ETIKA KONSUMSI DALAM ISLAM
A. Latar Belakang Produksi dan konsumsi adalah dua aspek ekonomi yang berpasangan. Dalam ilmu ekonomi, konsumsi adalah perminta...

https://rohman-utm.blogspot.com/2012/02/etika-konsumsi-dalam-islam.html
A. Latar Belakang
Produksi dan konsumsi adalah dua aspek
ekonomi yang berpasangan. Dalam ilmu ekonomi, konsumsi adalah permintaan (demand), sedangkan produksi adalah
penawaran (supply).Konsumsi adalah
tahapan terakhir dan terpenting dalam produksi kekayaan. Konsumsi merupakan
tujuan dari semua aktivitas produksi. Kekayaan diproduksi hanya untuk
dikonsumsi. Kekayaan yang diproduksi sekarang akan dikonsumsi besok.
Secara fundamental prinsip keadilan
ekonomi dalam al-Qur’an mengambil posisi berbeda dalam hal konsumsi dengan
pendekatan ekonomi Libertarian. Perbedaannya terletak pada cara atau pendekatan
dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan
manusia. Keadilan ekonomi dalam
al-Qur’an tidak menghendaki dan mengakui pola konsumsi yang murni
materialistik. Semakintinggi manusia menaiki tangga peradaban, konsumsi lebih
dibayang-bayangi oleh keinginan keinginan psikologis. Selera artistik, gaya hidup snobbish (bergelimang kemewahan),
dorongan untuk pamer-- semua faktor psikologis ini memainkan peran yang sangat
dominan dalam menentukan bentuk-bentuk lahiriah konkret dari
keinginan-keinginan psikologis tersebut.
Peradaban modern telah menghancurkan
kesederhanaan; peradaban materialistik mewarnai
kesenangan yang terus membuat keinginan-keinginan manusia menjadi sangat
bervariasi dan banyak dan kesejahteraan ekonomi hampir hanya diukurdari
berbagai karakter keinginannya itu yang diupayakan untuk dicapai melalui
sarana-saranatertentu.
Cara pandang tentang kehidupan dan
kemajuanini berseberangan dengan konsepsi al-Qur’an.Etika keadilan al-Qur’an
berusaha mereduksi kebutuhan material manusia yang eksesif dengan maksud untuk
menekankan energi spiritual manusia dalam pencarian duniawi. Pertumbuhan
batiniah lebih dari sekadar ekspansi lahiriah merupakan ideal tertinggi manusia
dalam hidup ini. Kemajuan tidak semata diukur dari standar hidup yang tinggi
yang berimplikasi pada perluasan keinginan secara tanpa batas, sehingga
meningkatkan ketidakpuasan terhadap apa yang sudah dicapai. Kepuasan bukan semata
tingkat konsumsi tertinggi sebagaimana diyakini oleh Teori Pertumbuhan Ekonomi
yang secara prinsip mengadopsi keadilan Libertarian.
B. Definisi dan makna konsumsi
Meskipun terdapat banyak perbedaan
diantara para ekonom tentang definisi konsumsi, namun mayoritas definisi
tersebut berkisar pada penggunaan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan. Berikut adalah sejumlah pendapat terkait dengan definisi
konsumsi. Konsumsi[1]
berarti penggunaan barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan manusiawi (the
use of goods and services in the satisfaction of human wants).[2] Secara umum didefinisikan dibandingkan dengan
produksi. Sebagaimana ungkapan dibawah ini:
Consumption
is a common concept in economics, and gives rise to derived concepts such as
consumer debt. Generally, consumption is
defined in part by comparison to production
Konsumsi haruslah dianggap sebagai
maksud serta tujuan yang esensial daripada produksi. Atau dengan perkataan
lain, produksi adalah alat bagi konsumsi. Melalui kenyataan-kenyataan itu, maka
dapatlah diambil semacam kesimpulan bahwa produksi itu diperlukan semasih
diperlukan pula konsumsi. Kala saja-misalnya, sekalipun sama sekali tidak
realistik konsumsi berhenti sama sekali,
dalam arti bahwa masyarakat tidak memerlukan konsumsi lagi, maka produksipun
tidak diperlukan lagi. Tetapi logika ini tidak dapat berlaku sebaliknya, yakni
tidak dapat dikatakan bahwa apabila produksi berhenti, maka konsumsi pun harus
berhenti pula. [3]
Apabila dipergunakan tanpa kualifikasi
apapun, maka istilah “konsumsi” itu, di dalam ilmu ekonomi, akan secara
umum diartikan sebagai penggunaan barang dan jasa yang secara langsung akan
memenuhi kebutuhan manusia. Tetapi harap diingat bahwa beberapa macam barang,
seperti mesin maupun barang mentah, dipergunakan untuk menghasilkan barang
lain. Hal ini dapat kita sebut sebagai
konsumsi produktif (productive consumption), sedangkan konsumsi yang
langsung dapat memuaskan kebutuhan disebut sebagai konsumsi akhir (final
consumption) yakni konsumsi yang langsung memberikan kepuasan. [4]
Menurut Mannan[5]
konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah
penyediaan/penawaran. Kebutuhan konsumen, yang kini dan yang telah
diperhitungkan sebelumya, menrupakan insentif pokok bagi kegiatan-kegiatan
ekonominya sendiri. Mereka mungkin tidak hanya menyerap pendapatannya, tetapi
juga memberi insentif untuk meningkatkannya.
Hal ini berarti bahwa
pembicaraan mengenai konsumsi adalah penting. dan hanya para ahli ekonomi yang
mempertunjukkan kemampuannya untuk memahami
dan menjelaskan prinsip produksi maupun konsumsi, mereka dapat dianggap
kompeten untuk mengembangkan hukum-hukum nilai dan distribusi atau hampir
setiap cabang lain dari subyek tersebut.
Menurut Manan perbedaan antara
ilmu ekonomi modren dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara
pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran
materialistis semata-mata dari pola konsumsi modren.[6]
C. Tujuan Konsumsi
Dalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan selalu bertujuan untuk
memperoleh kepuasan(uility) dalam kegiatan konsumsinya semata. Utility
the basic of choices, the satisfaction, or reward, a products yield relatif to
its lternatives.[7] Utility secara bahasa berarti berguna, membantu atau
menguntungkan. Bahkan ada yang menyatakan bahwa
konsumsi dalam kapitalis dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan dan
segala bentuk kegiatan ekonomi didalamnya. Berdasarkan konsep inilah, maka
beredar dalam ekonomi kapitalis dengan apa yang disebut dengan “ Konsumen
adalah raja” dimana teori ini mengatakan bahwa segala keinginan konsumen adalah
yang menjadi arah segala aktifitas perekonomian untuk memenuhi keinginan mereka
sesuai kadar keinginan tersebut. Bahkan ada yang berpendapat kebahagiaan
menusia tercermin dalam kemampuannya dalam mengkonsumsi apa yang diinginkan.
Menurut
Samuelson[8]
konsumsi adalah kegiatan menghabiskan utility (nilai guna) barang dan jasa. Barang meliputi barang tahan lama dan barang
tidak tahan lama. Barang konsumsi menurut kebutuhannya, yaitu : kebutuhan
primer, kebutuhan sekunder, dan kebutuhan tersier.
Kepuasan menurut Kotler[9] adalah perasaan senang atau kecewa seseorang
yang muncul setelah membandingkan antara
persepsi/kesannya terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk dan
harapan-harapannya. Oxford Advanced
Learner’s Dictionary dalam Gregorius
[10]
mendeskripsikan kepuasan sebagai “the good feeling that you have when you
achieved something or when something that you wanted to happen does happen”;
”the act of fulfilling a need or desire”; dan “an acceptable way of dealing
with a complaint, a debt, an injury, etc.” Kepuasan bisa diartikan sebagai
upaya pemenuhan sesuatu atau membuat sesuatu memadai.
Oliver[11]
dalam bukunya “Satisfaction: A Behavioral Perpective on the Customer”
dibagi menjadi dua macam, yaitu: kepuasan
fungsional dan kepuasan psikologikal. Kepuasan fungsional merupakan kepuasan yang diperoleh dari fungsi suatu produk
yang dimanfaatkan sedangkan kepuasan psikologikal merupakan kepuasan yang
diperoleh dari atribut yang bersifat tidak berwujud dari produk
Adapun tujuan konsumsi secara
konvensional dapat diklasikasikan sebagai berikut: yaitu 1. untuk memenuhi kebutuhan hidup. 2.
Mempertahankan status social. 3. Mempertahankan status
keturunan.3.Mendapatkan kesimbangan hidup 4. Memberikan bantuan kepada orang
lain (tujuan sosial) 5. Menjaga keamanan dan kesehatan 6. Keindahan dan senih.
7. Memuaskan batini. 8. Demonstration effect (keinginan untuk meniru)[12].
Menurut kegiatan konsumsi yang
dilakukan manusia bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup atau untuk memperoleh kepuasan
setinggi-tingginya sehingga tercapai tingkat kemakmuran.
memenuhi kebutuhan hidup atau untuk memperoleh kepuasan
setinggi-tingginya sehingga tercapai tingkat kemakmuran.
D. Kegiatan
konsumsi
Kegiatan
konsumsi dan produksi, adalah dua
aspek yang berpasangan. Dalam ilmu ekonomi konsumsi
adalah permintaan (demand), sedang produksi adalah penawaran (supley).
Konsumsi adalah tahapan terakhir dan terpenting dalam produksi kekayaan.
Konsumsi merupakan tujuan semua aktivitas produksi. Kekayaan diproduksi hanya
untuk dikonsumsi. Kekayaan yang diproduksi sekarang untuk dikonsumsi untuk hari
besok.[13] Oleh karena itu, konsumsi sungguh memainkan peranan
penting dalam dunia perekonomian. Adanya konsumsi akan mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan
demikian, akan menggerakkan roda-roda
perekonomian. Dapat dibayangkan ketika masyarakat tidak memiliki kemampuan
membayar pada suatu barang yang diproduksi.
Meskipun produsen berargumen barang mereka sesuai dengan need
konsumen, tetap tidak akan melahirkan demand. Tanpa adanya daya beli
konsumen, produksi akan terhenti, dan ekonomi mati.[14]
Selain dari pada itu, konsumsi merupakan masalah problematis tetapi strategis dalam menentukan keseimbangan perekonomian. Jika pola konsumsi
tinggi maka, otomatis membutuhkan produktivitas tinggi pula. Sebaliknya bila
pola konsumsi rendah mengakibatkan lemahnya produksi dan distribusi, bahkan
roda perekonomian. Namun tingginya pola konsumsi dan produksi dapat menyebabkan
ketidakseimbangan pasar, menimbulkan penyakit-penyakit ekonomi seperti inflasi,
instabilitas harga di pasaran, penimbunan bahan kebutuhkan pokok dan lain-lain.
Pada
umumnya konsumen
bersifat memaksimumkan kepuasannya. Rasionalitas ekonomi beranggapan bahwa para
konsumen berusaha memaksimumkan kepuasan mereka. Dalam ekonomi modern, konsep
kepuasan ini tidak mengacu pada berbagai jenis kepuasan, baik spiritual maupun
kebendaan. Karena yang dimaksud dalam ekonomi konvensional sangat bertentangan
dengan ekonomi Islam . Fakta bahwa konsumen memiliki sifat yang dipengaruhi
oleh semangat Islam ternyata memberi pengaruh tertentu terhadap motivasi
memaksimumkan kepuasan.
E. Konsumsi dalam Islam
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas
dua hal, yaitu, kebutuhan (hajat)
dan kegunaan atau kepuasan (manfaat).
Secara rasional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi suatu barang manakala dia tidak
membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam prespektif ekonomi Islam,
dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi) dengan konsumsi itu
sendiri. Mengapa demikian?, ketika konsumsi dalam Islam diartikan sebagai
penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan,
maka, sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan
aktifitas konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu sendiri.
Artinya, karakteristik dari kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur
dalam ekonomi Islam
Selain dari pada itu, Islam melihat aktivitas ekonomi adalah salah
satu cara untuk menumpukkan pahala menuju al-falah (kebahagiaan dunia
dan akhirat). Demikian pula dalam masalah motif konsumsi pada dasarnya adalah maslahah[15]
(public interest or general human good)[16]
kebutuhan dan kewajiban. Islam mengatur bagaimana manusia dapat melakukan
kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemashlahatan
hidupnya. Seluruh aturan Islam mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah. Prilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan
al-Qur’an dan as-Sunnah ini akan membawa pelakunya mencapai keberkahan dan
kesejahteraan hidupnya.
Sementara itu Yusuf al-Qardawi[17]
memasukkan variable moral dalam konsumsi diantaranya; konsumsi atas alasan dan pada
barang-barang yang baik (halal), berhemat, tidak bermewah-mewah,
menjauhi hutang, menjauhi kebatilan dan
kekikiran. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivitas konsumsi merupakan salah
satu aktivitas ekonomi manusia yang juga bertujuan untuk meningkatkan ibadah
dan keimanan kepada Allah dalam rangka
mendapatkan kemenangan, kedamaian dan kesejahteraan akhirat ( falah).
F.
Dasar
hukum prilaku konsumen
Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah
SWT kepada sang Khalifah agar dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan
bersama. Dalam satu pemanfaatan yang telah diberikan kepada sang Khalifah adalah kegiatan ekonomi (umum)
dan lebih sempit lagi kegiatan konsumsi (khusus). Islam mengajarkan kepada sang
khalifah untuk memakai dasar yang
benar agar mendapatkan keridhaan dari Allah sang pencipta.[18]
a.
Sumber
yang berasal dari al-Qur’an
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Makan dan
minumlah, namun janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah itu tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.[19]
Dalam al-Qur’an ajaran tentang
konsumsi dapat diambil dari kata َكُلُوا وَاشْرَبُوا terdapat
sebanyak 21 kali. Sedangkan makan dan minumlah (َكُلُوا وَاشْرَبُوا) sebanyak enam kali. Jumlah
ayat mengenai ajaran konsumsi, belum termasuk derivasi dari akar kata akala
dan syaraba selain fi’il amar di atas sejumlah 27 kali.
Dalam al-Qur’a>n, di antara
ayat-ayat yang mengandung nilai jarankonsumsi berdasar kata kunci dan kandungan
makna konsumsi adalah sebagai berikut;
QS: al-Baqarah, 2: 57, 58 , 2: 60-61, 168, 172-174, 188, al-Nisa’,4:
6, 10, 29, al-Maidah,5: 3, 88, 96, al-An’am 6:118-121,141-142, al-A’raf,
7 : 31-32, at-Taubah, 9: 34, Yusuf,12: 47-48, Hijr,15:3, al-Nahl, 16: 114, 115, al-Isra:
17, 26-29, Toha, 20:81, al-Mu’minun, 23:51, al-Furqan,
25:7-8,20, 67, As-Syua’ra,26: 79, al-Mulk, 67:15, al-Mursalat,77:46.
Selain ayat-ayat tersebut, masih banyak ayat-ayat lain tentang konsumsi dalam al-Qur’an
yang dapat diambil dari akar kata syaraba, akala, dan lain-lain.
Karena peneliti tidak bermaksud untuk mengkaji ayat-ayat konsumsi tersebut,
sehingga bisa ditindaklanjuti tersendiri.
b.
Sumber yang berasal dari sunnah rasul
حد
ثان ادم بن ابى إياس حد ثنا شعبه عن عدي بن ثابت قال : شمعت عبد الله بن يزيد الأنصاري
عن ابى مسعور الا نصاري فقلت عن النبي . فقال : عن النبي صلى الله عليه (وسلم قال إذاأنفق
المسلم نفقة على اهله وهو يحتسبها كانت له صدقة (رواه الامام البخارى
Nabi saw bersabda: “ketika seorang muslim menafkahkan hartanya untuk keluarganya dengan tujuan mencari pahala dari Allah maka di hitung sebagai sedekah.[20]
Nabi saw bersabda: “ketika seorang muslim menafkahkan hartanya untuk keluarganya dengan tujuan mencari pahala dari Allah maka di hitung sebagai sedekah.[20]
G. Perilaku
Konsumsi Dalam Islam
Berikut beberapa perilaku konsumen dalam Islam yang di
sampaikan oleh Rasulullah yang diterangakan dalam beberapa hadith, yaitu:
1)
Halal
حد
ثنا ابو نعيم حد ثنا زكرياء عن عامر قال : سمعت النعمان بن بشير يقول سمعت رسول الله
صلى الله عليه وسلم يقول : الحلال بين والحرام بين وبينهما مثبهات لا يعلمها كثير من
الناس فمن اتقى المشبهات استبرأ لدينه وعرضه ومن وقع فى الشبهات كراع يرعى حول الحمى
يوشكم أن يواقعه ألا وإن لكل ملك حمى ألا إن حمى الله فى أرضه محارمه الا وإن فى الجسد
مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله الا وهي القلب (رواه البخارى)
Nabi saw bersabda: “halal itu jelas, haram juga jelas, diantara keduanya itu subhat, tidak banyak manusia yang mengetahui. Barang siapa menjaga diri dari barang subhat, maka ia telah bebas untuk agama dan harga dirinya, barang siapa yang terjerumus dalam subhat maka diibaratkan pengembala disekitar tanah yang di larang yang di khawatirkan terjerumus. Ingatlah, sesungguhnya setiap pemimpin punya bumi larangan. Larangan Allah adalah hal yang diharamkan oleh Alla>h , ingatlah bahwa sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, jika baik maka baiklah seluruhnya, jika jelek maka jeleklah seluruh tubuhnya, ingatlah itu adalah hati.”[21]
Nabi saw bersabda: “halal itu jelas, haram juga jelas, diantara keduanya itu subhat, tidak banyak manusia yang mengetahui. Barang siapa menjaga diri dari barang subhat, maka ia telah bebas untuk agama dan harga dirinya, barang siapa yang terjerumus dalam subhat maka diibaratkan pengembala disekitar tanah yang di larang yang di khawatirkan terjerumus. Ingatlah, sesungguhnya setiap pemimpin punya bumi larangan. Larangan Allah adalah hal yang diharamkan oleh Alla>h , ingatlah bahwa sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, jika baik maka baiklah seluruhnya, jika jelek maka jeleklah seluruh tubuhnya, ingatlah itu adalah hati.”[21]
2) Baik/ bergizi
وحد
شنى ابو كريب محمد بن العلاء حد ثنا أبو أسامة حد ثنا فضيل بن مرزوق حد ثنى عدي بن
ثابت عن ابى خازم عن ابى هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم. ايها الناس
إن الله طيب لا يقبل إلا طيبا وان الله امر المؤمنين بماامر به المرسلين فقال , ياايهاالرسل
كلوا من الطيبات واعملوا صالعا إنى بما تعملون عليم وقال ياأيهاالذين امنوا كلوا من
طيبات مارزقنا كم ثم ذكر الرجل يطيل السفر الشعث أغبر يمد يديه إلى السماء يارب يارب
ومطعمه (حرام و مشربه حرام و ملبسه حرام وغذي بالحرام فائنى يستجاب لذلك. (رواه المسلم
Nabi saw bersabda:” wahai manusia! Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Ia memerintahkan pada orang- orang yang beriman apa yang diperintahkan pada para utusan. “kemudain baca ayat “ wahai para utusan, makanlah dari yang baik dan beramAllah yang baik, karena sesungguhnya kami mengetahui apa yang kalian kerjakan.” Baca ayat lagi “ makanlah dari yang baik atas apa yang Kami rezeqikan padamu.” Kemudaian Nabi menuturkan ada seorang laki- laki yang bepergian jauh, rambutnya acak-acakan dan kotor. Dia menengadahkan kedua tangannya keatas seraya berdo’a: Wahai tuhanku, wahai tuhanku”, sedang yang dimakan dan yang diminum serta dan yang di pakai adalah berasal dari yang haram, mana mungkin doanya diterima”.[22]
Nabi saw bersabda:” wahai manusia! Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Ia memerintahkan pada orang- orang yang beriman apa yang diperintahkan pada para utusan. “kemudain baca ayat “ wahai para utusan, makanlah dari yang baik dan beramAllah yang baik, karena sesungguhnya kami mengetahui apa yang kalian kerjakan.” Baca ayat lagi “ makanlah dari yang baik atas apa yang Kami rezeqikan padamu.” Kemudaian Nabi menuturkan ada seorang laki- laki yang bepergian jauh, rambutnya acak-acakan dan kotor. Dia menengadahkan kedua tangannya keatas seraya berdo’a: Wahai tuhanku, wahai tuhanku”, sedang yang dimakan dan yang diminum serta dan yang di pakai adalah berasal dari yang haram, mana mungkin doanya diterima”.[22]
3) Tidak Berlebih – Lebihan
حد ثان حشام بن عبد الملك الحمصي حدثان محمد بن حرب حد ثتنى امى عن امها أنها سمعت المقدام بن معد يكرب يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم. يقول : ما ملأادمي وعاء شرا من بطن حسب الأدمى لقيمات يقمن صلبه فإن غلبت الادمي نفسه فثلث للطعام وثلث للنفس. (رواه ابن ماجه
Rasulullah saw bersabda:” Anak Adam tidak mengisi
penuh suatu wadah yang lebih jelek dari perut, cukuplah bagi mereka itu
beberapa suap makan yang dapat menegakkan punggungnya, apabila kuat
keinginannya maka jadilah sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum,
sepertiga untuk dirinya atau udara.”[23]
4) Tidak mengandug riba, tidak kotor/najis dan tidak menjijikkan
حد ثنا ابوالوليد حد ثنا شعبه عن عون بن أبى جعيفة قال : رأيت ابى اشترى عبدا حجاما فشألته فقال نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن ثمن الكلب وثمن الدام ونها عن الواشمة والموشومة واكل الربا وموكله ولعن المصور. (رواه الامام البخارى)
Nabi saw melarang hasil usaha dari anjing, darah, pentato dan yang ditato, pemakan dan yang menerima riba, dan melaknat pembuat gambar[24].
(5) Bukan dari hasil suap
حد ثنا حجاج حد ثنا ابن ابى ذئب ويزيد قال : اخبارنا ابن ابى ذ ئب عن الحارث بن عبد الرحمن عن ابة سلمة عن عبد الله بن عمر وعن النبى صلى الله عليه وسلم قال : لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي قال يزيد لعنة الله على الراسى والمرتشى (رواه الامام احمد)
Ibnu Umar berkata: “Nabi melaknat penyuap dan yang disuap, Yazid menambah; Allah melaknat penyuap dan yang disuap.”[25]
H.
Prinsip Konsumsi Dalam Islam
Menurut Islam ,
anugerah-anugerah Allah adalah milik semua manusia. Suasana yang menyebabkan
sebagian diantara anugerah-anugerah itu berada ditangan orang-orang tertentu
tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk
mereka sendiri. Orang lain masih berhak atas anugerah-anugerah tersebut
walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam Al-Qur’an Allah SWT mengutuk dan
membatalkan argumen yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena
ketidaksediaan mereka memberikan bagian atau miliknya ini.[26]
Selain itu, perbuatan untuk
memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu sendiri dianggap
sebagai kebaikan dalam Isla>m . Sebab kenikmatan yang dicipta Allah untuk
manusia adalah ketaatan kepada-Nya yang berfirman kepada nenek moyang manusia,
yaitu Adam dan Hawa>, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an
يَاأَيُّهاَ النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي
اْلأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya : Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi
baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu.[27]
Etika ilmu ekonomi Islam berusaha
untuk mngurangi kebutuhan material yang luar biasa sekarang ini, untuk
mngurangi energi manusia dalam mengejar cita-cita spiritualnya. Perkembangan
bathiniah yang bukan perluasan lahiriah, telah dijadikan cita-cita tertinggi
manusia dalam hidup. Tetapi semangat modren dunia barat, sekalipun tidak
merendahkan nilai kebutuhan akan kesempurnaan batin, namun rupanya telah
mengalihkan tekanan kearah perbaikan kondisi-kondisi kehidupan material. Dalam
ekonomi Islam konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar.[28]
a.
Prinsip keadilan
Syarat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai
mencari rezeki secara halal dan tidak dilarang hukum. Dalam soal makanan dan
minuman, yang terlarang adalah darh, daging binatang yang telah mati sendiri,
daging babi, daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain Alla>h
, (Q.S 2. 173),
إِنَّمَا
حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَآأُهِلَّ بِهِ
لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ
اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ
b.
Prinsip kebersihan
Syariat yang kedua ini tercantum dalam kitab suci
Al-Qur’an maupun Sunnah tentang makanan. Harus baik atau cocok untuk dimakan,
tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga
merusak selera. Karena itu, tidak semua yang diperkenankan boleh dimakan dan
diminum dalam semua keadaan. Dari semua yang diperbolehkan makan dan minumlah
yang bersih dan bermanfaat.
c.
Prinsip kesederhanaan
Prinsip ini mengatur prilaku manusia mengenai makanan dan
minuman adalah sikap tidak berlebih-lebihan, yang berarti janganlah makan
secara berlebih.
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَآأَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا
إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya : ”Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah
halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas [29].................”
Arti penting ayat ini adalah kenyataan bahwa kurang makan
dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi
secara berlebih-lebihan tentu akan ada pengaruhnya pada perut. Praktik
memantangkan jenis makanan tertentu dengan tegas tidak dibolehkan dalam Isla>m
.
d.
Prinsip kemurahan hati
Dengan mentaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun
dosa ketika kita memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhan karena
kemurahan hati-Nya. Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan
kesehatan yang lebih baik dengan tujuan menunaikan perintah Tuhan dengan
keimanan yang kuat dalam tuntutan-Nya, dan perbuatan adil sesuai dengan itu,
yang menjamin persesuaian bagi semua perintah-Nya.
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ
الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ
الْبَرِّ مَادُمْتُمْ حُرُمًا وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Artinya : Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan
makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi
orang-orang dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan
darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang
kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.[30]
e.
Prinsip moralitas.
Bukan hanya mengenai makanan dan minuman langsung tetapi
dengan tujuan terakhirnya, yakni untuk peningkatan atau kemajuan nilai-nilai
moral dan spiritual. Seseorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum
makan dan menyatakan terima kasih kepada-Nya setelah makan. Dengan demikian ia
akan merasakan kehadiran Ilahi pada waktu memenuhi keinginan-keinginan
fisiknya. Hal ini penting artinya karena Islam menghendaki perpaduan
nilai-nilai hidup material dan spiritual yang berbahagia.
يَسْئَلُونَكَ
عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَآإِثْمُُ كَبِيرُُ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
Artinya : Mereka bertanya kepadamu (Nabi) tentang
khamar dan judi. Katakanlah, ”pada keduanya itu terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya[31].........
Selanjutnya Perilaku
konsumsi harus berpijak pada prinsip keselamatan, yakni sustainability dan investasi masa depan secara kontinyu (QS.
al-Hashr 59:18). Untuk itu, al-Qur’an menegaskan dalam beberapa ayatnya tentang
berjuang untuk kesinambungan generasi dan masa depan (QS. al-Nisa’ 4:9),
kemakmuran bumi (`isti`mar fi al-ard})dan,
sekaligus larangan melakukan kerusakan atas lingkungan (fasad fi al-ard}, `ayth fi al-ard}) (QS. al-Ma’idah 5:32). Inilah
yang dimaksud sebagai prinsip solidaritas kemanusiaan dan lingkungan (hifz al-bi’ah).
Perilaku konsumsi dalam konteks al-Qur’an mempunyai hubungan erat
dengan komitmen rasional dan moral. Al-Qur’an menggaris bawahi cara
memanfaatkan dan mengeluarkan kekayaan dibangun atas fondasi nilai keadilan.
Ada perbedaan mendasar antara Prinsip Libertarianisme yang menjadi falsafah
Kapitalisme, dan anak kandungnya Sosialisme yang mendasarkan diri pada Prinsip
Egalitarianisme Radikal, dengan prinsip al-Qur’an. Perilaku konsumen menurut
Kapitalisme bersumber dari “rasionalisme ekonomi” dan Prinsip Utilitarianisme
(Prinsip Berbasis Kesejahteraan). Rasionalisme ekonomi menafsirkan perilaku
manusia berdasarkan pada kalkulasi kaku yang diarahkan semata untuk
keberhasilan ekonomi. Keberhasilan ekonomi dimaknai secara definitif sebagai
menciptakan uang dari manusia. Perolehan kekayaan apakah dalam bentuk uang
maupun komoditas, merupakan tujuan utama kehidupan. Sementara Prinsip
Utilitarianisme berfungsi sebagai sumber nilai-nilai dan sikap moralnya.
“Kejujuran hanya bermanfaat bila dapat memastikan kredit atau keuntungan,
sehingga bersifat tetap dan industrial” (Kahf dalam Ahmad (ed.), 1980:21-22).
Dualitas yang memunculkan perilaku konsumen ini menitikberatkan pada
maksimalisasi utilitas sebagai tujuan utama konsumsi. Utilitas harus
dimaksimalkan sebagai bagian dari manifestasi homo-economicus yang tujuannya adalah mencapai tingkat tertinggi
perolehan ekonomi dan stimulusnya adalah sense
of money.
A.
Teori konsumsi ekonomi Islam
Barang-barang kebutuhan dasar (termasuk untuk keperluan
hidup dan kenyamanan) dapat didefenisikan sebagai barang dan jasa yang mampu
memenuhi suatu kebutuhan atau mengurangi kesulitan hidup sehingga memberikan perbedaan
yang riil dalam kehidupan konsumen.
Barang-barang mewah sendiri dapat didefenisikan sebagai semua barang dan jasa
yang diinginkan baik untuk kebanggaan diri maupun untuk sesuatu yang sebenarnya
tidak memberikan perubahan berarti bagi kehidupan konsumen.[32]
Lebih lanjut Chapra [33]mengatakan
bahwa konsumsi agregat yang sama mungkin memiliki proporsi barang kebutuhan
dasar dan barang mewah yang berbeda (C = Cn + C1), dan tercapai tidaknya pemenuhan
suatu kebutuhan tidak tergantung kepada proporsi sumber daya yang dialokasikan
kepada masing-masing konsumsi ini. Semakin banyak sumber daya masyarakat yang
digunakan untuk konsumsi dan produksi barang dan jasa mewah (C1), semakin
sedikit sumber daya yang tersedia untuk pemenuhan kebutuhan dasar (Cn). Dengan
demikian, meski terjadi penigkatan pada konsumsi agregat, ada kemungkinan bahwa
kehidupan masyarakat tidak menjadi lebih baik dilihat dari tingkat pemenuhan
kebutuhan dasar penduduk miskin (Cn), jika semua peningkatan yang terjadi pada
konsumsi tersebut lari ke penduduk kaya untuk pemenuhan kebutuhan barang-barang
mewah (C1).
Fungsi konsumsi di dalam ilmu makroekonomi konvensional tidak memperhitungkan
komponen-komponen konsumsi agregat ini (Cn dan C1). Yang lebih banyak
dibicarakan dalam ilmu makroekonomi konvensional terutama mengenai pengaruh
dari tingkat harga dan pendapatan terhadap konsumsi. Hal ini dapat memperburuk
analisis, karena saat tingkat harga dan pendapatan benar-benar memainkan peran
yang substansi dalam menentukan konsumsi agregat (C), ada sejumlah faktor
moral, sosial, politik, ekonomi, dan sejarah yang mempengaruhi
pengalokasiaannya pada masing-masing komponen konsumsi (Cn dan C1). Dengan
demikian, faktor-faktor nilai dan kelembagaan serta preferensi, distribusi
pendapatan dan kekayaan, perkembangan
sejarah, serta kebijakan-kebijakan pemerintah tentunya tak dapat diabaikan
dalam analisis ekonomi.
Sejumlah ekonom Muslim diantaranya adalah Zarqa (1980 dan
1982 ), Monzer Kahf (1978 dan 1980 ), M.M.
Metwally ( 1981 ), Fahim Khan (1988), M.A. Manan ( 1986 ), M.A Choudhuri ( 1986
), Munawar Iqbal ( 1986 ), al-Zamil ( 1993 ) dan Aushaf
Ahmad ( 1992 ) telah berusaha memformulasikan fungsi konsumsi yang mencerminkan
faktor-faktor tambahan ini meski tidak seluruhnya, mereka beranggapan bahwa
tingkat harga saja tidaklah cukup untuk mengurangi tingkat konsumsi barang
mewah (C1) yang dilakukan oleh orang-orang kaya. Diperlukan cara untuk mengubah
sikap, selera dan preferensi, memberikan motivasi yang tepat, serta menciptakan
lingkungan sosial yang memandang buruk konsumsi seperti itu (C1). Disamping itu
perlu pula untuk menyediakan sumber daya bagi penduduk miskin guna meningkatkan
daya beli atas barang-barang dan jasa-jasa yang terkait dengan kebutuhan dasar
(Cn). Hal inilah yang coba dipenuhi oleh paradigma relegius, khususnya Islam ,
dengan menekankan perubahan individu dan sosial melalui reformasi moral dan kelembagaan[34]
Norma konsumsi Islami mungkin dapat membantu memberikan orientasi preferensi
individual yang menentang konsumsi barang-barang mewah (C1) dan bersama dengan
jaring pengaman sosial, zakat, serta pengeluaran-pengeluaran untuk amal
mempengaruhi alokasi dari sumber daya yang dapat meningkatkan tingkat konsumsi
pada komponen barang kebutuhan dasar (Cn). Produsen kemudian mungkin akan
merespon permintaan ini sehingga volume investasi yang lebih besar dialihkan
kepada produksi barang-barang yang terkait dengan kebutuhan dasar (Cn).
Perbedaan perilaku
konsumen muslim dan konsumen konvensional adalah konsumen muslim memiliki
keunggulan bahwa harta yang mereka peroleh semata mata untuk memenuhi kebutuhan
individual (materi) tetapi juga kebutuhan social (spiritual). Konsumen muslim
ketika ia
mendapat penghasilan, ia menyadari bahwa ia hidup untuk mencari ridha allah,
maka ia menggunakan sebagian hartanya di jalan Allah, tidak ia habiskan untuk
dirinya sendiri. Dalam islam, perilaku seorang konsumen muslim harus
mencerminkan hubungan dirinya dengan Allah ( hablu mina allah) dan
manusia (hablu mina annas).
Selain
itu Islam memandang harta bukan sebagai tujuan, tapi juga sebagai alat untuk memupuk pahala demi
tercapainya falah (kebahagiaan dunia dan akhirat). Harta merupakan pokok
kehidupan Surat An-Nisa (4) : 5, yang merupakan karunia Allah surat an-Nisa (4):32. Islam
memandang segala yang ada di bumi dan seisinya hanyalah milik Allah, sehingga
apa uang dimiliki adalah amanah. Oleh karena itu, manusia dituntut untuk
menyikapi harta benda untuk mendapatkannya dengan cara yang baik dan benar, proses
yang benar, pengelolaan dan pengembangan yang benar.
Sebaliknya, dalam
perspektif konvensional, harta merupakan hak pribadi, asalkan tidak melanggar
hukum atau undang undang, maka harta merupakan hak penuh pemiliknya. Sehingga yang membedakan adalah cara
pandang dalam melihat harta, islam melihat melalui flow concept
sementara konvensional melihat dengan cara stock concept.
I.
Perbandingan Konsumsi dan Implikasinya
Sejak awal al-Qur’an memberikan kebebasan memilih (freedom of choice) pada semua orang
untuk mengonsumsi segala sesuatu yang menyenangkan dan disukai, sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan sosial tradisional dan perbedaan temperamental mereka. al-Qur’an hanya
memberikan rambu proporsionalitas berupa perilaku tengah-tengah dalam konsumsi
(QS. al-Furqan 25:67) – antara asketisme yang sembunyi dari kesenangan dunia di
satu sisi, dan materialisme yang membenamkan manusia dalam kesenangan inderawi
dan hedonisme kehidupan; tidak melampaui batas maksimal (berlebihan, boros, dan
mewah) atau batas minimal (kikir dan bakhil); keterbatasan sumber daya ekonomi (untuk memenuhi keinginan)
merupakan pertimbangan utama bagi efisiensi dan prioritas (awlawiyah) dalam pemenuhan kebutuhan berdasarkan preferensi druriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat
Membelanjakan kekayaan untuk kebutuhan dan keinginan pribadi
bukanlah hal buruk sejauh kebutuhan dan keinginan itu tidak akan membahayakan
kelangsungan (sustainability) hidup
dirinya dan masyarakat umumnya. Memenuhi dan memanfaatkan kebutuhan pribadi
harus berada dalam kerangka dan batasan-batasan tertentu agar konsumsiatas
sumber daya tidak melanggar “rambu-rambu ekologis dan kemanusiaan” dan menjamin
keberlangsungan masa depan. Konsumsitidak semata berorientasi keduniaan dan
berjangka pendek, namun juga untuk memastikan kehidupan jangka panjang dengan
bekerja untuk kesejahteraan ekologis dan kemanusiaan melalui suatu pengurangan
dalam pemborosan dan konsumsi yang tidak penting meskipun ia memiliki kekayaan
yang cukup untuk mendapatkannya.
Teori
|
Prinsip
|
implikasi
|
Libertarianisme
|
Motif: murni materialistik, memuaskan keinginan
tanpa
batas
Tujuan: pertumbuhan ekonomi
Kebebasan:
manusia bebas mempergunakan kekayaannya tanpa seorang pun berhak intervensi
kecuali atas seijin pemiliknya
|
Tingkat konsumsi tertinggi memola dan mendorong gaya hidup snobish,
hedonistik; mindless consumerism
(pemilikan atas hubungan/ relasi sosial); eksploitasi tanpa batas atas sumber
dayaalam dan lingkungan
|
Teori
|
Prinsip
|
implikasi
|
Prinsip
Berbasis
Sumber Daya
|
Setiap orang tidak boleh merasakan penderitaan
akibat lingkungannya; setiap orang yang memilih bekerja keras untuk
memperoleh pendapatan lebih besar tidak dikehendaki untuk menyubsidi atau
membantu mereka yang kurang pendapatannya
|
Menunjukkan sikap asosial terhadap kenyataan yang terjadi di lingkungan
sekitar
|
Etika al-Qur’an
|
Motif: energi spiritual dalam pencarian duniawi,
memenuhi kebutuhan dan keinginan rasional Tujuan: Pertumbuhan batiniah lebih
dari sekadar ekspansi lahiriah merupakan ideal tertinggi manusia dalam hidup
ini
Hierarki dan Prioritas:cara bagaimana sumber daya
dapat dikonsumsi secara proporsional
dan menurut tingka keutamaannya
Hifz al-bi’ah: Solidaritas sosial dan lingkungan
|
Proporsionalitas: sikap tengah-tengah antara asketisme yang sembunyi dari
kesenangan dunia dan materialisme yang membenamkan manusia dalam kesenangan
inderawi dan hedonisme kehidupan; menumbuhkan empati terhadap yang kurang
beruntung; antisipatif dan responsif atas terjadinya ancaman kelangkaan
sumber daya alam dan kemerosotan lingkungan
|
Al-Qur’an menawarkan satu bentuk rasionalitas lain yang bertumpu
pada tiga hal pokok. Pertama, berbasis
pada tauhid dan keyakinan akan hari keadilan – interrelasi erat kehidupan dunia
dan akhirat – mempunyai dua akibat: (1) hasil dari pilihan tindakan manusia
berakibat langsung di dunia (ajr al-dunya)
dandi akhirat (ajr al-akhirah) (QS.
al-Baqarah 2: 261), karena itu utilitas yang berasal dari pilihan tindakan
tersebut merupakan totalitas nilai dari dua akibat di atas;(2) sejumlah
alternatif penggunaan pendapatan ditingkatkan dengan memasukkan semua
keuntungan yang hanya didapat pada hari akhir (ajr al-akhirah) (QS. Maryam 19: 31-33). Alternatif penggunaan itu
antara lain untuk memberikan bantuan secara cuma-cuma orang miskin dan
membutuhkan, memelihara binatang, menabung untuk kesejahteraan generasi
mendatang dan memperbaiki kehidupan komunitas yang balasannya tidak bersifat
langsung bagi individu.
Kedua, keberhasilan dalam al-Qur’an dimaknai sebagai “perkenan Allah” dan
bukan akumulasi kekayaan. Penggunaan sumber daya alam dan sumber daya manusia
bukan hanya keistimewaan, namun juga kewajiban dan tugas khalifah yang
dipersembahkan pada Allah (QS. al-Mulk 67: 15). Oleh karena itu, kemajuan dan
kesempurnaan material berada dalam nilai-nilai moral. Ketiga, harta apakah dipandang sebagai kekayaan atau pendapatan,
adalah karunia Allah (QS. al-Baqarah 2: 265).
[1] Konsumsi,
dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan
mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda,
baik berupa barang
maupun jasa, untuk memenuhi
kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Lihat:
http://id.wikipedia.org/wiki/Konsumsi
[2]
Emilio Fernandez-Corugedo, Consumption Theory, (Centre for Central
Banking Studies, Bank of England, 2004), 4. Lihat juga Nugroho J Setiadi, Perilaku
Konsumen: Prespektif Kontemporer pada Motif, Tujuan dan Keinginan Konsumen,(
Jakarta: Kencana,2003), 2-4.
[3]
Suherman Rosyidi, Pengantar Teori Ekonomi : Pendekatan Kepada Teori Ekonomi
Mikro dan Makro, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), 147.
[5] Mannan, M.A. Teori
dan Prakrtek Ekonomi Isla>m (edisi
terjemahan). (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1997), 50.
[8]
Paul Samuelson dan William D. Nordhaus, Mikro
Ekonomi: Edisis Keempatbelas, (Macroeconomics, Fourteenth
Edition), alih bahasa Haris Munandar dkk, cet. V, (Jakarta: Erlangga, 1997),
377.
[9]
Philip Kotler, Manajemen Pemasaran-Analisis, Perencanaan, Implementasi dan
Pengendalian, (Jakarta: Erlangga,2000), 41.
[11] Aritonang, Lerbian R., Kepuasan Pelanggan,
Pengukuran dan Penganalisaan dengan SPSS , (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama , 2005), 56.
[14]Dalam realitas empirik, hidup dan matinya sebuah proses ekonomi ternyata tidak
sesederhana yang baru saja digambarkan di atas. Sudah tabiat produsen untuk
berusaha sekuat tenaga “mengeksploitasi” need konsumen dan mengkonversinya menjadi demand. Dengan promosi yang gencar,
sistem pembayaran yang “merangsang” serta hadiah-hadiah yang ditawarkan,
konsumen seakan tidak memiliki alasan untuk tidak memiliki daya beli. Sistem
kredit misalnya, merupakan bagian dari upaya produsen dalam memprovokosi
konsumen agar terus membeli, sampai akhirnya perilaku konsumsi mereka menjadi
lepas kendali.
[15] Pembahasan tentang maslahah sudah
banyak dibahas oleh pemikir ekonomi klasik, diantaranya al-Ghazali pada kitab, al-Mustasfa fi ushul
al-Fiqhi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt). Imam al-Juwaini, al-Burhan fi Ushul
al-Fiqhi, (Kairo; Dar al-Ansahr, 1400 H)dan Imam Asy-Syatibi, dalam kitab al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam,
(Beirut: Dar al-Fikr, tth).
[16] Muhammad Akram Khan,
The Role of Government in the Economy “ The Amirican Jornal of Isla>m
ic Social Science. Vol.14, No.2, 1997, 157.
[17] Yusuf al-Qardhawi, Peran
Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam , Terj. Didin Hafiduddin dan
Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Robbani
Press, 1997).
[19] Q.S. 7. ayat; 31. وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَتُسْرِفُوا ayat ini secara eksplisit Allah memerintahkan makan dan minum secara wajar,
tidak berlebihan atau melampaui batas. Berlebih-lebihan atau melampaui
batas dalam menggunakan (mengkonsumsi) suatu kebutuhan sangat dicela oleh Islam
. Dengan demikian, kesederhanaan menjadi elan vital ajaran Islam dalam perilaku konsumsi. Kebutuhan manusia
tentu tidak sebatas makan, minum, pakaian, perumahan, tetapi juga kenderaan,
sarana komunikasi dan alat-alat teknologilainnya, seperti komputer, note book,
alat rumah tangga dan lain-lain yang mempermudah kehidupan manusia. Dalam
memenuhi kebutuhan tersebut, manusia seringkali tidak pernah merasa puas dengan
apa yang telah dinikmati (dikonsumsi).
[21] HR.Bukha>ri lihat
juga matan Matan lain: Muslim 2996, Turmudzi 1126, Nasa’I 4377, Abi Daud 2892,
Ibnu Ma>jah 3974, Ahmad 17624, Darimi 2419 ) Hadi>th ini sesuai dengan
firman Alla>h, bahwa dilarang mengkonsumsi barang yang batil dan dengan cara
yang batil pula.
[25] HR.Ahmad lihat juga
matan lain: Turmudzi 1257, Abi Daud 3109, Ibnu Ma>jah 2304) Menyuap dalam
masalah hukum adalah memberikan sesuatu baik berupa barang maupun lainnya
dengan tujuan tertentu. Oleh kerena itu Isla>m melarang perbuatan tersebut dan termasuk dosa
besar yang di laknat Alla>h .
[26] Monzer Kahf, Ekonomi
Isla>m : Telaah Analitik
terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Isla>m , (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 1995 ), 27.
[32] Eko Suprayitno, Ekonomi
Isla>m Pendekatan Ekonomi Makro
Islam dan Konvensiona, (Yogyakarta: Graha Ilmu . 2005), 95.
[33] Umer Chapra, The Future of Economic; an Islam ic
Perspektif, Ter: Ihwan Abidin, Masa Depan Ekonomi Isla>m ; Sebuah
Tinjauan Islam . (Jakarta: Gema Insani Press, 2000).