rohmans

KONSEP DASAR SISTEM EKONOMI ISLAM

A.     Pengertian Ekonomi Islam Sejak kemunculan pertama kali di bumi, manusia telah dihadapkan pada persoalan bagaimana memelihara, ...


A.    Pengertian Ekonomi Islam
Sejak kemunculan pertama kali di bumi, manusia telah dihadapkan pada persoalan bagaimana memelihara, mempertahankan dan menyambung kehidupannya. Mula-mula sebagai individu, lalu bekerja sama sebagai anggota kelompok manusia yang makin lama makin berkembang jumlahnya. Waktu terus berjalan, manusia bertambah banyak, kemudian manusia mesti bekerja keras, bersaing, bertikai bahkan berperang untuk alasan klasik yang tak pernah usang, yakni mempertahankan dan menyambung kehidupan duniawi.
Dunia ini telah menempuh jarak yang panjang sejak abad pertengahan dan kini telah berubah menjadi rumit lagi dengan berkembangnya ilmu-ilmu kemakmuran indrawi yang bernama ekonomi. Ekonomi memang merupakan aktivitas yang boleh dikatakan sama tuanya dengan keberadaan manusia di muka bumi ini. Tetapi ilmu ekonomi baru dikenal manusia ketika tahap perkembangan peradaban tertentu tercapai dalam kehidupan manusia. Disiplin ilmu ekonomi lahir sebagai sebuah disiplin ilmiah jauh berabad-abad lamanya, setelah aktivitas dan persoalan ekonomi itu sendiri muncul dalam kehidupan manusia.
Ekonomi adalah pengetahuan tentang peristiwa dan persoalan yang berkaitan dengan upaya manusia secara perseorangan atau pribadi dan kelompok dalam memenuhi kebutuhan yang cenderung mengarah tidak terbatas dengan dihadapkan pada sumber-sumber pemenuhan yang terbatas.[1] Praktek perilaku tersebut berupa bagaimana, untuk apa dan oleh siapa organisasi faktor-faktor produksi dilaksanakan, distribusi barang dan jasa serta peruntukannya dalam suatu negara diberlakukan.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa definisi ekonomi adalah membahas pembatasan problema ekonomi.[2] Ini menurut pandangan para ahli di negara-negara Barat, ilmu ini dikembangkan hanya untuk menghadapi problema tersebut sampai ditemukan cara pemecahan yang paling efektif.
Menurut Mannan, ilmu ekonomi Islam adalah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Sehingga hendaklah tidak dikatakan bahwa kaum muslimin dicegah untuk mempelajari masalah-masalah ekonomi yang non Muslim, sebaliknya mereka yang diilhami oleh nilai-nilai Islam diperintahkan syari'at untuk mempelajari masalah minoritas non Muslim dalam sebuah negara Islam khususnya mengenai kemanusiaan pada umumnya.[3]
B. Sumber Hukum Ekonomi Islam
Dalam struktur ilmu ekonomi Islam, sumber hukum di dalamnya  adalah al-Qur’an, al-Sunnah wa al-Hadits, al-Ijma, al-Qiyas wa al-Ijtihad. al-Qur’an berfungsi sebagai sumber nilai yang memayungi seluruh praktek ekonomi.[4]
Prinsip ini kemudian di terjemahkan secara empiris oleh Rasulullah SAW dalam Hadits dan Sunnahnya. Karena masalah selalu berkembang seiring dengan perkembangan peradaban, sementara al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual tidak mungkin berkembang, maka perlu ditafsirkan sedemikian rupa sehingga mampu mengikuti langgam kehidupan. Dari sinilah lalu muncul kesepakatan kaum muslim tentang status masalah baru (Ijma’) dan analoginya dengan masalah yang sudah ada (Qiyas).[5]
Disamping empat pilar utama ini, masih ada beberapa sumber hukum lain yang berperan dalam ‘pembumian’ Ekonomi Islam. Sumber hukum lain itu adalah istihsan, istislah, istishab, al-urf, al-dzari’ah dan syar’ man qablana.[6]
1.      al-Qur’an
Al-Qur’an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk memberi hidayah, membimbing dan menuntun umat manusia. Inilah mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi-Nya. Dikatakan mukjizat terbesar karena bukan hanya dapat dinikmati oleh sang Nabi saja, sebagaimana mukjizat Nabi yang lain, tapi sekaligus dapat dinikmati oleh seluruh ummatnya di sepanjang jaman.[7]

2.      Al-Sunnah wa al-Hadits
Secara harfiyyah, sunnah berarti cara, adat-istiadat dan kebiasaan hidup. Dalam konteks hukum Islam, terminilogi Sunnah menunjuk pada seperangkat ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW.[8] Sebagian Ulama membedakan antara Sunnah dan Hadits. Sunnah adalah konsep yang telah di praktekkan oleh Nabi dalam realitas empirik, sementara Hadits adalah konsep teoritik yang belum tentu dipraktekkan oleh Nabi.[9]
Dalam sistem hukum Islam,  Sunnah berfungsi: pertama, untuk mengukuhkan hukum yang sudah ada dalam  al-Qur’an (QS. Al-Ma’idah 47-48); kedua, menafsirkan hukum global yang  sudah ada dalam al-Qur’an (QS. Al-Nisa’: 16, 44); dan ketiga, menentukan hukum baru yang sama sekali belum diatur oleh al-Qur’an.[10]
3.      al-Ijma’
Ijma adalah kesepakatan ummat –baik cendikiawan maupun  rakyat biasa[11]tentang suatu masalah setelah wafatnya Nabi Muhammad. Perbedaan Ijma’ dengan  Sunnah adalah bahwasanya Sunnah berbicara tentang masalah-masalah prinsipil, sementara Ijma’ berbicara tentang yang teknis. Ini karena konsep Ijma’ lahir dari dialektika umat dengan realitas yang mereka hadapi. Karena itulah, materi kesepakatannya mencakup semua dimensi kehidupan, mulai dulu, sekarang, hingga  esok.
4.      al-Qiyas wa al-ijtihad
Qiyas adalah menyamakann satu hukum yang belum ada ketentuan hukumnya dengan hukum lain yang sudah ada hukumnya karena ada persamaan alasan (illat). Sedangkan ijtihad adalah mengerahkan segala daya untuk menemukan hukum Syari’ah. Penyandingan ijtihad dengan qiyas adalah untuk menunjukkan bahwasanya qiyas merupakan metode ijtihad yang paling sering digunakan. Konsekwensi dari  dilakukannya ijtihad adalah bahwasanya apa yang dihasilkan masih ada dua kemungkinan; bisa salah, bisa benar. Jika salah mendapat satu pahala, jika benar mendapat dua.[12]
5.      Sumber hukum Lainnya
i.        Istihsan
Istihsan adalah metode yang hanya dipakai oleh kalangan Hanafiyyah.Secara harfiyyah istihsan berarti menganggap baik. Secara terminologis. Istihsan adalah pengalihan dari illat (sebab efektif) dalam qiyas ke illat lain karena ada sesuatu yang dianggap lebih baik. Jual beli model Istshna’ yang diterapkan perbankan Syari’ah adalah menggunakan pola istihsan.

ii.     Istishlah
Istishlah adalah menjadikan sesuatu diijinkan atau dilarang karena semata-mata ada maslahah (kebaikan). Maslahah yang dimaksud oleh istishlah adalah maslahah yang ‘dilepas’ (mursalah) oleh asyara’, dalam arti tidak diakui secara tegas, tapi juga tidak dilarang. Contoh paling nyata dari penerapan pola ini adalah kodifikasi al-qur’an dan hadits. Kodifikasi ini tidak ada perintah, tidak ada larangan, tapi bermanfaat.
iii.   Istishab
Istishab adalah menerapkan hukum yang telah berlaku di masa lampau untuk kasus yang baru ada, atau sebaliknya, hukum kasus sekarang untuk menentukan kasus yang telah lampau. Yang pertama disebut istishab al-madli ala al-hal, dan yang kedua disebut istishabu al-hal ala al-madli, yang dalam sistem hukum modern sering diistilahkan dengan hukum berlaku surut.


[1] Surasa Imam Zadjuli, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, (Surabaya: FE Univwesitas Airlangga, 1999),8
[2] Yang dimaksud problema di sini adalah seluruh masyarakat, meskipun berbeda-beda macam dan taraf kemajuannya, semuanya menghadapi fakta fundamental akibat kebutuhan-kebutuhan mereka yang melebihi sumber-sumber yang tersedia. Fakta inilah yang masyhur dikenal dengan nama “Problema Ekonomi” atau “Problema Kelangkaan”. Ahmad Muhammad al-Assal & Fathi Ahmad Abd. Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, terj. Imam Saefudin, ( Bandung, Pustaka Setia, 1999), 01
[3] M. Abd. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta : Dana Bakti Prima Yasa, 1997), 19
[4] Informasi lebih detail mengenai struktur ilmu ekomini Islam, baca Monzer Kahf, Ekonomi Islam,Terj. Mahnun Husain, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 1-15
[5] Bandingkan dengan Tulisan Muhammad ketika berbicara tentang sumber akuntasi syari’ah. Muhammad, Pengantar Akuntansi Syari’ah (Jakarta: salemba Empat, 2002), 73-97
[6] Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islamy,(Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 415
[7] Subhi Sholeh, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Bairut: dar al-Fikr, 1987), 37
[8] Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islamy, ,(Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 450
[9] al-Amudy, al-Ihkam, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 87
[10] Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul fiqh, (Kairo: Dar al-Qalam: 1980), 23
[11] Kesepakatan rakyat biasa apakah disebut ijma atau tidak masih diperdebatkan. Hal ini karena pisisi ijma adalah sumber hukum . Jika rakyat biasa diberi wewenang menetukan hukum, maka hukum dikhawatirkan akan rusak. Demikian antara lain argumentasi yang keberatan. Sementara yang mendukung mengatakan bahwa kolektifitas rakyat akan menjamin validitas pendapatnya. Baca: Taqyuddin al-Subky, Jam’ul Jawami’, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 417-421
[12] Al-Syatiby, al-Muwafaqat (Kairo: Mathba’ah al-Tijariyyah, 1955), 234-237

Follow Us

Profile

About Me
Dr. Abdurrohman S.Ag. M.EI
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura. . Selengkapnya

Total Pageviews

Recent Posts

Random

Comments

Contact Us

Name

Email *

Message *

Populer

item