengan ekplorasi sumber
daya alam, al-Qur’an mengisyaratkan tiga
hal. Melalui pertanian (Q.S
al-Kahfi/18:34,39). Pertanian adalah segala sesuatu yang bertalian dengan
tanaman-tanaman atau produksi pertumbuhan tanaman. Kedua.melalui peternakan. Allah
SWT menjadikan binatang-binatang yang hidup di alam ini untuk dapat dipelihara
manusia sebagai binatang ternak yang dapat dikembangbiakkan untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia.
Dalam al-Qur’an
Allah SWT menyatakan bahwa diturunkannya
hujan untuk menyuburkan bumi dan menumbuhkan tanaman, semunya itu diperuntukkan
bagi manusia dan binatang ternak. (Q.S `abasa, 80:25-32, Q.S al-nazia’at /79:29-33). Ketiga adalah
pertambangan. Sebagaimana diketahui perut bumi mengandung beragam jenis bahan
tambang yang apabila digali, maka dapat dikumpulkan menjadi harta yang berguna.
Pertambangan sendiri bermakna menggali tambang untuk mendapatkan hasil bumi.7
Di dalam al-Qur’an banyak ditemukan ungkapan-ungkapan,”Dialah Allah yang menjadikan segala yang
ada di bumi untuk manusia” yang merupakan pernyataan implisit meminta
manusia untuk menyelidiki dan berusaha untuk mencari kekayaan diperut bumi,
seperti besi, tembaga, emas,perak dan lain sebagainya. Ungkapan-ungkapan ini
ditemukan pada (Q.S.al-Saba’34:10-12).
Menyangkut tentang perdagangan dalam al-Qur’an
, topik ini diungkap dengan kata tijarah
(perdagangan) yang berarti menebarkan modal untuk mendapatkan keuntungan.
Perdagangan yang disebut dengan kata tijarah diungkap al-Qur’an sebanyak 8 kali dan kata bai`un yang bermakna jual
beli disebut sebanyak 6 kali. Banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang mengungkap kata ini menunjukkan bahwa
usaha perdagangan merupakan salah satu cara yang paling baik dan utama dalam
pengumpulan harta. Pernyataan ini dapat dilihat pada surah al-nisa’ ayat 29.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku
suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya
Allah maha penyayang kepadamu”.
Ayat ini melarang manusia untuk
mengumpulkan harta dengan jalan yang batil dan sebaliknya memerintahkan kepada
manusia untuk mengumpulkan harta dengan jalan perdagangan yang didasari suka
sama suka. Berkaitan dengan ini , Muhammad al-Bahiy dalam karyanya yang berjudul Al-Fikr al-Islamy wa al-Mujtama` al-Islami menyatakan, ungkapan “ illa an takuna tijaratan `an taradin minkum”, menunjukkan wujud
keseimbangan dan kerelaan antara penjual dan pembeli tanpa adanya unsur penindasan atau paksaan.[47]
Dalam ayat lain, Allah juga
menegaskan bahwa perdagangan yang
menguntungkan adalah yang dilaksanakan atas keimanan kepada Allah dan harta
tersebut digunakan untuk berjihad (al-Saf. 61:10-11). Ini bisa terjadi jika
harta yang dikumpulkan dijadikan modal untuk hal-hal yang dapat membawa
kemanfaatan bagi masyarakat banyak. Disamping ia akan mendapatkan keuntungan
material, ia juga memperoleh keuntungan spritual, rasa bahagia karena telah
berbuat baik untuk masyarakat.
Cara memperoleh harta yang ketiga
adalah melalui pemberian orang lain. Ada isyarat dari al-Qur’an , pemberian
harta dari orang lain dengan jalan-jalan yang dibenarkan syari`at merupakan
salah satu cara untuk mengumpulkan harta. Beberapa ayat al-Qur’an menunjukkan bahwa sebenarnya pada harta yang
dimiliki seseorang terdapat hak orang lain yang harus segera ditunaikan. Dalam
surah al-Ma`arij/70:24 Allah berfirman:
“ Pada harta mereka tersebut
ada hak orang lain yang harus ditunaikan”
Pada surah
al-zariyat/51:19
“Dan pada harta mereka ada hak orang yang meminta-minta dan orangorang
yang serba kekurangan.”
Pemberian harta dari orang lain dapat
berbentuk, zakat, sadaqah, infaq,
ganimah, jizyah, fai`,warisan dan sebagainya. Ini bukan berarti kebolehan
untuk mengharapkan belas kasihan orang
lain dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Dalam sebuah perbincangan, Rasul
pernah ditanya seorang sahabat, apakah usaha yang paling baik ? Rasul
menjawab, yang paling baik (afdal) adalah, usaha mandiri. Secara
implisit hadis ini melarang umat Islam
untuk meminta-minta. Pesan ini diperkuat dengan beberapa ayat al-Qur’an dan hadis nabi yang melarang umatnya untuk
berpangku tangan, malas, putus asa dan sebagainya. Jika demikian dapat
dikatakan, pemberian orang lain yang dimaksud ayat-ayat di atas, bukanlah
berangkat dari satu usaha agar ia diberi atau meminta belas kasihan dari orang
lain.
Dari penjelasan di atas, tampaklah
cara-cara memperoleh atau mengumpulkan harta yang dibolehkan menurut al-Qur’an .
Namun harus diingat, perintah al-Qur’an untuk mengumpulkan harta melalui eksplorasi
sumber daya alam, perdagangan dan pemberian orang lain tetap harus sesuai
dengan aturan-aturan agama. Jika aturan-aturan tersebut dilanggar, seperti
menipu pembeli, menebang kayu sehingga merusak hutan, maka dipandang sebagai
cara yang ditolak al-Qur’an . Sama halnya larangan al-Qur’an mengumpulkan harta dengan cara yang haram
seperti memproduksi minuman keras, menjual benda-benda yang diharamkan,
prostitusi, judi, transaksi bisnis yang mengandung unsur tipuan (garar)[48] mencuri, merampok, korupsi dan sebagainya.
D. Contoh Jalan Memperoleh Harta Yang Haram
Di
bawah ini akan dikemukakan contoh-contoh harta yang haram ditinjau dari segi memperolehnya berdasarkan
informasi yang diberikan oleh al-Qur’an dan Hadis.[49]
1.
Harta Suap
Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di
antara kamu dengan jalan batil, dan (janganlah) menggunakan sebagai umpan
(untuk menyuap) para hakim dengan maksud agar kalian dapat memakan harta orang
lain dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahui hal itu.[50]
2.
Hadiah yang Diharamkan (ghulul
dan suht)
Dalam
beberapa hadis, nabi Muhammad SAW bersabda, “hadiah
yang diberikan kepada penguasa adalah ghulul (perbuatan curang)”. “Hadiah yang
diberiak kepada pejabat adalah suht (haram)”
3.
“Barang siapa
yang kami pekerjakan untuk melakukan suatu tugas dan kepadanya kami telah
berikan rezeki (imablan atas jerih payahnya), maka apa yang diambil olehnya
selain itu adalah suatu kecurangan.
4.
Komisi yang Diharamkan
“Rasul SAW mengutusku
ke Yaman sebagai penguasa daerah. Setelah aku
berangkat, beliau mengutus orang lain menyusulku. Aku pulamng kembali. Rasul
berttanya kepadaku, “Tahukah engkau, mengapa aku mengutus orang menyusulmu ?.
janganlah engkau mengambil sesuatu untuk kepentinganmu tanpa seizinku. Jika hal
itu kau lakukan, itu merupakan kecurangan, dan barangsiapa berbuat curang pada
hari kiamat kelak ia akan dibangkitkan dalam keadaan memikul beban
kecurangannya. Untuk itulah, engkau aku panggil dan sekarang berangkatlah untuk
melaksanakan tugsmu.[51].
5.
Harta Hasil Tindak Kezaliman.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta
sesama kalian dengan jalan batil. (al-nisa`:29).
Barang siapa mengambil (tanpa izin) harta saudaranya dengan tangan
kanannya (dengan kekuatan), ia akan dimasukkan ke da;am neraka dan diharamkan
masuk surga. “seorang sahabat bertanya, Ya Rasulullah, bagaimana kalau sedikit
?. Beliau menjawab, walaupun sebesar kayu siwak.
6.
Harta Korupsi
Perampas, koruptor dan pengkhianat tidak dieknakan hukum potong
tangan (dihukum lebih berat dari sekdar potong
tangan).
Barangsiapa yang merampok dan merampas atau mendorong perampasan,
bukanlah dari golongan kami (Bukan dari golongan umat Muhammad SAW).
7.
Harta Riba
Nabi melaknat orang yang makan riba, orang yang menyerahkannya dan
para pencatatnya. (HR.Ibnu
Majah),
8.
Harta dari Wanprestasi
Tiga orang yang aku musuhi pada hari kiamat nanti adalah orang yang
telah memberikan karena aku, lalu berkhianat, dan orang yang memberi barang
pilihan, lalu makan kelebihan harganya, serta orang yang mengontrak pekerja
kemudian pekerja tersebut menunaikan pekerjaannya sedangkan upahnya tidak
dibayarkan.
9.
Harta dari tindak Penipuan
Bukanlah termasuk umatku, orang yang melakukan penipuan. (HR.Ibnu
Majah dan Abu Daud)
E.
Kewajiban Terhadap Harta
Pada kajian terdahulu telah
dijelaskan pengertian harta,
klasifikasinya dan cara-cara memperolehnya menurut panduan
Islam. Tampaklah bahwa sebenarnya Islam memandang harta secara positif
dan menempatkannya sebagai salah satu instrumen untuk mendekatkan diri pada
Allah. Untuk itulah harta harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan
pribadi, keluarga dan masyarakat.
Islam mengajarkan ada
kewajiban-kewajiban tertentu manusia terhadap harta, baik kepada hartanya
sendiri maupun terhadap harta orang lain. Kewajiban terhadap harta sendiri
dapat berbentuk :
1.
Pemanfaatan harta untuk kepentingan sosial atau masyarakat. Dalam
kaca Islam harta atau uang adalah modal, tidak boleh dibiarkan “idle”
melainkan untuk investasi yang menghasilkan kesejahteraan umat dengan
peningkatan produksi dan kesempatan kerja.
2.
Dalam tingkat tertentu, seseorang yang memiliki harta berlebih
harus menginfakkan hartanya melalui institusi
zakat, infaq, sadaqah, waqf dan sebagainya.
3.
Seseorang yang memiliki harta harus dapat menjaga dan menjamin
bahwa harta yang dimilikinya tidak akan menimbulkan kemudharatan bagi orang
lain.
Terhadap harta
orang lain, setiap orang harus ikut memeliharanya dari segala kerusakan. Islam
sangat menganjurkan kepada umatnya untuk saling menolong apakah melalui
institusi sewa menyewa, pinjam meminjam gadai menggadai, dimana terjadi
pemindahan hak pemanfaatan bukan hak milik dari seseorang kepada yang menyewa
atau yang meminjam, dan pada saat itulah
penyewa atau peminjam berkewajiban untuk memilihara harta tersebut
sebaik-baiknya.
[1] .M.Faruq
an-Nabahan, Sistem Ekonomi Islam, Pilihan
setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis terj.(Yogyakarta, UII
Press,2002),27 mengutip Mustafa Zarqa dalam Nadzariyatu al-Iltizam al-Ammah fi al-Fiqhi al-Islami Jilid III,l 131
dari Raddaul al-Ahkam dan Majallati al-Ahkam al-Adliyah.
[2] Manusia sejak mulai
lahir sudah memebutuhkan harta ( materi) sebagai bekal hidup, karena manusia
perlu makanan, pakaian dan papan (rumah tempat berlindung), bahka kalau kita
pikirkansecara mendalam, manusia yang masih dalam kandunganpun sudah memerlukan
berbagai makanan yang bergizi, agar tumbuh dan berkembang dengan baik da sehat.
Lihat; M.Ali Hasan, Bebagai Macam
Transaksi Dalam Islam, Fiqh al-Muamalah,( Jakarta,Rajawali Press,2003).I
[3] .Muhammaad Ismail
Yusanto, Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islam i, (Jakarta , Gema Insani
Press,2002 )18
[4] Jelas bahwasanya agama merupakan keharusan sosiologis,
biologis dan psikologis. Itulah sebabnya mengapa Islam , dengan batas-batasan
yang luas, telah menjadi bagian kehidupan masyarakat. John L. Esposito led, Dinamika Kebangunan Islam, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1987), 293
[5] Islami Juga sangat
memperhatikan harta dengan menempatkannya sebagai tiang kehidupan. Lihat Husaien Syahathah, Pokok-pokok pikiran Akuntansi Dalam Islam i, ( Jakarta ,
Akbar, 2001 ), 114-115-
[6] Atabik Ali dan Ahmad
Zuhdi Muhdhr , Kamus al-Asr Arab- Indonesia
, (Yokyakarta, Multi Karya Grafika
PP.Krapyak, 1996 ) 1585. Lihat juga Dalam mukhtar al-Qomus, kata al-mal
berarti apa saja yang dimiliki’, kata tamawalta ( تمو لت ) berarti
harta kamu banyak karena orang lain, dan kata multuhu (ملته ) berarti
kamu memberikan uang pada seseoran. Dalam Salah satu Hadith Nabi menyebutkan نهى رسول الله عن اضاعة المال
Yang dimaksud dengan Idha`at al-mal dalam
hadith ini adalah menafkahkan
dijalan yang haram, maksiat atau pada hal-hal yang tidak disukai Allah. Ada
juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Idha`at al-mal adalah
perbuatan Mubadir yang berlebih-lebihan walaupun dalam hal-hal yang
halal. Berkata Ibnu Athir. Pada dasarnya mal
itu ialah barang milik seperti emas pera, tetapai kemudia kata mal itu dipaki
untuk semua jenis benda yang bisa dikonsumsi. Lihat, Husaien as-Shahatah,
114-115 mengutip dari Ibnu Mansur, Lisan
al-Arab jilid III,550
[7] as-Syahatah,119.
Lihat juga a-Syatibi, al-Muwafaqat fi
Ushul al-Ahkam, juz 11 ( Kairo, Al-Maktabah atTijariyah al-Kubra tth ),17
[8] Dalam buku yang lain
Ibn Abidin ( dari golongan Hanafi) menyatakan bahwa harta adalah sesuatu yang
digandrungi oleh manusia dan dapat dihadirkan ( dimanfaatkan) pada saat
diperlukan. Lihat.M.Ali Hasan, Berbagai Macam Trsansaksi Dalam Islam,hal
55
[9].Paling tidak ada
dua hal yang perlu diperhatikan. 1.Harta mungkin dihimpun dan dipelihara.
Dengan demikian ilmu,kesehatan,kepintaran dan kemulyaan tidak termasuk harta, tetapi milik.2 Dapat
dimanfaatkan adat kebiasaan. Dengan demikian makanan yang beracun, atau rusak,
tidak termasuk harta
[10].Menurut
al-Ghazali
tujuan syar`iah adalah mendorong kesejahteraan manusia, yang terletak pada
perlindungan terhadap agama mereka
(din),diri ( nafs), akal, keturunan (nasl) dan harta benda (mal). Apa saja yang
menjamin terlindungnya lima perkara tersebt berarti melindungi kepentingan
umum, Lihat Umer Chapra, Masa Depan Ekonomi Islam , Sebuah Tinjuan Islam
, terj ( Jakarta,Gema Insani Press,2001),102.
[11] Umar
Chapra, The Future Of Economics : An Islamic Prepective, terj.Masa Depan
Ekonomi Islam (Jakarta ,
Gema Insani Press,2001) 101. Beliau mengutip pendapat Imam al-Ghazali bahwa
tujuan syariah adalah mendorong kesejahetraan ummat manusia, yang terletak pada perlindungan terhadap agama,diri,keturunan dan harta
benda Lihat juga.M Umer Chapra Pada Islam dan Tantangan Ekonomi,
Islamisasi Ekonomi Kontemporer (
Jakarta,Rislah Gusti,2002 ),8-9
[12] as-Syahatah Husein, pokok-pokok dasar
akuntansi Islam
, 131. Menyebutkan pembagaian harta ada empat : Tamwil
dan syumul ( Mengandung nilai universal ),2, Mutaqawwim (
bernilai ) 3, Harta dikuasai secara sempurna dan 4. Keselamatan dan
Keutuhan Ra`sul mal .
[13]
pembukuan,pemegangan/pengurusan perhitungan keuangan. Lihat.M.Dahlan Al-Barry, Kamus
Ilmiyah Kontemporer, (Surabaya ,Arkola,2002),19.
Sedang pengertian akuntansi Islam adalah Muhasabah dalam arti musaalah
(perhitungan) dan munaqasah(perdebatan) kemudian dilanjutkan dengan pembalasan
yangsesuai dengan catatan perbutannyadan tingkah lakunya serta sesuai pula
dengan syarat-syarat yang telah disepakati. Lihat,Husan Syahatah, Pokok-pokok Pikiran Akuntansi Islam,( Jakarta ,Akbar,2002),43.
[14] .Bisa
juga disebut dengan al-`iqar (
harta tidak bergerak/tetap) seperti
tanha dan rumah. Lihat M.Ali Hasan, Fiqh al-Muamalah,63
[15] Disebut
juga dengan al-Manqul (harta
yang bergerak), seperti barang dagangan, lihat M.Ali Hasan,Berbagai macam
transaksi Dalam Islam,64
[16] As-Syahatah, 122
[17] Dalam harta in,
pemilik bebas memanfaatkannya baik dalam bentuk pernyataan maupun perbuatan.
Namun apabila harta itu tidak bergerak, maka tindakannya pada harta itu
dibatasi atas pertimbangan kemaslahatan tetangga. Lihat. M.Ali Hasan, Berbagai
macam transaksi dalam Islam,.65
[18] Adalah harta yang
dimiliki seseorang, seperti sumber mata air,hewan buruan, kayu dihutan
belantara yang belum dijamah dan dimiliki seseorang, ikan dilautan lepas. Harta
semacam
ini boleh dimanfaatkan oleh sesseorang, dengan ketentuan tidak merusak
kelestaraian alam tersebut. Seperti menebang kayu sembarangan sehingga
mengakibatkan banjir.
[19] Yaitu harta yang dilarang oleh shara` untuk memilikinya.
Karena posisi harta tersebut biasanya merupakan milik umum, sehingga tidak
boleh untuk memilikinya secara prtibadi.
[20] Menurut Madhab Hanafi Wakaf adalah Menahan
benda atas status milik orang yang mewakafkan dan disedahkan manfaatnya untuk
kepentingan yang baik.Lihat Fuad Ab al-Latif al-Sartawi, al-Tamwil al-Islami
wa Daur Qita al-Khash ( Amman, Dar al-Musyayyarah,1999),187. Sedang menurut Imam Syafii Wakaf adalah menahan harta yang diambil
manfaatnya dengan tetap utinya barang, dan barang itu lepas dari penguasaan
orang yang mewakafkan serta dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan agama’
Lihat.Ibn Abidin,Radd al-Muhtar juz IV,( Beirut,Dar al-Kutub
al-Ilmiuyah,tt) 155.
[23] Misalnya di derah
Aceh disebut dengan herueka sihaurate, di Minangkabau disebut dengan harta
suong di daerah Sunda disebut guna kaya atau tumpang kaya, atau raja kaya (
Kabupaten Sumedang), di Bali disebut drube drube gabro, di Kalimantan disbut
barang Barang berpantang, di Sulawesi (Bugis dan Makasar) dikenal dengan barang
cakar, di Madura disebut dengan nama ghuna-ghana sedang di Jawa disebut dengan
Gono Gini.
[24] Dalam
hukum waris Islam, setiap pribadi, baik laki-laki maupun perempuan berhak
menerima harta warian yang telah ditetukan oleh syara`.Ilmu yang membahas
tentang warisan ini disebut dengan ilmu faraid
[25] .Pasal 35 ini
dijelaskan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama,.
Dan pasal .
[27].Dan
pasal 37 menjelaskan, apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta
bersama diatur menurut hukumnya masing masing.
[29] An-Nabahan,42. Mengutip pendapatnya Abu Zahrah dalam al-Milkiyah wa Nadzariyatu al-Aqdi fi
Syariah al-Islamiyah,62
[30] Seminar
Nasional oleh Pusat studi Interdisiplener IAIN Sunan Ampel, Pembangunan Ekonomi dalam Pandangan Islam ,
( Surabaya, Al-Ikhlas,1982), 28
[31] Hasbi As-Shididieqi.
Pengantar Fiqih Muamalah (Jakarta, Bulan Bintang,1989 ), 8-9 Lihat juga pada Suhrawardi Lubis, Hukum
Ekonomi Islam, (Jakarta,, Sinar Grafika, 1999), 9
[32] Islam memberikan izin seluas-luasnya untuk memiliki harta menjadi
hak milik, kecuali harta milik umum dan
milik negara Lihat Rafiq Yunus, Usul
al-Iqthishad al-Islami, 42. A.Islahi, Konsep Ekonomi , ...138.
[33] Hadith yang sepadan adalah “ Barang siapa mengidupkan sebdang
tanah mati, maka tanah itu menjadi
miliknya, dan tidak berhak memilikinya
orang yang hanya memagarinya dengan
tembok setelah tiga tahun “ HR.Bukhari .
[34] Ahmad Muhammad Al-Asal, Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem,Prinsip,
dan tujuan Ekonomi Islam, terj. ( Bandung, Pustaka Setia, 1999 ), 54.
[35] Abdul
Qadim Zallum Sistem Keuangan Islam Di Negara Khilafah, (Bogor, Hizbut
al-Tahrir,2002 ) 68.
[37].al Assal, 64.
Menyebutkan bahwa dizaman Rasulullah disuakakan tanah Naqi` dimanfaatkan untuk
mengumpulkan kuda-kuda kaum muslimin, kemudian pada masa Umar pernah
mensuakakan sebidang tanah Rubdah untuk
kaum muslim yang fakir miskin dapat menggunakan rumputnya untuk menggembalakan
binatang ternaknya, tanah ini terlarang untuk orang-orang yang kaya.
[38] Muhammad,
Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta, Universitas
Indonesia Press,1988),86 Disini disebtkan tentang syarat harta yang waqafkan diantaranya adalah pertama:
Barangnya dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang lama, Kedua : Harta yang diwaqafkan harus
jelas wujudnya dan pasti batas-batasnya ( misalnya berbentuk tanah), Ketiga : Bendanya benar-benar milik
waqif.
[39] A.Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu
Taimiyah,
terj.Anshari Tayyib ( Surabaya, Bina Ilmu,1997), 142-143
[40] Taqyuddin An-Nabhani, Membagun Sitem
Ekonomi Alternatif Perspektif Islam ,terj. (
Jakarta,Risalah Gusti, 1996),
253
[42] Fai adalah,
suatu harta yang dikuasi oleh kaum muslim dari orang kafir dengan tanpa
melakukan peperangan.
[43] .Kharaj
adalah Hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan
maupun melalui perjanjian damai,
[44] .Jizyah
adalah hak Allah yang diberikan kepada kaum muslim dari orang-kafir sebagai
tunduknya mereka terhadap kepada Islam.
[45] Khumus adalah
seperlima bagaian yang diambil dari Ghnaimah
[46] Majah, tth., vol. 2: 826
[47] Muhammad al-Bahiy, al-Fikr al-Islami wa al-Mujtama` al-Islami, Mesir: Dar al-Qaumiyyah, 963), 35-36.