PEMIKIRAN EKONOMI ZAYD IBN ALI
1 A. Biografi singkat Zaid ibn Ali Nama lengkap secara silsilah Ahlu Bait ialah Imam Zayd ibn Ali Zainal Abidin...

https://rohman-utm.blogspot.com/2011/10/pemikiran-ekonomi-zayd-ibn-ali.html
1
A. Biografi singkat Zaid ibn Ali
Nama lengkap secara silsilah Ahlu Bait ialah
Imam Zayd ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain sebagai Imam kelima dari dua belah
Imam dalam tubuh Syi’ah. Jelasnya, Zayd Ibn Ali adalah putra dari Imam Syi’ah ke empat,
yaitu Ali Zainal Abidin dan cucu dari Husain Ibn Ali Imam Syi’ah kelima.[1].
Zayd ibn Ali lahir di Madinah pada
tahun 80 H/699 M sama dengan kelahiran Imam Ja’far dan Imam Abu Hanifah.
Pertama kali beliau belajar kepada orang tuanya sendiri yaitu Ali Zainal
Abidin. Setelah meninggal dunia tahun 94 H pada waktu itu usia Zayd berumur 14
tahun. Selanjutnya ia berguru kepada Imam Ja’far As-Shadiq yang saat itu diasuh
oleh Muhammad al-Bahir (bapak
Ja’far).
Kemudian Zayd hijrah
ke Basrah dan berguru dengan Washil Ibn Atha dengan mempelajari paham muktazilah.
Setelah kembali ke Madinah Imam Zayd mulai mengajar dan bekerja sebagai ulama
dan guru. Meskipun selalu diawasi oleh khalifah bani ummayah. Karena sikap
khalifah terlalu memojokkan gerak-geriknya, Zayd pergi ke Kufah sampai ia
mendapat 40.000 pengikutnya.
Pertempuran dengan
khalifah bani ummayahpun terjadi karena persoalan “dendam politik” terhadap
Ahlu Bait hingga Zayd terbunuh. Para ulama di Madinah mengakui keilmuan yang
dimiliku Imam Zayd dalam berbagai bidang ilmu, seperti ilmu al-Qur’an, ilmu tafsir,
tauhid, fiqih, filsafat, ekonomi, dan sebagainya. Bahkan Imam Abu Hanifah
pernah berguru kepadanya selama 2 tahun. Iman Zayd dijuluki sebagai simbol
ketaqwaan dan keluasan ilmu. Fakta itulah yang membuat Imam Abu Hanifah pernah
berguru kepadanya.
Zayd juga dikenal
sebagai ulama syi’ah yang tidak berlebiha-lebihan. Ia mengakui kedua khalifah
Abu Bakar dan Umar, bahkan Zayd membolehkan adanya Imam yang baik, sekalipun
ada yang lebih baik. meskipun sebagian dikalangan syi’ah sendiri, pikiran Zayd
tidak diterima. Bahkan, lebih keras lagi, Zayd mengharamkan nikah muth’ah, pada
syi’ah lain menganutnya.
B. Karya Zaid Ibn
Ali
Karya Zaid Ibn Ali yakni Al
Majmu’. Kitab ini merupakan kitab fiqih pertama diawal abad 2 H yang sampai
pada zaman kini dan menjadi rujukan utama madzhab Zaidiyah[2].
Buku ini kemudian disyarah32 oleh Syarifuddin al Husain Ibn Haimi al Yamani as San’ani dengan judul Ar Raud
an Nadir Syarh Majmu’ al Fiqh al Kabir.
Beberapa pokok pikiran
Zayd diantaranya:
1. Sanad hadist
yang diutamakan ialah yang berasal Ahli Bait.
2. Khalifah
bukanlah jabatan keturunan.
3. Melaksanakan amar ma’ruf
merupakan kewajiban atas setiap muslim karena itulah ia bertempur dengan
khalifah Zayd.
4. Pelaku
dosa besar diletakkan antara kufur dan iman, mereka dinamakan fasiq.
5. Manusia
merupaka ikhtiar dan bertindak sesuai dengan kemampuan.
6. Para
imam tidak mempunyai mukjizat.
Sementara dalam aspek fiqih misalnya thaharah,
ia dan makzabnya dikenal berlebihan atau (tasyaddud), meskipun tidak
berdampak negatif seperti berkumur-kumur harus dihirup oleh hidup, mengusap
seluruh kepala kedepan dan kebelakang, dan sebagainya.
C. Pemikiran
Zaid ibn Ali
Zaid Ibn Ali merupakan penggagas awal penjualan suatu
komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai. Zaid Ibn
Ali memperbolehkan penjualan suatu
komiditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai. Beliau
tidak memperbolehkan harga yang ditangguhkan pembayarannnya lebih tinggi dari
pembayaran tunai, sebagaimana halnya penambahan pembayaran dalam penundaan
pengembalian pinjaman. Setiap penambahan terhadap penundaan pembayaran adalah
riba.
Prinsipnya adalah jenis transakai barang atau
jasa yang halal kalau didasarkan atas suka sama suka diperbolehkan. Sebagaiman
firman Allah dalam surat An-Nisaa’( 4) ayat 29 :
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Saat itu sudah
mulai berkembang proses jual beli dimana pembelian barang dilakukan secara
kredit atau transaksi yang pembayarannya ditangguhkan. Dalam kasus ini harga
yang lebih tinggi ditentukan penjual (jika pembeli menangguhkan pembayaran
dengan menyicil) adalah sebagai kompensasi kepada penjual karena memberikan
kemudahan kepada pembeli dalam melakukan pembayaran. Bentuk transaksi seperti
ini sah dan dapat dibenarkan selama transaksi tersebut dilandasi oleh prinsip
saling ridha antara kedua belah pihak.
Dalam penjualan
kredit, perlu diperhatikan bahwa para pedagang mendapatkan untung darinya, dan
pendapatan seperti itu adalah bagian dari perniagaan, bukan riba. Masalah
tersebut berbeda dengan penangguhan pembayaran pinjaman karena faktanya melalui
peniagaan dan pertukarannya dari tangan ke tangan terhadap barang-barang.
Jadi Zaid ibn
Ali termasuk ulama yang mengizinkan penetapan harga yang lebih tinggi dalam
kasus penjualan secara kredit. Meskipun demikian, Zaid tidak memperkenankan adanya kelebihan harga
terhadap waktu yang telah ditentukan. Selain itu beliau berpendapat bahwa
seseorang boleh menjual secara kredit pada harga yang lebih rendah dari harga
belinya untuk menghabiskan persediaan dan mendapatkan cash karena diperkirakan harga pasar akan jatuh dimasa depan.
Seseorang boleh menjual dengan harga yang lebih rendah dari harga beli, baik
tunai atau kredit.
Kesimpulannya adalah bahwa dalam syariah, baik
buruknya setiap kontrak ditentukan oleh kontrak itu sendiri, tidak dihubungkan
dengan Kontrak lain. Kontrak jual beli yang pembayarannya
ditangguhkan adalah suatu kontrak tersendiri dan memiliki hak sendiri untuk
diperiksa apakah adil atau tidak, tanpa dihubungkan dengan kontrak lain.
Biasanya penjualan secara tunai menetapkan harga lebih rendah daripada harga
secara kredit. Ini sesuatu kontrak yang berbeda, bukan dua kontrak yang
berkumpul dalam satu transaksi.
Zaid IbnʻAlī
memiliki pandangan bahwa uang akan menghasilkan sesuatu melalui perniagaan.
Oleh sebab itu pandangannya terhadap transaksi jual beli secara kredit dengan
harga lebih tinggi adalah sah karena yang terpenting adalah terwujudnya saling
riḍā diantara kedua belah pihak[3]. Ia hanya menganggap bahwa keuntungan dari
penjualan secara beransur merupakan murni bagian dari perniagaan dan tidak
termasuk ribā dan merupakan jawaban dari permintaan pasar[4]. Abu Zahra[5] menyatakan bahwa keputusan Ẓaid Ibn ʻAli adalah sah. Karena ia memisahkan antara
harga dan jangka waktu, apabila masa yang diambil lebih panjang maka harga akan
lebih tinggi.[6]Hal ini menjadi dasar
penerapan konsep jual beli kredit dalam memenuhi keperluan bagi seluruh
masyarakat. Asas penetapan akad harus diambil dari ayat al-Qur‟ān dan al-Ḥadīth
sebagai asas utama. Tetapi pada aktivitas ekonomi merujuk kepada dasar keadilan
dan keseimbangan dalam memutuskan segala perkara.7
[2] Meskipun banyak ulama yang menyatakan bahwa
kitab Al Majmu bukan tulisan langsung Imam Zaid, tetapi tulisan
muridnya.
Yang
dimaksud disyarah adalah bahwa kitab tersebut diberi komentar dan penjelasan
lebih lanjut.
[3] Adiwarman
Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Cet. Ke-3 (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), 231-253; M. Nejatullah Siddiqi, Islamic Economic
Thought: Recent Works on History of Economic Thought in Islam, a Survey,
Reading in Islamic Thought (Malaysia: Longman, 199), 3
[4] ibid
[5] Muhammad Abu
Zahra, al-Imam Zaid, (Cairo, Dar
al Fikr al „arabi, 539 H)
[6] Adiwarman
Karim, Sejarah Pemikiran.............231-250