ETIKA PRODUKSI DALAM ISLAM
A. Latar Belakang Problem kelangkaan sebagai akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan masyarakat dengan faktor-faktor produksi y...

https://rohman-utm.blogspot.com/2012/02/etika-produksi-dalam-islam.html
A.
Latar Belakang
Problem kelangkaan sebagai akibat
ketidakseimbangan antara kebutuhan masyarakat dengan faktor-faktor produksi
yang tersedia (sumber daya, modal, tenaga kerja dan manajemen) merupakan
Persoalan paling utama dalam perekonomian. Baik kebutuhan individual (private goods) seperti sandang, pangan
dan papan, maupun kebutuhan publik (public
goods) seperti pendidikan, kesehatan dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua
bentuk kebutuhan tersebut merupakan sarana kehidupan yang tak terelakkan. Untuk
memastikan keseimbangan dua kebutuhan tersebut, penggunaan dan penguasaan serta
faktor-faktor produksi, serta proses produksi harus berada dalam kerangka
keadilan.
Sumber daya alam adalah sarana utama
dalam produksi guna memenuhi kebutuhan dasar manusia yang sifatnya universal. al-Qur’an
secara meyakinkan percaya bahwa sumber daya itu tersedia dalam kadar yang
“cukup” untuk memenuhi kebutuhan manusia dan seluruh makhluk non-manusia. Namun
sumber daya itu tidak dapat mencukupi keinginan-keinginan manusia yang rakus
dan tanpa batas.[1]
Dari sinilah diperlukan pemahaman tentang produksi secara utuh dalam prespektif
islam.
A. Pengertian
Produksi
Ekonomi Islam menempatkan self-interest (maslahah afrad) dan social
interest (mashlahah ammah) sebagai tujuan, serta keadilan ekonomi, jaminan sosial, dan pemanfaatan
sumber-sumber daya ekonomi sebagai prinsip fundamental sistem ekonomi.[2]
Dalam Islam, kerja produktif bukan saja dianjurkan, tetapi dijadikan sebagai kewajiban religius. Oleh karena itu, kerja adalah milik setiap orang, dan hasilnya
menjadi hak milik pribadi yang dihormati dan dilindungi.
Para
ahli ekonomi memberikan definisi produksi sebagai “alat untuk menciptakan
kekayaan dengan pemanfaatan sumber alam
oleh manusia” atau penciptaan benda-benda
atau jasa yang secara langsung maupun tidak langsung dapat memenuhi kebutuhan manusia.[3]
Sedang dalam kamus Jhon M Echals dan M
Shadily, bahwa kata Production secara linguist mengandung arti
penghasilan[4]“
Dalam literatur Ekonomi Islam berbahasa Arab, padanan
kata produksi adalah Intaj dari
akar kata nataja. Beberapa ahli
ekonom Islam memberikan definisi yang berbeda mengenai pengertian produksi,
meskipun sunbstansinya sama. Berikut ini beberapa pengertian produksi menurut
para ekonom Muslim kontemporer[5]:
a. Monzer Kahf mendefenisikan
kegiatan produksi dalam perspektif Islam sebagai usaha manusia untuk
memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas,
sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana di gariskan dalam agama
Islam, yaitu kebahagiaan dunia akhirat.[6]
b. Muhammad Abdul Mannan melihat
produksi sebagai penciptaaan guna utility. Agar dapat dipandang sebagai utility,
dan dengan demikian meningkatkan kesejahteraan ekonomi, maka barang dan jasa
yang diproduksi itu haruslah hanya yang diperbolehkan dan menguntungkan yakni
halal dan baik menurut islam.[7]
c. Syed Nawab Haider Naqvi
pandangannya terutama sekali hanya membahas struktur dan komposisi produksi di
dalam suatu perekonomian Islam. Meliputi kebutuhan untuk menegakkan keadilan
antara upah dan laba, jika laba yang berlebihan ditiadakan maka struktur pasar
monopoli dan oligopoli akan
disingkirkan, proporsi barang barang publik di dalam GNP akan lebih
besar dibanding barangbarang swasta di dalam perekonomian Islam daripada di
dalam sistem kapitalis.[8]
d. Muhammad Nejatullah Siddiqi
berpendapat bahwa kegiatan produksi sebagai penyediaan barang dan jasa dengan
memperhatikan nilai keadilan dan kebajikan/ kemanfaatan (maslahah) bagi masyarakat. Dalam pandanganya sepanjang produsen
telah bertindak adil dan membawa kebajikan bagi masyarakat maka ia telah
bertindak Islami.[9]
e. Produksi Menurut al-Sadr adalah usaha mengembangkan sumber daya alam agar lebih
manfaat bagi kebutuhan manusia[10]
f. Muhammad
Rawwas Qalahji memberikan padanan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan ijadu
sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin
bi istikhdami muzayyajin min ‘anashir al-intaj dhamina itharu zamanin
muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan
pengabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas).[11]
g. Abdurrahman Yusro Ahmad
dalam bukunya Muqaddimah fi ‘Ilm al-Iqtishad al-Islamiy. Abdurrahman
lebih jauh menjelaskan bahwa dalam melakukan proses produksi yang dijadikan
ukuran utamanya adalah nilai manfaat (utility) yang diambil dari hasil
produksi tersebut.[12]
h. Taqiyuddin
an-Nabhani, dalam mengantarkan pemahaman
tentang ‘produksi’, ia lebih suka memakai kata
istishna’ untuk mengartikan ‘produksi’ dalam bahasa Arab.
An-Nabhani dalam bukunya an-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam me-mahami produksi itu sebagai sesuatu yang mubah dan jelas
berdasarkan as-Sunnah.[13]
Kegiatan produksi dalam ilmu ekonomi
diartikan sebagai kegiatan yang menciptakan manfaat (utility) baik di masa kini maupun dimasa mendatang. [14]
Kegiatan produksi juga dapat diartikan sebagai suatu kegiatan manusia dalam
menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen.
Pengertian secara teknis, produksi adalah proses mentransformasi input menjadi output, tetapi definisi produksi
lam pandangan ilmu ekonomi jauh lebih luas. Pendefinisian produksi
mencakup tujuan kegiatan menghasilkan output
serta karakter- karakter yang melekat padanya.[15]
B. Produksi dalam
Pandangan Islam
Islam memandang bahwa bumi dan segala
isinya merupakan amanah Allah SWT kepada sang khalifah agar dipergunakan sebaik
baiknya begi kesejahteraan bersama. Salah satu pemanfatan yang telah diberikan
kepada sang khalifah adalah kegiatan ekonomi (umum) dan lebih sempit lagi
kegiatan produksi (khusus). Islam mengajarkan kepada khalifah untuk memakai
dasar yang benar agar mendapat keridhaan dari Allah sang maha pencipta.[16]
Prinsip dasar ekonomi adalah keyakinan
kepada Allah sebagai Rabb dari alam
semesta. Hal ini terdapat pada surat al-Jaatsiyah ayat 13
:”dan Dia telah menundukkan untukmu apa
yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang berfikir.”
Konsep ini bermakna bahwa ekonomi Islam
berdiri atas kepercayaan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemilik dan
Pengendali alam raya yang dengan takdir-Nya menghidupkan dan mematikan serta
mengendalikan alam dengan ketetapan-Nya (sunnatullah).
Dengan peran dan kepemilikan dari Allah Rabb semesta alam, maka konsep produksi
di dalam ekonomi Islam tidak semata-mata bermotif memaksimalisasi keuntungan
dunia, tetapi lebih penting untuk mencapai maksimalisasi keuntugan akhirat.34
Islam pun sesungguhnya menerima
motif-motif pola pikir konvensional. Hanya bedanya lebih jauh Islam juga
menjelaskan nilai- nilai moral disamping utilitas
ekonomi. Bahkan sebelum itu Islam menjelaskan mengapa produksi harus dilakukan.
Menurut ajaran Islam, manusia adalah khalifatullah
atau wakil Allah di muka bumi dan berkewajiban untuk memakmurkan bumi
dengan beribadah kepada-Nya. Dalam QS.
al- An‟am ayat 165 Allah berfirman:
:”dan Dia lah yang menjadikan kamu
penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian
(yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Pada prinsipnya Islam juga lebih
menekankan berproduksi demi untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, bukan hanya
memenuhi kebutuhan segelintir orang yang memiliki uang, sehingga memiliki daya
beli yang lebih baik. karena itu bagi Islam, produksi yang surplus dan
berkembang baik secara kuantitatif maupun kualitatif, tidak dengan sendirinya
mengindikasikan kesejahteraan bagi masyarakat. Apalah artinya produk yang
menggunung jika hanya bisa didistribusikan untuk segelintir orang yang meiliki
uang banyak. Sebagai modal dasar berproduksi Allah telah menyediakan bumi
beserta isinya bagi manusia untuk diolah bagi kemaslahatan bersama seluruh umat
manusia. Hal ini terdapat dalam surat al- Baqarah ayat 22
“ Dialah yang menjadikan bumi sebagai
hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari
langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki
untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal
kamu mengetahui.”
Dalam Islam memproduksi sesuatu bukanlah
sekedar untuk dikonsumsi sendiri atau dijual ke pasar. Islam menekankan bahwa
setiap kegiatan produksi harus pula mewujudkan fungsi sosial. Ini tercermin
dalam Qur‟an Surat al-Hadiid ayat 7 :
:berimanlah kamu kepada Allah dan
Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan
kamu menguasainya. [17]
Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari
hartanya memperoleh pahala yang besar.”
Kita harus melakukan hal ini karena
memang dalam sebagian harta kita melekat hak orang miskin, baik yang meminta maupun
yang tidak meminta. (QS. 51: 19 dan QS. 70: 25). Agar mampu mengemban fungsi
sosial seoptimal mungkin untuk mencukupi keperluan konsumtif dan meraih
keuntungan finansial, sehingga bisa berkontribusi kehidupan sosial.[18]
C. Etika dan norma produksi islam
1. Prinsip Produksi dalam Islam
Prinsip fundamental yang harus
diperhatikan dalam proses produksi adalah prinsip kesejahteraan ekonomi. Bahkan
dalam sistem dalam sistem kapitalis terdapat seruan untuk memproduksi barang
dan jasa yang didasarkan pada asas kesejahteraan ekonomi. Keunikan konsep Islam
mengenai kesejahteraan ekonomi terletak pada kenyataan bahwa hal itu tidak
dapat mengabaikan pertimbangan kesejahteraan umum lebih luas yang menyangkut
persoalan tentang moral, pendidikan, agama dan banyak hal-hal lainnya.
Sistem produksi dalam suatu negara Islam harus dikendalikan oleh
kriteria objektif dan subjektif, kriteria yang objektif akan tercermin dalam
bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi uang, dan kriteria subjektif
dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi etika ekonomi yang
didasarkan atas perintah-perintah kitab suci al-Qur‟an dan sunnah. [19]
Dalam setiap kegiatan ekonomi manusia adalah pemegang peranan penting, termasuk
dalam proses industri.[20]
Manusia sebagai faktor produksi, dalam
pandangan Islam, harus dilihat dalam konteks fungsi manusia secara umum yakni
sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sebagai makhluk Allah yang paling
sempurna, manusia memiliki unsur rohani tidak dapat dipisahkan dalam mengkaji
proses produksi dalam hal bagaimana manusia memandang faktor-faktor produksi
yang lain menurut cara pandang al-Qur‟an Hadits.[21]
Ada kaidah kaidah kaidah dalam
memberikan arahan mengenai prinsip prinsip produksi dalam al-Qur‟an dan Hadits
Rasulullah SAW diantaranya sebagai berikut:
1. Tugas manusia di muka bumi
sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya. Allah
menciptakan bumi dan langit beserta segala apa yang ada di antara keduanya
karena sifat ar-rahmaan-Nya kepada manusia. Karenanya sifat tersebut juga harus
melandasi aktivitas manusia dalam pemanfaatan bumidan langit dan segala isinya.
2. Teknik produksi diserahkan kepada
keinginan dan kemampuan manusia. Nabi pernah bersabda: “ kalian lebih
mengetahui urusan dunia kalian‟‟
3. Dalam berinovasi, pada prinsipnya
agama Islam menyukai kemudahan, menghindari mudharat
dan memaksimalkan manfaat. Dalam Islam tidak terdapat ajaran yang memerintahkan
memberikan segala urusan berjalan dalam kesulitanya, karena pasrah kepada
keberuntungan atau kesialan, karena berdalih dengan ketetapan dan ketentuan
Allah, atau karena tawakal kepada-Nya, sebagaimana keyakinan yang terdapat di
agama-agama selain Islam. Sesungguhnya Islam mengingkari itu semua dan menyuruh
bekerja dan berbuat, bersikap hati-hati dan melaksanakan selama persyaratan.
Tawakal dan sabar adalah konsep penyerahan hasil kepada Allah SWT sebagai
pemilih hak yang menentukan segala sesuatu setelah segala usaha dan persyaratan
dipenuhi dengan optimal.
4. Memproduksi barang dan jasa yang
halal pada setiap tahapan produksi.
5. Mencegah kerusakan di muka bumi,
termasuk membatasi polusi, memelihara keserasian dan ketersedian sumber daya
alam.
6. Produksi dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat serta mencapai kemakmuran. Kebutuhan
yang harus dipenuhi harus berdasarkan prioritas yang ditetapkan agama, yakni
terkait kebutuhan untuk tegaknya akidah/
agama, terpeliharanya nyawa, akal dan keturunan/ kehormatan, serta untuk
kemakmuran material.
7. Produksi dalam Islam tidak dapat
dipisahkan dari tujuan kemandirian umat. Untuk itu hendaknya umat memiliki
berbagai kemampuan, keahlian dan perasaan yang memungkinkan terpenuhinya
kebutuhan spiritual dan material.
8. Meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia baik kualitas spiritual maupun mental dan fisik. Kualitas spiritual
terkait dengan kesadaran rohaniyahnya, kualitas mental terkait dengan etos
kerja, intelektual, kreatifitasnya, serta fisik mencakup kekuatan fisik,
kesehatan, efisiensi dan sebagainya.menurut Islam kualitas rohaniah individu
mewarnai kekuatan-kekuatan lainnya, sehingga membina kekuatan rohaniah menjadi
unsur penting dalam produksi Islami.
Oleh
karenanya tak salah kalau ulama klasik Imam al-Ghazali menguraikan bidang garapan produksi
ialah tanah dan segala kekayaan yang
dikandungnya. Dalam uraianya al-Ghazali menggunakan
Islah. Pertama: usaha fisik yang dikerahkan manusia dan Kedua:
mengubah sumber daya yang tersedia menjadi bermanfaat bagai mereka dalam rangka
memenuhi kebutuhnnya. Dengan ungkapan
ِاعْلَمْ اَنَّ الَّدْنيَا ِعبَاَرةٌ عَنْ اَعْيَانٍ َمْوُجْودَةٍ َوِلْلاِنْسَاِن ِفْيهَا خَظٌ َولَهُ ِفى ِاصْلاَحِهَا
ُشغْلٌ
Ketahuilah bahwa dunia itu mempunyai keuntungan (profit and return ) dan manusia diperbolehkan untuk memperbaikinya
(memanfaatkannya demi kelangsungan hidupnya pen.[22]
2. Etika
Produsen Islam
Selama ini sering didengar bahwa bisnis
dimaknai secara terpisah dengan etika. Akan tetapi sesungguhnya bisnis tidak
terpisah dari etika dikarenakan pertama, bisnis tidak bebas nilai. Kedua,
bisnis merupakan bagian dari sistem sosial. Ketiga, aplikasi etika
bisnis identik dengan pengelolaan bisnis secara profesional. Perkembangan
bisnis atau perusahaan, baik sebagai akibat maupun sebagai salah satu sebab
perkembangan politik, ekonomi sosial maupun teknologi serta aspek lingkungn
disekitarnya, jika selama ia berinteraksi dan menghasilkan barang dan jasa bagi
masyarakat yang membutuhkannya, maka bisnis tersebut harus menyadari akan tanggung jawab terhadap
lingkunganya, khusunya tanggung jawab sosil dengan segala aspeknya. Agar suatu perusahaan atau bisnis dapat
mencapai tujuanya secara kontinyu dengan dukungan masyarakat luas, maka
manajemen perusahaan harus menjadi efektivitas interaksi yang berlangsung antar
perusahaan dan konsumen dan stake holder-nya
dengan cara-cara yang berdasarkan nilanilai dan norma-norma etika bisnis.[23]
Pada hakikatnya etika merupakan bagian
integral dalam bisnis yang dijalankan secara profesional. Dalam jangka pajang,
suatu bisis akan tetap berkesinambungandan secara terus-menerus menghasilkan
keuntungan, jika dilakukan atas dasar kepercayaan dan kejujuran. Demikian pada
suatu bisnis dalam perusahaan akan berlangsung bila bisnis itu dilakukan dengan
memberi perhatian kepada semua pihak dalam perusahaan. inilah sebagian dari
tujuan etika bisnis yaitu agar semua orang yang terlibat dalam bisnis mempunyai
kesadaran tentang adanya dimensi
etis dalam bisnis itu sendiri dan
agar belajar bagaimana mengadakan pertimbangan secara etis maupun
ekonomis.
Etika dalam produksi adalah harus berdasarkan
kode etik yang mencakup tanggung jawab dan akuntabilitas korporasi yang diawasi
ketat oleh asosiasi-asosiasi perusahaan dan masyarakat umum. Hukum harus
dijadikan sarana pencegahan bagi pelaku bisnis. Perilaku pelaku bisnis yang
dapat membahayakan masyarakat dalam memproduksi barang dan jasa harus dijerat
dengan norma-norma hukum yang berlaku sehingga masyarakat umum tidak dirugikan.[24]
D. Tujuan
Produksi Islam
Kegiatan produksi dalam ilmu ekonomi diartikan
sebagai kegiatan yang menciptakan manfaat baik dimasa kini maupun dimasa
mendatang. Dengan pengertian yang luas tersebut, kita memahami bahwa kegiatan
produksi tidak terlepas dari keseharian manusia. Meskipun demikian, pembahasan
tentang produksi dalam imu ekonomi konvesional senantiasa mengusung
maksimalisasi keuntungan sebagai motif utama, meskipun sangat banyak kegiatan
produktif atas dasar definisi di atas yang yang memiliki motif lain dari hanya
sekedar memaksimalkan keuntungan.[25]
Motif memaksimalisasi kepuasan dan
maksimalisasi keuntungan yang menjadi pendorong utama sekaligus tujuan dari
keputusan ekonomi dalam pandangan ekonomi konvensional bukanya salah ataupun
dilarang di dalam Islam. Islam mendudukkanya pada posisi yang benar yakni semua
itu dalam rangka maksimalisasi kepuasan dan keuntungan di akhirat.53
Motif keuntungan maksimal sendiri,
sebagai tujuan dari teori produksi dalam ekonomi konvensional, merupakan konsep
yang absurd. Secara teoritis memang
dapat dihitung pada keadaan bagaimana keuntungan maksimal dicapai. Akan tapi
dalam praktik, tak seorangpun mengetahui apakah pada saat tertentu ia sedang,
sudah atau bahkan belum mencapai keuntungan maksimal. Dalam ekonomi konvesional
pun diakui bahwa keadaan keseimbangan dalam pasar bebas dimana semua perusahaan
berada dalam keadaan „normal profit‟ hanya tercapai dalam jangka panjang.
Implikasi dari absurditas konsep itu adalah, ia hanya bisa dijadikan acuan
teknis, tetapi tidak bisa menjadi patokan perilaku.
Aktiviatas produksi bertujuan untuk
kemaslahatan. Ekonomi konvesional kadang melupakan kemana produknya mengalir,
sepanjang efisiensi ekonomi tercapai dengan keuntungan yang memadai. Pun jika
mengonsumsi barang/ jasa tersebut hanya kalangan tertentu yang berakibat pada
timbulnya budaya konsumerisme. Hal ini tidak sesuai dengan ajaran Islam yang mengaitkan tujuan produksi dengan
kemaslahatan. Apabila produksi basic need/
dharuriyah menjadi suatu prioritas, maka kesejahteraan masyarakat akan meningkat
karena segala macam kebutuhan pokok mereka telah terpenuhi. Adapun tujuan
produksi menurut Monzer Kahf antara lain:[26]
1.
Upaya
menusia untuk meningkatkan tidak hanya kondisi materialnya. Akan tetapi juga
moralnya untuk kemudian menjadi sarana mencapai tujuanya kelak di akhirat.
Sehingga produk-produk yang menjauhkan manusia dari nilai-nilai moralnya kan
dilarang dalam Islam.
2.
Aspek
sosial dalam produksi, yatu distribusi keuntungan dari produksi itu sendiri
diantara sebagian besar orang dengan cara seadil-adilnya. Hal tersebut
merupakan tujuan utama ekonomi masyarakat. Sistem ekonomi Islam lebih terkait
dengan kesejahteraan masyarakat dibandingkan dengan sistem yang lainnya.
3.
Masalah
ekonomi bukanlah masalah yang jarang berkaitan dengan kebutuhan hidup, akan tetapi
permasalahan tersebut timbul karena kemalasan dan kealpaan manusia dalam
usahanya untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya dari anugerah Allah.
E.. Perilaku
Produsen Muslim
1. Pengertian Perilaku Produsen
Pengertian
Perilaku menurut KBBI adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan
atau lingkungan. [27]
Produsen dalam pengertian sederhana adalah pembuat produk. Sementara konsumen
adalah penikmat produk itu. Produsen adalah suatu bisnis yang mengkhususkan
diri dalam proses membuat produksi. Produksi adalah proses yang dilakukan oleh
produsen yang merupakan aktivitas fungsional yang mesti dilakukan oleh setiap
perusahaan. fungsi ini bekerja menciptakan barang atau jasa yang bertujuan
untuk membentuk nilai tambah.[28] Produsen dan konsumen
mempunyai hubungan kerjasama yang tidak bisa dipisahkan dan saling membutuhkan.
Produsen tidak akan pernah mendapat keuntungan, jika tidak ada orang yang
membeli produk itu. Demikian sebaliknya konsumen tidak akan pernah terpenuhi
kebutuhan dan keinginanya, ketika tidak ada barang atau jasa dari produsen.[29]
Produsen dalam ekonomi adalah orang yang menghasilkan barang dan jasa untuk
dijual atau dipasarkan.[30]
Perilaku produsen adalah kegiatan
pengaturan produksi untuk menambah kegunaan atau nilai guna suatu barang atau
jasa. Dalam kegiatan ini dikenal 5 jenis kegunaan[31] ,
yaitu :
1.
Guna
bentuk, yaitu dalam melakukan proses produksi, kegiatannya ialah mengubah
bentuk suatu barang sehingga barang tersebut mempunyai nilai ekonomis
2.
Guna
jasa, yaitu kegiatan produksi yang memberikan pelayanan jasa.
3.
Guna
tempat, yaitu kegiatan produksi yang memanfaatkan tempattempat dimana suatu
barang memiliki nilai ekonomis.
4.
Guna
waktu, yaitu kegiatan produksi yang memanfaatkan waktu tertentu. Misalnya pembelian beras yang dilakukan oleh bulog
pada saat musim panen dan dijual kembali pada saat masyarakat membutuhkannya.
5.
Guna
milik, yaitu kegiatan produksi yang memanfaatkan modal yang dimiliki untuk
dikelola oleh orang lain dan dari hasil tersebut ia mendapat keuntungan.
Perilaku produsen sebagaimana perilaku
konsumen merupakan pemilihan atas berbagai alternatif. Dalam hal ini keputusan
yang diambil oleh seorang produsen adalah menentukan pilihan atas alternatif
tersebut. Produsen akan mengalokasikan dananya untuk menggunakan faktor
produksi atau yang akan diproses menjadi output. Keseimbangan produsen akan
tercapai pada saat seluruh anggaran habis terpakai untuk membeli faktor
produksi. Kemudian setiap produsen akan berupaya mencapai tingkat produksi yang
optimum.[32]
2. Dasar Perilaku
Produsen Muslim
Beberapa prinsip dasar perilaku produsen
sebagai perwujudan Islamic Man adalah
sebagai berikut:[33]
a.
Produsen
tidak saja reaktif tapi proaktif, kreatif dan inovatif dalam membuat produk.
Seringkali konsumen tidak mengetahui apa yang ia butuhkan. Kebutuhanya mulai
terasa ketika ia melihat-lihat barangbarang di dalam toko. Dari situ produsen
dituntut untuk bisa bersikap kreatif dan inovatif dalam menyediakan barang yang
dibutuhkan konsumen. Tidak sekedar barang-barang lumrah yang memang dibutuhkan
konsumen, namun, yang perlu diperhatikan produsen, kreativitas perlu dibatasi
oleh nilai-nilai luhur Islam yang bersifat mendidik konsumen.
b.
Orientasi
pembuatan produk adalah kemaslahatan, bukan asal laku (dapat untung). Walaupun survivabelitas produsen sangat
ditentukan oleh sejauhmana ia memperoleh keuntungan dari penjualan produksinya,
bukan berarti produsen dibebaskan untuk membuat produk asal laku di masyarakat.
Dalam norma-norma Islam disamping terdapat barang atau jasa yang secara jelas dilarang
untuk dikonsumsi (berarti juga diproduksi), Islam juga mengharapkan agar produk
mengandung maslahah bagi masyarakat banyak. Sehingga oreintasi produsen bukan
hanya mencari keuntungan tetapi juga menjaga ketentraman.
c.
Memegang
prinsip efisiensi. Efisiensi penting dalam proses produksi. Artinya produsen
harus menerapkan prinsip ini dalam berbagai sisi aktivisasi produksi. Dalam
penetapan jumlah produk, misalnya produsen harus mengukur terlebih dulu
seberapa kekuatan masyarakat dalam mengkonsumsi sebuah produk. Hal ini menetuka
produsen untuk membuat berapa banyak produk yang harus ia buat. Jika produk
yang ia buta terlalu banyak, melebihi kapasitas yang diinginkan masyarakat,
maka produk tersebut menjadi sia-sia. Ini berarti Inefisien. Dalam Islam Inefisien
atau wasting tidak direkomendasikan.
d.
Dapat
mengantisipasi atau memprediksi akses
negatif dari produk yang akan dibuatnya. Produk-produk seperti kosmetik, obat-
obatan, makanan, minuman suplemen, alat-alat teknologi dan peralatan lainnya
dapat mengundang bahaya konsumen jika dibuat tidak secara cermat oleh produsen.
Oleh karena itu, dalam pembuatan produk, produsen harus hati-hati dan waspada
dengan mempertimbangkan segala kemungkinan yang akan terjadi pada konsumen
produsen harus mempersiapkan bahan yang baik, melakukan uji teknis atau medis,
melakukan pemantauan dalam proses produksi, menyiapkan tenaga ahli, melakukan
eksperimen, misalnya untuk memastikan bahwa produk yang dibuatnya tidak
membahayakan konsumen. Termasuk mencantumkan beberapa informasi terkait aturan
pakai, masa kadaluarsa, efek samping yang ditimbulkanya dan
peringatanperingatan lain yang menjadi pengetahuan dasar bagi konsumen sebelum
membeli produk. Ini penting karena relitas konsumen adalah realitas
ketidaktahuan akan produk. Oleh karena itu produsen sebagai pihak yang
mengetahui seluk-beluk produk harus memberikan kepedulian terlebih dahulu
dengan cara seperti itu.
e.
Menjaga
keramahan dalam lingkungan. Persoalan yang sering mengganggu dalam kegiatan
produksi adalah bagaimana kegiatan produski tidak mengakibatkan rusaknya
lingkungan. Jika hal ini tidak diperhatikan, kerusakan lingkungan dapat
mengakibatkan bencana bagi masyarakat sekitarnya, secara sempit, dan bagi
keseluruhan makhluk hidup, secara luas. Seperti pada poin sebelumnya, produsen
harus terlebih dahulu mempertimbangkan kemungkinan bahaya yang ditimbulkan dari
proses produksinya. Untuk ini produsen harus melakukan kajian dan penelitian terhadap bahan-bahan, zat kimiawi,
dan mengatur peoses pembuangannya agar kegiatan produksi tidak mengakibatkan
pencemaran ingkungan. Produsen harus menjaga keseimbangan alam dan menciptakan
kondisi lingkungan tetap hijau (green
production).
Nilai-nilai Islam yang relevan dengan
produksi dikembangkan dari tiga nilai
utama dalam ekonomi Islam, yaitu: khalifah, adil dan tafakul.
Secara
lebih rinci nilai-nilai Islam dalam produksi meliputi:[34]
·
Berwawasan
jangka panjang, yaitu berorientasi kepada tujuan akhirat; Menepati janji dan
kontrak, baik dalam lingkup internal maupun ekstrenal
·
Memenuhi
takaran dan ketepatan, kelugasan dan kebenaran;
·
Berpegang
teguh pada kedisiplinan dan dinamis;
·
Mendorong
ukhuwah antar antar semua pelaku ekonomi;
·
Menghormati
hak milik individu;
·
Mengikuti
syarat syah dan rukun akad/transaksi
·
Adil
dalam bertransaksi
·
Pembayaran
upah tepat pada waktu dan layak;
·
Menghindari
jenis dan proses produksi yang diharamkan dalam Islam.
Penerapan nilai-nilai diatas dalam
produksi tidak saja akan mendatangkan keuntungan bagi produsen, tetapi
sekaligus mendatangkan berkah. Kombinasi keuntungan berkah yang diperoleh oleh
produsen merupakan suatu maslahah
yang akan memberi kotribusi bagi tercapainya falah.
Dengan cara ini, maka produsen memperoleh kebahagiaan hakiki, yaitu kemuliaan
tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat.
Perilaku rasionalitas produsen
berorientasi pada kemaslahatan bersama. Produsen dituntut untuk memaksimalisasi
kemaslahatan dan meminimaisasi kemafsadatan. Prinsip ini penting dan harus
diaplikasikan pada saat produsen merencanakan pembuatan sebuah produk, mempersiapkan
bahan baku, pelaksanaan proses produksi yang meliputi; persiapan tenaga ahli,
pengawasan dan uji medis atau klinis sampai pada proses finishing yang berupa
pelabelan informasi-informasi dasar bagi konsumen. Semua itu dilalui agar
kemaslahatan itu terwujud dalam bentuk keselamatan, kesehatan, keamanan dan
kenyamanan konsumen yang menggunakan, secara khusus dan masyarakat serta
lingkunganya (alam sekitar) secara umum.[35]
Dengan menciptakan produk yang baik,
produsen tidak saja dapat mewujudkan kemaslahatan, tetapi yang lebih penting
adalah mendidik masyarakat konsumen untuk berperilaku yang baik dan rasional
juga. Sebab perilaku konsumerisme masyarakat hampir selalu dipengaruhi oleh produk-produk yang
disediakan oleh produsen. Dengan terciptanya kemaslahatan tersebut maka akan
mengantarkan dirinya dan masyarakatnya kepada kehidupan yang bahagia dunia dan
akhirat (falah). Dan inilah tujuan
hakiki seorang Islamic Man.[36]
Dalam Text Book Ekonomi Islam, disebutkan bahwa untuk mencapai tujuan falah, maka seorang produsen harus
mewujudkan maslahah terebih dahulu.
Sementara untuk merealisasikan maslahah
ia harus melakukan aktivitas yang positif yang mengandung berkah. Berkah adalah
sesuatu yang diridhai Allah dan
melakukanya mendapat pahala. Formulasi maslahah bagi produsen adalah: maslahah
= keuntungan + berkah.
M = ∏ + B
M menunjukan maslahah, ∏ adalah keuntungan,
dan B adalah berkah yang selalu dicari oleh Islamic
man. Keuntungan merupakan selisih antara pendapatan total atau Total Reveneu (TR) dengan biaya
totalnya atau Total Cost (TC), yaitu:
∏ = TR – TC
Sementara berkah akan diperoleh produsen
apabila menerapkan prinsip dan nilai Islam dalam kegiatan produksinya.
Penerapan prinsip dan nilai Islam ini seringkali menimbulkan biaya ekstra
dibandingkan jika mengabaikanya. Disisi lain berkah merupakan kompensasi yang
tidak secara langsung diterima oleh produsen atau Berkah Revenue (BR) dikurangi
dengan biaya untuk mendapatkan berkah tersebut atau Berkah
Cost (BC). Rumusnya adalah:
B = BR – BC = -BC
Dalam persamaan diatas permintaan berkah
dapat diasumsikan nol, karena memang berkah tidak secara langsung berwujud
material. Dengan demikian Maslahah sebagaimana didefinisikan pada persamaan
pertama tadi bisa ditulis kembali menjadi:
M = TR – TC – BC
Dalam persamaan diatas ekspresi berkah,
BC, menjadi faktor pengurang. Hal ini
masuk akal karena berkah tidak bisa datang dengan sendirinya melainkan harus
dicari dan diupayakan kehadiranya sehingga kemungkinan akan timbul beban
ekonomi atau bahkan fina nsial dalam
rangka itu.[37]
3. Model
Perilaku Produsen Muslim
Sebagaimana telah dikemukakan, kegiatan
produksi merupakan respon terhadap kegiatan konsumsi, atau sebaliknya. Produksi
adalah kegiatan menciptakan suatu barang atau jasa, sementara konsumsi adalah
pemakaian atau pemanfaatan hasil produksi tersebut. Kegiatan produksi dan
konsumsi merupakan sebuah mata rantai yang saling berkait satu sama lainnya.
Oleh karena itu, kegiatan produksi harus sepenuhnya sejalan dengan kegiatan
konsumsi.[38]
Bagi Islam, memproduksi suatu bukanlah
sekedar untuk dikonsumsi atau dijual kepasar dalam rangka pemenuhan kebutuhan
hidup. Lebih dari itu, berproduksi memiliki tujuan untuk mencari Maslahah yang sesuai dengan maqasid al syariah dalam rangka mencapai
falah. Hal ini dapat digambarkan
dalam skema sebagai berikut:[39]
|
|
|
|
|
|
|
Sumber Daya alam
|
|
Prose
|
s:
|
|
Fungsi
|
|
Produk
|
si
|
|
|
Maslahah
|
|
Produksi
|
|
Profit
|
|
Falah
|
|
Output
|
:
|
|
Barang
|
|
&
|
Jasa
|
|
Tenaga Kerja
|
|
Skill
|
|
Manajemen
|
|
Kegiatan produksi adalah menyediakan barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum bagi konsumen. Secara
lebih spesifik, tujuan kegiatan produksi adalah meningkatkan kemaslahatan yang
bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk diantaranya:[40]
1. Pemenuhan kebutuhan manusia pada
tingkatan moderat;
2. Menemukan kebutuhan masyarakat
dan pemenuhanya;
3. Menyiapkan persedian barang/ jasa
di masa depan;
4.
Pemenuhan
sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah.
F. Perbandingan Teori produksi dan
implikasinya
Al-Qur’an juga mengenal konsep tentang
modal, yakni segala sesuatu yang
melibatkan campur tangan manusia (kerja, man made) dan penggunaan sumber daya alam dalam proses produksi. Secara
kategoris bahwa kekayaan hasil tangan manusia sebagai modal dapat dibedakan
secara bertingkat menjadi tiga tingkatan: al-Rizq:
kekayaan/modal sebagai faktor produksi yang masih mungkin di dalamnya terdapat
unsur atau cara memperoleh yang halal dan atau haram; al-Fad}l:kekayaan/modal sebagai faktor produksi yang diusahakan
melalui cara-cara yang halal, inilah yang disebut sebagai “modal bebas korup”;
dan al-T}ayyibah: kekayaan/modal
sebagai faktor produksi yang memiliki 3 indikator: dari segi substansinyaia tidak bercampur antara
yang halal dan haram, tidak membahayakan jiwa dan akal, dan banyak
manfaatnya.Dari segi cara memperolehnya
halal. Dari segi dampaknya, ia peduli padakelestarian
lingkungan, menjamin kelangsungan keanekaragaman hayati,swasembada pangan,
bebas polusi udara dan air,dan sanitasi lingkungan. Inilah yang disebut sebagai
“modal bebas korup dan ramah lingkungan”.
Tiga hierarki modal di muka, memperkuat
prinsip al-Qur’an tentang pendayagunaan sumber daya alam dan lingkungan yang
tidak dikenal dalam prinsip keadilan manapun. Campur tangan manusia atas sumber
daya sebagai faktor produksi perlu memperhitungkan secara cermat
ketersediaannya secara lestari. Karena itu, modal sebagai intervensi manusia
yang juga merupakan faktor produksi mesti memasukkan pertimbangan cara-cara
intervensi yang benar dan memiliki dampak positif bagi lingkungan.
Aktifitas Produksi
Ketersediaan sumber daya alam tidak ada
manfaatnya bila manusia sendiri tidak produktif. Sumber daya alam akan
memberikan kegunaan dengan daya dukung aktivitas produksi. Islam mengandaikan
berbagai macam aktivitas ekonomi seperti pertanian, peternakan, perdagangan,
industri, dan pekerjaan dalam berbagai profesi.[41]
Hal demikian juga diungkapkan oleh al-Ghazali
bahwa sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan dibagi menjadi tiga bagaian
yaitu: pertambangan, pertanian, dan hewan/binatang. Berikut pernyataannya dalam
Ihya ulum al-Din
أَمَّا
النَّبَاتُ فَيَطْلُبُهُ الآدَمِيُّ لِلاِقْتِيَاتِ وَالتَّدَاوِي وَأَمَّا اْلمَعَادِنُ
فَيَطْلُبُهَا ِللآلاَتِ وَاْلأوَانِي كَالنُّحَاسِ وَالرَّصَاصِ وَلِلنَّقْدِ كَالذَّهَبِ
وَالْفِضَّةِ وَلِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْمَقَاصِِدِ وَأَمَّا الْحَيَوَانُ فَيَنْقََسِمُ
إِلىَ اْلإِنْسَانِ وَاْلبَهَائِمِ أَمَّا الْبَهَائِمُ فَيَطْلًبُ مِنْهَا لًُحُوْمَهَا
ِللْمَآكَلِ وَظُهُوْرَهَا لِلْمَرْكَبِ وَالزِّيْنَةِ
Adapun tumbuh-tumbuhan harus dicari oleh manusia,
untuk dijadikan makanan (konsumsi ) dan obat-obatan, barang-barang tambang dicari manusia untuk pruduksi alat-alat
seperti tembaga, timah dan untuk pembuatan emas dan perak dan binatang dapat
dimanfaatkan dagingnya untuk dikonsumsi dan bisa dijadikan perhiasan serta
kendaraan[42]
Dari pernyataan al-Ghazali di atas dapat
disimpulkan bahwa yang menjadi bidang garapan produksi adalah sebagai berikut:
Pertama : Bidang pertanian meliputi
tumbuh-tumbuhan harus dicari oleh
manusia, untuk dijadikan makanan (konsumsi) dan obat-obatan.
Kedua : Bidang Industri yaitu barang-barang tambang dicari manusia untukpruduksi alat-alat
seperti tembaga, timah dan untuk pembuatan emas dan perak dan lain-lain.
Ketiga : Bidang jasa dan
pelayanan yaitu binatang dapat dimanfaatkan dagingnya untuk dikonsumsi dan bisa
dijadikan perhiasan serta kendaraan.
Secara eksplisit al-Qur’an menyebutkan
istilah kerja dengan kasb (QS.
al-Nisa’ 4:32). Pekerja akan
produktif jika ia memiliki etos kerja yang tercermin dalam ikhtiar (QS. al-Ra`d 13:11),
yakni kebebasan manusia untuk menentukan nasib dirinya sendiri. Al-Qur’an,
kemudian, menegaskan bahwa manusia hidup untuk bekerja sebagai konsekuensi dari
kedudukannya sebagai pemakmur dunia. Oleh karena itu, tiada jalan yang lebih
baik untuk memenuhi fungsi kekhalifahan ini melainkan berbuat ihsan, mengisi
waktu dengan kerja profesional dan aktivitas produktif (QS. al-`Asr 103:1-3).
Profesionalisme dan produktivitas kerja manusia juga dipengaruhi oleh motivasi
intrinsik. Untuk mencapai suatu kehidupan sosial-ekonomi yang berkeadilan
diperlukan motivasi individu yang benar sebagai suatu mekanisme filter yang
baik[43].
Mengingat sumber daya alam (natural
resources) tidak langsung memenuhi kebutuhan manusia, maka perlunya adanya
pengerahan maksimal sumber daya manusia sangat penting dalam rangka
mengelola/mengolah raw material tersebut menjadi barang yang bermanfaat
/ berguna bagi kehidupan manusia. Sebagaimana firman Alla>h:
“ Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat
dan berbagai manfaat bagi manusia”[44]
al-Ghazali sangat teliti, jeli dan rinci
dalam menguraikan peran manusia dalam berusaha (kewirausahaan/
interprenuership) dan aspek menejerial dalam proses produksi. Apa yang
dikemukan al-Ghazali, sangat jelas dan sesuai dengan teori produksi modern.[45]
al-Ghazali juga mengatakan bahwa selain adanya sentuhan tangan
manusia secara langsung dalam proses produksi mereka juga dibantu dengan
alat-alat (mesin-mesin) sehingga terciptalah sebuah produk yang final dan siap
dikonsumsi /dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, berikut ungkapan
al-Ghaza>li>:[46]
ِلكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْ هَذِهِ الصِّنَاعَاتِ وَخَادِمَةٌ ٌ لَهَا
كَااْلحَدَاَدِة َفِانَّهَا تُخْدَمُ الزِّرَاعَةَ
وَخَادِمَةٌ ِمنَ الصِّنَاعَاتِ بِأعْدَاِد آلاَتِهَا كَالْحَلاَجَةِ وَاْلغَزَلِ َفِانَّهَا
تُخْدَمُ اْلِحيَاكَةَ ِبأعْدَاِدعَمَِلهَا
Setiap perindustrian membutuhkan tenaga kerja untuk
menciptakan besi/baja, dimana besi/baja dapat dimanfaatkan untuk pertanian dan
penenunan dengan mempersiapkan alat-alat-alatnya.[47] Mesin-mesin atau alat-alat menurut bahasa al-Ghaza>li>
istilah ekonomi disebut barang-barang atau capital[48]
a.
Tahapan Produksi
al-Ghazali mengakui adanya tahapan produksi yang beragam
sebelum dikonsumsi yang seringkali disebut dengan mata rantai produksi yaitu
sebuah gagasan yang sangat dikenal dalam pembahasan ekonomi kontemporer.
Berkaitan dengan hal ini, al-Ghazali menyatakan: “ Petani memproduksi gandum,
tukang giling mengubahnya menjadi tepung, lalu tukang roti membuat roti dari
tepung itu”
Tentang saling
ketergantungan dalam produksi,
al-Ghaza>li mengemukakan
فَاِنَّ اْلفَلاَحَ رُبَّمَا يَسْكُنُ قَرْيَةً لَيْسَ
فِيْهَا َاْلفَلاَحَةُ وَاْلجَدَادُ وَالنَّجَارُ يَسْكُنَانِ قَرْيَةً لاَيُمْكِنُ
فِيْهَا الزِّرَاعَةَ . فَبِالضَّرُوْرَةِ يَهْتَاجُ الْفَلاَحُ ِالَيْهِمَا وَيَهْتَاجَانِ
اِلىَ الْفَلاَحِ فَيَهْتَاجُ اَحَدُهُمَا اَنْ يُبْذِلَ مَاعِنْدَهُ ِلْلاَخَرِحَتىَّ
يَأْ حُذَ مِنْهُ عِرْضَهُ وَذَاِلكَ بِطَرِيْقِ الْمُعَاوِضَةِ
Dapat saja petani hidup di
tempat alat-alat pertanian tidak tersedia. Sebaiknya, pandai besi dan tukang
kayu di mana lahan pertanian tidak ada. Namun secara alami, mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing.
Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makanan, tetapi para petani tidak
membutuhkan alat-alat tersebut atau sebaliknya.[49]
Pada tahapan ketiga adalah keterkaitan
produksi yang beragam mensyaratkan adanya pembagian kerja, koordinasi dan
kerjasama. al-Ghaza>li> memberikan gambaran dalam hal ini dengan ungkapan
sebagai berikut:
اِعْلََمْ
أَنَّ الَّذِى يَنْبُتُ فِى اْلأَرْضِ مِنَ النَّبِاتِ وَمَا يَخْلُقُ مِنَ اْلحَيَوَانَاتِ
لاَ يُمْكِنُ أَنْ يَقْضُمَ وَيُؤْكَلَ وَهُوَ كَذَلِكَ بَلْ لاَ بُدَ
فِى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ ِإصْلاَحٍ وَطَبْخٍ وَتَرْكِيْبٍ وَتَنْظِيْفٍ بِإِلْقَاءِ
اْلبَعْضِ وَإِبْقَاءِ اْلبَعْضِ إِلىَ أُمُوْرٍ أَخَرَ لاَ تُحْصَى وَاْستِقْصَاءُ
ذَلِكَ فِى كُلِّ طَعَامٍ يَطُوْلُ فَلْنُعَيِّنْ رَغِيْفًا وَاحِدًا وَلْنَنْظُرْ
إِلىَ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ الرَّغِيْفُ الْوَاحِدُ حَتَّى يَسْتَدِيْرَ وَيَصْلَحَ
لِلأَكْلِ مِنْ بَعْدِ ِإلْقَاءِ البَذْرِ فِى اْلأَرْضِ فَأَوَّلُ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ
َالْحَارِثُ لِيَزْرَعَ وَيَصْلَُحَ الأَرْضَ ثَمَّ الثَّوْرَ َاَّلذِى يَثِيْرُ الأرضَ
وَاْلفَدَانَ وَجَمِيْعَ أَسْبَابِهِ ثُمَّ بَعْدَ ذََلِكَ التَّعَهُّدُ بِسَقْىِ المَاءِ
مُدَةٌ ثُمَّ تَنْقِيَّةِ الأَرْضِ مِنَ اْلحَشِيْشِ ثُمَّ اْلحَصَادِ ثُمَّ الفَرَكِ
وَالتَّنْقِيَّةِ ثُمَّ الطَّحْنِ ثُمَّ اْلعَجِيْنِ ثُمَّ الْخَيْرِ فَتَأَمَّلْ عَدَدَ
هَذِهِ اْلاَفْعَالَ الَّتِى ذَكَرْنَاهَا وَمَا لَمْ نَذْكُرْهُ وَعَدَدَ اْلاَشْخَاصِ
َاْلقَائِمْينَ بِهَا وَعَدَدَ الآلاتِ الَّتِى يَحْتَاجُ ِإلَيْهَا مِنَ اْلحَدِيْدِ
وَالْخَشَبِ وَاْلحَجَرِ وَغَيْرِهِ وَانْظُرْ إِلىَ أَعْمَالِ الصِّنَاعِ فِى ِإصْلاَحِ
آلاتِ الْحَرَاثَةِ وَالطَّحْنِ وَالْخُبْزِ مِنْ نَجَارٍ وَحَدَّادٍ وَغَيْرِهِمَا
وَانْظُرْ ِإلىَ حَاجَةِ الْحَدَّادِ إِلىَ اْلحَدِيْدِ وَالرَّصَاصِ وَالنَّحَاسِ
وَانْظُرْ كَيْفَ خَلَقَ اللهُ تعالى َالْجِبَالَ وَاْلأَحْجَارَ وَاْلمَعَادِنَ وَكَيْفَ
جَعَلَ اْلأَرْضَ قَِطْعًا مُتَجَاوِرَاتٍ مُخْتَلِفَةٍ فَإِنَ فُتِشَتْ عُلِمَتْ أَنَّ
رَغِيْفًا وَاحِدًا لاَ يَسْتَدِيْرُ بِحَيْثُ يَصْلُحَ لأَِكْلِكَ يا مسكين مَالَمْ
يَعْمَلْ عَلَيْهِ أَكْثَرْ مِنْ أَلفِ صَانِعٍ
“Ketahuilah bahwa tumbuhan
dan hewan tidak dapat langsung dimakan dan dicerna. "Semuanya membutuhkan
tranformasi, pembersihan, pencampuran, dan pemasakan sebelum dikonsumsi.
Roti misalnya, dimulai dengan petani yang menyiapkan dan mengeola lahan,
kemudian diperlukan sapi dan peralatan untuk membajak tanah. Kemudian tanah
tersebut diairi, dibersihkan dari rumput liar, lalu hasilnya dipanen, dan
butur-butir gandumnya dibersihkan dan dipisahkan Kemudian gandum itu digiling
menjadi tepung sebelum dipanggang. Bayangkan saja berapa banyak pekerjaan yang
terlibat; dan kita hanya menyebutkan beberapa saja disini. Dan bayangkan jumlah
orang yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang beragam ini, jumlah macam-macam
perkakas, yang tersebuat dari besi, kayu, batu, dan lain-lain. Bila kita
diselidiki, kita akan menemukan bahwa mungkin satu kerat kopi dan menjadi roti
yang siap dimakan dengan bantuan mungkin lebih dari seribu pekerja. [50]
al-Ghazali menguraikan argumentasi
dengan menggunakan contoh jarum. Berikut pernyataannya.
لِلإِبْرَةِ
ِإلاَّ بَعْدَ أَنْ تَمُرَّ عَلىَ يَدِ اْلإِبَرِى خَمْسًا وَعِشْرِيْنَ مَرَةً وَيَتَعَاطَى
فِى كُلِّ مَرَّةٍ مِنْهَا عَمَلاً
“ Bahkan jarum yang kecil itu, menjadi berguna setelah melewati tangan
tangan pembuat jarum sebanyak 25 kali, setiap kali melalui proses yang berbeda”[51]
al-Ghaza>li> terbukti telah
memberikan perhatian cukup besar tentang produksi, ia menganggap kerja adalah
sebagaian dari ibadah seseorang bahkan secara khusus, al-Ghaza>li> memandang bahwa produksi barang-barang kebutuhan
dasar sebagai kewajiban sosial (fard}u kifa>yah). Hal ini berarti,
jika ada sekelompok orang yang berkumpul didunia usaha yang memproduksi
barang-barag tersebut, dengan jumlah mencukupi masyarakat. Maka kewajiban
seluruh masyarakat telah terpenuhi. Namun jika tidak ada seorangpun yang
melibatkan diri dalam kegiatan tersebut, semua akan dimintai pertanggung
jawaban di akhirat.[52]
[1]
Ketersediaan sumber daya alam tidak ada manfaatnya bila manusia sendiri tidak
produktif. Sumber daya alam akan memberikan kegunaan dengan daya dukung
aktivitas produksi
[2]Rifa al-Mahjub, Dirasat al-Iqtishadi al-lslamiyah. (Kairo: Ma'had al-Dirasat al-Islamiyah, 1987), 14.
[5] M. Aslam Haneef, Pemikiran
Ekonomi Islam Kontemporer, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2010,). 29
[6] Monzer Khaf, Ekonomi Islam, (telaah analitik terhadap fungsi system ekonomi islam), terj. Machnun
Husein dari judul aslinya “ The Islamic
Economy: Analytical of the Funchtioning of the Islamic Ekonomic System”, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 1995). 57
[7]
Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktik
Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1995). 54
[8] Haneef, Pemikiran..., . 29
[11]
Muhammad Rawwas Qalahji, Mabahis fi al-Iqtishad al-Islamiy min
Ushulihi al-Fiqhiyyah, (Beirut: Dar an-Nafes, 2000), 62.
[13]
Taqyuddin an-Nabhani, an-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam,
(Beirut: Darul Ummah, 1990), yang dalam edisi bahasa Indonesia diberi judul Membangun
Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti,
1996), 151
[14] Mustafa Edwin Nasution
dan Budi Setyanto, Pengenalan Eksklusif
Ekonomi Islam, (Jakarta:Prenada Media Group,2007), .102
[15]
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2014), 230
[16]
Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam,. 104
[17] Yang dimaksud dengan
menguasai di sini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Hak milik pada
hakikatnya adalah pada Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut
hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. karena itu tidaklah boleh kikir dan
boros.
[19] Mannan, Teori..., . 55
[20] Nasution, Pengenalan..., 110
[21] Ibid.
[23] Fauroni, Visi al-Qur’an..., 102 Ibid.
[24] Agus Arijanto, Etika Bisnis Bagi Pelaku Bisnis, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012,). 53 52
Nasution, pengenalan..., 102 53
[25]
Ibid..., 103
[26] Haneef, Pemikiran..., h. 103
[27] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), . 1083
[28]
Fauroni, Visi al-Qur’an ...,. 103
[29] Dede nurohman, Memahai Dasar-dasar Ekonom Islam,
(yogyakarta: Teras, 2011 ), 31
[30] Iswardono
Sardjonopermono, Ekonomi Mikro Perilaku
Produsen, (Yogyakarta: BPFEYogyakarta, 1985,) 1
[31] Nur Rianto Al Arif, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, (Solo: PT Era
Adicitra Intermedia, 2011). 162
[32] M. Nur Rianto Al Arif dan
Euis Amalia, Teori Mikro Ekonomi (Suatu Perbandingan
Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional),
(Jakarta: Kencana, 2010).147
[34] P3EI, Ekonomi..., 252
[35]
Ibid..., 117
[36] Ibid.
[37]
Ibid., 118-119
[38] P3EI, Ekonomi...,. 232
[39]
Ibid.
[41]
Abdurrahman Badawi, Etika Ekonomi dan Bisnis. Perspektif Agama-Agama di
Indonesia : Economic and Business Ethics. Religious Perspectives in
Indonesia (Geneva: Globethics.net, 2014)
[43]
Abdurrahman Badawi, Etika Ekonomi...
[44] al-Qur’a>n, al-Hadi>d,25.
[45] Produksi adalah penciptaan benda-benda atau jasa-jasa yang secara
langsung atau tidak langsung untuk memenuhi kebutuhan manusia atau proses untuk
memperbesar kapasitas benda-benda memenuhi kepentingan manusia atau untuk
menyelenggarakan jasa-jasa yang dapat memenuhi keinginan manusia Lihat: Winardi, Kamus Ekonomi, Inggris-Indonesia
(Bandung: Mandar Maju, 1992), 390-391. Bandingkan dengan Pius A Partanto. Kamus
Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), 626.
[48] Capital dalam pembukuan berarti jumlah uang
yang dinvestasikan dalam sebuah usaha. Sedang dalam teori ekonomi ada banyak
macam-macam arti a. Capital dapat digunakan untuk maksud barang-barang modal
yaitu alat-alat produksi b. Capital adalah objek material yang digunakan untuk
memproduksi kekayaan, atau menyelenggarakan jasa ekonomi Lihat : Winardi, Kamus…, 63.
[49] al-Ghaza>li>
, Ih}ya>‘, III, 222.