KONSEP DASAR SISTEM EKONOMI ISLAM
A. Pengertian Ekonomi Islam Sejak kemunculan pertama kali di bumi, manusia telah dihadapkan pada persoalan bagaimana memelihara, ...

https://rohman-utm.blogspot.com/2011/04/konsep-dasar-sistem-ekonomi-islam.html
A.
Pengertian
Ekonomi Islam
Sejak kemunculan pertama kali di bumi,
manusia telah dihadapkan pada persoalan bagaimana memelihara, mempertahankan
dan menyambung kehidupannya. Mula-mula sebagai individu, lalu bekerja sama
sebagai anggota kelompok manusia yang makin lama makin berkembang jumlahnya.
Waktu terus berjalan, manusia bertambah banyak, kemudian manusia mesti bekerja
keras, bersaing, bertikai bahkan berperang untuk alasan klasik yang tak pernah
usang, yakni mempertahankan dan menyambung kehidupan duniawi.
Dunia ini telah menempuh jarak yang
panjang sejak abad pertengahan dan kini telah berubah menjadi rumit lagi dengan
berkembangnya ilmu-ilmu kemakmuran indrawi yang bernama ekonomi. Ekonomi memang
merupakan aktivitas yang boleh dikatakan sama tuanya dengan keberadaan manusia
di muka bumi ini. Tetapi ilmu ekonomi baru dikenal manusia ketika tahap perkembangan
peradaban tertentu tercapai dalam kehidupan manusia. Disiplin ilmu ekonomi
lahir sebagai sebuah disiplin ilmiah jauh berabad-abad lamanya, setelah
aktivitas dan persoalan ekonomi itu sendiri muncul dalam kehidupan manusia.
Ekonomi adalah pengetahuan tentang
peristiwa dan persoalan yang berkaitan dengan upaya manusia secara perseorangan
atau pribadi dan kelompok dalam memenuhi kebutuhan yang cenderung mengarah
tidak terbatas dengan dihadapkan pada sumber-sumber pemenuhan yang terbatas.[1]
Praktek perilaku tersebut berupa bagaimana, untuk apa dan oleh siapa organisasi
faktor-faktor produksi dilaksanakan, distribusi barang dan jasa serta
peruntukannya dalam suatu negara diberlakukan.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa
definisi ekonomi adalah membahas pembatasan problema ekonomi.[2]
Ini menurut pandangan para ahli di negara-negara Barat, ilmu ini dikembangkan
hanya untuk menghadapi problema tersebut sampai ditemukan cara pemecahan yang
paling efektif.
Menurut Mannan, ilmu ekonomi Islam adalah
merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi
rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Sehingga hendaklah tidak dikatakan
bahwa kaum muslimin dicegah untuk mempelajari masalah-masalah ekonomi yang non
Muslim, sebaliknya mereka yang diilhami oleh nilai-nilai Islam diperintahkan
syari'at untuk mempelajari masalah minoritas non Muslim dalam sebuah negara
Islam khususnya mengenai kemanusiaan pada umumnya.[3]
B. Sumber Hukum Ekonomi Islam
Dalam struktur ilmu ekonomi Islam,
sumber hukum di dalamnya adalah al-Qur’an,
al-Sunnah wa al-Hadits, al-Ijma, al-Qiyas wa al-Ijtihad. al-Qur’an
berfungsi sebagai sumber nilai yang memayungi seluruh praktek ekonomi.[4]
Prinsip ini kemudian di terjemahkan
secara empiris oleh Rasulullah SAW dalam Hadits dan Sunnahnya. Karena masalah
selalu berkembang seiring dengan perkembangan peradaban, sementara al-Qur’an
dan Sunnah secara tekstual tidak mungkin berkembang, maka perlu ditafsirkan
sedemikian rupa sehingga mampu mengikuti langgam kehidupan. Dari sinilah lalu
muncul kesepakatan kaum muslim tentang status masalah baru (Ijma’) dan
analoginya dengan masalah yang sudah ada (Qiyas).[5]
Disamping empat pilar utama ini,
masih ada beberapa sumber hukum lain yang berperan dalam ‘pembumian’ Ekonomi
Islam. Sumber hukum lain itu adalah istihsan, istislah, istishab, al-urf,
al-dzari’ah dan syar’ man qablana.[6].
1.
al-Qur’an
Al-Qur’an adalah Kalamullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk memberi hidayah, membimbing dan menuntun
umat manusia. Inilah mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi-Nya.
Dikatakan mukjizat terbesar karena bukan hanya dapat dinikmati oleh sang Nabi
saja, sebagaimana mukjizat Nabi yang lain, tapi sekaligus dapat dinikmati oleh
seluruh ummatnya di sepanjang jaman.[7]
2.
Al-Sunnah wa al-Hadits
Secara
harfiyyah, sunnah berarti cara, adat-istiadat dan kebiasaan hidup. Dalam
konteks hukum Islam, terminilogi Sunnah menunjuk pada seperangkat ucapan,
perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW.[8]
Sebagian Ulama membedakan
antara Sunnah dan Hadits. Sunnah adalah konsep yang telah di praktekkan oleh
Nabi dalam realitas empirik, sementara Hadits adalah konsep teoritik yang belum
tentu dipraktekkan oleh Nabi.[9]
Dalam
sistem hukum Islam, Sunnah berfungsi:
pertama, untuk mengukuhkan hukum yang sudah ada dalam al-Qur’an (QS. Al-Ma’idah 47-48); kedua,
menafsirkan hukum global yang sudah ada
dalam al-Qur’an (QS. Al-Nisa’: 16, 44); dan ketiga, menentukan hukum baru yang
sama sekali belum diatur oleh al-Qur’an.[10]
3.
al-Ijma’
Ijma
adalah kesepakatan ummat –baik cendikiawan maupun rakyat biasa[11]—tentang suatu masalah setelah wafatnya Nabi
Muhammad. Perbedaan Ijma’ dengan Sunnah
adalah bahwasanya Sunnah berbicara tentang masalah-masalah prinsipil, sementara
Ijma’ berbicara tentang yang teknis. Ini karena konsep Ijma’ lahir dari
dialektika umat dengan realitas yang mereka hadapi. Karena itulah, materi
kesepakatannya mencakup semua dimensi kehidupan, mulai dulu, sekarang,
hingga esok.
4.
al-Qiyas wa al-ijtihad
Qiyas
adalah menyamakann satu hukum yang belum ada ketentuan hukumnya dengan hukum
lain yang sudah ada hukumnya karena ada persamaan alasan (illat). Sedangkan
ijtihad adalah mengerahkan segala daya untuk menemukan hukum Syari’ah.
Penyandingan ijtihad dengan qiyas adalah untuk menunjukkan bahwasanya qiyas
merupakan metode ijtihad yang paling sering digunakan. Konsekwensi dari dilakukannya ijtihad adalah bahwasanya apa
yang dihasilkan masih ada dua kemungkinan; bisa salah, bisa benar. Jika salah
mendapat satu pahala, jika benar mendapat dua.[12]
5.
Sumber hukum Lainnya
i.
Istihsan
Istihsan adalah metode yang hanya dipakai oleh
kalangan Hanafiyyah.Secara harfiyyah istihsan berarti menganggap baik.
Secara terminologis. Istihsan adalah pengalihan dari illat (sebab efektif)
dalam qiyas ke illat lain karena ada sesuatu yang dianggap lebih baik.
Jual beli model Istshna’ yang diterapkan perbankan Syari’ah adalah
menggunakan pola istihsan.
ii.
Istishlah
Istishlah adalah menjadikan sesuatu diijinkan
atau dilarang karena semata-mata ada maslahah (kebaikan). Maslahah yang
dimaksud oleh istishlah adalah maslahah yang ‘dilepas’ (mursalah) oleh asyara’,
dalam arti tidak diakui secara tegas, tapi juga tidak dilarang. Contoh paling
nyata dari penerapan pola ini adalah kodifikasi al-qur’an dan hadits.
Kodifikasi ini tidak ada perintah, tidak ada larangan, tapi bermanfaat.
iii.
Istishab
Istishab
adalah menerapkan hukum yang telah berlaku di masa lampau untuk kasus yang baru
ada, atau sebaliknya, hukum kasus sekarang untuk menentukan kasus yang telah
lampau. Yang pertama disebut istishab al-madli ala al-hal, dan yang kedua
disebut istishabu al-hal ala al-madli, yang dalam sistem hukum modern
sering diistilahkan dengan hukum berlaku surut.
[1] Surasa Imam Zadjuli, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, (Surabaya:
FE Univwesitas Airlangga, 1999),8
[2] Yang dimaksud problema di sini adalah seluruh masyarakat, meskipun
berbeda-beda macam dan taraf kemajuannya, semuanya menghadapi fakta fundamental
akibat kebutuhan-kebutuhan mereka yang melebihi sumber-sumber yang tersedia.
Fakta inilah yang masyhur dikenal dengan nama “Problema Ekonomi” atau “Problema
Kelangkaan”. Ahmad Muhammad al-Assal & Fathi Ahmad Abd. Karim, Sistem,
Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, terj. Imam Saefudin, ( Bandung, Pustaka
Setia, 1999), 01
[3] M. Abd. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta
: Dana Bakti Prima Yasa, 1997), 19
[4] Informasi lebih detail mengenai struktur ilmu ekomini Islam, baca
Monzer Kahf, Ekonomi Islam,Terj. Mahnun Husain, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995), 1-15
[5] Bandingkan dengan Tulisan Muhammad ketika berbicara tentang sumber
akuntasi syari’ah. Muhammad, Pengantar Akuntansi Syari’ah (Jakarta:
salemba Empat, 2002), 73-97
[6] Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islamy,(Beirut: Dar al-Fikr,
1986), 415
[7] Subhi Sholeh, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Bairut: dar
al-Fikr, 1987), 37
[8] Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islamy, ,(Beirut: Dar
al-Fikr, 1986), 450
[9] al-Amudy, al-Ihkam, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 87
[10] Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul fiqh, (Kairo: Dar al-Qalam:
1980), 23
[11] Kesepakatan rakyat biasa apakah disebut ijma atau tidak masih
diperdebatkan. Hal ini karena pisisi ijma adalah sumber hukum . Jika rakyat
biasa diberi wewenang menetukan hukum, maka hukum dikhawatirkan akan rusak.
Demikian antara lain argumentasi yang keberatan. Sementara yang mendukung
mengatakan bahwa kolektifitas rakyat akan menjamin validitas pendapatnya. Baca:
Taqyuddin al-Subky, Jam’ul Jawami’, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 417-421
[12] Al-Syatiby, al-Muwafaqat (Kairo: Mathba’ah al-Tijariyyah,
1955), 234-237