Pemikiran Ekonomi Islam Abdurrahman al-Awza’i
A, Biografi Singkat Abdurrahman Al Awza’i Nama lengkapnya adalah Abdurrahman Ibn Amr Ibn Yahya Al-Awza’i. Beliau dilahirkan pa...

https://rohman-utm.blogspot.com/2011/10/pemikiran-ekonomi-islam-abdurrahman-al.html
A, Biografi Singkat Abdurrahman Al Awza’i
Nama lengkapnya adalah Abdurrahman Ibn Amr Ibn Yahya Al-Awza’i. Beliau dilahirkan pada tahun
88 H atau 707 M. Beliau wafat pada tahun 157 H atau 774 M. Beliau dikenal
dengan nama nisbahnya, al-Awza’i, nisbah ke daerah al-Auza’, salah satu wilayah
di Damaskus.
Damaskus merupakan salah satu kota perdagangan
terbesar pada masa itu. Meskipun demikian, secara geografis Damaskus adalah
daerah pertanian sehingga pemikiran-pemikiran al Awza’i sedikit banyak
dipengaruhi lingkungan yang ada pada saat itu , yaitu masalah pertanian.
Pemikiran-pemikiran al Awza’i juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran Abu
Hanifah yang juga hidup pada masa itu.
Al Awza’i hidup
pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan mengalami masa kanak-kanak dalam
keadaan yatim. Namun sejak kecil, beliau senantiasa berusaha menunut ilmu
dengan giat. Sebagaimana ulama lainnya, beliau melakukan perjalanan menunut
ilmu ke berbagai daerah, diantaranya ke Yamamah dan Bashrah.
B. Karya
Abdurrahman Al Awza’i
Fatwa dan
pemikiran Al Awza’i belum pernah terkodifikasi (muddawan) dalam satu buku tersendiri. Pemikiran beliau tersebar di
banyak kitab seperti Ikhtilafi Al Fuqaha
karya Ibnu Jarir At Tabari dan Al Umm karya al-Syafi’I. Dalam Al Umm, al- Syafi’i mengulas secara
khusus satu bab tersendiriyang
bertajuk kitab Siyar al Awza’i yang berisi perdebatan antara ulama Hanafiah
dengan Imam Al Awza’i.
Kitab lain yang
memuat pendapat al Awza’i antara lain Muhadimmah
al-Jarh wat Takdil karya Abu Hatim.
Tarikh Damsyik karya ibn Assyakir
Ad-Dimasiqy dan al-Bidayah wan Nihayah
karya Abul Fida Muhammad ibn Katsir Ad-Dimasyqi.
C. Pemikiran Ekonomi Abdurrahman al-Awza’i
Al-Awza’i
merupakan salah satu pengagas orisinal dalam ilmu ekonomi syariah.
Gagasan-gagasanya antara lain; kebolehan dan kesahihan sistem muzara’ah sebagai
bagian dari bentuk mura`bahah dan membolehkan peminjaman modal, baik dalam
bentuk tunai atau sejenis.
Kata muzara’ah adalah kerjasama mengelola
tanah dengan mendapat sebagian hasilnya. al-Awza’i berpendapat bahwa muzara’ah
merupakan aqad pemilik tanah yang memberi hak mengelola tanah kepada seorang
petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya. Dalam hal ini al-Awza’i
menetapkan beberapa syarat dalam muzara’ah mengutip pendapat dari Abdullah Ibn Umar bahwa penduduk Khaibar yang menggarap
tanah Nafi’ mendapat bagian seperdua atau setengah dari hasil kurma atau
tanaman lainnya[1].
Berkaitan
dengan modal yang dikeluarkan dalam syirkah muzara’ah, diperbolehkan
modal dalam mengelola tanah ditanggung oleh si pemilik tanah, atau oleh petani
yang mengelolanya, atau ditanggung kedua belah pihak. Umar pernah mempekerjakan
orang-orang untuk menggarap tanah dengan ketentuan; jika Umar yang memiliki benih,
maka ia mendapat separuh dari hasilnya dan jika mereka yang menanggung benihnya
maka mereka mendapatkan begitu juga. Lebih lanjut, tidak mengapa jika tanah
yang digarap adalah milik salah seorang di antara mereka, lalu mereka berdua
menanggung bersama modal yang diperlukan, kemudian hasilnya dibagi dua. Ini
juga menjadi pendapat az-Zuhri.” 36
Dalam muzara’ah, tidak boleh mensyaratkan
sebidang tanah tertentu ini untuk si pemilik tanah dan sebidang tanah lainnya
untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak boleh mengatakan, “Bagianku
sekian wasaq.” Ketentuan yang lain tentang muzara’ah seperti dalam
hadis berikut ini. Imam Bukhari menulis, Qais Ibn Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia
berkata, “Seluruh Ahli Bait yang hijrah ke Madinah adalah petani dengan cara
bagi hasil sepertiga dan seperempat. Di antaranya lagi yang telah
melaksanakan muzara’ah
Sebagai penjelasan atas pendapat di atas,
terdapat informasi dari Hanzhalah Ibn Qais dari Rafi’ Ibn Khadij, ia bercerita,
“Telah mengabarkan kepadaku dua orang pamanku,
bahwa mereka pernah menyewakan tanah pada masa Nabi saw dengan (sewa) hasil
yang tumbuh di parit-parit, dengan sesuatu (sebidang tanah) yang dikecualikan
oleh si pemilik tanah. Maka Nabi saw melarang hal itu.” Kemudian saya
(Hanzhalah Ibn Qais) bertanya kepada
Rafi’, “Bagaimana sewa dengan Dinar dan Dirham?” Maka jawab Rafi’, “Tidak
mengapa sewa dengan Dinar dan Dirham.” Al-Laits berkata, “Yang dilarang dari
hal tersebut adalah kalau orang-orang yang mempunyai pengetahuan perihal halal
dan haram memperhatikan hal termaksud, niscaya mereka tidak membolehkannya
karena di dalamnya terkandung bahaya.”[2]
Dari Hanzhalah juga, ia berkata,
“Saya pernah
bertanya kepada Rafi’ Ibn Khadij perihal
menyewakan tanah dengan emas dan perak. Jawab Rafi’, ‘Tidak mengapa.
Sesungguhnya pada periode Rasulullah orang-orang hanya menyewakan tanah dengan
(sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang (gailengan), tepi-tepi parit, dan
beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat
sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan
melainkan ini, oleh sebab itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan
sesuatu yang pasti dan dapat dijamin, maka tidak dilarang.” 38
[1]
Sesuai dengan berbagai riwayat hadis, antara
lain; Dari Nafi’ dari Abdullah Ibn Umar
ra, bahwa ia pernah mengabarkan kepada Nafi’ ra pernah memperkejakan penduduk
Khaibar dengan syarat bagi dua hasil kurmanya atau tanaman lainnya. (Muttafaqun
‘alaih: Fathul Bari VI: 13 no: 2329, Muslim XCIII: 1186 no: 1551, ‘Aunul Ma’bud
IX: 272 no: 3391, Ibnu Majah II: 824 no: 2467, Tirmidzi II: 421 no: 1401).
[2] Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 299,
Fathul Bari V: 25 no: 2347 dan 46, Nasa’i VII: 43 tanpa perkataan al-Laits.