rohmans

ETIKA KONSUMSI DALAM ISLAM

A.   Latar Belakang Produksi dan konsumsi adalah dua aspek ekonomi yang berpasangan. Dalam ilmu ekonomi, konsumsi adalah perminta...




A.  Latar Belakang
Produksi dan konsumsi adalah dua aspek ekonomi yang berpasangan. Dalam ilmu ekonomi, konsumsi adalah permintaan (demand), sedangkan produksi adalah penawaran (supply).Konsumsi adalah tahapan terakhir dan terpenting dalam produksi kekayaan. Konsumsi merupakan tujuan dari semua aktivitas produksi. Kekayaan diproduksi hanya untuk dikonsumsi. Kekayaan yang diproduksi sekarang akan dikonsumsi besok.
Secara fundamental prinsip keadilan ekonomi dalam al-Qur’an mengambil posisi berbeda dalam hal konsumsi dengan pendekatan ekonomi Libertarian. Perbedaannya terletak pada cara atau pendekatan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Keadilan ekonomi dalam al-Qur’an tidak menghendaki dan mengakui pola konsumsi yang murni materialistik. Semakintinggi manusia menaiki tangga peradaban, konsumsi lebih dibayang-bayangi oleh keinginan keinginan psikologis. Selera artistik, gaya hidup snobbish (bergelimang kemewahan), dorongan untuk pamer-- semua faktor psikologis ini memainkan peran yang sangat dominan dalam menentukan bentuk-bentuk lahiriah konkret dari keinginan-keinginan psikologis tersebut.
 Peradaban modern telah menghancurkan kesederhanaan; peradaban materialistik mewarnai kesenangan yang terus membuat keinginan-keinginan manusia menjadi sangat bervariasi dan banyak dan kesejahteraan ekonomi hampir hanya diukurdari berbagai karakter keinginannya itu yang diupayakan untuk dicapai melalui sarana-saranatertentu.
Cara pandang tentang kehidupan dan kemajuanini berseberangan dengan konsepsi al-Qur’an.Etika keadilan al-Qur’an berusaha mereduksi kebutuhan material manusia yang eksesif dengan maksud untuk menekankan energi spiritual manusia dalam pencarian duniawi. Pertumbuhan batiniah lebih dari sekadar ekspansi lahiriah merupakan ideal tertinggi manusia dalam hidup ini. Kemajuan tidak semata diukur dari standar hidup yang tinggi yang berimplikasi pada perluasan keinginan secara tanpa batas, sehingga meningkatkan ketidakpuasan terhadap apa yang sudah dicapai. Kepuasan bukan semata tingkat konsumsi tertinggi sebagaimana diyakini oleh Teori Pertumbuhan Ekonomi yang secara prinsip mengadopsi keadilan Libertarian.

B.  Definisi dan makna konsumsi

Meskipun terdapat banyak perbedaan diantara para ekonom tentang definisi konsumsi, namun mayoritas definisi tersebut berkisar pada penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan. Berikut adalah sejumlah pendapat terkait dengan definisi konsumsi. Konsumsi[1] berarti penggunaan barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan manusiawi (the use of goods and services in the satisfaction of human wants).[2]  Secara umum didefinisikan dibandingkan dengan produksi. Sebagaimana ungkapan dibawah ini:
Consumption is a common concept in economics, and gives rise to derived concepts such as consumer debt. Generally, consumption  is defined in part by comparison to production

Konsumsi haruslah dianggap sebagai maksud serta tujuan yang esensial daripada produksi. Atau dengan perkataan lain, produksi adalah alat bagi konsumsi. Melalui kenyataan-kenyataan itu, maka dapatlah diambil semacam kesimpulan bahwa produksi itu diperlukan semasih diperlukan pula konsumsi. Kala saja-misalnya, sekalipun sama sekali tidak realistik  konsumsi berhenti sama sekali, dalam arti bahwa masyarakat tidak memerlukan konsumsi lagi, maka produksipun tidak diperlukan lagi. Tetapi logika ini tidak dapat berlaku sebaliknya, yakni tidak dapat dikatakan bahwa apabila produksi berhenti, maka konsumsi pun harus berhenti pula. [3]
Apabila dipergunakan tanpa kualifikasi apapun, maka istilah “konsumsi” itu, di dalam ilmu ekonomi, akan secara umum diartikan sebagai penggunaan barang dan jasa yang secara langsung akan memenuhi kebutuhan manusia. Tetapi harap diingat bahwa beberapa macam barang, seperti mesin maupun barang mentah, dipergunakan untuk menghasilkan barang lain.  Hal ini dapat kita sebut sebagai konsumsi produktif (productive consumption), sedangkan konsumsi yang langsung dapat memuaskan kebutuhan disebut sebagai konsumsi akhir (final consumption) yakni konsumsi yang langsung memberikan kepuasan. [4]
Menurut Mannan[5] konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penyediaan/penawaran. Kebutuhan konsumen, yang kini dan yang telah diperhitungkan sebelumya, menrupakan insentif pokok bagi kegiatan-kegiatan ekonominya sendiri. Mereka mungkin tidak hanya menyerap pendapatannya, tetapi juga memberi insentif untuk meningkatkannya.
Hal ini berarti bahwa pembicaraan mengenai konsumsi adalah penting. dan hanya para ahli ekonomi yang mempertunjukkan kemampuannya untuk memahami  dan menjelaskan prinsip produksi maupun konsumsi, mereka dapat dianggap kompeten untuk mengembangkan hukum-hukum nilai dan distribusi atau hampir setiap cabang lain dari subyek tersebut.
Menurut Manan perbedaan antara ilmu ekonomi modren dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi modren.[6]

C.  Tujuan Konsumsi

Dalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan selalu bertujuan untuk memperoleh kepuasan(uility) dalam kegiatan konsumsinya semata. Utility the basic of choices, the satisfaction, or reward, a products yield relatif to its lternatives.[7] Utility secara bahasa berarti berguna, membantu atau menguntungkan. Bahkan ada yang menyatakan bahwa konsumsi dalam kapitalis dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan ekonomi didalamnya. Berdasarkan konsep inilah, maka beredar dalam ekonomi kapitalis dengan apa yang disebut dengan “ Konsumen adalah raja” dimana teori ini mengatakan bahwa segala keinginan konsumen adalah yang menjadi arah segala aktifitas perekonomian untuk memenuhi keinginan mereka sesuai kadar keinginan tersebut. Bahkan ada yang berpendapat kebahagiaan menusia tercermin dalam kemampuannya dalam mengkonsumsi apa yang diinginkan.
Menurut Samuelson[8] konsumsi adalah kegiatan menghabiskan utility (nilai guna) barang dan jasa. Barang meliputi barang tahan lama dan barang tidak tahan lama. Barang konsumsi menurut kebutuhannya, yaitu : kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, dan kebutuhan tersier.
Kepuasan menurut Kotler[9]  adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi/kesannya terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk dan harapan-harapannya. Oxford Advanced Learner’s Dictionary  dalam Gregorius [10] mendeskripsikan kepuasan sebagai “the good feeling that you have when you achieved something or when something that you wanted to happen does happen”; ”the act of fulfilling a need or desire”; dan “an acceptable way of dealing with a complaint, a debt, an injury, etc.” Kepuasan bisa diartikan sebagai upaya pemenuhan sesuatu atau membuat sesuatu memadai.
Oliver[11] dalam bukunya “Satisfaction: A Behavioral Perpective on the Customer” dibagi menjadi dua macam, yaitu: kepuasan fungsional dan kepuasan psikologikal. Kepuasan fungsional merupakan kepuasan yang diperoleh dari fungsi suatu produk yang dimanfaatkan sedangkan kepuasan psikologikal merupakan kepuasan yang diperoleh dari atribut yang bersifat tidak berwujud dari produk
Adapun tujuan konsumsi secara konvensional dapat diklasikasikan sebagai berikut: yaitu  1. untuk memenuhi kebutuhan hidup. 2. Mempertahankan status social. 3. Mempertahankan status keturunan.3.Mendapatkan kesimbangan hidup 4. Memberikan bantuan kepada orang lain (tujuan sosial) 5. Menjaga keamanan dan kesehatan 6. Keindahan dan senih. 7. Memuaskan batini. 8. Demonstration effect (keinginan untuk meniru)[12].
Menurut kegiatan konsumsi yang dilakukan manusia bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan
hidup atau untuk memperoleh kepuasan
setinggi-tingginya sehingga tercapai tingkat kemakmuran.

D.  Kegiatan konsumsi
Kegiatan konsumsi dan produksi, adalah dua aspek yang berpasangan. Dalam ilmu ekonomi konsumsi adalah permintaan (demand), sedang produksi adalah penawaran (supley). Konsumsi adalah tahapan terakhir dan terpenting dalam produksi kekayaan. Konsumsi merupakan tujuan semua aktivitas produksi. Kekayaan diproduksi hanya untuk dikonsumsi. Kekayaan yang diproduksi sekarang untuk dikonsumsi untuk hari besok.[13] Oleh karena itu, konsumsi sungguh memainkan peranan penting dalam dunia perekonomian. Adanya konsumsi akan mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan demikian,  akan menggerakkan roda-roda perekonomian. Dapat dibayangkan ketika masyarakat tidak memiliki kemampuan membayar pada suatu barang yang diproduksi.  Meskipun produsen berargumen barang mereka sesuai dengan need konsumen, tetap tidak akan melahirkan demand. Tanpa adanya daya beli konsumen, produksi akan terhenti, dan ekonomi mati.[14]
       Selain dari pada itu, konsumsi merupakan masalah problematis tetapi strategis dalam menentukan keseimbangan perekonomian. Jika pola konsumsi tinggi maka, otomatis membutuhkan produktivitas tinggi pula. Sebaliknya bila pola konsumsi rendah mengakibatkan lemahnya produksi dan distribusi, bahkan roda perekonomian. Namun tingginya pola konsumsi dan produksi dapat menyebabkan ketidakseimbangan pasar, menimbulkan penyakit-penyakit ekonomi seperti inflasi, instabilitas harga di pasaran, penimbunan bahan kebutuhkan pokok dan lain-lain.
       Pada umumnya konsumen bersifat memaksimumkan kepuasannya. Rasionalitas ekonomi beranggapan bahwa para konsumen berusaha memaksimumkan kepuasan mereka. Dalam ekonomi modern, konsep kepuasan ini tidak mengacu pada berbagai jenis kepuasan, baik spiritual maupun kebendaan. Karena yang dimaksud dalam ekonomi konvensional sangat bertentangan dengan ekonomi Islam . Fakta bahwa konsumen memiliki sifat yang dipengaruhi oleh semangat Islam ternyata memberi pengaruh tertentu terhadap motivasi memaksimumkan kepuasan.

E.  Konsumsi dalam Islam
  
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu, kebutuhan (hajat) dan kegunaan atau kepuasan (manfaat). Secara rasional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi suatu barang manakala dia tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi) dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian?, ketika konsumsi dalam Islam diartikan sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan, maka, sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu sendiri. Artinya, karakteristik dari kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam
Selain dari pada itu, Islam melihat aktivitas ekonomi adalah salah satu cara untuk menumpukkan pahala menuju al-falah (kebahagiaan dunia dan akhirat). Demikian pula dalam masalah motif konsumsi pada dasarnya adalah maslahah[15] (public interest or general human good)[16] kebutuhan dan kewajiban. Islam mengatur bagaimana manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemashlahatan hidupnya. Seluruh aturan Islam mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Prilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah ini akan membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya.
Sementara itu Yusuf al-Qardawi[17] memasukkan variable moral dalam konsumsi diantaranya; konsumsi atas alasan dan pada barang-barang yang baik (halal), berhemat, tidak bermewah-mewah, menjauhi hutang,  menjauhi kebatilan dan kekikiran. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivitas konsumsi merupakan salah satu aktivitas ekonomi manusia yang juga bertujuan untuk meningkatkan ibadah dan keimanan kepada Allah  dalam rangka mendapatkan kemenangan, kedamaian dan kesejahteraan akhirat ( falah).


F.   Dasar hukum prilaku konsumen

Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah  SWT kepada sang Khalifah agar dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Dalam satu pemanfaatan yang telah diberikan kepada sang Khalifah adalah kegiatan ekonomi (umum) dan lebih sempit lagi kegiatan konsumsi (khusus). Islam mengajarkan kepada sang khalifah untuk memakai dasar yang benar agar mendapatkan keridhaan dari Allah sang pencipta.[18]

a.           Sumber yang berasal dari al-Qur’an
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Makan dan minumlah, namun janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.[19]

Dalam al-Qur’an ajaran tentang konsumsi dapat diambil dari kata َكُلُوا وَاشْرَبُوا terdapat sebanyak 21 kali. Sedangkan makan dan minumlah (َكُلُوا وَاشْرَبُوا) sebanyak enam kali. Jumlah ayat mengenai ajaran konsumsi, belum termasuk derivasi dari akar kata akala dan syaraba selain fi’il amar di atas sejumlah 27 kali.
Dalam al-Qur’a>n, di antara ayat-ayat yang mengandung nilai jarankonsumsi berdasar kata kunci dan kandungan makna konsumsi adalah sebagai berikut;  QS: al-Baqarah, 2: 57, 58 , 2: 60-61, 168, 172-174, 188, al-Nisa’,4: 6, 10, 29, al-Maidah,5: 3, 88, 96, al-An’am 6:118-121,141-142, al-A’raf, 7 : 31-32, at-Taubah, 9: 34, Yusuf,12: 47-48,  Hijr,15:3,  al-Nahl, 16: 114, 115, al-Isra: 17, 26-29, Toha, 20:81, al-Mu’minun, 23:51, al-Furqan, 25:7-8,20, 67, As-Syua’ra,26: 79, al-Mulk, 67:15, al-Mursalat,77:46. Selain ayat-ayat tersebut, masih banyak ayat-ayat lain tentang konsumsi dalam al-Qur’an yang dapat diambil dari akar kata  syaraba, akala, dan lain-lain. Karena peneliti tidak bermaksud untuk mengkaji ayat-ayat konsumsi tersebut, sehingga bisa ditindaklanjuti tersendiri.
b.           Sumber yang berasal dari sunnah rasul

حد ثان ادم بن ابى إياس حد ثنا شعبه عن عدي بن ثابت قال : شمعت عبد الله بن يزيد الأنصاري عن ابى مسعور الا نصاري فقلت عن النبي . فقال : عن النبي صلى الله عليه (وسلم قال إذاأنفق المسلم نفقة على اهله وهو يحتسبها كانت له صدقة (رواه الامام البخارى

Nabi saw bersabda: “ketika seorang muslim menafkahkan hartanya untuk keluarganya dengan tujuan mencari pahala dari Allah maka di hitung sebagai sedekah.[20]

G.  Perilaku Konsumsi Dalam Islam

Berikut beberapa perilaku konsumen dalam Islam yang di sampaikan oleh Rasulullah yang diterangakan dalam beberapa hadith, yaitu:
1)      Halal
حد ثنا ابو نعيم حد ثنا زكرياء عن عامر قال : سمعت النعمان بن بشير يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : الحلال بين والحرام بين وبينهما مثبهات لا يعلمها كثير من الناس فمن اتقى المشبهات استبرأ لدينه وعرضه ومن وقع فى الشبهات كراع يرعى حول الحمى يوشكم أن يواقعه ألا وإن لكل ملك حمى ألا إن حمى الله فى أرضه محارمه الا وإن فى الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله الا وهي القلب (رواه البخارى)

Nabi saw bersabda: “halal itu jelas, haram juga jelas, diantara keduanya itu subhat, tidak banyak manusia yang mengetahui. Barang siapa menjaga diri dari barang subhat, maka ia telah bebas untuk agama dan harga dirinya,
barang siapa yang terjerumus dalam subhat maka diibaratkan pengembala disekitar tanah yang di larang yang di khawatirkan terjerumus. Ingatlah, sesungguhnya setiap pemimpin punya bumi larangan. Larangan Allah adalah hal yang diharamkan oleh Alla>h , ingatlah bahwa sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, jika baik maka baiklah seluruhnya, jika jelek maka jeleklah seluruh tubuhnya, ingatlah itu adalah hati.”[21]
2) Baik/ bergizi
وحد شنى ابو كريب محمد بن العلاء حد ثنا أبو أسامة حد ثنا فضيل بن مرزوق حد ثنى عدي بن ثابت عن ابى خازم عن ابى هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم. ايها الناس إن الله طيب لا يقبل إلا طيبا وان الله امر المؤمنين بماامر به المرسلين فقال , ياايهاالرسل كلوا من الطيبات واعملوا صالعا إنى بما تعملون عليم وقال ياأيهاالذين امنوا كلوا من طيبات مارزقنا كم ثم ذكر الرجل يطيل السفر الشعث أغبر يمد يديه إلى السماء يارب يارب ومطعمه (حرام و مشربه حرام و ملبسه حرام وغذي بالحرام فائنى يستجاب لذلك. (رواه المسلم

Nabi saw bersabda:” wahai manusia! Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Ia memerintahkan pada orang- orang yang beriman apa yang diperintahkan pada para utusan. “kemudain baca ayat “ wahai para utusan, makanlah dari yang baik dan beramAllah yang baik, karena sesungguhnya kami mengetahui apa yang kalian kerjakan.” Baca ayat lagi “ makanlah dari yang baik atas apa yang Kami rezeqikan padamu.” Kemudaian Nabi menuturkan ada seorang laki- laki yang bepergian jauh, rambutnya acak-acakan dan kotor. Dia menengadahkan kedua tangannya keatas seraya berdo’a: Wahai tuhanku, wahai tuhanku”, sedang yang dimakan dan yang diminum serta dan yang di pakai adalah berasal dari yang haram, mana mungkin doanya diterima”.[22]

3) Tidak Berlebih – Lebihan

حد ثان حشام بن عبد الملك الحمصي حدثان محمد بن حرب حد ثتنى امى عن امها أنها سمعت المقدام بن معد يكرب يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم. يقول : ما ملأادمي وعاء شرا من بطن حسب الأدمى لقيمات يقمن صلبه فإن غلبت الادمي نفسه فثلث للطعام وثلث للنفس. (رواه ابن ماجه
Rasulullah saw bersabda:” Anak Adam tidak mengisi penuh suatu wadah yang lebih jelek dari perut, cukuplah bagi mereka itu beberapa suap makan yang dapat menegakkan punggungnya, apabila kuat keinginannya maka jadilah sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, sepertiga untuk dirinya atau udara.”[23]

4) Tidak mengandug riba, tidak kotor/najis dan tidak menjijikkan

حد ثنا ابوالوليد حد ثنا شعبه عن عون بن أبى جعيفة قال : رأيت ابى اشترى عبدا حجاما فشألته فقال نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن ثمن الكلب وثمن الدام ونها عن الواشمة والموشومة واكل الربا وموكله ولعن المصور. (رواه الامام البخارى)

Nabi saw melarang hasil usaha dari anjing, darah, pentato dan yang ditato, pemakan dan yang menerima riba, dan melaknat pembuat gambar[24].

(5) Bukan dari hasil suap

حد ثنا حجاج حد ثنا ابن ابى ذئب ويزيد قال : اخبارنا ابن ابى ذ ئب عن الحارث بن عبد الرحمن عن ابة سلمة عن عبد الله بن عمر وعن النبى صلى الله عليه وسلم قال : لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي قال يزيد لعنة الله على الراسى والمرتشى (رواه الامام احمد)
Ibnu Umar berkata: “
Nabi melaknat penyuap dan yang disuap, Yazid menambah; Allah melaknat penyuap dan yang disuap.”[25]

H.   Prinsip Konsumsi Dalam Islam

Menurut Islam , anugerah-anugerah Allah adalah milik semua manusia. Suasana yang menyebabkan sebagian diantara anugerah-anugerah itu berada ditangan orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri. Orang lain masih berhak atas anugerah-anugerah tersebut walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam Al-Qur’an Allah SWT mengutuk dan membatalkan argumen yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan mereka memberikan bagian atau miliknya ini.[26]
Selain itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Isla>m . Sebab kenikmatan yang dicipta Allah untuk manusia adalah ketaatan kepada-Nya yang berfirman kepada nenek moyang manusia, yaitu Adam dan Hawa>, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an
يَاأَيُّهاَ النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي اْلأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya : Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.[27]

Etika ilmu ekonomi Islam berusaha untuk mngurangi kebutuhan material yang luar biasa sekarang ini, untuk mngurangi energi manusia dalam mengejar cita-cita spiritualnya. Perkembangan bathiniah yang bukan perluasan lahiriah, telah dijadikan cita-cita tertinggi manusia dalam hidup. Tetapi semangat modren dunia barat, sekalipun tidak merendahkan nilai kebutuhan akan kesempurnaan batin, namun rupanya telah mengalihkan tekanan kearah perbaikan kondisi-kondisi kehidupan material. Dalam ekonomi Islam konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar.[28]
a.       Prinsip keadilan
Syarat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari rezeki secara halal dan tidak dilarang hukum. Dalam soal makanan dan minuman, yang terlarang adalah darh, daging binatang yang telah mati sendiri, daging babi, daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain Alla>h , (Q.S 2. 173),
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَآأُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ
b.      Prinsip kebersihan
Syariat yang kedua ini tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an maupun Sunnah tentang makanan. Harus baik atau cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun  menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu, tidak semua yang diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan. Dari semua yang diperbolehkan makan dan minumlah yang bersih dan bermanfaat.
c.       Prinsip kesederhanaan
Prinsip ini mengatur prilaku manusia mengenai makanan dan minuman adalah sikap tidak berlebih-lebihan, yang berarti janganlah makan secara berlebih.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَآأَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ  
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas [29].................”

Arti penting ayat ini adalah kenyataan bahwa kurang makan dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi secara berlebih-lebihan tentu akan ada pengaruhnya pada perut. Praktik memantangkan jenis makanan tertentu dengan tegas tidak dibolehkan dalam Isla>m .
d.      Prinsip kemurahan hati
Dengan mentaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhan karena kemurahan hati-Nya. Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan kesehatan yang lebih baik dengan tujuan menunaikan perintah Tuhan dengan keimanan yang kuat dalam tuntutan-Nya, dan perbuatan adil sesuai dengan itu, yang menjamin persesuaian bagi semua perintah-Nya.
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَادُمْتُمْ حُرُمًا وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Artinya : Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-orang dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.[30]

e.       Prinsip moralitas.
Bukan hanya mengenai makanan dan minuman langsung tetapi dengan tujuan terakhirnya, yakni untuk peningkatan atau kemajuan nilai-nilai moral dan spiritual. Seseorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terima kasih kepada-Nya setelah makan. Dengan demikian ia akan merasakan kehadiran Ilahi pada waktu memenuhi keinginan-keinginan fisiknya. Hal ini penting artinya karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual yang berbahagia.
يَسْئَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَآإِثْمُُ كَبِيرُُ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
Artinya : Mereka bertanya kepadamu (Nabi) tentang khamar dan judi. Katakanlah, ”pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya[31].........

Selanjutnya Perilaku konsumsi harus berpijak pada prinsip keselamatan, yakni sustainability dan investasi masa depan secara kontinyu (QS. al-Hashr 59:18). Untuk itu, al-Qur’an menegaskan dalam beberapa ayatnya tentang berjuang untuk kesinambungan generasi dan masa depan (QS. al-Nisa’ 4:9), kemakmuran bumi (`isti`mar fi al-ard})dan, sekaligus larangan melakukan kerusakan atas lingkungan (fasad fi al-ard}, `ayth fi al-ard}) (QS. al-Ma’idah 5:32). Inilah yang dimaksud sebagai prinsip solidaritas kemanusiaan dan lingkungan (hifz al-bi’ah).
Perilaku konsumsi dalam konteks al-Qur’an mempunyai hubungan erat dengan komitmen rasional dan moral. Al-Qur’an menggaris bawahi cara memanfaatkan dan mengeluarkan kekayaan dibangun atas fondasi nilai keadilan. Ada perbedaan mendasar antara Prinsip Libertarianisme yang menjadi falsafah Kapitalisme, dan anak kandungnya Sosialisme yang mendasarkan diri pada Prinsip Egalitarianisme Radikal, dengan prinsip al-Qur’an. Perilaku konsumen menurut Kapitalisme bersumber dari “rasionalisme ekonomi” dan Prinsip Utilitarianisme (Prinsip Berbasis Kesejahteraan). Rasionalisme ekonomi menafsirkan perilaku manusia berdasarkan pada kalkulasi kaku yang diarahkan semata untuk keberhasilan ekonomi. Keberhasilan ekonomi dimaknai secara definitif sebagai menciptakan uang dari manusia. Perolehan kekayaan apakah dalam bentuk uang maupun komoditas, merupakan tujuan utama kehidupan. Sementara Prinsip Utilitarianisme berfungsi sebagai sumber nilai-nilai dan sikap moralnya. “Kejujuran hanya bermanfaat bila dapat memastikan kredit atau keuntungan, sehingga bersifat tetap dan industrial” (Kahf dalam Ahmad (ed.), 1980:21-22). Dualitas yang memunculkan perilaku konsumen ini menitikberatkan pada maksimalisasi utilitas sebagai tujuan utama konsumsi. Utilitas harus dimaksimalkan sebagai bagian dari manifestasi homo-economicus yang tujuannya adalah mencapai tingkat tertinggi perolehan ekonomi dan stimulusnya adalah sense of money.
A.    Teori konsumsi ekonomi Islam
Barang-barang kebutuhan dasar (termasuk untuk keperluan hidup dan kenyamanan) dapat didefenisikan sebagai barang dan jasa yang mampu memenuhi suatu kebutuhan atau mengurangi kesulitan hidup sehingga memberikan perbedaan yang riil dalam kehidupan konsumen. Barang-barang mewah sendiri dapat didefenisikan sebagai semua barang dan jasa yang diinginkan baik untuk kebanggaan diri maupun untuk sesuatu yang sebenarnya tidak memberikan perubahan berarti bagi kehidupan konsumen.[32]
Lebih lanjut Chapra [33]mengatakan bahwa konsumsi agregat yang sama mungkin memiliki proporsi barang kebutuhan dasar dan barang mewah yang berbeda (C = Cn + C1), dan tercapai tidaknya pemenuhan suatu kebutuhan tidak tergantung kepada proporsi sumber daya yang dialokasikan kepada masing-masing konsumsi ini. Semakin banyak sumber daya masyarakat yang digunakan untuk konsumsi dan produksi barang dan jasa mewah (C1), semakin sedikit sumber daya yang tersedia untuk pemenuhan kebutuhan dasar (Cn). Dengan demikian, meski terjadi penigkatan pada konsumsi agregat, ada kemungkinan bahwa kehidupan masyarakat tidak menjadi lebih baik dilihat dari tingkat pemenuhan kebutuhan dasar penduduk miskin (Cn), jika semua peningkatan yang terjadi pada konsumsi tersebut lari ke penduduk kaya untuk pemenuhan kebutuhan barang-barang mewah (C1).
Fungsi konsumsi di dalam ilmu makroekonomi  konvensional tidak memperhitungkan komponen-komponen konsumsi agregat ini (Cn dan C1). Yang lebih banyak dibicarakan dalam ilmu makroekonomi konvensional terutama mengenai pengaruh dari tingkat harga dan pendapatan terhadap konsumsi. Hal ini dapat memperburuk analisis, karena saat tingkat harga dan pendapatan benar-benar memainkan peran yang substansi dalam menentukan konsumsi agregat (C), ada sejumlah faktor moral, sosial, politik, ekonomi, dan sejarah yang mempengaruhi pengalokasiaannya pada masing-masing komponen konsumsi (Cn dan C1). Dengan demikian, faktor-faktor nilai dan kelembagaan serta preferensi, distribusi pendapatan dan  kekayaan, perkembangan sejarah, serta kebijakan-kebijakan pemerintah tentunya tak dapat diabaikan dalam analisis ekonomi.
Sejumlah ekonom Muslim diantaranya adalah Zarqa (1980 dan 1982 ), Monzer Kahf (1978 dan 1980 ),  M.M. Metwally ( 1981 ), Fahim Khan (1988), M.A. Manan ( 1986 ), M.A Choudhuri ( 1986 ), Munawar Iqbal ( 1986 ), al-Zamil ( 1993 ) dan Aushaf Ahmad ( 1992 ) telah berusaha memformulasikan fungsi konsumsi yang mencerminkan faktor-faktor tambahan ini meski tidak seluruhnya, mereka beranggapan bahwa tingkat harga saja tidaklah cukup untuk mengurangi tingkat konsumsi barang mewah (C1) yang dilakukan oleh orang-orang kaya. Diperlukan cara untuk mengubah sikap, selera dan preferensi, memberikan motivasi yang tepat, serta menciptakan lingkungan sosial yang memandang buruk konsumsi seperti itu (C1). Disamping itu perlu pula untuk menyediakan sumber daya bagi penduduk miskin guna meningkatkan daya beli atas barang-barang dan jasa-jasa yang terkait dengan kebutuhan dasar (Cn). Hal inilah yang coba dipenuhi oleh paradigma relegius, khususnya Islam , dengan menekankan perubahan individu dan sosial melalui reformasi moral dan kelembagaan[34] Norma konsumsi Islami mungkin dapat membantu memberikan orientasi preferensi individual yang menentang konsumsi barang-barang mewah (C1) dan bersama dengan jaring pengaman sosial, zakat, serta pengeluaran-pengeluaran untuk amal mempengaruhi alokasi dari sumber daya yang dapat meningkatkan tingkat konsumsi pada komponen barang kebutuhan dasar (Cn). Produsen kemudian mungkin akan merespon permintaan ini sehingga volume investasi yang lebih besar dialihkan kepada produksi barang-barang yang terkait dengan kebutuhan dasar (Cn).
Perbedaan perilaku konsumen muslim dan konsumen  konvensional adalah konsumen muslim memiliki keunggulan bahwa harta yang mereka peroleh semata mata untuk memenuhi kebutuhan individual (materi) tetapi juga kebutuhan social (spiritual). Konsumen muslim ketika ia mendapat penghasilan, ia menyadari bahwa ia hidup untuk mencari ridha allah, maka ia menggunakan sebagian hartanya di jalan Allah, tidak ia habiskan untuk dirinya sendiri. Dalam islam, perilaku seorang konsumen muslim harus mencerminkan hubungan dirinya dengan Allah ( hablu mina allah) dan manusia (hablu mina annas).
Selain itu Islam memandang harta bukan sebagai tujuan, tapi juga sebagai alat untuk memupuk pahala demi tercapainya falah (kebahagiaan dunia dan akhirat). Harta merupakan pokok kehidupan Surat An-Nisa (4) : 5, yang merupakan karunia Allah surat an-Nisa (4):32. Islam memandang segala yang ada di bumi dan seisinya hanyalah milik Allah, sehingga apa uang dimiliki adalah amanah. Oleh karena itu, manusia dituntut untuk menyikapi harta benda untuk mendapatkannya dengan cara yang baik dan benar, proses yang benar,  pengelolaan dan pengembangan yang benar.
Sebaliknya, dalam perspektif konvensional, harta merupakan hak pribadi, asalkan tidak melanggar hukum atau undang undang, maka harta merupakan hak penuh pemiliknya. Sehingga yang membedakan adalah cara pandang dalam melihat harta, islam melihat melalui flow concept sementara konvensional melihat dengan cara stock concept.
I.     Perbandingan Konsumsi dan Implikasinya
Sejak awal al-Qur’an memberikan kebebasan memilih (freedom of choice) pada semua orang untuk mengonsumsi segala sesuatu yang menyenangkan dan disukai, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sosial tradisional dan perbedaan temperamental mereka. al-Qur’an hanya memberikan rambu proporsionalitas berupa perilaku tengah-tengah dalam konsumsi (QS. al-Furqan 25:67) – antara asketisme yang sembunyi dari kesenangan dunia di satu sisi, dan materialisme yang membenamkan manusia dalam kesenangan inderawi dan hedonisme kehidupan; tidak melampaui batas maksimal (berlebihan, boros, dan mewah) atau batas minimal (kikir dan bakhil); keterbatasan sumber daya ekonomi (untuk memenuhi keinginan) merupakan pertimbangan utama bagi efisiensi dan prioritas (awlawiyah) dalam pemenuhan kebutuhan berdasarkan preferensi druriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat
Membelanjakan kekayaan untuk kebutuhan dan keinginan pribadi bukanlah hal buruk sejauh kebutuhan dan keinginan itu tidak akan membahayakan kelangsungan (sustainability) hidup dirinya dan masyarakat umumnya. Memenuhi dan memanfaatkan kebutuhan pribadi harus berada dalam kerangka dan batasan-batasan tertentu agar konsumsiatas sumber daya tidak melanggar “rambu-rambu ekologis dan kemanusiaan” dan menjamin keberlangsungan masa depan. Konsumsitidak semata berorientasi keduniaan dan berjangka pendek, namun juga untuk memastikan kehidupan jangka panjang dengan bekerja untuk kesejahteraan ekologis dan kemanusiaan melalui suatu pengurangan dalam pemborosan dan konsumsi yang tidak penting meskipun ia memiliki kekayaan yang cukup untuk mendapatkannya.

Teori
Prinsip
implikasi
Libertarianisme
Motif: murni materialistik, memuaskan keinginan tanpa
batas
Tujuan: pertumbuhan ekonomi
Kebebasan: manusia bebas mempergunakan kekayaannya tanpa seorang pun berhak intervensi
kecuali atas seijin pemiliknya
Tingkat konsumsi tertinggi memola dan mendorong gaya hidup snobish, hedonistik; mindless consumerism (pemilikan atas hubungan/ relasi sosial); eksploitasi tanpa batas atas sumber dayaalam dan lingkungan
Teori
Prinsip
implikasi
Prinsip Berbasis
Sumber Daya
Setiap orang tidak boleh merasakan penderitaan akibat lingkungannya; setiap orang yang memilih bekerja keras untuk memperoleh pendapatan lebih besar tidak dikehendaki untuk menyubsidi atau membantu mereka yang kurang pendapatannya
Menunjukkan sikap asosial terhadap kenyataan yang terjadi di lingkungan sekitar
Etika al-Qur’an
Motif: energi spiritual dalam pencarian duniawi, memenuhi kebutuhan dan keinginan rasional Tujuan: Pertumbuhan batiniah lebih dari sekadar ekspansi lahiriah merupakan ideal tertinggi manusia dalam hidup ini
Hierarki dan Prioritas:cara bagaimana sumber daya dapat dikonsumsi secara proporsional dan menurut tingka keutamaannya
Hifz al-bi’ah: Solidaritas sosial dan lingkungan
Proporsionalitas: sikap tengah-tengah antara asketisme yang sembunyi dari kesenangan dunia dan materialisme yang membenamkan manusia dalam kesenangan inderawi dan hedonisme kehidupan; menumbuhkan empati terhadap yang kurang beruntung; antisipatif dan responsif atas terjadinya ancaman kelangkaan sumber daya alam dan kemerosotan lingkungan

Al-Qur’an menawarkan satu bentuk rasionalitas lain yang bertumpu pada tiga hal pokok. Pertama, berbasis pada tauhid dan keyakinan akan hari keadilan – interrelasi erat kehidupan dunia dan akhirat – mempunyai dua akibat: (1) hasil dari pilihan tindakan manusia berakibat langsung di dunia (ajr al-dunya) dandi akhirat (ajr al-akhirah) (QS. al-Baqarah 2: 261), karena itu utilitas yang berasal dari pilihan tindakan tersebut merupakan totalitas nilai dari dua akibat di atas;(2) sejumlah alternatif penggunaan pendapatan ditingkatkan dengan memasukkan semua keuntungan yang hanya didapat pada hari akhir (ajr al-akhirah) (QS. Maryam 19: 31-33). Alternatif penggunaan itu antara lain untuk memberikan bantuan secara cuma-cuma orang miskin dan membutuhkan, memelihara binatang, menabung untuk kesejahteraan generasi mendatang dan memperbaiki kehidupan komunitas yang balasannya tidak bersifat langsung bagi individu.
Kedua, keberhasilan dalam al-Qur’an dimaknai sebagai “perkenan Allah” dan bukan akumulasi kekayaan. Penggunaan sumber daya alam dan sumber daya manusia bukan hanya keistimewaan, namun juga kewajiban dan tugas khalifah yang dipersembahkan pada Allah (QS. al-Mulk 67: 15). Oleh karena itu, kemajuan dan kesempurnaan material berada dalam nilai-nilai moral. Ketiga, harta apakah dipandang sebagai kekayaan atau pendapatan, adalah karunia Allah (QS. al-Baqarah 2: 265).


[1] Konsumsi, dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Lihat:  http://id.wikipedia.org/wiki/Konsumsi
[2] Emilio Fernandez-Corugedo, Consumption Theory, (Centre for Central Banking Studies, Bank of England, 2004), 4. Lihat juga Nugroho J Setiadi, Perilaku Konsumen: Prespektif Kontemporer pada Motif, Tujuan dan Keinginan Konsumen,( Jakarta: Kencana,2003), 2-4.
[3] Suherman Rosyidi, Pengantar Teori Ekonomi : Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro, (Jakarta:  Raja Grafindo Persada, 1996), 147.
[4] Ibid, 148.
[5] Mannan, M.A. Teori dan Prakrtek Ekonomi Isla>m  (edisi terjemahan). (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1997), 50.
[6] Ibid,  44.
[7] Case dan Fair, 1989 sebagaimana dikutip oleh Imamuddin, ekonomi,,71
[8] Paul Samuelson dan William D. Nordhaus, Mikro Ekonomi: Edisis Keempatbelas, (Macroeconomics, Fourteenth Edition), alih bahasa Haris Munandar dkk, cet. V, (Jakarta: Erlangga, 1997), 377.
[9] Philip Kotler, Manajemen Pemasaran-Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian, (Jakarta: Erlangga,2000), 41.
[10] Gregorius, Service, Quality & Satisfaction, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2005), 35.
[11] Aritonang, Lerbian R., Kepuasan Pelanggan, Pengukuran dan Penganalisaan dengan SPSS , (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama , 2005), 56.
[12] Nugroho J Setiadi, Perilaku Konsumen….10.
[13] Zakiyuddin BaidhAwi, Isla>m  Melawan Kapitalisme, (Jogyakarta: Resis book, 2007), 127.
[14]Dalam realitas empirik, hidup dan matinya sebuah proses ekonomi ternyata tidak sesederhana yang baru saja digambarkan di atas. Sudah tabiat produsen untuk berusaha sekuat tenaga “mengeksploitasi” need konsumen dan mengkonversinya menjadi demand. Dengan promosi yang gencar, sistem pembayaran yang “merangsang” serta hadiah-hadiah yang ditawarkan, konsumen seakan tidak memiliki alasan untuk tidak memiliki daya beli. Sistem kredit misalnya, merupakan bagian dari upaya produsen dalam memprovokosi konsumen agar terus membeli, sampai akhirnya perilaku konsumsi mereka menjadi lepas kendali.
[15]  Pembahasan tentang maslahah sudah banyak dibahas oleh pemikir ekonomi klasik, diantaranya al-Ghazali pada kitab, al-Mustasfa fi ushul al-Fiqhi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt).  Imam al-Juwaini,  al-Burhan fi Ushul al-Fiqhi, (Kairo; Dar al-Ansahr, 1400 H)dan Imam Asy-Syatibi, dalam kitab al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, tth).
[16] Muhammad Akram Khan, The Role of Government in the Economy “ The Amirican Jornal of Isla>m ic Social Science. Vol.14, No.2, 1997, 157.
[17] Yusuf al-Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam , Terj. Didin Hafiduddin dan Setiawan Budi Utomo, (Jakarta:  Robbani Press, 1997).
[18] Muhammad. Ekonomi Mikro Dalam Persfektif Islam, ( Yogyakarta : BPFE. 2005), 162.
[19] Q.S. 7. ayat; 31. وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَتُسْرِفُوا   ayat ini secara eksplisit Allah  memerintahkan makan dan minum secara wajar, tidak berlebihan atau melampaui batas.  Berlebih-lebihan atau melampaui batas dalam menggunakan (mengkonsumsi) suatu kebutuhan sangat dicela oleh Islam . Dengan demikian, kesederhanaan menjadi elan vital ajaran Islam  dalam perilaku konsumsi. Kebutuhan manusia tentu tidak sebatas makan, minum, pakaian, perumahan, tetapi juga kenderaan, sarana komunikasi dan alat-alat teknologilainnya, seperti komputer, note book, alat rumah tangga dan lain-lain  yang mempermudah kehidupan manusia. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, manusia seringkali tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah dinikmati (dikonsumsi).
[20] HR.Bukha>ri, lihat juga matan lain: Muslim 1669, Turmudzi 1888, Ahmad 16463, Darimi 2549)
[21] HR.Bukha>ri lihat juga matan Matan lain: Muslim 2996, Turmudzi 1126, Nasa’I 4377, Abi Daud 2892, Ibnu Ma>jah 3974, Ahmad 17624, Darimi 2419 ) Hadi>th ini sesuai dengan firman Alla>h, bahwa dilarang mengkonsumsi barang yang batil dan dengan cara yang batil pula.

[22] HR.Muslim, lihat juga matan lain: Turmudzi 2915, Ahmad 7998, Darimi 2601)
[23] HR.Ibn Ma>jah
[24] HR.Bukhari, lihat juga matan lain: Abi Daud 3022, Ahmad 18007, 18014 )
[25] HR.Ahmad lihat juga matan lain: Turmudzi 1257, Abi Daud 3109, Ibnu Ma>jah 2304) Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu baik berupa barang maupun lainnya dengan tujuan tertentu. Oleh kerena itu Isla>m  melarang perbuatan tersebut dan termasuk dosa besar yang di laknat Alla>h .
[26] Monzer Kahf, Ekonomi Isla>m  : Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Isla>m , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar.  1995 ),  27.
[27] Q.S.  2 : 168
[28] Mannan,ibid. 45-48
[29] Q.S. : 5 : 87
[30] Q.S. : 5 : 96
[31] Q.S. : 2 : 219
[32] Eko Suprayitno, Ekonomi Isla>m  Pendekatan Ekonomi Makro Islam  dan Konvensiona, (Yogyakarta:  Graha Ilmu . 2005), 95.
[33] Umer Chapra,  The Future of Economic; an Islam ic Perspektif, Ter: Ihwan Abidin, Masa Depan Ekonomi Isla>m ; Sebuah Tinjauan Islam . (Jakarta: Gema Insani Press,  2000).

[34] Chapra, 310.

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Profile

About Me
Dr. Abdurrohman S.Ag. M.EI
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura. . Selengkapnya

Total Pageviews

Recent Posts

Random

Comments

Contact Us

Name

Email *

Message *

Populer

item