PENGANTAR SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
A. Pengertian Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Sebelum megetahui sejarah pemikiran ekonomi Islam, ada baiknya memahami definisi eko...

https://rohman-utm.blogspot.com/2011/10/pengantar-sejarah-pemikiran-ekonomi_2.html
A. Pengertian Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam
Sebelum
megetahui sejarah pemikiran ekonomi Islam, ada baiknya memahami definisi ekonomi
Islam. Berikut pengertian ekonomi Islam menurut sejumlah ekonom
muslim antara lain:
Monzer
Kahf menjelaskan bahwa ekonomi adalah subset
dari agama. Sehingga ekonomi Islam difahami sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari paradigma Islam yang sumbernya merujuk pada al-Quran dan Sunnah.[1] Ekonomi Islam
adalah bagian dari ilmu ekonomi yang bersifat interdisipliner. Kajian ekonomi
Islam tidak dapat berdiri sendiri, tetapi perlu penguasaan yang mendalam
terhadap ilmu-ilmu syariah dan ilmu pendukungnya
serta ilmu-ilmu yang berfungsi sebagai tool
of analysis seperti matematika, statistik, logika, ushul fiqh. [2]
Sedangkan
Hasanuzzaman[3] menjelaskan bahwa
ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari ajaran dan aturan
syari’ah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber-sumber daya
material sehingga tercipta kepuasan manusia dan memungkinkan mereka menjalankan
perintah Allah dan masyarakat.
Sementara
M. Nejatullah Siddiqi[4]mendefisinisikan
ilmu ekonomi Islam sebagai jawaban dari pemikir muslim terhadap
tantangan-tantangan ekonomi pada zamannya, dengan panduan al-Qur’an dan al-Sunnah, akal dan
pengalaman.
Muhammad
Abdul Manan[5] berpendapat bahwa
ilmu ekonomi Islam dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan sosial yang
mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami nilai-nilai Islam.
Ia mengatakan bahwa ekonomi Islam merupakan bagian dari suatu tata kehidupan
lengkap, berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu: al-Quran, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas. berdasarkan suatu
cara atau metode tertentu. Sedangkan pilihan ketiga adalah ekonomi Islam dalam pengertian perekonomian umat
Islam.
M.M.
Metwally[6] mendefinisikan
ekonomi Islam sebagai ilmu yang mempelajari perilaku muslim dalam suatu
masyarakat Islam yang mengikuti Al-Quran, As-Sunnah, Qiyas dan Ijma. Metwally
memberikan
alasan bahwa dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat dikendalikan
ke arah bagaimana memenuhi kebutuhan dan menggunakan sumber daya yang ada.
Dalam Islam disebutkan bahwa sumber daya yang tersedia adalah berkecukupan, dan
oleh karena itu, dengan kecakapannya, manusia dituntut untuk memakmurkan dunia
yang sekaligus sebagai ibadah kepada Tuhannya.
Jadi
ekonomi Islam adalah bagian dari aktifitas manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan memanfaatkan berbagai sumber daya
yang ada dengan berpedoman pada syariat yang bersumber dari al Qur’an dan
Sunnah.
Karena
bersumber dari al Qur’an dan Sunnah, maka ekonomi Islam memiliki ciri yang khas
yang berbeda dengan ekonomi konvensional yang bersumber dari akal pikiran
manusia belaka. Hanya saja aplikasi ekonomi Islam akan
bervariasi tergantung pada penafsiran dan pemikiran yang terilhami dari
pemahamannya terhadap al Qur’an dan Sunnah.[7]
Oleh karena itu, ekonomi Islam akan terus mengalami perubahan
paradigma dan aplikasinya.
Pemikiran
ekonomi Islam terus mengalami perubahan seiring dengan tuntutan dan persoalan yang
dihadapi. Sekalipun demikian, para pemikir dan pelaku ekonomi Islam tetap
menyandarkan aktifitas mereka pada syariah yang bersumber pada al Qur’an dan
Sunnah.
Sebuah
bentuk pemikiran ekonomi dapat ditelusuri dari akar munculnya pemikiran
tersebut dan dianalisa dari kerangka pembentukannya. Oleh karena itu, untuk memahami persoalan pemikiran ekonomi
Islam hingga dalam bentuknya yang variatif saat ini, maka dapat ditelusuri dari
akar pemunculannya dan ditelaah dari sudut pandang kerangka pembentukannya.
Untuk mampu memahami pemikiran ekonomi Islam dengan
segala bentuknya, maka tidak dapat dilepaskan dari tokoh-tokoh yang
memunculkannya. Dengan demikian, akan lebih komprehensif dan dipahami latar
belakang politik, sosial, dan budaya dari kemunculan pemikiran tersebut. Jadi
sejarah pemikiran ekonomi Islam mempelajari tentang ekonomi Islam yang
dikaitkan dengan pemikiran para tokoh mulai dari masa Rasulullah SAW hingga
saat ini dengan segala latar belakang sosial, politik dan budayanya.
Pembahasan
sejarah pemikiran ekonomi Islam merupakan salah satu topik yang mesti dipahami
oleh para penggiat ekonomi Islam diantara topik-topik pembahasan yang lain.
Selanjutnya mari kita pahami ruang lingkup pembahasan sejarah pemikiran ekonomi
Islam dan perkembangan umum pemikiran ekonomi Islam dari masa ke masa.
B. Pentingnya Memahami Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam
Setidaknya
lebih dari satu abad sistem ekonomi modern (konvensional) telah berkiprah
melayani kepentingan manusia dalam memenuhi kebutuhan dan kepuasaan mereka.
Sehingga wajar, jika terdapat perdebatan panjang di kalangan ahli ekonomi dalam
hal apakah ilmu ekonomi merupakan ilmu yang sarat dengan muatan nilai dan etika
ataukah sebaliknya, bebas dari unsur-unsur tersebut (wertfrei, value free).[8]
Sebab masuknya unsur etika dalam kawasan ilmu ekonomi menimbulkan problem
epistemologis yang cukup serius, sebagaimana tercermin dalam pertanyaan di
atas. Akan tetapi, jika diskusi mengambil obyek pada ekonomi Islam, maka
mau-tidak mau unsur etika dan nilai menjadi bagian penting yang tidak
terpisahkan dari ekonomi Islam itu sendiri.[9]Hal
ini karena dalam melihat ilmu ekonomi sebagai suatu obyek kajian ilmiah maupun
ekonomi sebagai aktifitas dari manusia, Islam menawarkan suatu pandangan yang
komprehensif, dalam arti bahwa segala aktivitas ekonomi dalam agama Islam
ditujukan dalam rangka pemenuhan tuntutan ekonomis dan ruhaniyah secara serentak.[10]
Dalam kenyataannya Islam
lebih integral dari sekedar agama. Islam sekaligus agama dan dunia, ibadah
dan mu’amalah, peradaban dan kebudayaan
serta agama dan negara. Dengan demikian Islam sebagai revealed Religion
(agama samawi) telah menunjukkan cakupannya yang universal dengan mengatur pola
hidup, baik dalam bentuk interaksi horisontal antara sesama manusia maupun
interaksi vertikal transendental. Karena itu pula hukum Islam diciptakan dalam
rangka mempersiapkan standar yang kongkret dan bukan sekedar ditujukan untuk
menekankan pada aturan formil yang seringkali dipermainkan oleh sejumlah
kepentingan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, sebagaiamana terjadi
dalam hukum sekuler (hukum buatan manusia).[11]
Hukum Islam sarat dengan pertimbangan moral dan nilai agama sehingga bersifat
relijius. Dalam aplikasinya pada sistem ekonomi Islam, ciri khas inilah yang
membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem-sistem yang lain.[12]
Akan tetapi harus diakui bahwa term
ekonomi Islam merupakan “barang baru” dalam disiplin ilmu ekonomi itu sendiri.
Pada masa-masa awal Islam, ekonomi tidak berdiri sendiri sebagai suatu ilmu,
melainkan integral dangan ajaran-ajaran hidup secara luas dalam formulasi syari’ah.
Perkembangannya secara signifikan baru nampak beberapa dasa warsa yang lampau.
Meskipun demikian, akar sejarah yang kuat sangat menunjang bagi upaya
pembentukan the body of science ekonomi Islam. Seiring dengan itu
istilah tersebut masih multi interpretable, sama banyaknya dengan orang
yang memberikan definisi. Keragaman definisi tentang ekonomi Islam dipengaruhi
oleh banyak faktor. Hal yang paling berpengaruh barangkali adalah basic
akademik para pemikir Islam yang mempunyai concern terhadap bidang tersebut dan
pada akhirnya memberikan karakter yang bagi konsep-konsep yang mereka ajukan.
Hal lain yang juga turut memberikan warna bagai keragaman konsep tersebut
adalah sikap para pemikir tersebut terhadap ekonomi konvensional beserta dengan
alat-alat analisnya. Pada satu pihak banyak pemikir ekonomi Islam kontemporer
yang berusaha menjelaskan fenomena-fenomena ekonomik dalam masyarakat dengan
meminjam asumsi-asumsi yang dipakai dalam ekonomi konvesional. Hal ini selain
karena mereka memiliki latar belakang pendidikan ekonomi, juga karena didorong
oleh kesadaran atas realitas bahwa penjelasan-penjelasan yang bersifat
filosofis, normatif, etis atau istilah apapun yang semakna sekarang ini sudah
tidak dapat diterima oleh banyak kalangan ahli ekonomi. Misalnya pendapat yang
mengatakan bahwa suatu mustahilan untuk mengembangkan ilmu ekonomi Islam tanpa
melakukan suatu upaya rekonstruksi atas landasan-landasan mikro teori ekonomi
(konvensional) dan memasukkannya ke dalam ekonomi Islam. Sementara itu terdapat
pihak lain yang serta-merta menolak semua yang berbau Barat, termasuk di
dalamnya ilmu ekonomi konvensional. Meskipun demikian mereka tidak apriori
menolak, melainkan mencoba menawarkan suatu bangunan konsep baru yang
“dipaksakan” harus Islam. Istilah-istilah yang dipergunakanpun harus berbahasa
Arab. Sebagai contohnya adalah konsep Iqtishad sebagai kerangka dasar
pemikiran mereka, dikemukakan oleh mazhab Baqir Shadr untuk mengganti dari
istilah ekonomi Islam.
Baik sikap pertama maupun kedua
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Karena itulah kemudian muncul
sikap oto kritik dari sebagian kalangan ekonom Islam dengan berusaha melakukan
koreksi terhadap kedua konsep sebelumnya yang nampak berseberangan. Kritik yang
mereka kemukakan adalah bahwa konsep pertama sebenarnya tidak lain dari wajah
baru dari pandangan Neo Klasik dengan menambahkan atribut keislaman, seperti
penerapan institusi zakat dan penghapusan riba. Sedangkan konsep kedua
sebenarnya merupakan upaya untuk menggali paradigma ekonomi Islam yang baru
dengan meninggalkan sama sekali paradigma ekonomi konvensional.[13]
Namun demikian upaya demikian seringkali menemui kegagalan. Karena biasanya
konsep yang ditawarkan tidak bersifat menyeluruh, tetapi merupakan jawaban
kasus per kasus, tema demi tema. Sedangkan untuk membangun teori ekonomi Islam
yang sama sekali baru tanpa meminjam alat-alat analisis ekonomi konvensional
adalah hal yang teramat sulit dilakukan (untuk tidak mengatakan mustahil).
Hal lain yang penting untuk segera disadari adalah,
baik kajian ilmu ekonomi Islam dengan pendekatan sejarah (historical
approach)[14]
maupun pendekatan positivisme-induktivisme atau yang lazim disebut
dengan pendekatan empirical-basic tidak dapat dipilah-pilah. Keduanya
harus sejalan dan digunakan secara padu agar kajian yang dilakukan tidak
kehilangan cirikhas sebagai ilmu ekonomi sekaligus menampakkan identitas
keislamannya. Pentingnya pendekatan sejarah, sebagaimana dikemukakan Monzer
Khaf, bertolak dari kenyataan bahwa sejarah merupakan laboratorium bagi manusia
sebagai pelaku ekonomi. Sementara itu, ekonomi sebagai salah satu cabang ilmu
sosial perlu kembali kepada sejarah agar dapat melaksanakan
eksperimen-eksperimennya dan menurunkan bebagai kecenderungan jangka panjang
dalam dinamika ekonomiknya.[15]
Selain itu kajian sejarah dalam ilmu ekonomi Islam di satu sisi dapat membantu
menemukan berbagai informasi dan pemahaman yang benar mengenai perjalanan
sejarah pemikiran ekonomi Islam klasik, di sisi lain dapat membantu
merefleksikan hasil kajian sejarah tersebut sekaligus merumuskan konsep ekonomi
Islam dalam “wadah” yang baru.
Sedangkan urgensi
pendekatan empiris terhadap kajian ekonomi Islam lebih disebabkan karena banyak
dari cabang ilmu-ilmu sosial, termasuk di dalamnya ilmu ekonomi yang mengadopsi
pola pikir atau penalaran ilmiah yang lazim dipergunakan dalam cabang ilmu-ilmu
eksakta. Barangkali dengan mengadopsi penalaran ilmu-ilmu eksakta tersebut
diharapkan dapat menjelaskan dan memprediksi secara efektif dan produktif serta
efisien terhadap fenomena-fenomena ekonomik, berdasarkan nilai-nilai Islam.[16]
Tentu yang demikian tidak
mudah dan perlu perhatian yang sangat serius. Sebab untuk mendapatkan hasil
yang maksimal, seorang peneliti ekonomi Islam sekaligus harus membagi
perhatiannya untuk menggali timbunan sejarah klasik ekonomi Islam dengan
pendekatan keislamannya dan merambah wilayah ilmu ekonomi konvensional dengan
metodologinya. Tantangan yang demikian besar bukan berarti menjadi alasan untuk
tidak melakukan upaya sama sekali. Pembahasan satu per satu instrumen ekonomi
Islam dengan menggunakan perpaduan kedua pendekatan di atas merupakan upaya
menuju pembentukan bangunan teori ekonomi Islam secara utuh.
Mempelajari dan memahami sejarah peradaban
dan pemikiran ekonomi Islam, pada hakikatnya adalah memahami
sejarah perjalanan panjang Islam yang titik puncaknya adalah sejarah hidup
Rasulullah SAW.
Sebagai sebuah ilmu pengetahuan
modern, ilmu ekonomi Islam baru muncul pada tahun 1970-an, tetapi pemikiran dan
praktik Ekonomi Islam telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, bahkan sejak
Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sekitar akhir
abad 6 M hingga awal abad 7 M. Dikatakan
dalam sejarah bahwa setelah masa tersebut, para ulama banyak memberikan
kontribusi karya pemikirannya tentang ekonomi. Banyak karya mereka yang futuristik serta
baru dikaji oleh pemikir-pemikir Barat ratusan tahun kemudian.
Pemikiran ekonomi di kalangan pemikir
Muslim banyak mengisi khazanah pemikiran ekonomi dunia ketika “Barat”
masih dalam kegelapan (dark age) sementara dunia Islam pada
masa itu justru mengalami puncak kejayaan di berbagai bidang. Namun
Perkembangan pemikiran ekonomi Islam pada saat itu terkesan kurang dikenal dan
kurang “menyentuh” dalam kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan
karena kajian – kajian pemikiran ekonomi Islam kurang tereksploitasi di
tengah dominasi ilmu ekonomi Konvensional yang lebih mapan digunakan baik di
negara maju maupun berkembang. Akibatnya, perkembangan ekonomi Islam yg telah
ada sejak th 600 M, kurang dikenal oleh masyarakat. Inilah yg menjadikan
pemikiran-pemikiran Ekonomi Islam kurang mendapat perhatian, sebab mereka tidak
mendapatkan informasi yang memadai.
Perkembangan Ekonomi Islam tidak
dapat dipisahkan dari perkembangan sejarah peradaban Islam itu sendiri.
Walaupun sejumlah literatur tidak secara implicit menyebutkan
keberadaan pemikiran Ekonomi Islam, bukan berarti perkembangan Ekonomi Islam
tidak ada, karena dinamika dan geliat masyarakat Islam tatkala itu terus
berjalan.
C. Asal Usul Pemikiran Ekonomi Islam
Ekonomi Islam sebenarnya bukan merupakan wacana
baru dalam dunia ilmiah modern saat ini. Ia merupakann suatu realitas yang
terus menghadirkan kesempurnaan dirinya ditengah beragamnya sistem sosial dan
konvensional yang berbasis pada faham materilisme sekuler. Ia juga merupakan
realitas ilmiah yan senantiasa menampakkan jati dirinya diantara konstelasi
ilmu-ilmu sosial yang juga berbasis pada sekulerisme bahkan atheisme. Kehadiranya bukan saja menjadi jawaban dari
ketidakadilan sistem sosial-ekonomi kontemporer, melainkan juga sebagai
kristalisasi usaha intelektual yang telah berlangsung sangat panjang dalam
sejarah kaum muslimin.
Berkembang
dan Kemunculan Ilmu Ekonomi
Islam di panggung internasional dimulai pada tahun 1970-an
yang ditandai dengan kehadiran para pakar ekonomi Islam kontemporer, seperti
Muhammad Abdul Mannan
dari Banglades, M. Nejatullah Shiddiqy asal India, Kursyid Ahmad[17] dari pakistan, Haidar
syed An-Naqfi, M. Umer
Chapra, dan
lain lain. Sejalan dengan itu berdiri Islamic
Development Bank (IDB) tahun 1975 dan selanjutnya diikuti pendirian
lembaga-lembaga keuangan Islam lainnya di berbagai negara. Tahun 1976 para
pakar ekonomi Islam dunia berkumpul untuk pertama kalinya dalam sejarah
pada Conference On Islamic Economics and Finance, di Jeddah.
Kemunculan ekonomi Islam di Era kekinian telah membuahkan hasil dengan banyak
diwacanakan kembali Ekonomi Islam dalam teori, dan dipraktikkannya Ekonomi
Islam di ranah bisnis modern seperti halnya lembaga keuangan syariah bank dan
non-bank.
Ekonomi Islam yang
telah hadir kembali saat ini, bukanlah suatu hal yang tiba-tiba datang begitu
saja. Ekonomi Islam sebagai sebuah cetusan konsep pemikiran dan praktik
tentunya telah hadir secara bertahap dalam periode dan fase tertentu. Namun
bagaimana kita menemukan kembali jejak-jejak kebenaran akan sejarah, fase dan periodisasi
munculnya konsep ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang mampu
diaplikasikan sebagai pedoman tindakan yang berujung pada rambu-rambu
berprinsip syariat Islam. Sedangkan dalam literatur Islam sangat jarang
ditemukan tulisan tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam atau sejarah ekonomi
Islam. Buku-buku sejarah Islam atau sejarah peradaban Islam sekalipun,
tidak menyentuh sejarah pemikiran ekonomi Islam klasik. Buku–buku sejarah Islam
lebih dominan bermuatan sejarah politik, sehingga penting untuk membongkar
sejarah Islam ini dalam aspek perekonomian.
Perkembangan Islam pada
masa awal ternyata bukan hanya perkembangan politik militer, perkembangan
ekonomi memiliki peranan yang signifikan dalam menopang peradaban Islam itu
sendiri. Lingkup bahasan kelangkaan tentang kajian sejarah pemikiran ekonomi
dalam Islam sangat tidak menguntungkan. Karena sepanjang sejarah Islam, para
pemikir dan pemimpin muslim sudah mengembangkan berbagai gagasan ekonominya
sedemikian rupa sehingga mengharuskan kita menganggap mereka sebagai para
pencetus ekonomi Islam.
Ilmu ekonomi Islam
berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu interdisiplinyang
menjadi bahan kajian para fuqoha, mufassir, filsuf, sosiolog, dan politikus. Sejarah
mencatat bahwa sejumlah cendekiawan muslim terkemuka, seperti: –Abu
Yusuf (w.182 H), –al-Syaibani (w. 189 H), –Abu Ubaid (w. 224 H),
–Yahya Ibn Umar (w. 289 H), –al-Mawardi(w. 450 H), –al-Ghazali (w.
505 H), –Ibnu Taimiyah (w. 728 H), –al-Syatibi (w. 790 H), –Ibnu
Khaldun (W. 808 H), dan –al-Maqrizi (w. 845 H), telah memberikan
kontribusi yang besar terhadap kelangsungan dan perkembangan peradaban dunia,
khususnya pemikiran ekonomi.
Latar belakang para
cendekiawan muslim tersebut bukan merupakan ekonom murni. karena pada masa itu,
klasifikasi disiplin ilmu pengetahuan belum dilakukan dan mereka mempunyai
keahlian dalam berbagai bidang ilmu. Mungkin faktor ini yang menyebabkan mereka
melakukan pendekatan interdisipliner antara ilmu ekonomi dan bidang ilmu yang
mereka tekuni sebelumnya. Pendekatan ini membuat mereka tidak memfokuskan
perhatian hanya pada variabel-variabel ekonomi semata. Mereka menganggap
kesejahteraan umat manusia merupakan hasil akhir dari interaksi panjang dari
sejumlah faktor ekonomi dan faktor-faktor lain seperti moral sosio demografi,
dan politik.
Konsep ekonomi mereka
berakar pada hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits Nabi. Konsep ekonomi mereka
merupakan hasil interpretasi dari berbagai ajaran Islam yang bersifat abadi dan
universal.
D. Urgensi Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam
Memaparkan hasil
pemikiran ekonomi para cendekiawan Muslim terkemuka akan memberikan kontribusi
positif bagi umat Islam, setidaknya dalam dua
hal : pertama Untuk membantu menemukan berbagai
sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer; kedua memberikan kemungkinan
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran
ekonomi Islam.
Sehingga dengan demikian, urgensi studi pemikiran ekonomi Islam
adalah :
· Mengenal akar sejarah pemikiran ekonomi islami dari sumber-sumber yang
orisinil (al-Qur’an dan as-Sunnah);
· Mengenal pemikiran
ekonomi dari para ulama dan cendikiawan muslim masa lalu serta penerapannya;
· Menjadikan dasar
pijakan bagi pengembangan sistem dan praktek bisnis dan ekonomi bagi kaum
muslimin;
· Mengenal keunggulan
sistem ekonomi Islam sehingga menimbulkan kebanggaan selaku seorang muslim;
· Memperkenalkan dan
menyebarkan ajaran dan pemikiran islami di bidang ekonomi.
E. Ruang Lingkup Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam
Mengutip
pendapat Muhammad Nejatullah Siddiqi, literatur ekonomi Islam dapat dengan
sederhana dibagi menjadi lima kelompok[18]:
1.
Filsafat ekonomi Islam
2.
Sistem
ekonomi Islam yang mencakup studi komparatif antara Islam dan isme-isme yang
lain
3.
Kritik Islam terhadap sistem
ekonomi kontemporer
4.
Analisis ekonomi menurut
kerangka Islam
5.
Sejarah pemikiran ekonomi
Islam
Sementara itu pembahasan pemikiran ekonomi Islam lebih
kepada refleksi para tokoh ekonomi Islam dalam memaknai konsep hingga penerapan
ekonomi Islam yang sesuai dengan al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah SAW. Oleh karena itu, pemikiran ekonomi Islam sangat bervariatif,
tergantung dari sudut pandang mana seorang tokoh melihat ekonomi Islam.
Karena sebuah pemikiran sangat dipengaruhi oleh keadaan
sosial, budaya, serta politik yang berkembang di jamannya maupun di lingkungan
tempat tokoh tersebut hidup, maka karakteristik pemikiran ekonomi Islam dari
masa ke masa juga terdapat perbedaan. Fokus yang dibahas juga berbeda. Problem
utama yang dihadapi juga berbeda. Namun demikian semuanya bermuara pada
persoalan pemecahan problem ekonomi yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Perbedaan karakteristik serta fokus pemikiran ekonomi
Islam dari masa ke masa yang berbeda tersebut menarik untuk ditelaah satu
persatu dengan
memperhatikan aspek isu utama, aspek sosial budaya serta aspek politik.
Karena sebuah pemikiran sangat dipengaruhi oleh
keadaan sosial, budaya, serta politik yang berkembang di jamannya maupun di
lingkungan tempat tokoh tersebut hidup, maka karakteristik pemikiran ekonomi
Islam dari masa ke masa juga terdapat perbedaan. Fokus yang dibahas juga
berbeda. Problem utama yang dihadapi juga berbeda. Namun demikian semuanya
bermuara pada persoalan pemecahan problem ekonomi yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Perbedaan karakteristik serta fokus pemikiran ekonomi
Islam dari masa ke masa yang berbeda tersebut menarik untuk ditelaah satu
persatu dengan
memperhatikan aspek isu utama, aspek sosial budaya serta aspek politik.
F. Perbedaan sejarah pemikiran
ekonomi Islam dengan keilmuan ekonomi Islam yang lain
Sekalipun dalam satu kesatuan rumpun ekonomi Islam,
namun sejarah pemikiran ekonomi Islam berbeda pembahasannya dengan rumpun
keilmuan ekonomi Islam yang lain seperti filsafat ekonomi Islam, sistem ekonomi
Islam dan metodologi keilmuan ekonomi Islam.
Filsafat ekonomi Islam lebih banyak mengupas tentang
ontologi, epistimologi dan aksiologi ekonomi Islam. Apa itu ekonomi Islam,
bagaimana terbentuk keilmuan ekonomi Islam dan bagaimana pelaksanaannya.
Sedangkan sistem ekonomi berhubungan dengan pengurusan
soal pemenuhan kebutuhan dasar tiap individu di dalam masyarakat serta upaya
mewujudkan kemakmurannya. Hanya saja terdapat perbedaan metode untuk mewujudkan
kemakmuran tersebut. Ada yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi, ada yang
menekankan pada pemerataan dan ada yang menekankan pada pemenuhan faktor
produksi. Pembahasan sistem ekonomi tidak bebas nilai, sehingga terikat dengan
ideologi atau mabda’ tertentu.
Sistem ekonomi Islam lebih fokus pada pembahasan
upaya-upaya memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak dengan
mekanisme-mekanisme tertentu, seperti mekanisme kepemilikan, pengelolaan
kepemilikan serta mekanisme distribusi kekayaan di masyarakat.
Sedangkan ilmu ekonomi Islam sebenarnya hampir sama
dengan ilmu ekonomi, yaitu berhubungan dengan bagaimana suatu barang atau jasa
diproduksi, misalnya teknik industri, manajemen atau pengembangan sumberdaya
baru. Islam tidak mengatur secara khusus tentang ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi
ditempatkan sebagai pembahasan sains murni, sehingga tidak berhubungan dengan
pandangan hidup ( way of life )
tertentu. Dalam hal ini Nabi SAW pernah bersabda: Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian, artinya
masalah-masalah sarana dan teknologi. Jadi persoalan ilmu ekonomi cenderung
bebas nilai. Artinya tidak terikat dengan ideologi atau mabda’ tertentu. Ini jika ilmu ekonomi dipahami sebagai sains dan
teknologi, yaitu upaya teknis untuk memperbanyak barang dan jasa. Namun jika
ilmu ekonomi dipahami secara luas, yaitu mencakup metodologi, prinsip dan
sistem, maka ilmu ekonomi Islam tetap memiliki ciri yang khas yang bersumber
dari al Qur’an dan Sunnah.[19]
Sejarah pemikiran ekonomi Islam lebih fokus pada
perkembangan pemikiran ekonomi Islam sejak pertama kali dibangun pada masa
Rasulullah hingga keberadaannya saat ini yang melibatkan pikiran para
tokoh-tokoh di zamannya dengan segala latar belakang sosial, politik, budaya
dan latar belakang keilmuannya.
G. Keterkaitan sejarah pemikiran
ekonomi Islam dengan keilmuan ekonomi Islam yang lain
Keilmuan ekonomi Islam yang lain seperti sistem
ekonomi Islam dan filsafat ekonomi Islam terkait erat dengan pembahasan pada
sejarah pemikiran ekonomi Islam. Bentuk keterkaitan itu setidaknya dapat
dijabarkan sebagai berikut.
Sejarah pemikiran ekonomi Islam mempelajari tentang
ide dan aplikasi ekonomi Islam dari satu masa ke masa berikutnya. Berarti dibutuhkan
ide yang telah dilahirkan dan aplikasinya. Disini merupakan lahan keilmuan
ekonomi Islam. Oleh karena itu sejarah pemikiran ekonomi Islam terikat erat
dengan rumpun keilmuan ekonomi Islam.
Lebih jauh, ilmu ekonomi Islam memiliki akar teologi,
sekalipun bukan kajian yang mendalam tentang teologi. Dan hal ini merupakan
wilayah kajian filsafat ekonomi Islam. Oleh karena itu, baik sejarah pemikiran
ekonomi Islam, ilmu ekonomi Islam dan filsafat ekonomi Islam saling terkait.
Ilmu ekonomi Islam memiliki hubungan yang erat dengan fiqh dan perundang-undangan Islam (syari’ah dan tasyri’) terutama subyek yang berkaitan dengan hubungan antara
manusia (muamalah). Dan ini wilayah
sistem ekonomi Islam. Sehingga sejarah pemikiran ekonomi Islam, ilmu ekonomi
Islam dan filsafat ekonomi Islam serta sistem ekonomi Islam saling terkait.
Apalagi dalam pendekatan ekonomi Islam terdapat hal-hal normatif yang dapat
diimplementasikan dan diinjeksikan ke dalam diri manusia sehingga sasaran yang
hendak diinginkan Islam dapat diwujudkan. Oleh karena itu dalam kerangka kerja
seperti ini harus terdapat peran kebijakan dari sektor pemerintah terhadap
perilaku manusia agar tetap berada
pada arah realisasi dan pemenuhan akan nilai-nilai tersebut. Hal ini menjadikan
lingkup kajian ilmu ekonomi Islam lebih luas dan komprehensif karena bukan
hanya berbicara tentang motif tetapi juga perilaku, lembaga dan kebijakan. Ini
semakin membuktikan adanya keterkaitan antara rumpun pembahasan ilmu ekonomi
Islam dengan sistem ekonomi Islam. Sedangkan kebijakan pemerintah untuk
merealisasikan pemenuhan kebutuhan hidup komunitas masyarakat muslim dari masa
ke masa tentu berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi serta
pertimbangan-pertimbangan yang dikeluarkan oleh para tokoh dan pengambil
kebijakan pada zamannya. Maka pembahasan dalam ilmu ekonomi Islam dan sistem
ekonomi Islam sangat terkait dengan sejarah pemikiran ekonomi Islam.
Lebih jauh, maraknya kajian-kajian tentang ilmu
ekonomi Islam tidak dapat dipisahkan dari fenomena kebangkitan kembali
ajaran-ajaran Islam yang orisinil (Islamic
Resurgance) di seluruh dunia Islam. Penggerak utama di balik kebangkitan
ini adalah keinginan untuk merekontruksi struktur masyarakat dan perekonomiannya dengan mengadopsi
nilai-nilai keimanan, agama dan tradisi sejarah mereka. Oleh karena itu
pemahaman tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam menjadi penting tatkala
hendak mengupas ilmu ekonomi Islam secara mendala dan membangun sebuah sistem
ekonomi Islam.
Akhirnya, beragamnya pendekatan filsafat, keilmuan,
sistem, dan madhab-madhab ekonomi Islam saat ini dipengaruhi oleh pemahaman
para ahli dan pakar terhadap nilai dan praktek ekonomi Islam dari masa ke masa.
Disinilah peran sejarah pemikiran ekonomi Islam menunjukkan perkembangan
ekonomi Islam hingga dalam bentuknya yang variatif seperti saat ini.
H. Perdagangan pada Masa Arab Pra-Islam
Kehidupan bangsa Arab yang tertumpu pada perniagaan adalah fakta
yang telah diketahui dalam sejarah. Mata
pencarian penduduk di kawasan ini –
dengan keadaan negara yang kering, padang pasir yang penuh dengan batu dan
kawasan pergunungan tandus – adalah dengan berdagang. Tidak ada hasil pertanian yang dapat
diperolehi dari daerah ini. al-Qur’an menggambarkan keadaan ini melalui doa Nabi
Ibrahim a.s, yang berbunyi :
Wahai Tuhan kami!
Sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian dari zuriat keturunanku di sebuah
lembah (Tanah Suci Mekah) yang tidak ada tanaman padanya, di sisi rumah-Mu yang
diharamkan mencerobohinya. Wahai Tuhan kami, (mereka ditempatkan di situ)
supaya mereka mendirikan sembahyang (dan memakmurkannya dengan ibadat). Oleh
itu, jadikanlah hati sebahagian dari manusia tertarik gemar kepada mereka,
(supaya datang beramai-ramai ke situ) dan kurniakanlah rezeki kepada mereka
dari berbagai jenis buah-buahan dan hasil tanaman, semoga mereka bersyukur”[20]
Di antara banyak suku kaum
di Arab, suku Quraisy adalah suku asal Nabi Muhammad SAW. Suku ini mempunyai kuasa dan keutamaan
sebagai penjaga Kaabah. Kedudukan itu
membolehkan suku kaum Quraisy melakukan
perjalanan ke seluruh kawasan, sambil berdagang dengan aman dan selamat. Hampir semua kaum-kaum yang berdagang di
jalan-jalan perdagangan menuju Syria, Yaman dan Bahrain menghormati dan
menghargai kafilah-kafilah Quraisy[21]. Kebiasaan kaum Quraisy melakukan perjalanan
sambil berdagang, dalam musim dingin dan musim panas, digambarkan dalam firman
Allah yang berbunyi :
“Kerana kebiasaan aman
tenteram kaum Quraisy (penduduk Mekah) (Iaitu) kebiasaan aman tenteram
perjalanan mereka (menjalankan perniagaan) pada musim sejuk (ke negeri Yaman)
dan pada musim panas[22]
(ke negeri Syam). Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan yang menguasai rumah
(Kaabah) ini. Tuhan yang memberi
mereka penghidupan, menyelamatkan mereka dari kelaparan dan mengamankan mereka
dari ketakutan.”[23]
Sebagai kaum yang memiliki
hubungan dagang antara negara, kaum Quraisy mempunyai pengetahuan dagang yang
sangat baik. Usaha perdagangan dilakukan
dalam berbagai bentuk. Berbagai jenis
organisasi juga telah mereka dirikan. Syirkah dalam berbagai jenis dijalankan,
di mana orang yang mempunyai modal boleh terlibat dalam perniagaan secara
langsung. Mudharabah juga telah dijalankan, di mana
pemilik modal yang hanya menjadi sleeping
partner juga boleh menikmati keuntungan dan mengalami kerugian. Malah kaum wanita, golongan janda dan
anak-anak yatim piatu juga berpeluang menjalankan perniagaan melalui cara
ini. Siti Khadijah r.a ialah salah
seorang contoh janda kaya yang melakukan usaha jenis ini. Dia menjalankan perniagaan ini dengan
berbagai orang yang berbeza. Bapa
saudara Nabi Muhammad SAW, Abbas Ibn Abdul Muthalib, memiliki perniagaan jenis
ini yang sangat besar[24].
I.
Bunga
Sebagai Komponen Ekonomi
Budaya membungakan uang sudah menjadi sebahagian daripada perekonomian
masyarakat Arab, seperti juga di negara-negara lain di dunia. Pada kenyataannya, bunga memang sudah
dianggap sebagai satu komponen yang sangat penting dalam sistem perekonomian
yang sedia ada. Namun, Islam mengangggap
bunga sebagai satu kejahatan ekonomi yang membawa pengaruh buruk dan bahaya
kepada ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat. Jadi,
al-Qur’an yang menggunakan
perkataan “riba” (untuk bunga) mengatakan yang bunga adalah haram dalam
kehidupan masyarakat Islam. Oleh kerana
bunga telah berakar sedemikian rupa dalam kehidupan masyarakat, Allah Yang Maha
Bijaksana dan Maha Mengetahui menurunkan larangan tentang bunga secara
berperingkat, supaya peraturan baru dan larangan itu tidak mengganggu keadaan
ekonomi masyarakat ataupun menimbulkan kesulitan kepada mereka[25].
Masyarakat Arab pra-Islam sendiri tidak mengasingkan riba
daripada perniagaan. Mereka memang
menganggap riba sebagai salah satu bentuk perdagangan. Mereka berpendapat,
kalau seseorang membeli sehelai kain yang berharga 2 dinar dan menjualnya
dengan harga 2.5 dinar, itu adalah urusniaga yang wajar. Begitu juga apabila seseorang memberi pinjaman
sebanyak 2 dinar dan peminjamnya membayar 2.5 dinar. Urusniaga itu juga
dianggap wajar dan halal kerana kedua-dua urusniaga itu dilakukan dengan
persetujuan kedua-dua belah pihak[26].
Al-Qur’an telah
meluruskan pemikiran yang keliru itu.
Perniagaan tidak boleh melibatkan riba dan riba bukanlah satu bentuk
perniagaan. Firman Allah SWT berbunyi :
“…Keadaan mereka
yang demikian ialah disebabkan mereka mengatakan: Bahawa sesungguhnya berniaga
itu sama sahaja seperti riba. Padahal Allah telah menghalalkan berjual beli
(berniaga) dan mengharamkan riba…”[27]
J.
Pengaruh Sejarah Islam
Terhadap Pembentukan Sistem Ekonomi Islam
Jika kaitkan fakta sejarah bangsa Arab seperti di atas dengan
pendapat yang mengatakan sistem perekonomian yang dianut oleh sesuatu bangsa
(negara ataupun kelompok masyarakat) dipengaruhi oleh sekumpulan nilai yang
dianut oleh bangsa ataupun oleh masyarakat itu – seperti adat kebiasaan,
norma-norma, kepercayaan, ideologi dan falsafah – maka bolehlah dapat simpulkan yang sistem
ekonomi yang terbentuk pada masa zaman Rasulullah SAW, khalifah rasyidin dan
kemudiannya diwariskan kepada Daulah Umayyah dan seterusnya hingga sekarang
adalah :
a.
sistem ekonomi dipengaruhi oleh adat istiadat bangsa Arab
yang gemar berdagang dan
b.
sistem ekonomi dipengaruhi sekumpulan nilai-nilai Islam
Anwar Iqbal Quresi[28]
mendapati kebiasaan orang Arab sebelum kemasukan Islam, dalam urusan perniagaan
adalah seperti berikut :
a.
Seseorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan
perjanjian yang bayaran akan dilakukan pada tarikh yang telah dipersetujui oleh
kedua-dua belah pihak. Apabila pembeli
tidak dapat membayarnya pada tarikh yang ditetapkan, lanjutan masa akan diberi
asalkan pembeli setuju membayar jumlah yang lebih tinggi daripada harga asal.
b.
Seseorang meminjamkan sejumlah wang untuk satu jangka
masa tertentu, dengan syarat apabila jangka masa itu tamat, peminjam mesti
membayar jumlah wang yang dipinjam itu bersama dengan satu jumlah tetap “riba”
ataupun “tambahan”.
c.
Si peminjam dan pemberi pinjaman bersetuju dengan satu
jumlah “riba” tertentu untuk satu jangka masa tertentu. Kalau peminjam tidak dapat membayar hutangnya
pada waktu yang ditetapkan, dia mesti membayar sejumlah “riba” yang lebih
tinggi sebagai tambahan pada waktu lanjutannya itu.
Ungkapan Anwar Iqbal Quresi boleh
dijadikan dasar untuk memahami pengertian dan jenis riba yang dilarang dalam al-Qur’an seperti yang ditegaskan dalam Surah Ar-Ruum
ayat 39 (Makkiyah), Surah Ali Imran
ayat 130 (Madaniyah), Surah An-Nisaa’
ayat 161 (Madaniyah) dan Surah al-Baqarah ayat 275, 276,
278, 279 (Madaniyah).
Untuk memahami bagaimana
syariah Islam mempengaruhi pembentukan suatu sistem ekonomi Arab pada masa
Rasulullah SAW, kita harus melakukan kajian mendalam terhadap Al-Qur’an, kerana
Rasulullah SAW menjadikan al-Qur’an sebagai
sumber rujukan dalam membimbing dan menguruskan masyarakat ketika itu[29].
Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh kerana ia
berasal dari Allah Yang Maha Mengetahui, al-Qur’an ialah kitab yang
sempurna dan menyeluruh, yang mencakup penjelasan tentang akidah, syariat dan al-ahkam yang meliputi perundangan yang
berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi dan politik. Firman Allah SWT dalam al-Qur’an berbunyi :
“Pada hari ini,
orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu. Jadi jangalah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku, pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agama kamu,
dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku redai Islam itu
sebagai agama bagi kamu”[30]
Ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW pada periode Mekah, banyak menjelaskan kecaman terhadap perilaku ekonomi masyarakat
Mekah sebelum Islam, yang lebih cenderung mengumpul harta dan mengabaikan orang
miskin dan anak-anak yatim. Di antara
surah-surah periode Mekah yang mengandungi kecaman ialah Surah at-Takatsur ayat 1 dan 2,
Surah al-Humazah ayat 1-3 dan
Surah al-Maa’un ayat 2-5[31].
Manakala
ketentuan-ketentuan syariat Islam yang diturunkan semasa periode Madinah adalah
untuk menegakkan ketentuan tentang konsep keadilan ekonomi. Perintah penghapusan riba dan kewajipan
membayar zakat juga turun semasa periode Madinah. Ayat-ayat al-Qur’an yang
diturunkan setelah hijrah ke Madinah disebut periode Madinah. Periode ini dikenali sebagai periode penataan
dan pemapanan masyarakat sebagai masyarakt contoh[32].
Mengenai banyaknya surah-surah dalam al-Qur’an yang membicarakan tentang ekonomi, setidaknya ada 70 ayat yang membicarakan tentang perniagaan dan
pinjaman. Sedang menurut Harun Nasution, 228 dari pada 368 ayat adalah
ayat-ayat yang mengatur kehidupan duniawi, manakala banyak daripada ayat-ayat
itu mengatur kesejahteraan ekonomi dan
keluarga.[33]
Sedang Hadis Rasulullah SAW, terkait dengan ekonomi banyak sekali ditemukan
dimulai kegiatan utama ekonomi yaitu tentang hak milik,
kekayaan, mencari rezeki, tanah, buruh, modal, mekanisme pasar, uang dan kredit, keuangan negara, pembangunan
ekonomi, transaksi yang diperbolehkan dan dilarang serta nilai-nilai ekonomi.
Dari sinilah dapat dapat diketahu bahwa
al-Qur’an dan al-hadits telah menjelaskan tentang, misi, mekanisme pengaturan dan juga peralatan ekonomi
yang telah berkembang sepanjang sejarah, untuk mewujudkan ekonomi
robbani berlandaskan kebaikan berdimensi dunia dan akhirat bagi
semua umat manusia. Hal ini digambarkan dengan
jelas dalam doa umat Islam yang terdapat dalam Surah al-Baqarah [2] ayat 201,
yang berbunyi :
“Dan di antara mereka, ada yang berdoa, Ya Tuhan Kami,
berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari
seksa neraka.”
Dua dimensi kebaikan ataupun kesejahteraan yang ingin
diraih oleh manusia, baik di dunia mahupun di
akhirat, adalah unik kerana hal seperti ini tidak pernah disentuh oleh sistem ekonomi manapun.
Di antara misi yang ingin dicapai dalam sistem ekonomi
Islam ialah wujudnya persamaan martabat di antara umat manusia, di mana kita
perlu menegakkan keadilan terutamanya dalam mata pencarian dan pendapatan. Secara makro, misi ini bertujuan untuk mewujudkan negara yang baik (yang mampu mewujudkan
kehidupan masyarakat yang adil dan makmur) serta diridlai Allah SWT (baldatun toyyibatun wa rabbun ghafuur).
Dengan demikian diperlukan mekanisme pengaturan yang menjamin persamaan martabat
manusia melalui pendapatan yang adil, seperti larangan memakan dan mengusahakan
barang riba, larangan menyembunyikan atau melebihkan barangan dan manipulasi
harga, larangan mengurangkan gaji dan mengabaikan kebajikan pekerja. Modal juga tidak boleh terlepas dari acuan
moral yang luhur supaya ia mampu memperbaiki taraf hidup manusia secara
keseluruhannya.
[1] Monzer Kahf, The Islamic Economy, (Plainfield:
Muslim Student Association (US-Canada), 1978), 18.
[2] Monzer Kahf, The Islamic Economy: Analytical Study of the Functioning od the Islamic Economic System, (T.tt.:
Plainfield In Muslim Studies Association of U.S and Canada, 1978),16.
[3] Hasanuzzaman,
“Definition of Islamic Economics” dalam Jurnal of Research in Islamic Economics,
Vol 1 No. 2, 1984.
[4] Muhammad
N. Siddiqi, Muslim Economic Thinking:
A Survey of Contemporary Literature.
Jeddah and The Islamic Foundation, 1981.
[5] M. Abdul
Mannan, Islamic Economics: Theory
and Practice., Delhi.Sh. M. Ashraf, 1970). Lihat
juga M.A Mannan, The Making of an Islamic
Economic Society, (Cairo,
1984)
[7] Seperti yang disampaikan
oleh Aslem Haneef, bahwa pemikir muslim di bidang ekonomi dikelompokkan dalam
tiga kategori : pertama, pakar bidang
fiqih atau hukum Islam sehingga pendekatan yang dilakukan adalah legalistik dan
normatif; kedua, kelompok modernis
yang lebih berani dalam memberikan interpretasi terhadap ajaran Islam agar
dapat menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat kini; ketiga para praktisi atau ekonom muslim yang berlatar belakang
pendidikan Barat. Mereka
mencoba menggabungkan pendekatan fiqih dan ekonomi sehingga ekonomi Islam
terkonseptualisasi secara integrated
dengan kata lain mereka berusaha mengkonstruksi ekonomi Islam seperti ekonomi
konvensional tetapi dengan mereduksi nilai-nilai yang tidak sejalan dengan
Islam dan memberikan nilai Islam pada analisis ekonominya. Selanjutnya silahkan
baca: Mohamed Asalam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought: A Selected
Comparative Analysis, (Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed & Co., 1995), 11
[8] Para ahli ekonomi berselisih pendapat dalam masalah ini.
Bagi yang berpendapat bahwa ilmu ekonomi merupakan cabang ilmu yang sarat
dengan nilai, maka yang menjadi pertanyaan mendasarnya adalah “What augh to
be”. Sedangkan yang beranggapan ilmu ekonomi bebas dari muatan nilai maka
pertanyaan mendasar adalah “What is”.
[9] Karena itu sebagian ahli memilah ilmu ekonomi
menjadi dua macam, yaitu ilmu ekonomi positif dan ilmu ekonomi normatif. Pertama menyajikan dan menyelidiki fakta sebagaimana adanya dan kedua memasukkan unsur nilai seperti baik-buruk,
layak-tidak layak dan sebagainya. Lihat Dawam Raharjo, “Sekapur-sirih
tentang Aksiologi Ekonomi Islam”, dalam Syed Nawab Heidar Naqvi, Etika
dan Ilmu Ekonomi; Suatu Sintesis Islami, terj. Husin Anis dan Asep Hikmat,
cet. 3 (Bandung: Mizan, 1993), 12. Ada pula yang berpendapat bahwa etika ketika
memasuki kawasan ilmu ekonomi hanya dapat dilihat dalam praktek ekonomi bukan
pada teorinya. Lihat Musa Asy’arie, Islam; Etos Kerja dan Pemberdayaan
Ekonomi Umat, cet. 1 (Yogyakarta: LeSFI bekerjasama dengan IL, 1997), 21.
[10] Monzer Khaf, Ekonomi Islam; Telaah Analitik
Terhadap Fungsi Ekonomi Islam, terj. Machnun Husein, Cet. 1 (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995), 15.
[11] Joseph
Schacht, An Introduction to Islamic Law, cet. 1 (Oxford University
Press, 1964), 203.
[12] Yusuf Qardawi, Fiqh Peradaban; Sunnah
Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, terj. Faizah Firdaus, cet.1 (Jakarta:
Rabbani Pers, 1997), 17.
[13] Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam; Sebuah pengantar, cet.1
(Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam Univesitas Muhammadiyah
Yogyakarta, 2001), 36.
[14] Pendekatan sejarah dalam mengkaji ilmu ekonomi Islam berarti
menempatkannya pada kelompok ilmu-ilmu social, karena itu pendekatan-pendekatan
dalam ilmu-ilmu sosial ternasuk di dalamnya pendekatan sejarah sangat
diperlukan. Sebab harus diakui dalam pendekatan ilmu-ilmu sosial memiliki
kelebihan yang tidak terdapat dalam ilmu-ilmu pasti. Kelebihan tersebut
terletak pada kemampuan analisa yang ditawarkan bagi fenomena-fenomena
kontemporer yang terjadi dalam masyarakat. Lihat Abu Baker A. Bagadeer (ed.), Islamisasi
Ilmu-ilmu Sosial, alih bahasa Muchtar Effendi Harahap.,et.al, cet. 1
(Yogyakarta: PLP2M, 1985), 23
[16] Muhammad Akhyar Adnan, “Metodologi Ekonomi
Konvensional dan Penelitian Ekonomi Islami” dalam M. Amin Abdullah dkk
(ed.), Ontologi Studi Islam, cet. 1 (Yogyakarta: DIP PTA IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2002), 294-295.
[17] Ahmad disebut
sebagai bapak ekonomi Islam modern, dan dianggap salah satu pemikir berpengaruh
di bidang ekonomi Islam..karya terkenalnya
[18] Muhammad Nejatullah Siddiqi, Muslim Economic Thinking; A Survey of
Contemporary Literature, (United
Kingdom: Islamic Foundation. 1981), 32
[19] Diskusi tentang hal ini dibahas panjang lebar
oleh M. A. Mannan , “The Behaviour of Firm and Its Objectives in an Islamic
Framework”, dalam Tahir, Sayyed (at al, ed.) Readings in Microeconomics:
an Islamic Perspective (Malyasia: Longman,1992). dan Metwally, Essays on Islamic Economics (Kalkuta:
Academic Publishers, 1993). Lihat Metwally,
Teori dan Model Ekonomi Islam, Edisi Pertama (Jakarta: PT Bangkit Insani,
1997). LIhat juga M. Umar Chapra, The Future of Economics; an Islamic
Perspectif (Leicester UK: Islamic Foundation, 2001). Gambaran diskusi ini
adalah bahwa ilmu ekonomi Islam syarat dengan nilai-nilai. Ilmu ekonomi Islam
jelas akan melakukan fungsi penjelasan (eksplanatori) terhadap suatu fakta
secara obyektif. Ia juga melakukan fungsi produktif seperti yang dilakukan oleh ilmu ekonomi
konvensional. Dalam menjalankan kedua fungsi ini, ia menjalankan fungsi utama
sains secara positif atau menjelaskan “apa” (what is). Namun kiprahnya tidak hanya terbatas pada aspek positif
berupa penjelasan dan prediksi saja. Pada tahapan tertentu ia juga harus
melakukan fungsi normatif, menjatuhkan penilaian (value judgement) dan menjelaskan apa yang seharusnya (what should be). Ini berarti bahwa ilmu
ekonomi Islam bukanlah value-neutral.
Ia memiliki seperangkat nilainya tersendiri, kerangka kerja nilai-nilai dimana
dia beroperasi. Karena itulah maka reformasi ekonomi Islam tidak dapat
dilakukan secara isolasi atau parsial, ia hanya dapat dilakukan dalam konteks
Islamisasi masyarakat secara total.
[21] Muhammad Ibn Habib al-Baghdadi, al-Muhabbar, 1942 dalam
Afzalurrahman, Muhammad sebagai seorang Pedagang (terjemahan), (Jakarta
: Yayasan Swarna Bhumy, 1995), 2
[22] Orang Quraisy selalu mengembara, terutamanya
untuk berdagang ke negara Syam pada musim panas dan ke negeri Yaman pada musim
sejuk. Dalam perjalanan itu, mereka
diberi jaminan keselamatan oleh penguasa-penguasa dari negara-negara yang
mereka lalui. Ini adalah satu keutamaan
dan rahmat besar dari Allah untuk mereka. Jadi, memang wajarlah mereka
menyembah Allah yang telah memberi mereka nikmat kepada mereka.
[24] Ardhul
Quran, Darul Ash’at, Karachi, vol II, dalam Afzalurrahman, Muhammad sebagai
seorang Pedagang, 2-4
[28] Anwar Iqbal Quresi, Islam and the Theory of
Interest, (Lahore,
India : S.M. Ashraf Publ. 1946), 49
[31] Muhammad Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan
Sejarah, (Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, 1996), 9