ETOS KERJA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A. Pengertian Etos Kerja Pengertian kamus bagi perkataan “etos” menyebutkan bahwa ia berasal dari bahasa Yunani ( ethos ) yan...

https://rohman-utm.blogspot.com/2012/02/etos-kerja-dalam-perspektif-islam.html
A.
Pengertian Etos Kerja
Pengertian kamus bagi perkataan
“etos” menyebutkan bahwa ia berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang bermakna watak atau karakter. Secara lengkapnya,
pengertian etos ialah karakteristik dan sikap, kebiasaan serta ke-percayaan,
dan seterusnya, yang bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok
manusia. Dari perkataan “etos” terambil pula perkataan “etika” dan “etis” yang
merujuk kepada makna “akhlaq” atau bersifat “akhlaqi”, yaitu kualitas esensial
seseorang atau suatu kelompok, termasuk suatu bangsa[1] Juga
dikatakan bahwa “etos” berarti jiwa khas suatu kelompok manusia,[2] yang
dari jiwa khas itu berkembang pandangan bangsa tersebut tentang yang baik dan
yang buruk, yakni, etikanya.
Secara sederhana, etos dapat
didefinisikan sebagai watak dasar dari suatu masyarakat. Perwujudan etos dapat
dilihat dari struktur dan norma sosial masyarakat itu.[3] Sebagai
watak dasar dari masyarakat, etos menjadi landasan perilaku diri sendiri dan
lingkungan sekitarnya, yang terpancar dalam kehidupan masyarakat.[4] Karena
etos menjadi landasan bagi kehidupan manusia, maka etos juga berhubungan dengan
aspek evaluatif yang bersifat menilai dalam kehidupan masyarakat.[5] Weber
mendefinisikan etos sebagai keyakinan yang berfungsi sebagai panduan tingkah
laku seseorang, sekelompok atau sebuah institusi (guiding beliefs of a person,
group or institution). Jadi etos kerja dapat diartikan sebagai doktrin tentang kerja yang diyakini oleh
seseorang atau sekelompok orang sebagai hal yang baik dan benar dan mewujud
nyata secara khas dalam perilaku kerja mereka.[6]
B
Adapun indikasi-indikasi orang
atau sekelompok masyarakat yang beretos kerja tinggi, menurut Gunnar Myrdal
dalam bukunya Asian Drama, ada tiga
belas sikap yang menandai hal itu: 1. Efisien; 2. Rajin; 3. Teratur; 4.
Disiplin atau tepat
waktu; 5. Hemat; 6. Jujur dan
teliti; 7. Rasional dalam mengambil keputusan dan tindakan; 8. Bersedia
menerima perubahan; 9. Gesit dalam memanfaatkan kesempatan; 10. Energik; 11.
Ketulusan dan percaya diri; 12. Mampu bekerja sama; dan, 13. mempunyai visi
yang jauh ke depan.[7]
Menurut Sarsono, Konfusionisme memiliki konsep tersendiri
berkenaan dengan orang-orang yang aktif bekerja, yang ciri-cirinya antara lain;
1. Etos kerja dan disiplin pribadi; 2. Kesadaran terhadap hierarki dan ketaatan; 3. Penghargaan pada keahlian; 4. Hubungan
keluarga yang kuat; 5. Hemat dan hidup sederhana; 6. Kesediaan menyesuaikan
diri.[8]
Beberapa indikasi dan ciri-ciri
dari etos kerja yang terefleksikan dari pendapat-pendapat tersebut di atas,
secara universal cukup menggambarkan segi-segi etos kerja yang baik pada
manusia, bersumber dari kualitas diri, diwujudkan berdasarkan tata nilai
sebagai etos kerja yang diimplementasikan dalam aktivitas kerja.
B.
Etos Kerja dalam Perspektif Islam
Membicarakan etos kerja dalam
Islam, berarti menggunakan dasar pemikiran bahwa Islam, sebagai suatu sistem
keimanan, tentunya mempunyai pandangan tertentu yang positif terhadap masalah
etos kerja.[9]Adanya
etos kerja yang kuat memerlukan kesadaran pada orang bersangkutan tentang
kaitan suatu kerja dengan pandangan hidupnya yang lebih menyeluruh, yang
pandangan hidup itu memberinya keinsafan akan makna dan tujuan hidupnya. Dengan
kata lain, se-seorang agaknya akan sulit melakukan suatu pekerjaan dengan tekun
jika pekerjaan itu tidak bermakna baginya, dan tidak bersangkutan dengan tujuan
hidupnya yang lebih tinggi, langsung ataupun tidak langsung.
Menurut Nurcholish Madjid, etos
kerja dalam Islam adalah hasil suatu kepercayaan seorang Muslim, bahwa kerja
mempunyai kaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah Swt.
Berkaitan dengan ini, penting untuk ditegaskan bahwa pada dasarnya, Islam
adalah agama amal atau kerja (praxis).[10] Inti
ajarannya ialah bahwa hamba mendekati dan berusaha memperoleh ridha Allah
melalui kerja atau amal saleh, dan dengan memurnikan sikap penyembahan hanya
kepada-Nya.[11]
Toto Tasmara, dalam bukunya Etos Kerja Pribadi Muslim, menyatakan
bahwa “bekerja” bagi seorang Muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh,
dengan mengerahkan seluruh asset, fikir dan zikirnya untuk mengaktualisasikan
atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia
dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khaira ummah), atau dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.[12]
Dalam bentuk aksioma, Toto
meringkasnya dalam bentuk sebuah rumusan:
KHI = T, AS (M,A,R,A)
KHI = Kualitas
Hidup Islami
T
= Tauhid
M
= Motivasi
A
= Arah Tujuan (Aim and
Goal/Objectives) R = Rasa dan Rasio (Fikir dan Zikir)
A = Action,
Actualization.
Dari rumusan di atas, Toto
mendefinisikan etos kerja dalam Islam (bagi kaum Muslim) adalah: “Cara pandang yang diyakini seorang Muslim
bahwa bekerja itu bukan saja untuk
memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga sebagai suatu
manifestasi dari amal shaleh dan oleh karenanya mempunyai nilai ibadah yang
sangat luhur.”[13]
Sementara itu, Rahmawati Caco,
berpendapat bahwa bagi orang yang ber-etos kerja islami, etos kerjanya
terpancar dari sistem keimanan atau aqidah islami berkenaan dengan kerja yang
bertolak dari ajaran wahyu bekerja sama dengan akal. Sistem keimanan itu, menurutnya,
identik dengan sikap hidup mendasar (aqidah
kerja). Ia menjadi sumber motivasi dan sumber nilai bagi terbentuknya etos
kerja Islami. Etos kerja Islami di sini digali dan dirumuskan berdasarkan
konsep iman dan amal shaleh. Tanpa landasan iman dan amal shaleh, etos kerja
apa pun tidak dapat menjadi islami. Tidak ada amal saleh tanpa iman dan iman
akan merupakan sesuatu yang mandul bila tidak melahirkan amal shaleh.
Kesemuanya itu mengisyaratkan bahwa iman dan amal shaleh merupakan suatu
rangkaian yang terkait erat, bahkan tidak terpisahkan.[14][15]
Dari beberapa pendapat tersebut
di atas, maka dapat dipahami bahwa etos kerja dalam Islam terkait erat dengan
nilai-nilai (values) yang terkandung
dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah tentang “kerja” – yang dijadikan sumber inspirasi
dan motivasi oleh setiap Muslim untuk melakukan aktivitas kerja di berbagai
bidang kehidupan. Cara mereka memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai
al-Qur‟an dan al-Sunnah tentang dorongan untuk bekerja itulah yang membentuk
etos kerja Islam.
Dalam implementasinya, umat Islam
merumuskan tema tertentu dalam mengembangkan etos kerjanya; ada yang
menampilkan etos “khaira ummah”
sebagai dasar pijaknya, ada pula etos “keadilan”,
etos “musyawarah”, etos “ulul al-bab”,
etos “imamah”, etos “tauhid yang membebaskan”, etos “iptek”, etos “persamaan gender”, etos
“HAM”, etos “pluralisme”, dan sebagainya. Semua tema tersebut pada dasarnya
digali dari al-Qur‟an. Munculnya keragaman tema karena latarbelakang umat Islam
yang beragam dengan segala kepentingan yang juga berbeda, sehingga skala
prioritas yang mungkin ingin ditujunya melalui tema-tema tertentu yang
dianggapnya penting untuk dikembangkan dalam konteks tuntutan dan semangat
zamannya. Tujuannya tetap sama, “hasanah”
di dunia, dan “hasanah” kelak di
akhirat. Dan ini tidak berarti mengabaikan ayat-ayat al-Qur‟an lainnya yang
tidak dirumuskan dalam bentuk tema tertentu dimaksud. Setiap Muslim memiliki
kesempatan dalam mengakses ajaran al -Qur‟an sesuai kemampuan dan kebutuhannya.
Disinilah kunci utama universalisme ajaran Islam–shalih likulli zaman wa makan. Wallahu a’lam bi al-shawab
C. Prinsip-Prinsip
Etos Kerja dalam Islam
Sebagai agama yang menekankan
arti penting amal dan kerja, Islam meng-ajarkan bahwa kerja itu harus
dilaksanakan berdasarkan beberapa prinsip berikut:
1.
Bahwa perkerjaan itu dilakukan berdasarkan pengetahuan sebagaimana dapat
dipahami dari firman Allah dalam al-Qur‟an, “Dan
janganlah kamu mengikuti sesuatu yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan mengenainya.”(QS, 17: 36).
2.
Pekerjaan harus dilaksanakan berdasarkan keahlian sebagaimana dapat
dipahami dari hadis Nabi Saw, “Apabila
suatu urusan diserahkan kepada bukan
ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya .” (Hadis Shahih riwayat al-Bukhari).
3.
Berorientasi kepada mutu dan hasil yang baik sebagaimana dapat dipahami
dari firman Allah, “Dialah Tuhan yang
telah menciptakan mati dan hidupuntuk menguji siapa di antara
kalian yang dapat melakukan amal (pekerjaan) yang terbaik; kamu akan
dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia
memberitahukan kepadamu tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS.
Al-Mulk: 67: 2). Dalam Islam, amal
atau kerja itu juga harus dilakukan dalam bentuk saleh sehingga dikatakan amal
saleh, yang secara harfiah berarti sesuai, yaitu sesuai dengan standar mutu.
4.
Pekerjaan itu diawasi oleh Allah, Rasul dan masyarakat, oleh karena itu
harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sebagaimana dapat dipahami dari
firman Allah, “Katakanlah: Bekerjalah
kamu, maka Allah, Rasul dan
orang-orang beriman akan melihat pekerjaanmu.”(QS. 9: 105).
5.
Pekerjaan dilakukan dengan semangat dan etos kerja yang tinggi. Pekerja
keras dengan etos yang tinggi itu digambarkan oleh sebuah hadis sebagai orang
yang tetap menaburkan benih sekalipun hari telah akan kiamat.[16]
6.
Orang berhak mendapatkan imbalan atas apa yang telah ia kerjakan. Ini
adalah konsep pokok dalam agama. Konsep imbalan bukan hanya berlaku untuk
pekerjaan-pekerjaan dunia, tetapi juga berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan ibadah
yang bersifat ukhrawi. Di dalam al-Qur‟an ditegaskan bahwa: “Allah membalas orang-orang yang melakukan
sesuatu yang buruk dengan imbalan
setimpal dan memberi imbalan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan
kebaikan.”(QS. 53: 31). Dalam hadis Nabi
dikatakan, “Sesuatu yang paling berhak
untuk kamu ambil imbalan atasnya
adalah Kitab Allah.” (H.R. al-Bukhari). Jadi, menerima imbalan atas jasa yang diberikan dalam kaitan
dengan Kitab Allah; berupa mengajarkannya, menyebarkannya, dan melakukan
pengkajian terhadap-nya, tidaklah bertentangan dengan semangat keikhlasan dalam
agama.
7.
Berusaha
menangkap makna sedalam-dalamnya sabda Nabi yang amat ter-kenal bahwa nilai
setiap bentuk kerja itu tergantung kepada niat-niat yang dipunyai pelakunya:
jika tujuannya tinggi (seperti tujuan mencapai ridha Allah) maka ia pun akan
mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti, hanya
bertujuan memperoleh simpati sesama manusia belaka), maka setingkat itu pulalah
nilai kerjanya tersebut[17].Sabda
Nabi Saw itu menegaskan bahwa nilai kerja manusia tergantung kepada komitmen
yang mendasari kerja itu. Tinggi rendah nilai kerja itu diperoleh seseorang
sesuai dengan tinggi rendah nilai komitmen yang dimilikinya. Dan komitmen atau
niat adalah suatu bentuk pilihan dan
keputusan pribadi yang dikaitkan
dengan sistem nilai yang dianutnya. Oleh karena itu komitmen atau niat juga
berfungsi sebagai sumber dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau
tidak mengerjakan sesuatu, atau, jika ia mengerjakannya dengan tingkat-tingkat
kesungguhan tertentu.
8.
Ajaran Islam menunjukkan bahwa “kerja” atau “amal” adalah bentuk
ke-beradaan manusia. Artinya, manusia ada karena kerja, dan kerja itulah yang
membuat atau mengisi keberadaan kemanusiaan. Jika filsuf Perancis,
Rene
Descartes, terkenal dengan ucapannya, “Aku berpikir maka aku ada”
(Cogito ergo sum) – karena berpikir baginya bentuk wujud manusia–
maka sesungguhnya, dalam ajaran Islam, ungkapan itu seharusnya berbunyi “Aku
berbuat, maka aku ada.”[18]
Pandangan ini sentral sekali dalam sistem ajaran Islam. Ditegaskan bahwa
manusia tidak akan mendapatkan sesuatu apa pun kecuali yang ia usahakan
sendiri:
Itulah yang dimaksudkan dengan
ungkapan bahwa, kerja adalah bentuk eksistensi manusia. Yaitu bahwa harga
manusia, yakni apa yang dimilikinya – tidak lain ialah amal perbuatan atau
kerjanya itu. Manusia ada karena amalnya, dengan amalnya yang baik itu manusia
mampu mencapai harkat yang setinggi-tingginya, yaitu bertemu Tuhan dengan penuh
keridlaan.
Dalam ajaran Islam, beramal
dengan semangat penuh pengabdian yang tulus untuk mencapai keridlaan Allah dan
meningkatan taraf kesejahteraan hidup umat adalah fungsi manusia itu sendiri
sebagai khalifatullah fi al-Ardl.
Dalam beramal, zakat misalnya, bisa dimanfaatkan hasilnya untuk keperluan yang bersifat konsumtif,
seperti menyantuni anak yatim, janda, orang yang sudah lanjut usia, cacat fisik
atau mental dan sebagainya, secara teratur per bulan, atau sampai akhir
hayatnya, atau sampai mereka mampu mandiri dalam mencukupi kebutuhan pokok
hidupnya.[19]
9. Menangkap pesan dasar dari sebuah hadis shahih yang
menuturkan sabda
Rasulullah Saw yang berbunyi “Orang mukmin yang kuat lebih disukai
Allah”,
Dengan demikian, untuk membuat
kuatnya seorang mukmin seperti dimaksudkan oleh Nabi Saw, manusia beriman harus
bekerja dan aktif, sesuai petunjuk lain: “Katakan (hai Muhammad): “Setiap
orang bekerja sesuai dengan kecenderungannya (bakatnya)…”[20] Juga
firman-Nya, “Dan jika engkau bebas (berwaktu luang), maka bekerja keraslah,
dan kepada Tuhan-Mu berusahalah mendekat”.[21]
Karena perintah agama untuk aktif
bekerja itu, maka Robert N. Bellah mengatakan, dengan menggunakan suatu istilah
dalam sosiologi modern, bahwa etos yang dominan dalam Islam ialah menggarap
kehidupan dunia ini secara giat, dengan mengarahkannya kepada yang lebih baik (ishlah).[22] Maka
adalah baik sekali direnungkan firman Allah dalam surah al -Jumu‟ah:
“Maka bila sembahyang itu
telah usai, menyebarlah kamu di bumi, dan carilah kemurahan (karunia) Allah, serta
banyaklah ingat kepada Allah, agar kamu berjaya”[23].
Dari prinsip-prinsip dasar di
atas, penting juga dirumuskan ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati
etos kerja Islam, hal itu akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang
dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu merupakan bentuk ibadah, suatu
panggilan dan perintah Allah yang
akan memuliakan dirinya, memanusiakan dirinya sebagai bagian dari manusia
pilihan (khaira ummah), Toto Tasmara merinci ciri-ciri etos kerja Muslim, sebagai berikut: 1)
Memiliki jiwa kepemimpinan (leadhership);
2) Selalu berhitung; 3) Menghargai waktu; 4) Tidak pernah merasa puas berbuat
kebaikan (positive improvements); 5)
Hidup berhemat dan efisien; 6) Memiliki jiwa wiraswasta (entrepreneurship);
7) Memiliki insting bersaing dan bertanding;
8)
Keinginan untuk mandiri (independent);
9) Haus untuk memiliki sifat keilmuan; 10) Berwawasan makro (universal); 11) Memperhatikan kesehatan
dan gizi; 12) Ulet, pantang menyerah; 13) Berorientasi pada produktivitas; 14)
Memperkaya jaringan silaturrahim.[24]
D.
Problema Etos Kerja Dalam Masyarakat Islam
Nilai kerja dalam masyarakat
Islam mulai merosot akibat berkembangnya pemerintahan feodal yang zalim. Dalam
sistem pemerintahan yang seperti itu, timbul kehidupan yang mewah di kalangan
elite bangsawan. Pemerintahan yang otoriter menyebabkan motivasi rakyat untuk
bekerja merosot. Dalam keadaan tertindas, rakyat “lari” kepada Tuhan.
Sebenarnya, tauhid yang merupakan fondasi utama dalam ajaran Islam, bersifat
membebaskan. Tauhid telah menghapus sistem hak milik feodal, karena seluruh hak
milik raja dan penguasaan tanah oleh kaum feodal itu “diambil alih” oleh Tuhan
untuk dilimpahkan kembali kepada rakyat. Tapi rakyat yang tak bersenjata tak
bisa berbuat apa-apa. Karena itulah, yang timbul adalah aliran tasawuf.
Dalam dunia Islam di Timur
Tengah, timbulnya aliran-aliran tasawuf berkorelasi positif dengan
berkembangnya pemerintahan otoriter. Dalam keadaan yang lemah secara ekonomis,
politis maupun mental, rakyat tidak bisa mendukung pemerintahan. Itulah
sebabnya pemerintahan Islam akhirnya lemah di dalam dan hancur oleh invansi dan
akhirnya jatuh ke tangan penjajah. Runtuhnya perekonomian kaum Muslim adalah
akibat penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Mereka jatuh ke tangan penjajah karena
pemerintahannya lemah. Dan pemerintahan lemah karena didukung oleh rakyat yang
lemah akibat pemerintahan yang otoriter dan represif.[25]
Dewasa ini, kebanyakan
negara-negara berpenduduk Islam termasuk dalam kategori negara-negara sedang
berkembang dan Dunia Ketiga, yaitu kelompok negara-negara yang pada masa
Revolusi Industri tidak ikut serta dalam proses pembentukan Orde Dunia sekarang
yang kapitalis itu. Pada masa itu, kebanyakan dunia Islam malahan jatuh ke
tangan penjajahan dan mengalami eksploitasi ekonomi oleh sistem kolonialisme.
Kapitalisme, menimbulkan pertumbuhan ekonomi di satu pihak dan keterbelakangan
di lain pihak. Keterbelakangan itu terjadi melalui mekanisme kolonialisme dan
imperialisme.
Eksploitasi pada zaman penjajahan
itu merupakan penjelasan atas terjadinya kemiskinan di dunia Islam termasuk
Indonesia. Koeksidensi antara kemiskinan dan kemusliman itu menimbulkan
kesimpulan bahwa etos kerja di kalangan kaum muslim itu rendah, padahal dewasa
ini, Dunia Ketiga tidak hanya terdiri atas dunia Islam. Filipina juga sebuah
negara yang masih terbelakang ekonominya, padahal mayoritas penduduknya
beragama Katolik. Sebab-sebab kemiskinan
itu adalah faktor-faktor yang kompleks yang terjalin dalam sejarah dan karena
itu tidak bisa semata-mata dikaitkan dengan etos kerja.[26]
Harapan perkembangan dunia Islam
agaknya berasal dari dunia pendidikan. Etos kerja tidak hanya semata-mata
bergantung kepada nilai-nilai agama dalam arti sempit, tetapi dewasa ini sangat
dipengaruhi oleh pendidikan, informasi, dan komunikasi. Oleh sebab itu, yang
perlu dkembangkan adalah etos ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Apabila
kelak sudah banyak tenaga-tenaga muda terpelajar di pusat dunia Islam, maka
orientasi mereka terhadap etos industri akan berkembang.
Dalam konteks Indonesia, kelompok
-kelompok masyarakat dalam pergerakan Indonesia agaknya mengambil tema yang
berbeda-beda dari al-Qur‟an yang menyebabkan tumbuhnya etos yang berbeda di
antara mereka. Etos Masyumi adalah musyawarah dengan cita-cita kemasyarakatan
ke arah tercapainya Baldatun Thayyibatun
wa Rabbun Ghafur (Negara yang Adil Makmur di bawah Ampunan Ilahi).
Muhammadiyah mengambil tema lain, yaitu yang tercantum dalam surah Ali Imran
ayat 104, sedangkan ayat yang dijadikan dasar ber-organisasi Nahdlatul Ulama
(NU) adalah surah Ali Imran ayat 103. Di kalangan cendekiawan Muslim telah
berkembang etos di sekitar konsep Ulul
al-Bab, seperti yang tercantum dalam surat Ali „Imran ayat 190-191. Yang
pertama menekankan dakwah amar ma’ruf
nahy munkar, sedangkan yang kedua menekankan persatuan umat. Sementara itu,
ICMI (yang berdiri 7 esember 1990) menekankan peranan kelompok pemikir dalam
perkembangan masyarakat.[27]
[1] Webster’s
New World Dictionary of the American Language, 1980 (revisi baru), s.v.“ethos”,
“ethical” dan “ethics”.
[2] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta. Gramedia, 1977),
s.v. “ethos”.
[5] Di sisi lain, Taufik Abdullah mendefinisikan etos
kerja dari aspek evaluatif yang bersifat penilaian diri terhadap kerja yang
bersumber pada identitas diri yang bersifat sakral– yakni realitas spiritual
keagamaan yang diyakininya. Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja dan Pengembangan
Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 3. Karena itu, etos tidak dapat
dipisahkan dari sistem kebudayaan
suatu masyarakat. Sebagai watak dasar suatu masyarakat, etos berakar dalam
kebudayaan masyarakat itu sendiri. Kebudayaan, sebagai suatu sistem pengetahuan
gagasan yang dimiliki suatu masyarakat dari proses belajar, adalah induk dari
etos itu. Maka setiap masyarakat (yang berbeda kebudayaannya), mempunyai etos
yang berbeda pula termasuk dalam hubungannya dengan etos kerja.
[6] Max Weber, The
Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, terj. Talcott Parson, (New
York: Charles Scribner‟s Son, 1958). Dalam mengaitkan makna etos kerja di atas
dengan agama, maka etos kerja merupakan sikap diri yang mendasar terhadap kerja
yang merupakan wujud dari kedalaman pemahaman dan penghayatan religius yang
memotivasi seseorang untuk melakukan yang terbaik dalam suatu pekerjaan. Dengan
kata lain, etos kerja adalah semangat kerja yang mempengaruhi cara pandang
seseorang terhadap pekerjaannnya yang bersumber pada nilai-nilai transenden
atau nilai-nilai keagamaan yang dianutnya.
[8]Sarsono, Perbedaan
Nilai Kerja Generasi Muda Terpelajar Jawa dan Cina, (Yogyakarta:
Perpustakaan Fakultas Psikologi UGM, 1998), hlm. 98
[9] Ismail al-Faruqi melukiskan Islam
sebagai a religion of action dan
bukan a religion faith. Oleh karena itu Islam sangat menghargai kerja. Dalam sistem
teologi Islam keberhasilan manusia dinilai
di akhirat dari hasil amal dan kerja yang dilaksanakannya di dunia. Al-Faruqi
[11] QS. Al-Kahf/ 18: 110. Islam,
sebagai sistem nilai dan petunjuk, misalnya, secara tegas mendorong umatnya
agar memiliki kejujuran (QS. 33: 23-24); mendorong hidup sederhana dan tidak
berlebih-lebihan (QS. 7: 13, 17: 29; 25: 67; 55: 7-9); anjuran melakukan kerja
sama dan tolong-menolong dalam kebaikan (QS. 5: 2); kerajinan dan bekerja keras
(QS. 62: 10); sikap hati-hati dalam mengambil keputusan dan tindakan (QS. 49:
6); jujur dan dapat dipercaya (QS. 4: 58; 283; 23: 8); disiplin (QS. 59: 7); berlomba-lomba
dalam kebaikan (QS. 2: 148; 5: 48). Prinsip-prinsip dasar dari rangkaian sistem
nilai yang terkandung dalam al-Qur‟an tersebut di atas dapat dijadikan menurut
penulis, dapat dijadikan tema sentral dalam melihat persoalan etos kerja versi
ajaran Islam
[14] Rahmawati Caco,
“Etos Kerja” (Sorotan
Pemikiran Islam),” dalam
Farabi Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah,
(terbitan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Sultan Anai Gorontalo, Vol. 3,
No. 2, 2006),. 68-69.
[16] Dari Anas Ibn Malik (dilaporkan bahwa)
ia berkata: Rasulullah Saw. telah
bersabda,“Apabila salah seorang kamu menghadapi kiamat sementara di tangannya
masih ada benih hendaklah ia tanam benih itu.” (H.R. Ahmad).
[17] Sebuah hadis yang amat terkenal, “Sesungguhnya (nilai) segala
pekerjaan itu adalah (sesuai) dengan niat-niat yang ada, dan setiap orang akan
mendapatkan apa yang ia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya (ditujukan)
kepada (ridla) Allah dan Rasul-Nya, maka ia (nilai) hijrahnya itu (mengarah)
kepada (ridla) Allah dan Rasul-Nya; dan barang siapa yang hijrahnya itu ke arah
(kepentingan) dunia yang dikehendakinya, atau wanita yang hendak dinikahinya,
maka (nilai) hijrahnya itu pun mengarah kepada apa yang menjadi tujuannya.”
(Lihat al-Sayyid „Abd al-Rahim „Anbar al-Thahthawi, Hidayat al-Bari ila Tartib al-Ahadits al-Bukhary, 2 Jilid (Kairo:
al-Maktabat al-Tijariyah al-Kubra, 1353 H), jil. 1, hlm. 220-221; dan al-Hafidh
al-Mundziry, Mukhtashar Shahih Muslim,
2 Jilid (Kuwait: Wazarat al-Awqaf wa al-Syu‟un al-Islamiyyah, 1388 H/1969 M), jil. 2, hlm. 47. (hadis No.
1080).
[19] Selain itu, hasil zakat bisa pula digunakan untuk keperluan
yang bersifat produktif, seperti pemberian bantuan keuangan sebagai modal usaha
bagi fakir miskin yang mempunyai keterampilan tertentu dan mau berusaha serta
bekerja keras. Hal ini
untuk membebaskan mereka dari keterpurukan taraf hidupnya sehingga bisa
mandiri. Hasil zakat bisa pula digunakan untuk mendirikan pabrik-pabrik dan
proyek-proyek yang profitable dan
hasilnya disalurkan untuk pos- pos yang berhak menerimanya. Pabrik-pabrik dan
proyek lain yang dibiayai dengan hasil zakat dalam penerimaan tenaga kerja harus
memberi prioritas kepada fakir miskin yang telah diseleksi dan telah diberikan
pendidikan keterampilan yang sesuai dengan lapangan kerja yang telah tersedia.
[22] Etos yang dominan pada komunitas (umat) ini ialah
(giat) di dunia ini aktivis, bersifat sosial dan politik, dalam hal ini lebih
dekat kepada Israel (zaman para nabi, sejak Nabi Musa dan seterusnya), dari
pada kepada agama Kristen mula-mula (sebelum munculnya Reformasi di zaman
Modern), dan juga secara relatif dapat menerima etos yang dominan abad ke dua
puluh. Robert N.
Bellah,
“Islamic Tradition and the
Problem of Modernization” dalam
Robert N. Bellah,
ed.,
Beyond
Belief (New
York: Harper and Raw, 1970), 151-152.
[25] Banyak analis yang mengatakan bahwa lemahnya perekonomian
rakyat di dunia Islam itu disebabkan oleh lemahnya etos kerja dan lemahnya etos
kerja disebabkan karena menguatnya aliran tasawuf yang lebih mementingkan aspek
ibadah yang berorientasi pada akhirat semata. Masyarakat lebih menekankan
orientasinya kepada kehidupan akhirat semata karena hal itu dianggap
satu-satunya harapan dalam situasi otoriter yang represif. M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku
Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung:
Mizan, 1999),
hlm. 459. Lihat
juga, Jalaluddin Rakhmat,
“Kemiskinan di Negara-negara
Muslim,” dalam Islam Alternatif, (Bandung: Mizan,
1998), hlm. 103-108.
[26] Faktor
yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan suatu negara itu cukup kompleks. Dari
sudut ekonomi, faktor yang paling berpengaruh adalah tingkat investasi.
Sementara itu, sumber investasi utama dunia Islam ada dua, yaitu modal dan
“bantuan” atau kredit luar negeri yang yang berasal dari negara-negara industri
maju, dan hasil penggalian kekayaan alam, terutama migas, yang eksploitasinya
dilakukan dengan modal dan teknologi asing. Sungguh pun begitu, tingkat
pertumbuhan yang tinggi itu paling tidak menunjukkan adanya etos kerja
tertentu. Hal yang perlu dipelajari bukanlah hanya soal etos kerja, melainkan
bagaimana mengkombinasikan atau mengintegrasikan berbagai sumber daya yang
dimiliki oleh dunia Islam sehingga bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang
optimal bagi dunia Islam. Rahardjo, Intelektual,
Intelegensia…, 461.
[27] Pilihan Muhammadiyah dilatarbelakangi oleh semangat
pembaharuannya yang ingin menegakkan paham tauhid yang murni dengan memberantas
hal-hal yang dianggap takhayul, bid’ah dan khurafat. Kepentingan NU adalah mempertahankan doktrin Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dan
kesatuan antara ulama dan umat. Sedangkan pilihan ICMI dilatarbelakangi oleh semangat untuk menumbuhkan etos iptek
yang dinilai sebagai kunci perkembangan bangsa dan umat Islam yang dinilai
terbelakang. Dengan pilihan atas tema yang berbeda itu, berbagai masyarakat
Islam di Indonesia memperlihatkan etos yang berbeda. Yang dimaksud dengan etos
di sini adalah sikap utama yang mendasari tindakan dan kegiatan seorang dalam
masyarakat. Rahardjo, “Etos Masyarakat Utama,” dalam Intelektual, Intelegensia…, hlm. 449-450.