A. Biografi Singkat Taqiyuddin An-Nabhanni Taqiyuddin al-Nabhani dilahirkan di daerah Ajzam pada tahun 1909, wafat pada ...
https://rohman-utm.blogspot.com/2011/12/pemikiran-ekonomi-islam-taqiyuddin.html
A.
Biografi Singkat Taqiyuddin An-Nabhanni
Taqiyuddin al-Nabhani dilahirkan
di daerah Ajzam pada tahun 1909, wafat pada tahun 1977 M dan dimakamkan di
Pemakaman al-Auza’i, Beirut. Nama lengkapnya, Muhammad Taqiyuddin Ibn Ibrahim Ibn Musthafa Ibn Ismail Ibn Yusuf al-Nabhani. Dinisbahkan kepada kabilah
Bani Nabhan, yang termasuk orang Arab penghuni padang sahara di Palestina.
Semenjak kecil, Taqiyuddin
al-Nabhani mendapat didikan agama di rumahnya dalam tradisi ahl al-sunah dari
ayahnya sendiri. Ayahnya adalah seorang yang alim, pengajar
ilmu-ilmu syari’ah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibunya juga menguasai
beberapa cabang ilmu syari’ah, yang diperolehnya dari Syaikh Yusuf Ibn Ismail Ibn Yusuf al-Nabhani, ayahnya sendiri.
Pertumbuhan Taqiyuddin al-Nabhani
dalam suasana religius yang kental, sangat mempengaruhi pembentukan kepribadian
dan pandangan keagamaannya. Ia telah hafal al-Qur’an seluruhnya (30 juz) dalam usia di bawah 13
tahun. Di samping itu, banyak mendapat pengaruh dari kakeknya, Yusuf
al-Nabhani. Dari kakeknyalah ia mulai mengetahui persoalan-persoalan politik
yang penting di mana kakeknya terlibat langsung dalam dunia politik, karena
mempunyai relasi yang erat dengan para petinggi Daulah Utsmaniyah saat itu.
Memasuki usia remaja, al-Nabhani
mulai aktif mengikuti diskusi-diskusi fikih dalam majelis yang diselenggarakan
oleh kakeknya. Kecerdasan al-Nabhani yang nampak saat mengikuti diskusi-diskusi
ilmiah telah menarik perhatian kakeknya, kemudian memberikan perhatian yang
serius. Akhirnya ayahnya mengirim Taqiyuddin al-Nabhani ke al-Azhar untuk
melanjutkan studinya dalam ilmu syari’ah.
Jenjang pendidikan Taqiyuddin
al-Nabhani antara lain di Sekolah Dasar (Nidhamiyah Negeri) dan kampungnya,
Ajzam. Tsanawiyahnya dilanjutkan di Akka dan sebelum selesai ia berangkat ke
Kairo, masuk ke al-Azhar al-Syarif pada tahun 1928. Pada tahun itu juga,
Taqiyuddin menyelesaikan pendidikannya dengan prestasi mengagumkan. Berikutnya,
ia meneruskan ke Fakultas Daar al¬Ulum, yang ketika itu masih menginduk ke
al-Azhar. Taqiyuddin lulus dari Fakultas Daar al-Ulum tahun 1932, dan pada saat
itu juga ia menyelesaikan studinya di al-Azhar versi lama.
Setelah studinya selesai,
Taqiyuddin pulang ke Palestina. Sejak tahun 1932-1938, ia bekerja di Departemen
Ilmu Pengetahuan Palestina sebagai tenaga pengajar ilmu-ilmu syari’ah di
Sekolah Tsanawiyah Nidhamiyah Haifa, di samping mengajar di Madrasah Islamiyah
di kota yang sama.
Pada tahun 1940 di Haifa,
Taqiyuddin al-Nabhani diangkat sebagai pembantu qadli (musyawir) hingga tahun 1945. Tahun 1948 ia diangkat sebagai qadli di
Mahkamah Ramlah, dan pada tahun itu juga, 1948, Taqiyuddin al-Nabhani
meninggalkan Ramlah menuju Syam, akibat jatuhnya negara Palestina ke tangan
Yahudi. Tidak lama kemudian (1948), atas tawaran sahabatnya, Anwar al-Khatib,
ia kembali ke Palestina dan menjabat qadli
di Mahkamah Syar’iyah al-Quds. Selanjutnya, pada tahun 1951-1953, Taqiyuddin
al-Nabhani mengajar di Fakultas Ilmu Keislaman, Amman Yordania.
Sejak muda, Taqiyuddin sudah
mengawali aktivitas politik, karena pengaruh kakeknya, Yusuf al-Nabhani.
Pengalaman itulah yang menghantarkannya mendirikan partai politik dengan asas
Islam, Partai Hizb al-Tahrir di Quds, tahun 1953 yang ia pimpin sampai akhir
hayatnya yaitu pada tanggal 20 Juni 1977 M.
Di Hizb al-Tahrir, Taqiyuddin
al-Nabhani membangun idealisasi dan obsesi agar sistem pemerintahan Islam
dihidupkan lagi, termasuk sistem ekonominya. Untuk tujuan ini, al-Nabhani
menawarkan ide-idenya ke tokoh-tokoh dan penguasa Islam saat itu. Bahkan,
beberapa kali upaya pengambilalihan kekuasaan di beberapa negeri Arab pernah
dilakukan, seperi di Yordania pada tahun 1969, di Mesir tahun 1973, dan di Iraq
tahun 1972, juga di Tunisia, Aljazair dan Sudan.
Aktivitas politik merupakan aspek
paling menonjol dalam kehidupan Taqiyuddin al-Nabhani dengan suatu obsesi besar
yang ingin menghidupkan kembali sistem-sistem Islam termasuk sistem ekonominya
yang merujuk pada praktek Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidun.
Taqiyuddin an-Nabhani adalah
seorang pemikir dari dunia Islam yang mempunyai gagasan tentang persoalan
ekonomi yang selama ini masih berkembang dan beliau menulis sebuah buku yang
menjadi salah satu rujukan penting dalam pembahsan sistem ekonomi Islam di dunia,
yaitu Nizam al iqtisad fi al Islam.
B.
Pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani Tentang Ekonomi
1. Dasar
Pemikiran Ekonomi Islam
Dalam pemikiran ekonomi
Taqiyuddin an-Nabhani kata “ekonomi” adalah semata-mata istilah untuk suatu
sebutan tertentu, yaitu kegiatan mengatur urusan harta kekayaan, baik yang
menyangkut kegiatan memperbanyak jumlah kekayaan serta menjaga penggunannya
yang kemudian dibahas dalam ilmu ekonomi, serta yang berhubungan dengan tata
cara (mekanisme) pendistribusiannya yang kemudian dibahas didalam sistem
ekonomi.207
Pembahasan tentang cara mengatur
materi kekayaan harus dibedakan dengan pembahasan tentang mengatur
pendistribusiannya. Karena cara mengatur materi kekayaan berkaitan dengan
faktor produksi, sedangkan pembahasan tentang mengatur pendistribusiannya
berkaitan dengan pemikirannya (konsep) tertentu. Oleh karena itu, pembahasan
tentang sistem ekonomi harus dibahas sebagai sebuah pemikiran yang mempunyai
dan terpengaruh oleh pandangan hidup (way
of life) tertentu. Sedangkan membahas ilmu ekonomi sebagai sebuah sains
murni tidak ada hubungannya dengan pandangan hidup (way of life) tertentu.
Dengan membaca hukum-hukum syara' yang menyangkut masalah ekonomi,
nampak bahwa Islam telah memecahkan masalah bagaimana agar manusia bisa
memanfaatkan kekayaan yang ada. Inilah yang sesungguhnya menurut pandangan
Islam dianggap sebagai masalah ekonomi bagi suatu masyarakat. Sehingga ketika
membahas ekonomi Islam hanya membahas masalah bagaimana cara memperoleh kekayaan,
masalah mengelola kekayaan yang dilakukan oleh manusia serta cara
mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah mereka. Atas
dasar inilah maka hukum yang menyangkut masalah ekonomi dibangun diatas tiga
kaidah, yaitu: kepemilikan, pengelolaan kepemilikan dan distribusi kekayaan di
tengah-tengah manusia.
2. Konsep Kepemilikan
Taqiyuddin an-Nabhani melihat
persoalan krusial dalam sistem ekonomi adalah konsep tentang kepemilikan.
Sebab, semua aktivitas pengaturan harta kekayaan baik itu mengenai pemanfaatan,
pembelajaran, pengembangan, pengalihan atau pendistribusiannya terkait erat
dengan konsep kepemilikan.
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani,
pemilik semua harta dengan segala macamnya adalah Allah SWT, sebab Dialah
pencipta, pengatur dan pemilik segala yang ada didalam semesta ini. kesimpulan
ini didasarkan beberapa ayat Al-Quran seperti :
Artinya: "…Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan
langit dan bumi dan apa-
apa yang ada diantara
keduanya...". (Q.S. Al-Ma’idah: 17).
a. Pengertian Kepemilikan
Taqiyyudin an-Nabhani,
mendefinisikan kepemilikan adalah hukum syara'
yang berlaku bagi zat benda atau kegunaan (utility)
tertentu yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan
barang tersebut, serta memperoleh kompensasi dari barang tersebut.
Berdasarkan diskripsi yang
dikemukakan diatas, hak milik merupakan izin as-Syari’ untuk memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu
kepemilikan tersebut tidak akan ditetapkan selain dengan ketetapan dari as-Syari’ terhadap zat tersebut, serta
sebab-sebab kepemilikannya.
b. Jenis-Jenis Kepemilikan
Taqiyuddin An Nabhanni membagi
konsep kepemilikan menjadi kepemilikan individu (Al-Milikiyyah Al-Fardiyyah), kepemilikan umum (Al-Milikiyyah Al-Ammah) dan kepemilikan negara (Al-Milikiyyah Al-Dawlah).
1. Kepemilikan Individu
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani,
kepemilikan individu (Al- Milkiyyah
Al-Fardiyah) adalah hukum syara' yang
berlaku bagi zat ataupun
kegunaan tertentu yang memungkinkan pemiliknya untuk memanfaatkan barang
tersebut, serta memperoleh kompensasinya baik karena diambil kegunaannya oleh
orang lain, seperti disewa ataupun karena dikonsumsi.
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani,
hukum syara' telah menetapkan
kepemilikan pribadi dengan beberapa sebab yang dapat dikategorikan sebagai
sebab-sebab kepemilikan individu, yaitu; bekerja, warisan, kebutuhan akan harta
untuk mempertahankan hidup, harta pemberian negara yang diberikan kepada
rakyatnya dan harta yang diperoleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta
atau tenaga apapun.
2. Kepemilikan Umum
Kepemilikan umum (Al-Milkiyah
Al-Ammah) adalah izin syari’at kepada suatu komunitas untuk bersama-sama
memanfaatkan benda atau barang. Sedangkan benda-benda yang termasuk kategori
kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh syara' sebagai benda-benda yang dimiliki
komunitas secara bersama-sama dan tidak dikuasai oleh hanya seorang saja.
Karena milik umum, maka sesetiap individu dapat memanfaatkannya, namun dilarang
memilikinya.
Dari pengertian diatas, maka benda-benda yang yang termasuk dalam
kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu;215 fasilitas umum, bahan tambang yang tidak terbatas
, serta benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya
oleh individu.
3. Kepemilikan Negara
Kepemilikan negara (Al-Milikiyat
Ad-Dawlah) adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim yang
pengelolaannya menjadi wewenang Khilafah seperti: harta Fai',
Kharaj,
Jizyah218 dan sebagainya. Sebagai pemilik
wewenang dia bisa saja mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim sesuai
dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya
kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
Meskipun harta milik umum dan milik negara pengelolanya dilakukan oleh
negara, keduanya berbeda. Harta milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan
negara kepada siapapun, meskipun negara dapat membolehkan orang-orang untuk
mengambil manfaatnya. Adapun terhadap milik negara khilafah berhak untuk
memberikan harta tersebut kepada individu tertentu sesuai dengan kebijakannya.
Terhadap minyak, emas, air,
tambang garam, padang rumput, lapangan dan lainnya tidak boleh sama sekali
negara memberikannya kepada orang tertentu.
Termasuk dalam kategori ini
adalah: padang pasir, gunung, pantai, tanah mati yang tidak dihidupkan secara
individual, bit'aih (tanah yang
tenggelam tertutup air), sawafi
(semua tanah ditempat futuhat yang
tidak bertuan atau milik penguasa negara sebelumnya) yang ditetapkan oleh
kepala negara atau khalifah menjadi milik Baitul
Mal dan sesetiap bangunan yang dibangun oleh negara dan dananya berasal
dari Baitul Mal, khususnya berkaitan
dengan struktur negara.
c. Sebab Kepemilikan
An Nabhanni membedakan antara
sebab-sebab kepemilikan dengan sebab-sebab pengembangan kepemilikan.
Sebab-sebab kepemilikan merupakan perolehan harta yang sebelumnya belum menjadi
miliknya. Sedangkan sebab-sebab pengembangan kepemilikan adalah memperbanyak
kuantitas harta yang sebelumnya sudah menjadi hak miliknya. Dimana status harta tersebut memang sudah ada, hanya kemudian dikembangkan
dan diperbanyak kuantitasnya.
Pemilikan atas harta tersebut
memiliki sebab-sebab syar’i yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT dengan suatu sebab tertentu yang tidak boleh
melampaui batasan-batasan tersebut sehingga sebab pemilikan harta itu telah
dibatasi dengan batasan yang telah dijelaskan oleh syara'.
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani,
dengan membaca hukum-hukum syara' yang
menentukan pemilikan seseorang atas harta tersebut, maka akan nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan
tersebut terbatas pada lima sebab yaitu: bekerja, warisan, kebutuhan akan harta
untuk menyambung hidup, harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat,
harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau
tenaga apapun.
d. Pemanfaatan dan Pengembangan
Kepemilikan
1.
Pemanfaatan kepemilikan
Menurut An Nabhani, pemanfaatan
kepemilikan digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu pemanfaatan yang dihalalkan
seperti untuk nafkah keluarga dan untuk beribadah kepada Allah. Juga
pemanfaatan yang diharamkan seperti memanfaatkan harta dalam aktifitas israf dan tabdzir, taraf (berfoya-foya), taqtir (kikir), menyuap dan untuk
tindakan kezaliman.
2. Pengembangan Kepemilikan
Pengembangan kepemilikan terkait
dengan suatu mekanisme atau cara yang akan digunakan untuk menghasilkan
pertambahan kepemilikan harta. Misalnya apakah dengan cara diinvestasikan dalam
sebuah perusahaan untuk modal perdagangan atau malah dilarikan untuk perjudian.
Pengembangan kepemilikan dalam
Islam pada dasarnya diberikan kebebasan untuk mengembangkannya selama tidak
terkait dengan larangan.224 Syari’ah Islam melarang pengembangan harta dalam hal; perjudian, riba, al-ghabn al-fahisy, tadlis atau penipuan, penimbunan dan pematokan harga.225
Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sitem Ekonomi Al-Ternatif Perspektif Islam, Terjemah Moh. Maghfur Wahi, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1999).47
Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem…, .53
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 161
Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: HI Press, 2010), 66
Rahmad S Labib, Privatisasi Dalam Pandangan Islam, Jakarta: Wadi Press, 2005, h.71
Fai’ adalah
harta yang dikuasai kaum muslimin dari orang kafir tanpa melalui peperangan,
pengerahan kuda dan pasukan, Abdul Qodim
Zallum, Sistem Keuangan Di Negara
Khilafah, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), 30-31, Al-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, vol.3,( Semarang : Toha
Putera, tt,).76-92
Kharaj adalah
hak kaum muslimin atas tanah yang diperoleh dari orang kafir, baik melalui
peperangan maupun perjanjian damai, Abdul Qodim Zallum, Sistem Keuangan Negara Khilafah, (Jakarta: HTI Press, 2009), 38
Jizyah adalah
hak yang diberikan Allah S.W.T kepada kaum muslimin dari orang-orang kafir
sebagai tunduknya mereka kepada Islam, Ibid,
.57
Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Ekonomi…..,.244
M. Ismail Yusanto dan M. Arif Yunus, Pengantar Ekonomi Islam, (Bogor:
Al-Azhar Press, 2009).146
Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Ekonomi ...,71
Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem…, 127