PRINSIP DASAR EKONOMI ISLAM
Dalam bidang ekonomi, Islam memiliki sistem ekonomi yang secara fundamental berbeda dari sistem-sistem yang tengah berjalan. Ia memilik...

https://rohman-utm.blogspot.com/2011/04/prinsip-dasar-ekonomi-islam.html
Dalam bidang ekonomi, Islam memiliki
sistem ekonomi yang secara fundamental berbeda dari sistem-sistem yang tengah berjalan.
Ia memiliki akar dalam syari’at yang membentuk pandangan dunia sekaligus
sasaran-sasaran dan strategi (Maqa>s}id
al-Shari>’ah) yang
berbeda dari sistem-sistem sekuler yang menguasai dunia hari ini.
Sasaran-sasaran yang dikehendaki Islam secara mendasar buka materiil. Mereka
didasarkan atas konsep-konsep Islam sendiri tentang kebahagiaan manusia (fala>h}) dan kehidupan
yang baik yang sangat menekankan aspek persaudaraan, keadilan sosio ekonomi,
dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan spiritual umat manusia. Hal ini disebabkan
karena adanya umat manusia memiliki kedudukan yang sama sebagai Khalifah Allah
di muka bumi dan sekaligus sebagai hamba-Nya yang tidak akan dapat merasakan
kebahagiaan dan ketenangan batin kecuali jika kebahagiaan sejati telah dicapai
melalui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan materiil dan spiritual.[1]
Adapun prinsip dasar ekonomi Islam itu
adalah Tawh}id
(Keesaan), Khilafah (Perwakilan),
dan ‘Adalah (Keadilan).
Dari ketiga prinsip ini tidak hanya membentuk pandangan dunia Islam, tetapi juga
membentuk ujung tombak Maqa>s}id dan strategi sebagaimana pernyataan di
atas. Dengan demikian, tidak ada persoalan mengenai pemikiran yang timbul
karena adanya tuntutan yang saling bertentangan dari kelompok pluralis atau
kelas-kelas sosial. Pandangan dunia Islam Maqa>s}id dan
strategi diracik bersama bersama-sama dalam suatu keseluruhan yang konsisten
dan terdapat keharmonisan, sempurna antara keduanya.[2]
Untuk lebih jelasnya, penulis akan uraikan dari ketiga prinsip tersebut.
1.
Tawh}id
(Keesan Allah)
Secara harfiyah
Tawh}id mempunyai makna menyatakan diri bahwa
tiada Tuhan selain Allah. Pernyataan yang sifatnya pasif ini dalam pandangan
Al-Faruqi mempunyai makna yang paling agung dan paling kaya dalam khazanah
pemikiran Islam.[3]
Sehingga dengan demikian, keesaan Allah
merupakan prinsip pertama dalam ajaran Islam. Allah merupakan penyebab pertama
dan utama serta tujuan akhir dari setiap ciptaanNya. Termasuk dalam konteks ini
adalah sifat Esa Allah merupakan prinsip-prinsip konstitutif dan regulatif yang
pertama dari pengetahuan. Sehingga menurut al-Faruqi, pengetahuan dalam
perspektif Islam memandang setiap obyek pengetahuan sebagai penyempurnaan
tujuan yang dikehendaki Allah. Dengan demikian, dalam Islam tidak dikenal
adanya kehidupan, kebenaran pengetahuan dan nilai-nilai tanpa menyandarkannya
pada Allah. zat yang menjadi awal dan akhir setiap sesuatu, termasuk
pengetahuan.[4]
Secara esensial, tawh}id dipandang sebagai
paradigma Islam bagi penghambaan makhluk pada sang pencipta dan dalam
melaksanakan seluruh perintahNya. Di samping keterkaitan secara vertikal Tawh}id juga menjadi
perekat bagi hubungan antar manusia. Sehingga bagaikan uang logam dengan dua
sisi tak terpisah. Tawh}id
mengajarkan bahwa Allah adalah pencipta dan mengajarkan
kebersamaan, dan persaudaraan sesama manusia.[5]
Di samping itu tawh}id
juga mengandung arti bahwa alam semesta
didesain dan diciptakan secara sadar oleh Allah, yang bersifat esa dan unik,
dan ia tidak terjadi karena kebetulan atau aksiden.[6]
Penciptaan alam baik flora maupun fauna ditundukkan Allah sebagai sumber daya
ekonomis dan keindahan bagi umat manusia.[7]
Sementara manusia sendiri dihadapan Allah adalah sama, hanya taqwa dan amal
shaleh yang membedakannya.[8]
Sehingga segala sesuatu yang diciptakan-Nya memiliki suatu tujuan. Tujuan
inilah yang akan memberikan arti dan signifikansi bagi eksistensi jagat raya,
di mana manusia merupakan salah satu bagiannya.[9]
Implikasi dari doktrin tawh}id adalah terbukanya kesempatan yang sama
bagi manusia dalam memperoleh rizki Allah meskipun ketidakmerataan ekonomi di
antara manusia tidak terlepas dari kekuasaan Allah. Namun, dalam kerangka tawh}id, perbedaan kemampuan secara ekonomis ini
justru mendorong pada adanya persaudaraan, saling membantu dan bekerja sama
dalam bidang ekonomi melalui mekanisme shirkah,
qirad, dan sebagainya.[10]
Dengan demikian, maka keutuhan pemahaman
dan pengamalan tawh}id akan
membuahkan percikan keimanan yang sangat tajam. Hal ini akan menjadi modal
penting untuk menghindarkan diri dari setiap godaan, termasuk paham materialisme
yang tengah merasuk dalam kehidupan manusia.[11]
2.Khilafah (Perwakilan)
Selain Tawhid konsep khilafah dalam Islam
menempatkan manusia sebagai wakil Allah di muka bumi.[12]
Manusia dipandang paling mulianya ciptaan Allah dibanding makhluk lainnya,
malaikat sekalipun. Dalam diri manusia terdapat kombinasi bumi dan spirit
ketuhanan serta dilengkapi dengan kesadaran, kebijaksanaan dan kreativitas.
Selain itu manusia mendapat sarana berupa sumber-sumber materi yang dapat
membantunya dalam mengemban misinya secara efektif. Dalam konteks ini Islam
menilai bahwa manusia bebas untuk mengatur kehidupannya dengan pola ekonomi
yang manapun, bukan manusia yang dikendalikan hukum-hukum ekonomi, sebagaimana
pernyataan Marx Weber. Pola ekonomi yang dipilih manusia dalam mengatur
kehidupannya merupakan penentu bagi sifat dan gagasannya tentang dirinya
sendiri. Meski bebas memilih, manusia sebagai khalifah harus tetap memandang
bahwa agama merupakan sarana mengatur kehidupan di bumi.[13]
Sebagai khalifah, manusia bertanggung jawab
untuk mengembangkan budaya dan peradaban, menegakkan perdamaian, menjamin hak
hidup dan kepemilikan, melakukan perbaikan ekonomi, menyediakan seluruh
kebutuhan manusia, mulai dari tempat tinggal sampai pada kebutuhan akan
pendidikan.
Dari sini dapat dipahami, bahwa Islam
menghubungkan khilafah dengan
berdirinya tatanan politik, kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan dunia.
Setidaknya inilah yang menjadi kewajiban sosial bagi setiap Muslim yang menurut
al-Faruqi dapat dilakukan melalui jalur politik. Sebab, Islam tidak
melarangnya, bahkan Islam justru menganjurkannya. Ini sejalan dengan tidak
adanya pembagian agama dan dunia dalam ajaran Islam.[14]
Senada dengan pernyataan di atas, manusia, dalam kerangka kekhalifahannya, ia
bebas berpikir dan menalar untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk,
jujur atau tidak jujur, dan mengubah kondisi kehidupan, masyarakat dan
perjalanan sejarahnya, jika ia berkehendak demikian. Secara fitrah, manusia
baik dan mulia.[15]
Serta mampu melindungi kebaikan dan kemuliaannya. Bahkan, mampu meningkatkan
kedudukannya jika ia menerima pendidikan, petunjuk yang tepat dan motivasi yang
baik. Oleh karena itulah, maka manusia secara psikologis akan merasa bahagia selama ia berpijak atau
bergerak mendekati hakekat batiniyahnya dan merasa sengsara bila ia menyimpang
darinya.
Sumber-sumber daya yang disediakan oleh
Allah di dunia ini terbatas. Akan
tetapi, sumber-sumber daya itu akan mencukupi bagi pemenuhan kebahagiaan
manusia seluruhnya, jika dipergunakan “secara efisien” dan “adil”. Manusia
bebas memilih antara berbagai penggunaan alternatif sumber-sumber daya ini.
Namun, karena dia bukanlah satu-satunya khalifah maka ujian riil baginya adalah
bagaimana menggunakan sumber-sumber daya yang telah dikaruniakan Allah SWT ini
dengan cara “yang efisien” dan “adil”, sehingga kemakmuran manusia seluruhnya
dapat dijamin. Ini hanya mungkin jika sumber-sumber daya itu dimanfaatkan
dengan suatu perasaan tanggung jawab dan dalam suatu batasan yang ditentukan
oleh petunjuk Allah dan Maqa>s}id.[16]
Dengan demikian, konsep khilafah itu bersifat
kreatif dari sekedar status. Keberadaan manusia sebagai khalifah Allah terletak
pada daya kreatifitas mereka dalam memakmurkan bumi.[17]
Karenanya, sebagai upaya mewujudkan khalifah manusia, al-Faruqi menilai
pentingnya membangun pemerintahan dengan sistem khilafah,
bukan dawlah (negara)
sebagaimana yang dipraktekkan negara-negara Barat. Sebab, sistem khilafah lebih dekat dengan
tradisi Islam dan berakar pada tawh}id
sementara sistem dawlah sangat
jauh dari esensi konsep ummah dalam Islam.[18]
Lain lagi dengan pendapat Abd. al-Raziq.[19]
Beliau berpendapat bahwa adanya asumsi yang menyatakan perlunya mendirikan
negara dengan sistem, perantara perundangan serta pemerintahan yang “Islami”
adalah sesuatu yang keliru dan melenceng jauh dari kenyataan sejarah. Adanya “sistem Khilafah”,
“sistem Imamah”
itu bukanlah keharusan bagi kaum muslimin untuk mendirikannya, karena bukan
merupakan bagian dari Islam. Khilafah adalah
lembaga yang bersifat politik yang diproyeksikan untuk menopang
kepentingan-kepentingan politik. Sedangkan kepentingan politik adalah persoalan duniawi yang tidak ada kaitannya
sama sekali dengan Islam sebagai agama.[20]
Adapun konsep khilafah
itu memiliki sejumlah implikasi yakni pertama,
Persaudaraan Universal. Dengan menjadikan setiap manusia menjadi khalifah,
konsep ini berimplikasi pada persaudaraan manusia universal. Atas dasar ini,
maka sikap yang baik pada orang lain, bukanlah mewujud pada konsep kekuatan
adalah kebenaran, atau aktivitas ekonomi hanya untuk memenuhi kepentingan
pribadi, akan tetapi adanya kerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidup adalah
untuk mengembangkan potensi dan memperkaya kehidupan seluruh manusia. Kedua,
sumber-sumber daya ekonomis adalah amanah Allah. sebagai amanah Allah maka
pemberdayaan sumber-sumber itu harus sejalan dengan ketentuan Allah. Dalam
konteks ini sumber-sumber daya itu diciptakan oleh Allah untuk seluruh manusia,
cara perolehan dan penggunaan sumber-sumber itu harus sejalan dengan ketentuan
Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Ketiga, gaya hidup sederhana. Sebagai khalifah
Allah, manusia harus hidup sederhana tidak boleh sombong, angkuh, dan
bermegah-megahan di bidang materi. Gaya hidup sederhana ini akan menjauhkan
sikap berlebihan dan boros dalam mendayagunakan sumber daya ekonomi. Namun
dalam kenyataan dewasa ini sulit sekali menemukan gaya hidup demikian. Manusia
sekarang banyak yang materialistis, mereka semua berlomba-lomba dengan gaya
hidup borjuis. Keempat, kebebasan
manusia. Manusia diberikan kebebasan untuk menentukan kehidupannya di dunia,
hanya saja dalam pandangan Islam, kebebasan manusia harus sejalan dengan
syari’ah yang bersumber pada Al-Qur'an dan Al-Sunnah.[21]
3.‘Adalah (keadilan)
Prinsip keadilan merupakan salah satu
sumbangan terbesar Islam kepada umat manusia untuk dilaksanakan dalam setiap
aspek kehidupan. Islam memberikan suatu aturan yang dapat dilaksanakan sebagai
pengganti amalan-amalan tradisional yang amat bertentangan. Setiap anggota
masyarakat didorong untuk memperbaiki kehidupan material di samping berusaha
untuk memperbaiki kehidupan spiritual dan mengingatkan bahwa setiap benda di
dunia ini adalah untuk diambil manfaatnya. Tetapi secara bersamaan, Islam
mendidik mereka bertanggung jawab bukan saja kepada isteri dan keluarga, tetapi
juga saudara-saudaranya yang miskin dan melarat, negara dan akhirnya seluruh
makhluk. Setelah mendapat manfaat dari harta kekayaannya masing-masing sudah
selayaknya memberikan faedah yang sama kepada masyarakat yang lain.[22]
Persaudaraan sebagaimana ungkapan di atas
yang merupakan bagian integral dari konsep tawh}id
dan khilafah
akan tetap menjadi konsep kosong yang
tidak memiliki substansi, jika tidak dibarengi dengan keadilan sosio-ekonomi.
Sehingga konsep ini merupakan kunci untuk memahami ilmu ekonomi, Islam dan
masyarakat Islam yang bertujuan untuk menciptakan “keseimbangan” dalam
masyarakat.[23]
Keadilan telah dipandang oleh para fuqaha
sebagai isi pokok Maqa>s}id
al-Shari>’ah. Sehingga
mustahil melihat sebuah masyarakat Muslim, yang tidak menegakkan keadilan di
dalamnya. Untuk menegakkan tujuannya, Islam sangat tegas sekali. Dengan
menghapuskan semua bentuk kezaliman dari masyarakat manusia yang merupakan
istilah komprehensif Islam untuk mengacu semua bentuk ketidakadilan,
ketidakmerataan, eksploitasi, penindasan dan kekeliruan, sehingga seseorang
menjauhkan hak orang lain atau tidak memenuhi kewajibannya terhadap mereka.[24]
Oleh karena itu, dengan mengubah sifat
hanya mementingkan diri sendiri kepada sifat yang sebaliknya dan menyalurkan
atau memberi solusi tanpa suatu tekanan, Islam berhasil memberikan suatu
penyelesaian yang praktis kepada masalah ekonomi modern. Semua orang didorong
untuk bekerja bersama-sama dalam menyusun suatu sistem ekonomi yang berdasarkan
prinsip persamaan dan keadilan kepada semua orang dan yang tidak hanya tertuju
kepada individu atau pihak tertentu saja dalam masyarakat. Dalam sistem ini,
setiap individu menjadi unit yang berguna kepada semua pihak, dengan bekerja
untuk dirinya sendiri dan masyarakat keseluruhan.
Dengan melihat begitu pentingnya tema
tentang keadilan ini, Majid Khadduri sampai pada kesimpulan bahwa tidak kurang
dari seratus ungkapan yang berbeda dalam Al-Qur'an yang memuat tentang
keadilan, misalnya menggunakan ‘Adl, Qist, Mi>za>n, dan
sebagainya. Demikian halnya sikap penentangan terhadap ketidakadilan terdapat
lebih dari dua ratus peringatan dalam Al-Qur'an yang diungkapkan dengan menggunakan kata-kata
Zulm, Ithm, D{alal, dan sebagainya.[25]
Konsep keadilan dalam Islam ini, menurut
Baqir Al-Sadr, berakibat pada pertanggungjawaban timbal balik dan keseimbangan
sosial. Dari sini kemudian muncul beberapa ketentuan. Pertama,
kepemilikan bersama dalam pancaran sistem pendistribusian yang telah
ditentukan. Kedua, kebebasan yang dibatasi oleh nilai-nilai Islam dalam
lapangan produksi, penukaran dan konsumsi. Ketiga, menjamin kebahagiaan
masyarakat yang berdasarkan pada pertanggungjawaban secara timbal balik dan
merata.[26]
Berdasarkan paparan di atas, dapat
diketahui bahwa dunia ekonomi Islam berakar kuat pada ajaran dalam Al-Qur'an
dan Al-Sunnah dengan menjadikan tawh}id,
Khilafah dan ‘Adalah sebagai
prinsip dasar ekonomi Islam.
[1] M. Umar Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. Ikhwan
Abidin, (Jakarta : Gema Insani Press, 2000), 07
[2] Ibid, 204
[3] Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid : Its Complication for Tought and
Life, (Kuala Lumpur : International Institute Of Islamic Thought, 1982), 9
[4] Muhammad Shafiq, Mendidik Generasi Baru Muslim, Terj. Suhadi
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), 56-58
[5] M. Nejatullah Shiddiqi, Muslim Economic Thingking,
(Leicester: The Islamic Foundation, 1981), 5
[6] Al- Qur’an, 3: 191: 38: 27; 23: 15
[7] Ibid, 6: 142 – 145; 16: 10 – 16
[8] Ibid, 2: 213; 40: 13
[9] Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi..., 204
[10] Ahmad Muflih Syaifuddin, “Perbandingan Sistem Ekonomi Islam
dengan Kapitalisme dan Marxisme” dalam Wawasan Islam dan Ekonomi,
ed. Mustofa Kamal, (Jakarta: FEUI, 1997), 128
[11] A. M. Saefuddin dan Yusra Marasbessy, “Menerapkan Nilai-nilai
Islam di Lingkungan Universitas”, dalam Desekularisasi Pemikiran :
Landasan Islamisasi, A.M. Sefuddin, et, al., (Bandung : Mizan, 1993), 77
[12] Al-Qur'an, 2: 30; 6: 165; 38: 28
[13] Ismail Raji al-Faruqi, “Is the Muslim Definable in Term of his
Economic Pursuits?” dalam Islamic Perspectives, ed. Khursyid Ahmad M
dan Zafar Ishaq Anshari, (London: The Islamic Foundation, tt), 192
[14] Ismail Raji al-Faruqi, Islamisai Pengetahuan, Terj. Anas
Wahyuddin, (Bandung : Pustaka, 1995), 76-78
[15] Al-Qur'an, 15: 29; 30: 30; 95: 4
[16] Chapra, Islam...205
[17] Saefuddin dan Marasbessy, Desekularisasi Pemikiran, 87
[18] Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid......, 143
[19] Ali Abd.al-Raziq adalah seorang tokoh kontroversial dari Mesir
tengah. Dengan pemikirannya yang demikian, ada banyak ulama yang mengecam
terhadap hasil pemikirannya, seperti Hasan al-Banna dan Rashid Rida. Mereka
menganggap tesisnya dlm al-Isla>m wa Us}u>l al-Ahka>m berbehaya dan perlu diluruskan. Ini bisa dibaca dalam
ringkasan buku Islam dan Dasar-dasar
Pemerintahan oleh Ali Abd. al-Raziq.
[20] Ali Abd. al-Raziq, Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan, terj.
M. Zaid Su’di, (Yogyakarta: Jendela, 2002), 17-23.
[21] Chapra, Islam...208-211
[22]Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Vol I, Terj. Soeroyo,
Nastangin (Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995), 74
[23] Akbar S. Ahmad, Discovering Islam : Making Sence Moslem History
and Society, Terj. Nurding Ram dan Ramli Yakub dalam Citra Muslim :
Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, (Jakarta : Erlangga, 1992), 235
[24] Chapra, Islam....211
[25] Majid Khadduri, The Islamic Conception Of Justice,
(Baltimore : Jonhs Hopkins University, 1984), 10
[26] Muhammad Baqir Sadr, “General Edifice of the Islamic Economics”
dalam Islamic Economics: Contemporary Ulama Perspective, ed. Muhammad
Baqir Sadr dan Ayatullah Muhammad Thalighani (Kuala Lumpur: Iqra’, 1991), 34