rohmans

KONSEP HARTA DALAM ISLAM

    A.             Pengertian harta Sulit memang mendefinisikan harta secara tepat dan baku, ini dikarenakan harta memiliki sifat...



    A.            Pengertian harta


Sulit memang mendefinisikan harta secara tepat dan baku, ini dikarenakan harta memiliki sifat kekhususan yang berbeda-beda dengan akibat yang berbeda pula dalam melihatnya,[1]dan manusia selalu membutuhkannnya.[2]Harta juga diartikan sebagai segala sesuatu  yang dapat dimanfaatkan dalam perkara legal menurut hukum syara.[3] Dalam Islam,[4] harta dianggap sebagai bagian dari aktivitas dan tiang kehidupan yang dijadikan Allah untuk membantu proses tukar menukar, dan juga digunakan sebagai ukuran terhadap nilai.[5] Harta Juga merupakan kebiasaan dan watak manusia  suka memiliki harta serta menyimpanya dan membelanjakannya untuk sesuatu yang bermanfaat. Bahkan seringkali manusia amat berambisi untuk mengusainya. Ambisi manusia  yang paling kuat  yang sudah menjadi watak adalah mencintai harta dan memilikinya. Sehubungan dengan kecintaan  manusia terhadap harta Allah berfirman dalam surah Ali Imran ayat 14:

 “Dijadikan  indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga)” 

Di dalam kamus al-Asri  diterangkan bahwa kata ما ل (harta) berasal dari kata kerja مول, ملت, تممال, ملت. Jadi, harta (ما ل) didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dimiliki.[6] (ما ل) (mal) yang bentuk jamaknya أ مو ا ل  (amwal).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian harta (mal) dalam bahasa Arab ialah apa saja yang dimiliki manusia, kata mal itu sendiri berakar dari kata: تمو يل, تمو لت, مول . yang berarti yang memberi kaya.
Berikut pendapat sebagaian ahli fuqaha` dalam mendefinisikan harta diantaranya adalah: Definisi mal menurut ulama Hambali ialah apa-apa yang memiliki manfaat yang boleh untuk suatu keperluan dan atau untuk kondisi darurat.
                  a.             Imam Hanafi Harta adalah  sesuatu yang bisa dipergunakan untuk keperluan  dan atau untuk kondisi sempit dan dharurat.
                  b.             Imam Syafi’i berkata bahwa mal ialah barang-barang yang mempunyai nilai untuk dijual dan nilai harta itu akan terus ada kecuali kalau semua orang telah meninggalkannya (tidak berguna lagi bagi manusia). Kalau baru sebagian orang saja yang meninggalkannya, barang itu masih bermanfaat bagi orang lain dan masih mempunyai nilai bagi mereka.[7]
                  c.             Ibnu Abidin berkata dalam kitab Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al Mukhta>r bahwa yang dimaksud dengan mal ialah segala yang disukai nafsu atau jiwa dan bisa disimpan sampai waktu ia butuhkan.[8] Nilai mal itu akan ada jika semua orang atau kebanyakan orang menganggapnya mempunyai nilai (qimah). Adapun arti tamwi>l ialah memberikan atau mengukuhkan nilai pada sesuatu harta atau mal dan boleh mengambil manfaat darinya secara syar’i.
Dari pendapat-pendapat ulama di atas dapat disimpulkan bahwa mal itu ialah segala sesuatu yang mempunyai nilai-nilai legal, disukai oleh tabiat manusia, bisa memiliki, disimpan, dimanfaatkan secara syar’i dan disimpan untuk waktu kebutuhan serta bebas mengelolanya.[9]

     B.            Kedudukan Harta

       Perhatian al-Qur’an  yang begitu besar terhadap harta membuktikan bahwa sebenarnya harta merupakan satu kebutuhan manusia yang sangat penting sehingga al-Qur’an  memandang perlu untuk memberikan garisangarisan yang dapat dikatakan rinci. Hikmahnya adalah agar manusia tidak terjerumus pada penyimpangan-penyimpangan baik pada pengumpulan harta ataupun pada pemanfaatannya yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian pada individu maupun masyarakat.
 Menarik untuk dicermati, pada satu sisi Allah menegaskan harta dapat menjadi alat yang ampuh untuk mendekatkan diri padanya melalui apa yang disebut al-Qur’an  dengan jihad. Didalam al-Qur’an  surah al-anfal/8:72 Allah berfirman:
             Artinya: Sesungguhnya mereka orang-orang yang beriman dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah
  Jihad dengan harta dapat berbentuk zakat, infaq, sadaqah, memanfaatkan harta untuk kepentingan sosial dan bentuk-bentuk lainnya, selama dilakukan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai wujud pembuktian iman, maka semuanya itu dipandang ibadah.         
 Sebaliknya pemanfaatan harta secara negatif yang disebut al-Qur’an  dengan mengikuti jalan syetan (Q.S.al-Isra’/17:64) seperti menafkahkan harta disertai sifat-sifat riya, (Q.S.al-nisa’/4:38), kikir (Q.S.al-lail/92:8-11), berbangga-bangga dengan harta (Q.S.al-Hadid/57:20), menghamburhamburkannya, tidak saja menjauhkannya dari jalan Allah, tetapi juga akan menimbulkan kerusakan bagi individu dan masyarakat.Al-Qur’an  menegaskan, harta yang dimanfaatkan dengan tidak mengikuti ajaran Allah hanya akan merugikan, karena pemiliknya akan di azab di akhirat (Q.S.alTaubah/9:69).
Al-Qur’an  memberikan arahan agar harta dapat dimanfaatkan dan dinikmati oleh manusia untuk kebahagiaan kehidupannya di dunia dan di akhirat. Isyarat ini ditemukan pada Q.S. ali-Imran/3:14.
 Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak  dan sawah ladang
   Ayat tersebut mengisyaratkan berbagai jenis harta, baik hasil pertambangan, pertanian, peternakan dan perdagangan agar semuanya itu dapat dimanfaatkan untuk menjadi kesenangan hidup manusia secara individu. Namun pada bagian akhir ayat ada pernyataan (dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga), seolah-olah mengingatkan manusia dalam pemanfaatan harta sejalan dengan petunjuk-petunjuk Allah SWT.
   Jenis-jenis harta pada ayat di atas juga mengisyaratkan macam-macam kebutuhan hidup manusia. Hasil pertambangan (emas , perak dan lain-lain) mengisyaratkan kebutuhan manusia pada peralatan dan perhiasan, kuda pilihan mengisyaratkan  kebutuhan manusia pada kendaraan, binatang ternak dan sawah ladang mengisyaratkan kebutuhan  terhadap sandang, pangan dan papan.
Setelah terpenuhinya kebutuhan pribadi, harta juga harus dapat  dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga dan kepentingan sosial, terlebih lagi orang-orang yang sedang berada dalam kesulitan. Perintah ini ditemukan pada Q.S.al-Isra’/17:26
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan harta .
Harta   dapat dibelanjakan atau digunakan untuk keperluan ditujukan untuk kebutuhan hidup atau diinvestasikan untuk pengembangan harta, atau disimpan saja untuk kegunaan masa mendatang. Namun kebebasan pemanfaatan harta ini dibatasi untuk sesuatu yang mendatangkan kebaikan, yaitu jalan-jalan yang tidak melangar ketentuan Allah dan tidak untuk perkara-perkara haram yang mengakibatkan kerusakan akhlak dan lingkungan sosial.
Jadi tegaslah bahwa pemanfaatan harta adalah untuk melakukan kebaikan (ibadah), menegakkan keadilan sosial, dengan memberikan nafkah pada diri sendiri, anggota keluarga, dan membantu memberikan harta pada fakir miskin, anak yatim, muallaf, musafir, orang yang tertindas , tawanan dan orang-oarang yang sedang berjung pada jalan Allah.
 Disamping itu, pemanfaatan harta harus dapat menjadikan seseorang selalu mengingat Allah dan mendekatinya, menjadikan lebih pandai bersyukur. Ini bisa tercapai bila manusia dalam memanfaatkan harta selalu mengikuti etika al-Qur’an  yaitu pembelanjaan dan penggunaan harta dengan cara yang sederhana, terhindar dari sifat boros,  kikir, berbangga-bangga, riya dan melampau batas.

                C.  Pembagian harta
Diantara tujuan syariat Islam[10] adalah menjaga harta[11] dan mengembangkannya melalui jalur-jalur syar`i untuk medorong kesejahteraan hidup  manusia. Namun tidak semua harta dapat dijadikan bahan acuan untuk mencapai kesejahteraan..
-    Dari segi Sifatnya
 Imam Hanafi membagi mejadi dua bagian[12]
                       1.     Mutaqawwam (bernilai) artinya dapat disahkan oleh syara’ untuk dimanfaatkan.
                       2.     Ghoiru Mutaqawwam (tak bernilai), artinya harta dilarang syara’ untuk dipergunakan/ tidak boleh dibelanjakan.
Hukum harta pada mulanya bersifat mutaqawwam dan bisa dipergunakan selama tidak ditemukan nash yang melarang. Firman Allah  dalam surat al-An’am : 145

“Tiada aku peroleh wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi yang hendak memakannya, kecuali kalau makan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena semua ini kotor”
Dilihat dari segi pemanfaatannya

Dalam konsep akuntansi modern, [13] harta itu disebut pokok atau ushul. Sudah biasa di kalangan ahli akuntansi klasik bahwa mal atau ushul itu dibagi menjadi dua macam ; 1) Ushul Thabit (harta tetap),[14] yaitu harta yang membantu perjalanan aktivitas, tetapi bukan untuk tujuan perdagangan atau barter; 2) Ushul Mutadawilah (harta yang bergerak),[15] yaitu harta yang dimaksudkan untuk diputar dan dipakai untuk berdagang.[16]
Sedang jika harta dilihat dari pemanfaatannya dibagi menjadi bagaian;
1.Harta yang pemanfaatannya tidak menghabiskan benda tersebut dan tetap utuh ( isti`mali), seperti rumah, lahan, lahan pertanian
2.Harta yang pemanfaatannya, mengahabiskan benda tersebut(istihlaki), seperti pakaian,makanan,minuman dan sabun.
Sebagai akibat dari perbedaan tersebut, maka ulama` fiqh hanya melihat dari segi akadnya saja. Untuk harta yang bersifat istihlaki, akadnya hanya yang bersifat tolong-menolong saja. Sedang yang sifatnya isti`mali disaming tolong-menolon, dapat juga ditransaksiakan dengan cara mengambil imbalan(jasa) seperti sewa-menyewa ( al-Ijarah)
-          Dilihat dari Status ( Kedudukan)
            Sedang harta jika dilihat dari segi kedudukannya dapat dibagi menjadi tiga bagaian :
                       3.     Harta yang telah dimiliki (al-mal al-mamluk)[17], baik pribadi maupun milik badan hukum ( negara, organisasi kemasyarakatan)
                       4.     Harta yang sda dimiliki seseorang ( al-mal al-mubah)[18]
                       5.     Harta yang dilarang untuk memilikinya ( al-ma>l al-mahju>r)[19]. Misalnya tanah wakaf[20] yang nilai kemanfataannya untuk kepentingan umum.
-   - Dilihat dari segi kepemilikannya
Harta jika dilihat dari segi kepemilikannya, ulama fiqih berendapat bahwa:
            1.Harta nilikpribadi yang pemiliknya bebas menentukan manfaatnya selam tidak merugikan orang lain.
2.Harta milik masyarakat umm yang pemanfaatannya untuk semua orang.[21]
-    Harta Gono Gini (jawa)
            Berkenan dengan masalah harta, masih ada istilah lain yang perlu diketahui yaitu harta Gono Gini, Dalam Insiklopedi Hukum Islam, dijelaskan, bahwa harta gono gini adalah harta bersama milik suami istri yang mereka peroleh semasa perkawinan.[22]
            Dalam masyarakat Indonesia, hampir semua daerah mempunyai pengertian, bahwa harta bersama antara suami istri memang adadengan istilah yang berbeda untuk masing-masing daerah.[23]
            Dalam hukum Islam harta gono gini pada dasarnya tidak dikenal, karena hal itu sudah dibahas secara khusus dalam kitab fiqh. Hal ini sejalan dengan asa kepemilikan harta secara individual (pribadi) Atas dasar inilah suami wajib memberikan nafkah dalam bentuk biaya hidup dengan segala kelengkapannya untuk anak istrinya dari harta suami sendiri. Selanjutnya, apabila salah seorang suami-istri meninggal dunia maka harta peninggalannya itu adalah harta pribadinya  secara penh yang dbagikan kepada ahli warisnya[24], termasuk istrinya.
            Sedang di Indonesia harta bersama dalam perkawinan diatur dalam UU n.1 1974,Bab IV pada pasal 35[25], pasal 36[26], dan pasal 37[27]

B. Definisi Kepemilikan
Kepemilikan ( ﺔﺒﮐﻠﻣ ) berasal darikata milik (   ﻚﻠﻣﻠﺍ ) yang berari pendapatan seseorang yang diberi wewenang untuk mengalokasikan harat yang dikuasai orang lain dengan keharusan untuk selalu memperhatikan sumber ( pihak ) yang menguasainya. Dengan definisi ini, maka terdapat perbedaan pendapat antara kepemilikan ( ﺔﺒﮐﻠﻣ ) dan penguasaan ( ﻚﻠﻣﺗ  ). Perbedaan itu terlihat pada esensi ﻚﻠﻣﺗ  dipahami sebagai bentuk penguasaan, kemampuan dan perdagangan sebagaimana proses dalam suatu perbaikan sedangkan kepemilikan ( ﺔﺒﮐﻠﻣ ) menunjuk hanya kepada milik dengan keharusan unuk selalu memperhatikan pihak yang menguasai,baik melalui kemampuan,usaha, tidak adanya rivalitas,atau dengan cara yang dapat dirasakan oleh pemiliknya melalui pemberian seperti hibah dan warisan.[28]
.
            Memiliki adalah dengan makna menguasai. Memiliki suatu benda, misalnya berarti mempunyai hak mengatur dan memanfaatkannya, selama tidak terdapat larangan syara`. Dengan kepemilikan, pihak yang tidak memiliki tidak berhak menggunakan tanpa izin pemilik resmi.
            Keterkaitan antara manusia dengan hartanya berbeda dengan keterkaitan manusia dengan kepemilikan. Sebab kepemilikan bukanlah hal yang bersifat materi. Dalam Islam kepemilikan membutuhkan legalisasi dari syara`. Menurut syara kepemilikan adalah  bentuk ikatan antara individu terkait dengan harta, yang pada tahapan proses kepemilikan, syara` mensyaratkan berbagai hal yang disebut dengan asbab al-milki (asal-usul kepemilikan ). Selanjutnya pasca kepemilikan, mengharuskan beberapa aturan  dalam pengoprasian harta daan dalam pengembangannya. Semuanya dimaksudkan agar segalanya sesuai dengan tuntunan syara`. Kepemilikan berarti  hak khusus yang didapatkan sipemilik sehingga ia mempunyai hak menggunakan sejauh tidak melakukan pelanggaran pada garis-garis syariah.[29]
1.Kepemilikan dalam al-Qur`an
            Al Qur`an telah mengatur secara jelas tentang masalah hak milik, diantaranya adalah sebagai berikut : “ Manusia sebagai Khalifah Allah  dibumi berhak mengurus dan memanfaatkan milik mutlak Allah itu dengan  cara-cara yang benar dan halal dan berhak memperoleh hasil bagian dari usahanya ( QS. 4:32, 14:51 )
            Berdasarkan ayat tersebut pada dasarnya Hukum Islam  mengakui  tidak mengakui hak milik secara mutlak, karena hak kepemilikan secara mutlak ada pada Allah.[30]

 

2. Sebab-sebab kepemilikan Harta


Adapun yang menyebabkan seseorang memiliki harta dalam hukum Islam adalah sebagai berikut :
1.Disebabkan Ihraz al Mubahat ( memiliki benda yang boleh dimiliki ) adalah suatu benda yang memang dapat/boleh dijadikan sebagi objek kepemilikan., maksudnya tidaklah benda tersebut milik orang lain dan tidak pula ada larangan hukum agama untuk diambil sebagai pemilik.
2. Disebabkan adanya al-uqud  ( akad ) yang dimaksud adalah adanya perjanjian ( perbuatan )  seseorang atau lebih dalam merngikatkan dirinya terhadap orang lain. Dalam hal ini tentunya adalah perjanjian hukum untuk menimbulkan hak dan kewajiban.
3.Disebabkan karena Khalafiyah ( Pewarisan ) adalah memperoleh hak milik karena disebakan menempati tempat rang lain, yang tidak bisa diganggu gugat dan merupakan dasar-dasar yang tetap.
4. Disebabkan al-Tawaludu min al mamluk ( beranak pinak )[31]  adalah sesuatu yang lahir/terjadi  dari benda yang dimiliki merupakan hak pemilik barang atau harta tersebut. Contah misalnya : anak binatang yang lahir dari induknya ,merupakan hak milik bagi pemilik induk binatang tersebut.

3. Cara Memanfaatkan hak Milik

            Cara memanfaatkan hak milik  atau mempergunakan harta kekayaan, Islam telah memberikan jalan dengan jelas diantaranya adalah sebagai berikut : Tidak boleh boros dan tidak boleh kikir ( QS.17:26-27, 25:67), harus hati-hati  dan bijaksana, selalu mempergunakan akal sehat dalam memanfaatkan harta (QS..17:29,2 :282). Seyogyanya disalurkan melalui lembaga-lembaga yang telah ditentukan oleh Islam melalui shadaqah, infaq, hibah, qurban,zakat dan waqaf.

D. Pembagaian harta kepemilikan

1. Harta Individual
            Hak Milik secara Individual, Rafiq Yunus secara sederhana menjelaskan  bahwa Islam sangat  memperhatikan masalah hak milik individu, bahkan seseorang mati demi mempertahankan  hak miliknya, ia tergolong syahid.[32]. Adapun hal dapat menjadikan harta menjadi milik individual adalah salah satunya adalah Menghidupkan tanah yang mati, sebagaimana sabda Rasulullah “ Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu untuknya[33]
            Sedang Ahmad  Muhammad Al-assal, menyebutkan  hak kepemilikan dapat didapatkan melalui  bekerja, bercocok tanam menghidupkan tanah mati, kontrak pemindaan hak milik, pergantian kedudukan dengan cara mewariskan atau mewasiatkan.[34].
            Dalam Islam  hak Individual hanya bisa dimanfaatkan pada seesuatu yang berguna sesuai dengan syariat Islam. Dan setiap individu berhak menikmati hak miliknya,menggunakan secara produktif dan melindungi dari penyia-nyiaan (pemubadziran) untuk sesuatu yang kurang bermanfaat.
2. Harta Kepimilikan Umum
Yang dimaksud dengan hak milik umum adalah harta yang telah ditetapkan oleh syara` bagi kaum muslim dan menjadikan harta tersebut milik bersama. Adapun bagaian yang termasuk harta milik umum adalah sebagai berikut :
1.Sarana umum yang diperlukan oleh seluruh kaum muslim dalam kehidupan sehari hari seperti air sungai dan laut, jalan raya, hutan dan lain-lain[35].
2.Harta-harta yang [ada asalnya terlarang bagi individu tertentu untuk memilikinya.
3, barang tambang ( sumber alam ) yang jumlahnya tak terbatas
Menurut Rafiq Yunus harta milik umum dapat  diklafikasikan menjadi tiga bagian :
Pertama : Marafiq adalah bentuk jamak dari kata mirfaq, yaitu seluruh sarana yang dapat dimanfaatkan . Meliputi sarana yang ada dipedesaan, propinsi  maupun yang dibuat oleh negara selama sarana tersebut bermanfaat dan dapat membantu[36] seperti air baik sungai,laut jalan raya dan hutan seperti yang telah disabdakan nabi, “ Manusia berserikat dalam tiga hal yaitu, air,padang rumput dan api”
Kedua : al-Hima ( Tanah suaka) tanah yang diurus oleh pemerintah untuk kepentingan kaum muslimien[37]. Seperti sabda nabi  لا حمى الا الله ولرسوله  Tidak ada penguasaan kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.  Makna hadith tersebut adalah tidak boleh seorangpun memiliki sesuatu yang merupakan  milik semua manusia untuk dirinya sendiri
Ketiga :.Al-Auqaf  bentuk jamak dari waqaf artinya adalah waqaf untuk semua manusia ( menjadi milik umum ), maksudnya adalah manahan sesuatu harta yang kekal zatnya untuk diambil menfaatnya sesuai dengan ajaran Islam .[38] Menurut Ibn Taimiyah harta waqaf dapat digantikan kepada hal yang lain, asal dapat memberikan manfaat yang lebih besar.[39]Walau pandangan tersebut banyak yang menentang dikalangan ulama` fiqih Islam
                                6.     Hak Milik  Negara  ( Bait al mal )

            Bait al mal  adalah pos yang dkhususkan untuk pemasukan atau pengeluran harta yang menjadi hak kum muslimin.[40]. sekaligus merupakan Institusi khusus  negara yang menangani harta baik yang  bisa dipindahkan (seperti uang) maupun yang tidak bisa dipindahkan (seperti tanah),[41] bangunan,barang tambang, maupun harta benda lainya.
            Sumber pemasukan tetap dari baitul mal adalah fai[42] Ghanimah,anfal, kharaj,[43] jizyah[44] dan pemasukan dari berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara mislanya Ushur,Khumus[45], rikas tambang, serta harta zakat. Hanya saja zakat dimasukkan pada khas khusus baitul mal, yang dipersiapkan untuk delapan asnaf yang disebutkan dalam al-Quran.
            Kekayaan negara, merupakan kekayaan  umum (publik). Kepala negara hanya bertindak sebagai sebagai pemegang amanah. Adalah merupakan kewajiban bagi negara untuk bekerja keras bagi kemajuan  ekonomi masyarakat, mengembangkan keamanan sosial dan mengurangi jurang perbedaan dalam distribusi pendapatan. Artinya negara tidak boleh sembarangan mengeluarkan pendapatan negara tanpa adanya unsur kemaslahatan bersama.
                                7.     Prinsip-prinsip alternatif dalam kepemilikan
Isu pertama dalam prinsip-prinsip keadilan kontemporer menyangkut kepemilikan. Bersama-sama dengan asumsi-asumsi kebebasan dan kompetisi, Adam Smith sebagai penggagas Liberalisme Klasik meletakkan kepentingan diri (self-interest) sebagai basis kepemilikan. Asumsi ini oleh Libertarianisme dijadikan prinsip pertama dalam keadilan, yaitu setiap orang memiliki dirinya sendiri. Berbeda dari Liberalisme Klasik dan Libertarianisme, Prinsip Egalitarianisme Radikal mengedepankan kepemilikan bersama, dan konsekuensinya mengabaikan kepemilikan pribadi dan mengekang kebebasan individu. Dua prinsip keadilan tersebut menemukan jalan buntu dalam memecahkan tarik ulur antara kepentingan pribadi dan kepentingan kolektif atau sosial.
Kepemilikan merupakan subjek penting dalam kerangka keadilan ekonomi. Pengakuan atas hak kepemilikan adalah prasyarat untuk berhubungan dengan dan melakukan transaksi atas kekayaan. Postulat alQuran tentang kepemilikan menyatakan: Allah Maha Memiliki segalanya, langit, bumi dan beserta isinya (Saba 34:22); Allah adalah pemilik manfaat dan mudharat, kehidupan, kematian dan kebangkitan (al-Furqan 25:3); Allah juga yang memiliki rezeki untuk semua makhluk (al-`Ankabut 29:17).
Postulat di atas menegaskan posisi awal bahwa seluruh sumber daya adalah hak mutlak Allah. Proposisi ini merupakan antitesis dari dua prinsip keadilan Liberalisme Klasik dan Prinsip Libertarianisme. Prinsip keadilan pertama menyatakan setiap orang memiliki dirinya sendiri. Manusia adalah pemilik dirinya sendiri, karena itu ia memiliki kebebasan mutlak untuk mengupayakan dan memenuhi kepentingan-kepentingannya sendiri tanpa harus peduli pada kepentingan-kepentingan orang lain. Secara hakiki, proposisi ini mengandung problem ontologis dari perspektif al-Quran. Yakni, proposisi ini tidak menjawab masalah krusial tentang asal dan tujuan (sangkan-paran) dari segala ciptaan yang ada di alam semesta. Proposisi ini juga mencerminkan bias antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dari semesta raya. Karena ketidakjelasan asal, maka proposisi ini juga tidak memberikan arah yang tegas tentang dimensi teleologis dari semua ciptaan, termasuk tujuan manusia sendiri. Bias antroposentris mengarahkan prinsip keadilan Liberalisme Klasik dan Libertarianisme meletakkan manusia sebagai tujuan dalam dirinya sendiri, bukan sesuatu yang pada akhirnya kembali kepada asal ciptaan sebagai tujuan akhir.
Prinsip keadilan kedua menyatakan dunia pada awalnya tidak dimiliki siapa pun. Proposisi ini jelas merupakan kebalikan dari postulat keadilan dalam al-Quran tentang kepemilikan primordial atas segala sesuatu. Dengan menyadari posisi awal dari kepemilikan sesungguhnya atas sumber daya, bahkan manusia sendiri, al-Quran meletakkan kepemilikan manusia dalam proporsi temporal. Postulat ini bermaksud agar manusia sebagai homo socius and economicus menyadari peran dan fungsinya berhadapan dengan Kuasa dan Pemilik Mutlak atas segala sesuatu.
Postulat al-Quran tentang kepemilikan di atas merupakan titik pijak untuk melahirkan rumus turunan yang disebut sebagai prinsip-prinsip fundamental kepemilikan antara lain: sumber daya adalah hak Allah (al-Hadid 57:2); sumber daya adalah amanat (al-Hadid 57:7); cara memperoleh yang benar (al-Baqarah 2:215). Secara umum, pernyataanpernyataan al-Quran menjelaskan pengakuan dua tingkat kepemilikan, yakni kepemilikan nyata dan mutlak, dan kepemilikan terbatas dan merupakan mandat dari Pemilik Mutlak. Allah adalah pemilik sejati dan mutlak atas seluruh kekayaan (al-Nur 24: 42).
Teori
Prinsip
implikasi
Libertarianisme
Pada awalnya dunia ini tidak ada yang memiliki
Absolutisme selfinterest
Kepemilikan individu mutlak
Kepentingan diri berada di atas segalanya tidak mengenal fungsi sosial kekayaan; pajak dan retribusi sosial semacamnya merupakan perampasan atas kepemilikan pribadi; enggan menerima hak kepemilikan publik dan cenderung meminimalkan barang-barang publikuntuk kesejahteraan sosial privatisasi atas sumber daya publik dan HaKI
Egalitarianisme Radikal
Kebebasan individu
dibatasi Absolutisme kepemilikan kolektif
Kepentingan kolektif sebagai panglima; negara cenderung totaliter karena akumulasi kekuasaan politik dan
ekonomi;
elite penguasa sebagai personifikasi negara
Etika al-Quran
Kepemilikan individu terbatas
Kepemilikan kolektif
dijamin Sumber daya bukan kepemilikan eksklusif
Ada fungsi sosial dalam kepemilikan pribadi baik melalui sarana wajib maupun sukarela; kepemilikan kolektif untuk kesejahteraan bersama; sumber daya menjadi hak bersama semua spesies makhluk
hidup yang perlu dijaga kelestariannya; menolak privatisasi atas sumber daya milik publik dan HaKI atas kekayaan milik bersama masyarakat
Tabel       1
Perbandingan teori kepemilikan dan implikasinya

Sejalan dengan postulat dan prinsip-prinsip kepemilikan, al-Quran memperkenalkan keunikan konsep tentang kepemilikan pribadi. Ini terletak pada fakta bahwa legitimasi kepemilikan tergantung pada usaha/kerja yang melekat padanya (al-Nisa 4:32). al-Quran hadir dengan mempertahankan moderasi, keseimbangan antara dua hal, yaitu mengakui kepemilikan pribadi dan kepemilikan untuk mengamankan distribusi kesejahteraan yang sangat luas dan menguntungkan melalui institusi-institusi yang dibangunnya.
Pangkal kepemilikan publik berpijak pada ayat: Dia Allah yang telah menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu (al-Baqarah 2:29). Ada sumber daya alam bebas yang diciptakan Allah untuk seluruh manusia, seperti air, ruang angkasa, dan sumber daya laut. Sumber daya lain seperti mata air, hutan dan bumi, kehidupan liar, dan sumber daya bumiseperti bahan tambang, mineral, minyak bumi fosil, adalah milik kolektivitas penduduk yang tinggal di wilayah yang mengandung sumber daya tersebut, seperti dinyatakan hadis berikut:
Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah saw. bersabda: Kaum Muslim itu beryarikat dalam tiga hal, yakni (kepemilikan) air, rerumputan (hutan) dan api (sumber energi), dan menjualnya adalah haram.Abu Said berkata, yaitu air yang mengalir[46]
B.  Harta Yang Halal, Haram dan Syubhat

Al-Qur’an  menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini diciptakan Allah SWT untuk  kepentingan dan kebahagian manusia .Kendati demikian bukan berarti manusia bebas untuk menikmatinya. Ada aturanaturan yang telah digariskan Allah dalam kitabnya tentang pengelolaan dan pemanfaatan isi alam baik dalam bentuk perintah ataupun larangan.
          Peraturan –peraturan itu berguna untuk membatasi manusia yang cenderung memiliki sifat tamak dan rakus, tidak pernah merasa puas terhadap harta yang pada gilirannya dapat mencelakakan dirinya sendiri. Banyak sekali ayat-ayat dan hadis-hadis nabi yang menunjukkan kecenderungan negatif manusia tersebut. Dapatlah dikatakan, aturan-aturan itu penting agar manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya dan mampu memilah dan memilih mana yang penting, berguna dan mana pula yang sekedar hiasan semata.
           Ditinjau dari kaca mata hukum Islam, harta itu ada yang bendanya (a`in) halal (boleh dikumpulkan dan dimanfaatkan) dan ada pula yang haram
(dilarang mengumpulkannya, mengkonsumsi dan memproduksinya).  Diantara dua katagori tersebut ada yang disebut syubhat (tidak jelas kehalalannya dan keharamannya). Dalam wilayah bisnis katagori halal dan haram ini juga berlaku. Rafiq Isa Beekun menyebutnya dengan  Halal and Haram Business Areas.4
Dari sisi mendapatkannya atau memperolehnya demikian juga ada yang halal , haram dan syubhat.  Katagorisasi ini berangkat dari sebuah hadis Rasul yang artinya:
          Yang halal itu telah jelas dan yang haram itu juga jelas, dan antara keduanya adalah hal-hal yang syubhat. Barang siapa yang bergelimang pada hal-hal syubhat diibaratkan seorang yang mengembalakan kambingnya dipinggir jurang .
           Pernyataan hadis di atas yang menyebut bahwa sesuatu yang halal itu jelas, begitu pula yang haram, berpijak pada satu kenyataan  bahwa al-Qur’an  dan hadis sebagai sumber hukum Islam telah memberikan keteranganketerangan yang rinci dan tegas menyangkut katagori tersebut. Berbeda dengan yang syubhat, keterangannya tidak begitu jelas, namun apakah ia dikatagorikan kepada halal atau haram dapat dilihat dari indikasi-indikasi yang ada.
    Menarik untuk dicermati adalah metode yang digunakan al-Qur’an  dalam mengungkap dan menjelaskan harta yang halal dan yang haram.. Ketika menyebut hal-hal yang diharamkan al-Qur’an  menggunakan bahasa yang rinci dan tegas.Contohnya pada surah al-maidah/5:3
        Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekek, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang kamu sempat menyembelihnya dan diharamkan bagimu menyembelih untuk berhala…
          Sedangkan ketika menjelaskan hal-hal yang dihalalkan, al-Qur’an  menggunakan bahasa yang gelobal seperti firman Allah di bawah ini:   

Wahai manusia, ,makanlah yang halal lagi baik dari apa saja yang terdapat dibumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan, karena sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagi kamu.

          Hikmah semua ini adalah untuk memberikan kemudahan bagi manusia dalam menggunakan harta. Pengungkapan harta yang haram dengan rinci adalah bertujuan agar manusia tidak mengalami kebingungan dalam menentukannya. Jika tidak dijelaskan,  dipastikan manusia akan berbeda dalam menentukan mana yang haram dan mana yang tidak karena manusia akan dipengaruhi oleh kepentingan pribadinya (hawa al-nafs). Ternyata jumlah  harta yang haram itu sedikit, sehingga manusia tidak mengalami kesulitan dalam mengidentifikasinya.
          Ini berbeda ketika Allah menjelaskan harta-harta yang halal dengan ungkapan yang global. Allah SWT hanya menyebutkan halalan tayyiba (halal lagi baik). Tidak dijelaskan apa-apa saja yang halal lagi baik tersebut. Seandainya Allah juga merincinya, disamping jumlahnya sangat banyak, alQur’an menjadi jauh lebih tebal dan tidak fleksibel. Hal ini akan menimbulkan kesulitan bagi manusia sendiri. Kesulitan ini bisa saja dalam mengidentifikasi harta-harta yang halal dan lebih sulit lagi ketika muncul produk-produk baru yang tentu saja tidak disentuh al-Qur’an . Muncullah persoalan baru tentang kejelasan hukumnya. Di satu sisi produk baru tersebut bisa jadi dibutuhkan manusia. Pada sisi lain kejelasan hukumnya belum ada karena tidak ditegaskan oleh al-Qur’an . Mengantisipasi persoalan yang seperti inilah, metode yang ditempuh al-Qur’an  ketika menjelaskan harta yang haram dengan cara merincinya sedangkan harta yang halal dijelaskannya dengan global. Semuanya dalam rangka memberikan kemudahan dan kemaslahatan bagi manusia.
            Menyangkut harta yang syubhat sebenarnya di sini ada keleluasaan manusia dalam menentukan sikap. Rasulullah hanya memberikan isyarat, bermain-main dengan barang yang syubhat tak obahnya seperti pengembala kambing yang mengembalakan kambingnya dipinggir jurang, sehingga besar kemungkinan akan jatuh kedalamnya. Artinya, bermain-main dengan harta yang syubhat dapat menjerumuskan manusia pada hal-hal yang diharamkan.  Dengan isyarat yang diberikan Rasul, seyogiyanya harta-harta yang syubhat (tidak jelas kehalalan dan keharamannya) itu dihindari agar kita tidak terjerumus pada harta-harta yang haram.

D.            Cara Memperoleh Harta Yang Halal


           Di muka  telah dijelaskan bahwa harta itu dapat dikumpulkan dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Al-Qur’an  juga dalam hal ini memberikan tuntunan cara pengumpulan harta, mana cara yang dibolehkan syari’at dan mana yang dilarang.
            Merujuk kepada al-Qur’an  akan ditemukan paling tidak tiga cara pengumpulan harta. Pertama, lewat eksplorasi sumber daya alam. Kedua, lewat usaha perdagangan. Ketiga, lewat pemberian orang lain.
             Eksploarasi sumber daya alam adalah produksi yang memungut langsung hasil bahan-bahan alamiah yang ada dipermukaan dan perut bumi. Tentu saja ini membutuhkan usaha manusia untuk menguaknya.Tanpa usaha manusia harta itu akan tetap tersimpan dan tidak dapat termanfaatkan dengan baik. Eksplorasi sumber daya alam  mengisyaratkan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang harus dimiliki manusia.
             Berkaitan dengan ekplorasi sumber daya alam, al-Qur’an  mengisyaratkan tiga hal. Melalui  pertanian (Q.S al-Kahfi/18:34,39). Pertanian adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tanaman-tanaman atau produksi pertumbuhan tanaman. Kedua.melalui peternakan. Allah SWT menjadikan binatang-binatang yang hidup di alam ini untuk dapat dipelihara manusia sebagai binatang ternak yang dapat dikembangbiakkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Dalam al-Qur’an  Allah SWT menyatakan bahwa diturunkannya hujan untuk menyuburkan bumi dan menumbuhkan tanaman, semunya itu diperuntukkan bagi manusia dan binatang ternak. (Q.S `abasa, 80:25-32, Q.S al-nazia’at /79:29-33). Ketiga adalah pertambangan. Sebagaimana diketahui perut bumi mengandung beragam jenis bahan tambang yang apabila digali, maka dapat dikumpulkan menjadi harta yang berguna. Pertambangan sendiri bermakna menggali tambang untuk mendapatkan hasil bumi.7
          Di dalam al-Qur’an  banyak ditemukan ungkapan-ungkapan,”Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk manusia” yang merupakan pernyataan implisit meminta manusia untuk menyelidiki dan berusaha untuk mencari kekayaan diperut bumi, seperti besi, tembaga, emas,perak dan lain sebagainya. Ungkapan-ungkapan ini ditemukan pada (Q.S.al-Saba’34:10-12).   
         Menyangkut tentang perdagangan dalam al-Qur’an ,  topik ini   diungkap dengan  kata tijarah (perdagangan) yang berarti menebarkan modal untuk mendapatkan keuntungan. Perdagangan yang disebut  dengan kata tijarah diungkap al-Qur’an  sebanyak 8 kali dan kata bai`un  yang bermakna jual beli disebut sebanyak 6 kali. Banyaknya ayat-ayat al-Qur’an  yang mengungkap kata ini menunjukkan bahwa usaha perdagangan merupakan salah satu cara yang paling baik dan utama dalam pengumpulan harta. Pernyataan ini dapat dilihat pada surah al-nisa’ ayat 29.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu.               
          Ayat ini melarang manusia untuk mengumpulkan harta dengan jalan yang batil dan sebaliknya memerintahkan kepada manusia untuk mengumpulkan harta dengan jalan perdagangan yang didasari suka sama suka. Berkaitan dengan ini , Muhammad al-Bahiy  dalam karyanya yang berjudul Al-Fikr al-Islamy wa al-Mujtama` al-Islami  menyatakan, ungkapan “ illa an takuna tijaratan `an taradin minkum”, menunjukkan wujud keseimbangan dan kerelaan antara penjual dan pembeli tanpa adanya unsur  penindasan atau paksaan.[47]
              Dalam ayat lain, Allah juga menegaskan  bahwa perdagangan yang menguntungkan adalah yang dilaksanakan atas keimanan kepada Allah dan harta tersebut digunakan untuk berjihad (al-Saf. 61:10-11). Ini bisa terjadi jika harta yang dikumpulkan dijadikan modal untuk hal-hal yang dapat membawa kemanfaatan bagi masyarakat banyak. Disamping ia akan mendapatkan keuntungan material, ia juga memperoleh keuntungan spritual, rasa bahagia karena telah berbuat baik untuk masyarakat.
          Cara memperoleh harta yang ketiga adalah melalui pemberian orang lain. Ada isyarat dari al-Qur’an , pemberian harta dari orang lain dengan jalan-jalan yang dibenarkan syari`at merupakan salah satu cara untuk mengumpulkan harta. Beberapa ayat al-Qur’an  menunjukkan bahwa sebenarnya pada harta yang dimiliki seseorang terdapat hak orang lain yang harus segera ditunaikan. Dalam surah al-Ma`arij/70:24 Allah berfirman:
        Pada harta mereka tersebut ada hak orang lain yang harus ditunaikan
         Pada surah al-zariyat/51:19
        Dan pada harta mereka ada hak orang yang meminta-minta dan orangorang yang serba kekurangan.
         Pemberian harta dari orang lain dapat berbentuk, zakat, sadaqah, infaq, ganimah, jizyah, fai`,warisan dan sebagainya. Ini bukan berarti kebolehan untuk mengharapkan belas kasihan  orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia.
         Dalam sebuah perbincangan, Rasul pernah ditanya seorang sahabat, apakah usaha yang paling baik ? Rasul menjawab, yang paling baik (afdal) adalah, usaha mandiri. Secara implisit hadis ini melarang  umat Islam untuk meminta-minta. Pesan ini diperkuat dengan beberapa ayat al-Qur’an  dan hadis nabi yang melarang umatnya untuk berpangku tangan, malas, putus asa dan sebagainya. Jika demikian dapat dikatakan, pemberian orang lain yang dimaksud ayat-ayat di atas, bukanlah berangkat dari satu usaha agar ia diberi atau meminta belas kasihan dari orang lain.     
          Dari penjelasan di atas, tampaklah cara-cara memperoleh atau mengumpulkan harta yang dibolehkan menurut al-Qur’an . Namun harus diingat, perintah al-Qur’an  untuk mengumpulkan harta melalui eksplorasi sumber daya alam, perdagangan dan pemberian orang lain tetap harus sesuai dengan aturan-aturan agama. Jika aturan-aturan tersebut dilanggar, seperti menipu pembeli, menebang kayu sehingga merusak hutan, maka dipandang sebagai cara yang ditolak al-Qur’an . Sama halnya larangan al-Qur’an  mengumpulkan harta dengan cara yang haram seperti memproduksi minuman keras, menjual benda-benda yang diharamkan, prostitusi, judi, transaksi bisnis yang mengandung unsur tipuan (garar)[48] mencuri, merampok, korupsi dan sebagainya.

D.  Contoh Jalan Memperoleh Harta Yang Haram
     
            Di bawah ini akan dikemukakan contoh-contoh harta yang haram  ditinjau dari segi memperolehnya berdasarkan informasi yang diberikan oleh al-Qur’an  dan Hadis.[49]
1.      Harta  Suap
Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil, dan (janganlah) menggunakan sebagai umpan (untuk menyuap) para hakim dengan maksud agar kalian dapat memakan harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahui hal itu.[50]
2.      Hadiah yang Diharamkan (ghulul dan suht)
Dalam beberapa hadis, nabi Muhammad SAW bersabda, “hadiah yang diberikan kepada penguasa adalah ghulul (perbuatan curang)”. “Hadiah yang diberiak kepada pejabat adalah suht (haram)
3.      “Barang siapa yang kami pekerjakan untuk melakukan suatu tugas dan kepadanya kami telah berikan rezeki (imablan atas jerih payahnya), maka apa yang diambil olehnya selain itu adalah suatu kecurangan.
4.      Komisi yang Diharamkan
Rasul SAW mengutusku ke Yaman sebagai penguasa daerah. Setelah aku berangkat, beliau mengutus orang lain menyusulku. Aku pulamng kembali. Rasul berttanya kepadaku, “Tahukah engkau, mengapa aku mengutus orang menyusulmu ?. janganlah engkau mengambil sesuatu untuk kepentinganmu tanpa seizinku. Jika hal itu kau lakukan, itu merupakan kecurangan, dan barangsiapa berbuat curang pada hari kiamat kelak ia akan dibangkitkan dalam keadaan memikul beban kecurangannya. Untuk itulah, engkau aku panggil dan sekarang berangkatlah untuk melaksanakan tugsmu.[51].
5.      Harta Hasil Tindak Kezaliman.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan batil. (al-nisa`:29).
Barang siapa mengambil (tanpa izin) harta saudaranya dengan tangan kanannya (dengan kekuatan), ia akan dimasukkan ke da;am neraka dan diharamkan masuk surga. “seorang sahabat bertanya, Ya Rasulullah, bagaimana kalau sedikit ?. Beliau menjawab, walaupun sebesar kayu siwak.

6.      Harta Korupsi
Perampas, koruptor dan pengkhianat tidak dieknakan hukum potong tangan  (dihukum lebih berat dari sekdar potong tangan).
Barangsiapa yang merampok dan merampas atau mendorong perampasan, bukanlah dari golongan kami (Bukan dari golongan umat Muhammad SAW).
7.      Harta Riba
Nabi melaknat orang yang makan riba, orang yang menyerahkannya dan para pencatatnya. (HR.Ibnu Majah),
8.      Harta dari Wanprestasi
Tiga orang yang aku musuhi pada hari kiamat nanti adalah orang yang telah memberikan karena aku, lalu berkhianat, dan orang yang memberi barang pilihan, lalu makan kelebihan harganya, serta orang yang mengontrak pekerja kemudian pekerja tersebut menunaikan pekerjaannya sedangkan upahnya tidak dibayarkan.
9.      Harta  dari tindak Penipuan
Bukanlah termasuk umatku, orang yang melakukan penipuan. (HR.Ibnu
Majah dan Abu Daud)

E.   Kewajiban  Terhadap Harta

            Pada kajian terdahulu telah dijelaskan pengertian  harta, klasifikasinya dan cara-cara memperolehnya menurut  panduan  Islam. Tampaklah bahwa sebenarnya Islam memandang harta secara positif dan menempatkannya sebagai salah satu instrumen untuk mendekatkan diri pada Allah. Untuk itulah harta harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan pribadi, keluarga dan masyarakat.
              Islam mengajarkan ada kewajiban-kewajiban tertentu manusia terhadap harta, baik kepada hartanya sendiri maupun terhadap harta orang lain. Kewajiban terhadap harta sendiri dapat berbentuk :
1.      Pemanfaatan harta untuk kepentingan sosial atau masyarakat. Dalam kaca Islam harta atau uang adalah modal, tidak boleh dibiarkan “idle”  melainkan untuk investasi yang menghasilkan kesejahteraan umat dengan peningkatan produksi dan kesempatan kerja.
2.      Dalam tingkat tertentu, seseorang yang memiliki harta berlebih harus menginfakkan hartanya melalui institusi  zakat, infaq, sadaqah, waqf dan sebagainya.
3.      Seseorang yang memiliki harta harus dapat menjaga dan menjamin bahwa harta yang dimilikinya tidak akan menimbulkan kemudharatan bagi orang lain.
Terhadap harta orang lain, setiap orang harus ikut memeliharanya dari segala kerusakan. Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk saling menolong apakah melalui institusi sewa menyewa, pinjam meminjam gadai menggadai, dimana terjadi pemindahan hak pemanfaatan bukan hak milik dari seseorang kepada yang menyewa atau  yang meminjam, dan pada saat itulah penyewa atau peminjam berkewajiban untuk memilihara harta tersebut sebaik-baiknya.     


     


[1] .M.Faruq an-Nabahan, Sistem Ekonomi Islam, Pilihan setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis terj.(Yogyakarta, UII Press,2002),27 mengutip Mustafa Zarqa dalam Nadzariyatu al-Iltizam al-Ammah fi al-Fiqhi al-Islami Jilid III,l 131 dari Raddaul al-Ahkam dan Majallati al-Ahkam al-Adliyah.
[2] Manusia sejak mulai lahir sudah memebutuhkan harta ( materi) sebagai bekal hidup, karena manusia perlu makanan, pakaian dan papan (rumah tempat berlindung), bahka kalau kita pikirkansecara mendalam, manusia yang masih dalam kandunganpun sudah memerlukan berbagai makanan yang bergizi, agar tumbuh dan berkembang dengan baik da sehat. Lihat; M.Ali Hasan, Bebagai Macam Transaksi Dalam Islam, Fiqh al-Muamalah,( Jakarta,Rajawali Press,2003).I
[3] .Muhammaad Ismail Yusanto, Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islam i, (Jakarta, Gema Insani Press,2002 )18
[4] Jelas bahwasanya agama merupakan keharusan sosiologis, biologis dan psikologis. Itulah sebabnya mengapa Islam , dengan batas-batasan yang luas, telah menjadi bagian kehidupan masyarakat. John L. Esposito led, Dinamika Kebangunan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), 293
[5] Islami Juga sangat memperhatikan harta dengan menempatkannya sebagai tiang  kehidupan. Lihat Husaien Syahathah, Pokok-pokok pikiran Akuntansi Dalam Islam i, ( Jakarta, Akbar, 2001 ), 114-115-
[6] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhr , Kamus al-Asr Arab- Indonesia ,  (Yokyakarta, Multi Karya Grafika PP.Krapyak, 1996 ) 1585. Lihat juga Dalam mukhtar al-Qomus, kata al-mal berarti apa saja yang dimiliki’, kata tamawalta ( تمو لت ) berarti harta kamu banyak karena orang lain, dan kata multuhu (ملته ) berarti kamu memberikan uang pada seseoran. Dalam Salah satu Hadith Nabi menyebutkan نهى رسول الله عن اضاعة المال Yang dimaksud dengan Idha`at al-mal dalam hadith ini adalah  menafkahkan dijalan yang haram, maksiat atau pada hal-hal yang tidak disukai Allah. Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Idha`at al-mal adalah  perbuatan Mubadir yang berlebih-lebihan walaupun dalam hal-hal yang halal. Berkata Ibnu Athir. Pada dasarnya mal itu ialah barang milik seperti emas pera, tetapai kemudia kata mal itu dipaki untuk semua jenis benda yang bisa dikonsumsi. Lihat, Husaien as-Shahatah, 114-115 mengutip dari Ibnu Mansur, Lisan al-Arab jilid III,550
[7] as-Syahatah,119. Lihat juga  a-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, juz 11 ( Kairo, Al-Maktabah atTijariyah al-Kubra tth ),17
[8] Dalam buku yang lain Ibn Abidin ( dari golongan Hanafi) menyatakan bahwa harta adalah sesuatu yang digandrungi oleh manusia dan dapat dihadirkan ( dimanfaatkan) pada saat diperlukan. Lihat.M.Ali Hasan, Berbagai Macam Trsansaksi Dalam Islam,hal 55
[9].Paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan. 1.Harta mungkin dihimpun dan dipelihara. Dengan demikian ilmu,kesehatan,kepintaran dan kemulyaan  tidak termasuk harta, tetapi milik.2 Dapat dimanfaatkan adat kebiasaan. Dengan demikian makanan yang beracun, atau rusak, tidak termasuk harta
[10].Menurut al-Ghazali tujuan syar`iah adalah mendorong kesejahteraan manusia, yang terletak pada perlindungan  terhadap agama mereka (din),diri ( nafs), akal, keturunan (nasl) dan harta benda (mal). Apa saja yang menjamin terlindungnya lima perkara tersebt berarti melindungi kepentingan umum, Lihat  Umer Chapra, Masa Depan Ekonomi Islam , Sebuah Tinjuan Islam , terj  ( Jakarta,Gema Insani Press,2001),102.
[11] Umar Chapra, The Future Of Economics : An Islamic Prepective, terj.Masa Depan Ekonomi Islam (Jakarta, Gema Insani Press,2001) 101. Beliau mengutip pendapat Imam al-Ghazali bahwa tujuan syariah adalah mendorong kesejahetraan ummat  manusia, yang terletak pada perlindungan  terhadap agama,diri,keturunan dan harta benda  Lihat juga.M Umer Chapra  Pada Islam dan Tantangan Ekonomi, Islamisasi Ekonomi Kontemporer ( Jakarta,Rislah Gusti,2002 ),8-9
[12] as-Syahatah Husein, pokok-pokok dasar akuntansi Islam , 131. Menyebutkan  pembagaian harta ada empat : Tamwil dan syumul ( Mengandung nilai universal ),2, Mutaqawwim ( bernilai ) 3, Harta dikuasai secara sempurna dan 4. Keselamatan dan Keutuhan  Ra`sul mal .
[13] pembukuan,pemegangan/pengurusan perhitungan keuangan. Lihat.M.Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiyah Kontemporer, (Surabaya,Arkola,2002),19. Sedang pengertian akuntansi Islam adalah Muhasabah dalam arti musaalah (perhitungan) dan munaqasah(perdebatan) kemudian dilanjutkan dengan pembalasan yangsesuai dengan catatan perbutannyadan tingkah lakunya serta sesuai pula dengan syarat-syarat yang telah disepakati. Lihat,Husan Syahatah, Pokok-pokok Pikiran Akuntansi Islam,( Jakarta,Akbar,2002),43.
[14] .Bisa juga disebut dengan al-`iqar  ( harta tidak bergerak/tetap) seperti  tanha dan rumah. Lihat M.Ali Hasan, Fiqh al-Muamalah,63
[15] Disebut juga dengan al-Manqul (harta yang bergerak), seperti barang dagangan, lihat M.Ali Hasan,Berbagai macam transaksi Dalam Islam,64
[16] As-Syahatah, 122
[17] Dalam harta in, pemilik bebas memanfaatkannya baik dalam bentuk pernyataan maupun perbuatan. Namun apabila harta itu tidak bergerak, maka tindakannya pada harta itu dibatasi atas pertimbangan kemaslahatan tetangga. Lihat. M.Ali Hasan, Berbagai macam transaksi dalam Islam,.65
[18] Adalah harta yang dimiliki seseorang, seperti sumber mata air,hewan buruan, kayu dihutan belantara yang belum dijamah dan dimiliki seseorang, ikan dilautan lepas. Harta semacam ini boleh dimanfaatkan oleh sesseorang, dengan ketentuan tidak merusak kelestaraian alam tersebut. Seperti menebang kayu sembarangan sehingga mengakibatkan banjir.
[19] Yaitu harta  yang dilarang oleh shara` untuk memilikinya. Karena posisi harta tersebut biasanya merupakan milik umum, sehingga tidak boleh untuk memilikinya secara prtibadi.
[20]  Menurut Madhab Hanafi Wakaf adalah Menahan benda atas status milik orang yang mewakafkan dan disedahkan manfaatnya untuk kepentingan yang baik.Lihat Fuad Ab al-Latif al-Sartawi, al-Tamwil al-Islami wa Daur Qita al-Khash ( Amman, Dar al-Musyayyarah,1999),187. Sedang menurut Imam Syafii Wakaf adalah menahan harta yang diambil manfaatnya dengan tetap utinya barang, dan barang itu lepas dari penguasaan orang yang mewakafkan serta dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan agama’ Lihat.Ibn Abidin,Radd al-Muhtar juz IV,( Beirut,Dar al-Kutub al-Ilmiuyah,tt) 155.
[21] M.Ali Hasan Macam-macam Transaksi…….,.69
[22] M.Ali Hasan,Berbagai macam transaksi Dalam Islam,...71
[23] Misalnya di derah Aceh disebut dengan herueka sihaurate, di Minangkabau disebut dengan harta suong di daerah Sunda disebut guna kaya atau tumpang kaya, atau raja kaya ( Kabupaten Sumedang), di Bali disebut drube drube gabro, di Kalimantan disbut barang Barang berpantang, di Sulawesi (Bugis dan Makasar) dikenal dengan barang cakar, di Madura disebut dengan nama ghuna-ghana sedang di Jawa disebut dengan Gono Gini.
[24] Dalam hukum waris Islam, setiap pribadi, baik laki-laki maupun perempuan berhak menerima harta warian yang telah ditetukan oleh syara`.Ilmu yang membahas tentang warisan ini disebut dengan ilmu faraid
[25] .Pasal 35 ini dijelaskan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama,. Dan pasal .
[26] Sedang pasal 36 menerangkan status harta  yang diperoleh oleh masing-masing suami istri
[27].Dan pasal 37 menjelaskan, apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing masing.
[28] Taqyuddin, Ekonomi alternatif,...55-56.,
[29] An-Nabahan,42. Mengutip pendapatnya Abu Zahrah dalam al-Milkiyah wa Nadzariyatu al-Aqdi fi Syariah al-Islamiyah,62
[30] Seminar Nasional oleh Pusat studi Interdisiplener IAIN Sunan Ampel, Pembangunan Ekonomi dalam Pandangan Islam , ( Surabaya, Al-Ikhlas,1982), 28
[31] Hasbi As-Shididieqi. Pengantar Fiqih Muamalah (Jakarta, Bulan Bintang,1989 ),  8-9 Lihat juga pada  Suhrawardi Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta,, Sinar Grafika, 1999), 9
[32] Islam memberikan izin seluas-luasnya untuk memiliki harta menjadi hak milik, kecuali  harta milik umum dan milik negara Lihat Rafiq Yunus, Usul al-Iqthishad al-Islami, 42.  A.Islahi,  Konsep Ekonomi , ...138.
[33] Hadith yang sepadan adalah “ Barang siapa mengidupkan sebdang tanah  mati, maka tanah itu menjadi miliknya, dan tidak berhak  memilikinya orang yang hanya memagarinya  dengan tembok setelah  tiga tahun “ HR.Bukhari .
[34] Ahmad Muhammad Al-Asal, Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem,Prinsip, dan tujuan Ekonomi Islam,  terj. ( Bandung, Pustaka  Setia, 1999 ), 54.
[35] Abdul Qadim Zallum Sistem Keuangan Islam  Di Negara Khilafah, (Bogor, Hizbut al-Tahrir,2002 ) 68.
[36] Ibid,  103
[37].al Assal, 64. Menyebutkan bahwa dizaman Rasulullah disuakakan tanah Naqi` dimanfaatkan untuk mengumpulkan kuda-kuda kaum muslimin, kemudian pada masa Umar pernah mensuakakan  sebidang tanah Rubdah untuk kaum muslim yang fakir miskin dapat menggunakan rumputnya untuk menggembalakan binatang ternaknya, tanah ini terlarang untuk orang-orang yang kaya.
[38] Muhammad, Sistem Ekonomi Islam  Zakat dan Wakaf, (Jakarta, Universitas Indonesia Press,1988),86 Disini disebtkan tentang syarat harta yang  waqafkan diantaranya adalah pertama:  Barangnya dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang lama, Kedua : Harta yang diwaqafkan harus jelas wujudnya dan pasti batas-batasnya ( misalnya berbentuk tanah), Ketiga : Bendanya benar-benar milik waqif.
[39] A.Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah, terj.Anshari Tayyib ( Surabaya, Bina Ilmu,1997),  142-143
[40] Taqyuddin An-Nabhani, Membagun Sitem Ekonomi Alternatif  Perspektif Islam ,terj. ( Jakarta,Risalah Gusti, 1996), 253
[41] Abdul Qadim Zallum Sistem Keuangan Islam ,....4.
[42] Fai adalah, suatu harta yang dikuasi oleh kaum muslim dari orang kafir dengan tanpa melakukan peperangan.
[43] .Kharaj adalah Hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh  dari orang kafir, baik melalui peperangan maupun melalui perjanjian damai,
[44] .Jizyah adalah hak Allah yang diberikan kepada kaum muslim dari orang-kafir sebagai tunduknya mereka terhadap kepada Islam.
[45] Khumus adalah seperlima bagaian yang diambil dari Ghnaimah
[46] Majah, tth., vol. 2: 826
[47] Muhammad al-Bahiy,  al-Fikr al-Islami wa al-Mujtama` al-Islami, Mesir: Dar al-Qaumiyyah, 963), 35-36.
[48]  Rafiq Issa Beekun, Islamic Business Ethic,  35-36
[49] M.Ismail Yusanto ...Menggagas Bisnis -113
[50] QS al-Baqarah:188
[51] Hadis Riwayat Imam Tirmizi dari Mu`adz bin Jabal

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Profile

About Me
Dr. Abdurrohman S.Ag. M.EI
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura. . Selengkapnya

Total Pageviews

Recent Posts

Random

Comments

Contact Us

Name

Email *

Message *

Populer

item