rohmans

PRINSIP DASAR EKONOMI ISLAM

Dalam bidang ekonomi, Islam memiliki sistem ekonomi yang secara fundamental berbeda dari sistem-sistem yang tengah berjalan. Ia memilik...


Dalam bidang ekonomi, Islam memiliki sistem ekonomi yang secara fundamental berbeda dari sistem-sistem yang tengah berjalan. Ia memiliki akar dalam syari’at yang membentuk pandangan dunia sekaligus sasaran-sasaran dan strategi (Maqa>s}id al-Shari>’ah) yang berbeda dari sistem-sistem sekuler yang menguasai dunia hari ini. Sasaran-sasaran yang dikehendaki Islam secara mendasar buka materiil. Mereka didasarkan atas konsep-konsep Islam sendiri tentang kebahagiaan manusia (fala>h}) dan kehidupan yang baik yang sangat menekankan aspek persaudaraan, keadilan sosio ekonomi, dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan spiritual umat manusia. Hal ini disebabkan karena adanya umat manusia memiliki kedudukan yang sama sebagai Khalifah Allah di muka bumi dan sekaligus sebagai hamba-Nya yang tidak akan dapat merasakan kebahagiaan dan ketenangan batin kecuali jika kebahagiaan sejati telah dicapai melalui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan materiil dan spiritual.[1]
Adapun prinsip dasar ekonomi Islam itu adalah Tawh}id (Keesaan), Khilafah (Perwakilan), dan ‘Adalah (Keadilan). Dari ketiga prinsip ini tidak hanya membentuk pandangan dunia Islam, tetapi juga membentuk ujung tombak Maqa>s}id dan strategi sebagaimana pernyataan di atas. Dengan demikian, tidak ada persoalan mengenai pemikiran yang timbul karena adanya tuntutan yang saling bertentangan dari kelompok pluralis atau kelas-kelas sosial. Pandangan dunia Islam Maqa>s}id dan strategi diracik bersama bersama-sama dalam suatu keseluruhan yang konsisten dan terdapat keharmonisan, sempurna antara keduanya.[2] Untuk lebih jelasnya, penulis akan uraikan dari ketiga prinsip tersebut.
1.      Tawh}id (Keesan Allah)
Secara harfiyah Tawh}id mempunyai makna menyatakan diri bahwa tiada Tuhan selain Allah. Pernyataan yang sifatnya pasif ini dalam pandangan Al-Faruqi mempunyai makna yang paling agung dan paling kaya dalam khazanah pemikiran Islam.[3]
Sehingga dengan demikian, keesaan Allah merupakan prinsip pertama dalam ajaran Islam. Allah merupakan penyebab pertama dan utama serta tujuan akhir dari setiap ciptaanNya. Termasuk dalam konteks ini adalah sifat Esa Allah merupakan prinsip-prinsip konstitutif dan regulatif yang pertama dari pengetahuan. Sehingga menurut al-Faruqi, pengetahuan dalam perspektif Islam memandang setiap obyek pengetahuan sebagai penyempurnaan tujuan yang dikehendaki Allah. Dengan demikian, dalam Islam tidak dikenal adanya kehidupan, kebenaran pengetahuan dan nilai-nilai tanpa menyandarkannya pada Allah. zat yang menjadi awal dan akhir setiap sesuatu, termasuk pengetahuan.[4]
Secara esensial, tawh}id dipandang sebagai paradigma Islam bagi penghambaan makhluk pada sang pencipta dan dalam melaksanakan seluruh perintahNya. Di samping keterkaitan secara vertikal Tawh}id juga menjadi perekat bagi hubungan antar manusia. Sehingga bagaikan uang logam dengan dua sisi tak terpisah. Tawh}id mengajarkan bahwa Allah adalah pencipta dan mengajarkan kebersamaan, dan persaudaraan sesama manusia.[5]
Di samping itu tawh}id juga mengandung arti bahwa alam semesta didesain dan diciptakan secara sadar oleh Allah, yang bersifat esa dan unik, dan ia tidak terjadi karena kebetulan atau aksiden.[6] Penciptaan alam baik flora maupun fauna ditundukkan Allah sebagai sumber daya ekonomis dan keindahan bagi umat manusia.[7] Sementara manusia sendiri dihadapan Allah adalah sama, hanya taqwa dan amal shaleh yang membedakannya.[8] Sehingga segala sesuatu yang diciptakan-Nya memiliki suatu tujuan. Tujuan inilah yang akan memberikan arti dan signifikansi bagi eksistensi jagat raya, di mana manusia merupakan salah satu bagiannya.[9]
Implikasi dari doktrin tawh}id adalah terbukanya kesempatan yang sama bagi manusia dalam memperoleh rizki Allah meskipun ketidakmerataan ekonomi di antara manusia tidak terlepas dari kekuasaan Allah. Namun, dalam kerangka tawh}id, perbedaan kemampuan secara ekonomis ini justru mendorong pada adanya persaudaraan, saling membantu dan bekerja sama dalam bidang ekonomi melalui mekanisme shirkah, qirad, dan sebagainya.[10]
Dengan demikian, maka keutuhan pemahaman dan pengamalan tawh}id akan membuahkan percikan keimanan yang sangat tajam. Hal ini akan menjadi modal penting untuk menghindarkan diri dari setiap godaan, termasuk paham materialisme yang tengah merasuk dalam kehidupan manusia.[11]
2.Khilafah (Perwakilan)
Selain Tawhid konsep khilafah dalam Islam menempatkan manusia sebagai wakil Allah di muka bumi.[12] Manusia dipandang paling mulianya ciptaan Allah dibanding makhluk lainnya, malaikat sekalipun. Dalam diri manusia terdapat kombinasi bumi dan spirit ketuhanan serta dilengkapi dengan kesadaran, kebijaksanaan dan kreativitas. Selain itu manusia mendapat sarana berupa sumber-sumber materi yang dapat membantunya dalam mengemban misinya secara efektif. Dalam konteks ini Islam menilai bahwa manusia bebas untuk mengatur kehidupannya dengan pola ekonomi yang manapun, bukan manusia yang dikendalikan hukum-hukum ekonomi, sebagaimana pernyataan Marx Weber. Pola ekonomi yang dipilih manusia dalam mengatur kehidupannya merupakan penentu bagi sifat dan gagasannya tentang dirinya sendiri. Meski bebas memilih, manusia sebagai khalifah harus tetap memandang bahwa agama merupakan sarana mengatur kehidupan di bumi.[13]
Sebagai khalifah, manusia bertanggung jawab untuk mengembangkan budaya dan peradaban, menegakkan perdamaian, menjamin hak hidup dan kepemilikan, melakukan perbaikan ekonomi, menyediakan seluruh kebutuhan manusia, mulai dari tempat tinggal sampai pada kebutuhan akan pendidikan.
Dari sini dapat dipahami, bahwa Islam menghubungkan khilafah dengan berdirinya tatanan politik, kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan dunia. Setidaknya inilah yang menjadi kewajiban sosial bagi setiap Muslim yang menurut al-Faruqi dapat dilakukan melalui jalur politik. Sebab, Islam tidak melarangnya, bahkan Islam justru menganjurkannya. Ini sejalan dengan tidak adanya pembagian agama dan dunia dalam ajaran Islam.[14] Senada dengan pernyataan di atas, manusia, dalam kerangka kekhalifahannya, ia bebas berpikir dan menalar untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, jujur atau tidak jujur, dan mengubah kondisi kehidupan, masyarakat dan perjalanan sejarahnya, jika ia berkehendak demikian. Secara fitrah, manusia baik dan mulia.[15] Serta mampu melindungi kebaikan dan kemuliaannya. Bahkan, mampu meningkatkan kedudukannya jika ia menerima pendidikan, petunjuk yang tepat dan motivasi yang baik. Oleh karena itulah, maka manusia secara psikologis  akan merasa bahagia selama ia berpijak atau bergerak mendekati hakekat batiniyahnya dan merasa sengsara bila ia menyimpang darinya.
Sumber-sumber daya yang disediakan oleh Allah di dunia ini  terbatas. Akan tetapi, sumber-sumber daya itu akan mencukupi bagi pemenuhan kebahagiaan manusia seluruhnya, jika dipergunakan “secara efisien” dan “adil”. Manusia bebas memilih antara berbagai penggunaan alternatif sumber-sumber daya ini. Namun, karena dia bukanlah satu-satunya khalifah maka ujian riil baginya adalah bagaimana menggunakan sumber-sumber daya yang telah dikaruniakan Allah SWT ini dengan cara “yang efisien” dan “adil”, sehingga kemakmuran manusia seluruhnya dapat dijamin. Ini hanya mungkin jika sumber-sumber daya itu dimanfaatkan dengan suatu perasaan tanggung jawab dan dalam suatu batasan yang ditentukan oleh petunjuk Allah dan Maqa>s}id.[16]
Dengan demikian, konsep khilafah itu bersifat kreatif dari sekedar status. Keberadaan manusia sebagai khalifah Allah terletak pada daya kreatifitas mereka dalam memakmurkan bumi.[17] Karenanya, sebagai upaya mewujudkan khalifah manusia, al-Faruqi menilai pentingnya membangun pemerintahan dengan sistem khilafah, bukan dawlah (negara) sebagaimana yang dipraktekkan negara-negara Barat. Sebab, sistem khilafah lebih dekat dengan tradisi Islam dan berakar pada tawh}id sementara sistem dawlah sangat jauh dari esensi konsep ummah dalam Islam.[18]

Lain lagi dengan pendapat Abd. al-Raziq.[19] Beliau berpendapat bahwa adanya asumsi yang menyatakan perlunya mendirikan negara dengan sistem, perantara perundangan serta pemerintahan yang “Islami” adalah sesuatu yang keliru dan melenceng jauh dari kenyataan sejarah. Adanya “sistem Khilafah”, “sistem Imamah itu bukanlah keharusan bagi kaum muslimin untuk mendirikannya, karena bukan merupakan bagian dari Islam. Khilafah adalah lembaga yang bersifat politik yang diproyeksikan untuk menopang kepentingan-kepentingan politik. Sedangkan kepentingan politik adalah  persoalan duniawi yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan Islam sebagai agama.[20]    
Adapun konsep khilafah itu memiliki sejumlah implikasi yakni pertama, Persaudaraan Universal. Dengan menjadikan setiap manusia menjadi khalifah, konsep ini berimplikasi pada persaudaraan manusia universal. Atas dasar ini, maka sikap yang baik pada orang lain, bukanlah mewujud pada konsep kekuatan adalah kebenaran, atau aktivitas ekonomi hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi, akan tetapi adanya kerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidup adalah untuk mengembangkan potensi dan memperkaya kehidupan seluruh manusia. Kedua, sumber-sumber daya ekonomis adalah amanah Allah. sebagai amanah Allah maka pemberdayaan sumber-sumber itu harus sejalan dengan ketentuan Allah. Dalam konteks ini sumber-sumber daya itu diciptakan oleh Allah untuk seluruh manusia, cara perolehan dan penggunaan sumber-sumber itu harus sejalan dengan ketentuan Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Ketiga, gaya hidup sederhana. Sebagai khalifah Allah, manusia harus hidup sederhana tidak boleh sombong, angkuh, dan bermegah-megahan di bidang materi. Gaya hidup sederhana ini akan menjauhkan sikap berlebihan dan boros dalam mendayagunakan sumber daya ekonomi. Namun dalam kenyataan dewasa ini sulit sekali menemukan gaya hidup demikian. Manusia sekarang banyak yang materialistis, mereka semua berlomba-lomba dengan gaya hidup borjuis.  Keempat, kebebasan manusia. Manusia diberikan kebebasan untuk menentukan kehidupannya di dunia, hanya saja dalam pandangan Islam, kebebasan manusia harus sejalan dengan syari’ah yang bersumber pada Al-Qur'an dan Al-Sunnah.[21]

3.‘Adalah (keadilan)
Prinsip keadilan merupakan salah satu sumbangan terbesar Islam kepada umat manusia untuk dilaksanakan dalam setiap aspek kehidupan. Islam memberikan suatu aturan yang dapat dilaksanakan sebagai pengganti amalan-amalan tradisional yang amat bertentangan. Setiap anggota masyarakat didorong untuk memperbaiki kehidupan material di samping berusaha untuk memperbaiki kehidupan spiritual dan mengingatkan bahwa setiap benda di dunia ini adalah untuk diambil manfaatnya. Tetapi secara bersamaan, Islam mendidik mereka bertanggung jawab bukan saja kepada isteri dan keluarga, tetapi juga saudara-saudaranya yang miskin dan melarat, negara dan akhirnya seluruh makhluk. Setelah mendapat manfaat dari harta kekayaannya masing-masing sudah selayaknya memberikan faedah yang sama kepada masyarakat yang lain.[22]
Persaudaraan sebagaimana ungkapan di atas yang merupakan bagian integral dari konsep tawh}id dan khilafah akan tetap menjadi konsep kosong yang tidak memiliki substansi, jika tidak dibarengi dengan keadilan sosio-ekonomi. Sehingga konsep ini merupakan kunci untuk memahami ilmu ekonomi, Islam dan masyarakat Islam yang bertujuan untuk menciptakan “keseimbangan” dalam masyarakat.[23]
Keadilan telah dipandang oleh para fuqaha sebagai isi pokok Maqa>s}id al-Shari>’ah. Sehingga mustahil melihat sebuah masyarakat Muslim, yang tidak menegakkan keadilan di dalamnya. Untuk menegakkan tujuannya, Islam sangat tegas sekali. Dengan menghapuskan semua bentuk kezaliman dari masyarakat manusia yang merupakan istilah komprehensif Islam untuk mengacu semua bentuk ketidakadilan, ketidakmerataan, eksploitasi, penindasan dan kekeliruan, sehingga seseorang menjauhkan hak orang lain atau tidak memenuhi kewajibannya terhadap mereka.[24]
Oleh karena itu, dengan mengubah sifat hanya mementingkan diri sendiri kepada sifat yang sebaliknya dan menyalurkan atau memberi solusi tanpa suatu tekanan, Islam berhasil memberikan suatu penyelesaian yang praktis kepada masalah ekonomi modern. Semua orang didorong untuk bekerja bersama-sama dalam menyusun suatu sistem ekonomi yang berdasarkan prinsip persamaan dan keadilan kepada semua orang dan yang tidak hanya tertuju kepada individu atau pihak tertentu saja dalam masyarakat. Dalam sistem ini, setiap individu menjadi unit yang berguna kepada semua pihak, dengan bekerja untuk dirinya sendiri dan masyarakat keseluruhan.
Dengan melihat begitu pentingnya tema tentang keadilan ini, Majid Khadduri sampai pada kesimpulan bahwa tidak kurang dari seratus ungkapan yang berbeda dalam Al-Qur'an yang memuat tentang keadilan, misalnya menggunakan ‘Adl, Qist, Mi>za>n, dan sebagainya. Demikian halnya sikap penentangan terhadap ketidakadilan terdapat lebih dari dua ratus peringatan dalam Al-Qur'an yang diungkapkan dengan  menggunakan kata-kata Zulm, Ithm, D{alal, dan sebagainya.[25]
Konsep keadilan dalam Islam ini, menurut Baqir Al-Sadr, berakibat pada pertanggungjawaban timbal balik dan keseimbangan sosial. Dari sini kemudian muncul beberapa ketentuan. Pertama, kepemilikan bersama dalam pancaran sistem pendistribusian yang telah ditentukan. Kedua, kebebasan yang dibatasi oleh nilai-nilai Islam dalam lapangan produksi, penukaran dan konsumsi. Ketiga, menjamin kebahagiaan masyarakat yang berdasarkan pada pertanggungjawaban secara timbal balik dan merata.[26]
Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui bahwa dunia ekonomi Islam berakar kuat pada ajaran dalam Al-Qur'an dan Al-Sunnah dengan menjadikan tawh}id, Khilafah dan ‘Adalah sebagai prinsip dasar ekonomi Islam.



[1] M. Umar Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. Ikhwan Abidin, (Jakarta : Gema Insani Press, 2000), 07
[2] Ibid, 204
[3] Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid : Its Complication for Tought and Life, (Kuala Lumpur : International Institute Of  Islamic Thought, 1982), 9
[4] Muhammad Shafiq, Mendidik Generasi Baru Muslim, Terj. Suhadi (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), 56-58
[5] M. Nejatullah Shiddiqi, Muslim Economic Thingking, (Leicester: The Islamic Foundation, 1981), 5
[6] Al- Qur’an, 3: 191: 38: 27; 23: 15
[7] Ibid, 6: 142 – 145; 16: 10 – 16
[8] Ibid, 2: 213; 40: 13
[9] Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi..., 204
[10] Ahmad Muflih Syaifuddin, “Perbandingan Sistem Ekonomi Islam dengan Kapitalisme dan Marxisme” dalam Wawasan Islam dan Ekonomi, ed. Mustofa Kamal, (Jakarta: FEUI, 1997), 128
[11] A. M. Saefuddin dan Yusra Marasbessy, “Menerapkan Nilai-nilai Islam di Lingkungan Universitas”, dalam Desekularisasi Pemikiran : Landasan Islamisasi, A.M. Sefuddin, et, al., (Bandung : Mizan, 1993), 77
[12] Al-Qur'an, 2: 30; 6: 165; 38: 28
[13] Ismail Raji al-Faruqi, “Is the Muslim Definable in Term of his Economic Pursuits?” dalam Islamic Perspectives, ed. Khursyid Ahmad M dan Zafar Ishaq Anshari, (London: The Islamic Foundation, tt), 192
[14] Ismail Raji al-Faruqi, Islamisai Pengetahuan, Terj. Anas Wahyuddin, (Bandung : Pustaka, 1995), 76-78
[15] Al-Qur'an, 15: 29; 30: 30; 95: 4
[16] Chapra, Islam...205
[17] Saefuddin dan Marasbessy, Desekularisasi Pemikiran, 87
[18] Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid......, 143
[19] Ali Abd.al-Raziq adalah seorang tokoh kontroversial dari Mesir tengah. Dengan pemikirannya yang demikian, ada banyak ulama yang mengecam terhadap hasil pemikirannya, seperti Hasan al-Banna dan Rashid Rida. Mereka menganggap  tesisnya dlm al-Isla>m wa Us}u>l al-Ahka>m berbehaya dan perlu diluruskan. Ini bisa dibaca dalam ringkasan buku  Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan oleh Ali Abd. al-Raziq. 
[20] Ali Abd. al-Raziq, Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan, terj. M. Zaid Su’di, (Yogyakarta: Jendela, 2002), 17-23.
[21] Chapra, Islam...208-211
[22]Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Vol I, Terj. Soeroyo, Nastangin (Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995), 74
[23] Akbar S. Ahmad, Discovering Islam : Making Sence Moslem History and Society, Terj. Nurding Ram dan Ramli Yakub dalam Citra Muslim : Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, (Jakarta : Erlangga, 1992), 235
[24] Chapra, Islam....211
[25] Majid Khadduri, The Islamic Conception Of Justice, (Baltimore : Jonhs Hopkins University, 1984), 10
[26] Muhammad Baqir Sadr, “General Edifice of the Islamic Economics” dalam Islamic Economics: Contemporary Ulama Perspective, ed. Muhammad Baqir Sadr dan Ayatullah Muhammad Thalighani (Kuala Lumpur: Iqra’, 1991), 34 

Follow Us

Profile

About Me
Dr. Abdurrohman S.Ag. M.EI
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura. . Selengkapnya

Total Pageviews

Recent Posts

Random

Comments

Contact Us

Name

Email *

Message *

Populer

item