KEBUTUHAN DAN KEINGINAN
Sejak kemunculan pertama kali di bumi, manusia telah dihadapkan pada persoalan bagaimana memelihara, mempertahankan dan menyambung k...

https://rohman-utm.blogspot.com/2011/04/kebutuhan-dan-keinginan.html
Sejak kemunculan pertama kali di bumi,
manusia telah dihadapkan pada persoalan bagaimana memelihara, mempertahankan
dan menyambung kehidupannya. Mula-mula sebagai individu, lalu bekerja sama
sebagai anggota kelompok manusia yang makin lama makin berkembang jumlahnya. Waktu
terus berjalan, manusia bertambah banyak, kemudian manusia mesti bekerja keras,
bersaing, bertikai bahkan berperang untuk alasan klasik yang tak pernah usang,
yakni mempertahankan dan menyambung kehidupan duniawi.
Berbicara masalah kebutuhan, semua manusia
mempunyai kebutuhan, yang merupakan akar permasalahan ekonomi. Kebutuhan
manusia berkembang seiring dengan perkembangan peradaban. Dengan demikian
manusia mempunyai kebutuhan yang tak terbatas benarkah demikian ? Apakah
kebutuhan itu ? Apakah ia (kebutuhan)
sama dengan keinginan ?
Jawaban dari ultimate
concens ini memiliki kaitan erat dengan keyakinan keagamaan (religius
beliefs) yang telah membentuk pandangan dunia (world views) dalam
benak masing-masing individu yang mencoba memberikan jawaban. Ima>m al-Ghaza>li>
telah memberikan jawabannya secara sangat mendalam, komprehensif, rinci dan
akurat. Jawaban al-Ghaza>li> tampaknya kini menjadi acuan dan obor
penerang bagi para ekonom muslim yang sedang mengembangkan disiplin ilmu
ekonomi Islam (Islamic Economics). Karya-karyaal-Ghaza>li> dalam
mengupas karakter homo Islamicus dapat
ditemukan pada sejumlah karyanya anat ara lain
Ihya>’ Ulu>m al-Di>n pada bab al-Kasbi wa-al Ma’a>shi, kitab al-Mustas}fa>, al-Tibru
al-Masbu>’ ala> Nasi>ha al-Mulk, al-Arbai>n fi Us}ul
al-Di>n dan Miza>n al-Amal yang dapat dijadikan bahan
referensi penulis untuk mengetahui konsep kebutuhan dan Keinginan.
Menurut al-Ghaza>li>
kebutuhan (ha>jat) adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu
yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya seperti kebutuhan makanan untuk menolak
kelaparan dan melangsungkan kehidupan,
kebutuhan pakaian untuk menolak panas dan dingin. Sebagaimana ungkapan-nya.
أَنَّ اْلِإنْسَانَ مُضْطَرٌّ ِإلىَ ثَلاَثٍ َالْقُوْتُ وَالْمَسْكَنُ وَالْمَلْبَسُ فَالْقُوْتُ لِلْغَذَاءِ وَالْبَقَاءِ وَالْمَلْبَسُ ِلدَفْعِ الْحَرِّ وَاْلبَرْدِ وَالْمَسْكَنُ ِلدَفْعِ الْحَرِّ وَاْلبَرْدِ وَلِدَفْعِ أَسْبَابِ الْهَلاَكِ عَنِ اْلأَهْلِِ وَالْمَالِ.
Sesungguhnya manusia disibukkan pada tiga kebutuhan
yaitu makanan (pangan), tempat (papan), dan pakian
(sandang). Makanan untuk menolak kelaparan
dan
melangsungkan kehidupan, kebutuhan pakaian untuk menolak panas dan dingin,
serta tempat pakaian untuk menolak panas
dan dingin, serta menolak dari kerusakan.[1]
Senada dengan pernyataan
diatas, al-Ghaza>li> dalam Kita>b al-Arbai>n fi Usu>l al-Di>n
pada bab fi Ta}lab al-Hala>l[2] menyatakan menyatakan ketiga
kebutuhan yaitu makanan (pangan), tempat
(papan),
dan pakian (sandang) dengan berbagai manfaat dan sarana yang harus
dilalui. Makanan untuk menolak kelaparan
dan
melangsungkan kehidupan, kebutuhan pakaian untuk menolak panas dan dingin,
serta tempat pakaian untuk menolak panas
dan dingin, serta menolak dari kerusakan.
Pada tahapan ini mungkin
tidak bisa dibedakan antara keinginan (shahwat) dan kebutuhan (hajat)
dan terjadi persamaan umum antara homo economicus dan homo Islamicus.
Namun, individu harus mengetahui bahwa
tujuan utama diciptakannya nafsu ingin makan misalnya, (syahwah al-tho’a>m)
adalah untuk menggerakkannya mencari makan dalam rangka menutup kelaparan,
sehingga fisik manusia tetap sehat dan mampu menjalankan fungsinya secara
optimal sebagai hamba Allah untuk beriba dah kepada-Nya. Di sinilah letak
perbedaan mendasar antara filosofi yang melandasi teori permintaan Islami dan
konvensional. Beliau selalu mengaitkan kegiatan memenuhi kebutuhan dengan
tujuan utama manusia diciptakan. Manakala manusia lupa pada tujuan
penciptaannya, maka esensinya pada saat itu tidak berbeda dengan binatang
ternak yang makan karena lapar saja. Sebagaimana ungkapan al-Ghaza>li>
مِنْ شَهْوَةِ الدُّنْياَ وَهِيَ شَهْوَةُ الْبَطْنِ وَالْفَرْجُ فَهَؤُلاَءُ نَسُوْا أَنْفَسَهُمْ...يَأْكُلُوْنَ كَمَا تَأْكُلُ اْلأَنْعَامَ وَيَظُنُّوْنَ أَنَّهُمْ إِذْا نَالُوْا ذلَِكَ فَقَدْ َأدْرَكُوْا غَايَةَ السَّعَادَةِ
Keinginan (Syahwah al-Dunya>)
adalah keinginan perut (Syahwah al-Batn) dan sex. Mereka melupakan dirinya….
memakan seperti makannya binatang, mereka berpendapat bahwa hal demikian merupakan
tujuan untuk mencapai kebahagiaan.[3]
Dalam al-Tibru al-Masbu>’
ala> Nasi>ha al-Mulk al
Ghaza>li> memberikan peringatan kepada prilaku konsumen untuk tidak sibuk
pada syahwah (istigha>l bi al-syahawa>t) dengan pernyataan sebagai
berikut:
أن لا تعود
نفسك الاشتغال بالشهوات من لبس الثياب الفاخرة وأكل الأطعمة الطيبة، لكن تستعمل القناعة في جميع
الأشياء فلا عدل بلا قناعة.
Janganlah
engkau membiasakan dirimu sibuk mengurusi berbagai keinginan seperti pakaian
kebesaran atau memakan makanan lezat. Akan tetapi, hendaklah engkau bersikap Qana>ah
dalam setiap perkara.[4]
Al-Ghaza>li> dalam Miza>n al-Amal,[5] menyatakan terkait dengan keberadaan Syahwah, ketika
ditanya tentang perbedaan antara syahwah dan hawa nasfu, al-Ghazali
menjawab tidak ada perbedaan signifikan pada keduanya. Karena keduanya akan
memberikan dampak negative pada manusia yang pada gilirannya dapat
menghantarkan kedudukan manusia pada tngkat yang paling hina (asfala
al-safili>n).
Argumentasi al-Ghaza>li>
jelas telah membedakan antara keinginan dan kebutuhan (ha>jah),
sesuatu yang tampaknya agak sepele tetapi memiliki konsekuensi yang amat besar
dalam ilmu ekonomi. Karena dari pembedaan antara keinginan (wants) dan
kebutuhan (needs), akan terlihat betapa bedanya ilmu ekonomi Islam
dengan konvensional. Munculnya ilmu ekonomi konvensional itu sendiri diyakini
oleh para penggagasnya karena terjadi
kesenjangan antara sumber-sumber daya yang terbatas (limited resources)
dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas (unlimited wants).
Kebutuhan dalam Ilmu
ekonomi konvensional, kita akan menjumpai bahwa kebutuhan selalu didefinisikan sebagai keinginan untuk
memperoleh suatu sarana tertentu, baik berupa jasa maupun barang,[6]
beserta alat pemuasnya.[7]
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa; kebutuhan (al-ha>jah)
manusia diterjemahkan sama dengan keinginan (raghbat) manusia.[8]
Dalam bahasa Ingris, akan
selalu ditemukan kata-kata need, want, wish dan desire. Jika
merujuk pada sejumlah kamus bahasa Ingris
bahwa kata need diterjemahkan dengan kebutuhan (al-ha>jah),
sementara kata yang lain diterjemahkan dengan keinginan raghbat, kecenderungan
(al-mail) dan rangsangan nafsu (al-syahwat). Sungguhpun demikian,
sebenarnya ada perbedaan yang sangat signifikan antara kebutuhan dan keinginan. Perbedaan tersebut bisa dilihat dalam gambar
dibawah ini:
Gambar tersebut menjelaskan al-Ghazali menekankan pada nilai moral
yang begitu ketat dalam memasukkan “keinginan” (wants) dalam motif aktivitas ekonomi terutama dalam
konsumsi. Mengapa? Dalam banyak ketentuan prilaku ekonomi Islam, dominasi motif
“kebutuhan” (needs) menjadi nafas dalam perekonomian bernilai moral Islam ini,
bukan keinginan. Apa perbedaan dan konsekwensinya?
Kebutuhan (needs) lebih didefinisikan sebagai segala keperluan dasar
manusia untuk kehidupannya. Sementara keinginan (wants) didefinisikan sebagai
desire (kemauan)[2] manusia atas
segala hal. Jadi ruang lingkup definisi keinginan akan lebih luas dari definisi
kebutuhan. Contoh sederhana dalam menggambarkan perbedaan kedua kata ini dapat
dilihat dalam konsumsi manusia pada air untuk menghilangkan dahaga. Kebutuhan
seseorang untuk menghilangkan dahaga mungkin akan cukup dengan segelas air
putih, tapi seseorang dengan kemampuan dan keinginannya dapat saja memenuhi
kebutuhan itu dengan segelas wishky, yang tentu lebih mahal dan lebih memuaskan
keinginan.
Memang diakui bahwa perbedaan keinginan dan kebutuhan begitu relative diantara
satu manusia dengan manusia lain. Salah satu factor yang cukup menentukan dalam
membedakan keduanya adalah menilai keduanya menggunakan perspektif kolektifitas
(kebersamaan atau kejama’ahan). Dan inilah yang sebenarnya parameter umum yang
harus digunakan dalam menilai sebuah kemanfaatan dari sesuatu termasuk
mengidentifikasi perbedaan antara keinginan dan kebutuhan. Dengan kebersamaan
kita dapat menilai seperti apa keadaan lingkungan manusia di sekitar kita,
sehingga dengan sangat mudah kita dapat menentukan apakah tindakan kita itu
mencerminkan kebutuhan atau keinginan.
Namun perlu juga diingat bahwa konsep keperluan dasar dalam Islam ini sifatnya
tidak statis, artinya keperluan dasar pelaku ekonomi bersifat dinamis merujuk
pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat. Sehingga dapat saja pada tingkat
ekonomi tertentu sebuah barang yang dulu lebih dikonsumsi akibat motifasi
keinginan, pada tingkat ekonomi yang lebih baik barang tersebut telah menjadi
kebutuhan. Jadi parameter yang membedakan definisi kebutuhan dan keinginan ini
(sekali lagi) tidak statis, ia bergantung pada kondisi perekonomian serta
ukuran kemashlahatan. Dengan standar kamashlahatan konsumsi barang tertentu
dapat saja dinilai kurang berkenan ketika sebagian besar ummat atau masyarakat
dalam keadaan susah.
Dengan demikian sangat jelas terlihat bahwa prilaku ekonomi Islam
tidak didominasi oleh nilai alamiah yang dimiliki oleh setiap individu manusia,
ada nilai diluar diri manusia yang kemudian membentuk prilaku ekonomi mereka.
Dan nilai tersebut adalah Islam itu sendiri, yang diyakini sebagai tuntunan
utama dalam hidup dan kehidupan manusia. Jadi berkaitan dengan variabel
keinginan dan kebutuhan ini, Islam sebenarnya cenderung mendorong keinginan
pelaku ekonomi sama dengan kebutuhannya. Dengan segala nilai dan norma yang ada
dalam akidah dan akhlak Islam peleburan atau asimilasi keinginan dan kebutuhan
dimungkinkan untuk terjadi.
Peleburan keinginan dengan kebutuhan dalam diri manusia Islam
terjadi melalui pemahaman dan pengamalan akidah dan akhlak yang baik (Islamic
norms). Sehingga
ketika asimilasi itu terjadi, maka terbentuklah pribadi-pribadi muslim
(homo-islamicus) yang kemudian menentukan prilaku ekonominya yang orisinil yang
bersumber dari Islam. Dan secara simultan otomatis ekonomi tentu akan
mengkristal menjadi sistem yang jelas berbeda dengan sistem ekonomi yang telah
eksis saat ini.
1.
Pembagian Kebutuhan
Hingga saat ini, umumnya orang berpendapat
bahwa kebutuhan manusia terbagi menjadi dalam tiga hal yaitu kebuthan primer,
sekunder dan tersier. Demikian juga al-Ghaza>li>
juga membagi kebutuhan manusia menjadi tiga bagian yaitu :
اِنَّ اْلمَصْلَحَةََ بِاعْتِباَرِ قُوْتِهَا فِى ذَاتِهاَ تَنْقَسِمُ اِلىَ مَا هِىَ فِى رَتْبَةِ الضَّرُوْرَاتِ وَ اِلىَ مَا فِى رَتْبَةِ ْالحَاجَاتِ وَاِلىَ مَا هِىَ فِى رَتْبَةٍ وَ اِلىَ مَا َيتَعَلَّقُ بِالتَّحْسِيْناَتِ وَ التَّزْيِيْنَاتِ. وَتَتَقاَعَدَ أَيْضًا عَنْ رَتْبَةِ اْلحَاجَاتِ
Maslahah dilihat dari kekuatan subtansinya
terbagi menjadi tiga tingkatan, Pertama,
tujuan yang menempati posisi d}aru>rat (kebutuhan primer) Kedua,
ada yang menempati posisi ha>jat (kebutuhan skunder ). Ketiga,
ada pula menempati posisi Tahsi>niyya>t wa al-Zi>nat (kebutuhan
pelengkap penyempurna), yang berada dibawah hajat.[9]
Argumentasi al-Ghazali tidak ada
makna yang berarti jika tidak ada penjelasan yang rinci ketiga macam kebutuhan
tersebut. Pandangan al-Ghaza>li> tidak saja menjelaskan terkait dengan
kebutuhan materi saja, melainkan al-Ghazali selalu mengedapankan muatan spiritual.
Adapun penjelasan ketiga kebutuhan tersebut
adalah sebagai berikut:
2.1 Kebutuhan
D}aru>riyat ( kebutuhan Primer )
D}arûrîyat
الضـروريـة)) kebutuhan tingkat primer
adalah sesuatu yang harus ada untuk keberadaan manusia atau tidak sempurna
kehidupan manusia tanpa terpenuhinya kebutuhaan
tersebut.
D}aru>riyat sering
digunakan untuk merujuk pada semua dan jasa
yang memenuhi kebutuhan primer (primery goods) atau mengurangi
kesukaran. Kebuthan primer meliputi
sandang, pangan dan papan. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan
menganjam kelangsungan hidup atau survival (al-Baqa>’) manusia di muka
bumi.
Adapun yang termasuk
kebutuhan primer menurut al-Ghaza>li> adalah ada lima hal yang harus ada pada manusia
sebaga ciri atau kelengkapan kehidupan manusia.
Berikut adalah ungkapannya:
َأمَّا الْمَصَْلحَةُ َفهِيَ ِعبَارَةٌ فِي ْالأَصْلِ عَنْ جَلْبِ َمْنفَعَةٍ َأْو َدفْعِ َمضََّرةٍ َولَْسنَا نَعْنِي ِبِه َذِلكَ َفِإنَّ َجلْبَ اْلَمْنَفَعَةِ َوَدْفعِ اْلَمَضَرَّةِ َمقَاِصدُ اْلخَلْقِ َوِصلاَحُ اْلخَلْقِ فِي تَحْصِْيلِ َمقَاِصِدِهمَ لَكَِّنا نَعْنِي بِاْلمَصْلَحَةِ اَلْمُحَافَظَةُ عَلىَ َمقْصُْوِد الشَّرْعِ وَمَقْصُوْدُ الشَّرْعِ مِنَ اْلخَلْقِ خَمْسَةٌ وَهُوَ أَنْ يَحْفَظَ عَلَيْهِمْ دِيْنَهُمْ وَنَفْسَهُمْ وَعَقْلَهُمْ وَنَسْلَهُمْ وَمَالَهُمْ فَكُلُّ مَا يَتَضَمَّنُ حِفْظَ هَذِهِ اْلأُصُوْلِ الْخَمْسَةِ فَهُوَ مَصْلَحَةٌ وََكُلُّ مَا يَفُوْتُ هَذِهِ اْلأُصُوْلَ فَهُوَ مَفْسَدَةٌ َوَدفْعُهَا مَصْلَحَةٌ وَإذَا َأْطلَقْنَا الْمَعْنَى الْمُخَيَّلَ وَالْمُنَاِسبَ فِي كِتَابِ اْلِقيَاِس َأَرْدنَا ِبهِ َهذَا اْلِجْنسَ َوهَذِهِ الأُصُوْلُ الْخَمْسَةُ ِحفْظُهَا وَاَقعَ فِي رَتْبَةِ الضَّرُوْرَاتِ َفهِيَ َأقْوَى الْمَرَاِتبِ فِي اْلَمصَالِحِِ
………..Yang dimaksud dengan mas}lahah
adalah memelihara tujuan syara’ dan tujuan syara dari makhluk ada lima yaitu:
Memelihara agama (al-Di>n), Memelihara jiwa(an-Nafs),, Memelihara akal (al-‘Aql),, Memelihara keturunan (an-Nasl). dan
Memelihara harta benda (al-Ma>l). Setiap yang mengandung upaya memlihara kelima prinsip
tersebut disebut mas}lahah, dan setiap yang menghilangkan prinsip
tersebut mafsadat dan menolaknya disebut mas}lahat. Kelima dasar
(prinsip memilihara kebutuhan dasar) berada pada tingkatan d}aru>rat
(kebutuhan primer)[10]
al-Ghaza>li> dengan
jelas menyebutkan bahwa hal-hal yang sifatnya d}aru>riyyat yang merupakan bahwa kebutuhan dasar manusia harus mencakup lima hal, yaitu terjaganya
kehidupan beragama (al-Di>n), terpeliharanya jiwa (al-Nafs), terjaminnya berkreasi dan berfikir (al-‘Aql), keberlangsungan
meneruskan keturunan (al-Nasl) dan terpenuhinya kebutuhan
materi (al-Ma>l).
Lima kebutuhan esensial (d}aru>riyyat)
tersebut menurut al-Ghaza>li>
merupakan satu kesatuan yang tidak boleh
dipisahkan. Bila ada satu jenis yang sengaja diabaikan, akan menimbulkan
ketimpangan dalam hidup manusia. Manusia hanya dapat melangsungkan kehidupannya
dengan baik jika kelima macam kebutuhan tersebut terpenuhi dengan baik pula.
Artinya al-Ghaza>li>
mencoba untuk membangun orientasi dalam melakukan konsumsi adalah tindakan yang
seharusnya dilakukan oleh setiap pelaku ekonomi muslim dalam mengarahkan
kegiatan konsumsinya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang lima tersebut.
Jika gambarkan dalam bentuk bagan adalah sebagai berikut:

Gambar: 4
Gambaran di atas memberikan pemahaman bahwa orientasi
yang ingin dicapai oleh kebutuhan primer harus menjangkau pada aspek yang
universal dan berdimensi spiritual.
2.2. Kebutuhan Ha>jiyat ( kebutuhan sekunder )
Kemudian hajjîyat ialah menyangkut
kepentingan atau mas}lahat yang sifatnya sekunder. Sekiranya aspek hajjiyi
ini tidak/belum terwujud tidaklah membawa atau menimbulkan bencana atau
kerusakan, tetapi dapat menimbulkan kesulitan bagi manusia. Misalnya dalam
lapangan ibadah Allah memberikan jalan keluarnya, yaitu ada rukhs}ah.
Misalnya boleh tidak berpuasa jika sakit atau safar dalam jarak
tertentu, atau boleh meng-qashar shalat dalam perjalanan.
Ha>jiya>t
adalah ungkapan yang dipergunakan untuk semua
barang dan jasa yang tidak mungkin diklasifikasikan secara tegas kedalam
kelengkapan, dan beberapa fleksibelitas sangat dikehendaki dalam
mendefinisikan kategori ini. Dalam
Ilmu ekonomi modern biasanya disebut dengan secondary goods. Kebutuhan sekundar ini merupakan kelengkapan
yang berada disekitar kebutuuhan pokok dan berfeadeh untuk melengkapi d}aru>riyyat.
Untuk lebih jelas tentang ungkapan
al-Ghaza>li> tentang secondary good / ha>jiyat
(kebutuhan sekunder) dapat disimak pernyataannya dibaawah ini.
َالرَّتْبَةُ الثَّانِيَّةُ مَا يَقَعُ فِي رَتْبَةِ اْلحَاجَاتِ مِنَ اْلمَصَالِحِ وَالْمُنَاسِباَتِ كَتَسْلِيْطِ الوَلِي عَلىَ تَزْويْجِ الصَّغِِِِِيْرَةِ وَالصَّغِيْرِ فَذَلِكَ لاَ ضَرُوْرَةَ إِلَيْهِ لَكِنَّهُ مُحْتَاجٌ ِإلَيْهِ فِي ِاقْتِنَاءِ الْمَصَالِحِ وَتَقْيِيْدِ الأَكْفَاءِ خِيْفَةً مِنَ الْفَوَاتِ وَاسْتَغْنَامَا لِلصّلاحِ الْمُنْتَظَرِ فِي اْلمآلِ
Tingkatan
kedua adalah mas}lahah yang berada pada posisi hajat, seperti pemberian
kekuasaan kepada walinya untuk mengawinkan anaknya yang masih kecil. Hal ini
tidak sama pada batas d}aru>rat (sangat mendesak) tetapi diperlukan
untuk mencapai kemaslahatan untuk mencari kesetaraan (kafah) agar dapat dikendalikan, karena khwatir
kalau-kalau kesempatan tersebut terlewatkan dan untuk mendapatkan kebaikan yang
diharapkan pada masa datang.[11]
Tujuan tingkat sekunder bagi
kehidupan manusia adalah sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia, tetapi
tidak mencapai tingkat d}aru>ri>. Seandainya kebutuhan itu tidak
terpenuhi maka dalam kehidupan manusia, tidak akan meniadakan atau merusak
kehidupan itu sendiri. Meskipun tidak akan sampai merusak kehidupan, namun
keberadaanya dibutuhkan untuk memberikan kemudahan dalam kehidupan. Tujuan
penetapan hukum syara’ dalam bentuk ini di sebut tingkat hajiyat.
2.3. Kebutuhan tahsiniya>t ( kebutuhan pelengkap )
Selanjutya mengenai kebutuhan
tahsînîyat adalah menyangkut kepentingan yang sifatnya pelengkap
atau kesempurnaan saja. Tetapi maslahah
itu menempati tahsi>n (
mempercantik) taszi>n (memperindah) dan taisi>r
(mempermudah) untuk mempermudah keistimewaan, nilai tambah, dan memelihara
sebaik-baik sikap dalam kehidupan sehari-hari serta mu’a>malah. Sekiranya
tidak terpenuhi tidaklah menimbulkan kesulitan dan tidak pula mengancam salah
satu dari lima kepentingan pokok di atas. al-Ghaza>li> menjelaskan bahwa
kepentingan tahsînîyat ini hanya berkaitan dengan kepatutan dan
kepantasan menurut adat kebiasaan (محاسن العـادات), keindahan
yang sesuai dengan ketentuan akhlaq yang
berlaku dalam kehidupan.
Dalam
hal kebutuhan pelengkap (tahsînîyat ) al-Ghaza>li> menyatakan:
الرَّتْبَةُ الثَّالِثَةُ مَا لاَ يَرْجِعُ إِلىَ ضَرُوْرَةٍ وَلاَ ِإلىَ حَاجَةٍ وَلَكِنَّ يَقَعُ مَوْقِعَ التَّحْسِيْنِ وَالتَّزْيِِيْنِ وَالتَّيْسِيْرِ ِللْمَزَايَا وَالْمَزَاِئدِ وَرِعَايَةِ أَحْسَنِ الْمَنَاهِجِ فِي الْعَادَاتِ وَالْمُعَامَلاَتِ
Tingkatan
ketiga ialah maslahah yang tidak kembali kepada d}aru>ra>t dan
tidak pula ke ha>jat. Tetapi mas}lahah itu menempati tahsi>n ( mempercantik) taszi>n
(memperindah) dan taisi>r (mempermudah) untuk mempermudah
keistimewaan, nilai tambah, dan memelihara sebaik-baik sikap dalam kehidupan
sehari-hari serta mu’a>malah[12]
Tujuan
tingkat kebutuhan pelengkap adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk memperindah
kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan pelengkap, kehidupan tidak akan rusak
dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan. Keberadaannya dikehendaki untuk
kemuliaan akhlak dan kebaikan tata tertib pergaulan. Tujuan dalam tingkat ini
disebut tahsiniya>t.
al-Ghaza>li> pada tahapan kebutuhan ketiga ini mempertegas
bahwa posisi tahsiniyat adalah pada posisi pertama: tahsi>n
(mempercantik) Kedua: taszi>n
(memperindah) dan Ketiga: taisi>r (mempermudah). Hal
ini dimaksudkan untuk mempermudah keistimewaan, nilai tambah, dan memelihara
sebaik-baik sikap dalam kehidupan sehari-hari serta mu’a>malah (aktivitas
ekonomi).
al-Ghaza>li> benar-benar
memahami kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi secara pasti adalah
kebutuhan-kebutuhan primer individu, dalam kapasitasnya sebagai manusia, bukan
kebutuhan sekunder ataupun tersier. Meskipun kebutuhan tersier tersebut juga
bisa saja diupayakan dan dipenuhi.
Oleh
karena itu, sebenarnya kebutuhan-kebutuhan
primer tersebut terbatas kuantitasnya, dimana kekayaan dan jerih payah
(tenaga) yang mereka sebut dengan harta dan jasa yang ada di dunia itu
sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan–kebutuhan primer. Seluruh kebutuhan
primer tersebut bisa saja dipenuhi secara menyeluruh oleh masing-masing konsumen.
Sehingga tidak akan ada masalah dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer
tersebut, lebih-lebih dengan menganggapnya sebagai masalah ekonomi yang
senantiasa akan dihadapi oleh masyarakat.
Agar
terpenuhi kebutuhan manusia, al-Ghaza>li> menyarankan dalam berusaha tidak hanya untuk
memenuhi tingkatan sekedar/hanya menjadi
penyambung hidup nya. Al-Ghazali menyatakan :
ِإذَا ِاقْتَصَرَ النَّاسُ عَلَى سَدِ الرَّمْقِ َوزَجُوْا أَوْقَاتَهُمْ عَلَى الضَّعْفَ فَشَا فِيْهِمْ َالْمَوْتَانِ وَبَطَلَتِ اْلأَعْمَالِ وَالصِّنَاعَاتِ وَخَرَبَتِ الدُّنْياَ بِالْكُلِيَّةِ وَفِي خَرَابِ الدُّنْياَ خَرَابُ الدِّيْنِ لِأَنَّهَا مَزْرَعَةُ الآخِرَةِ
“ Jika orang tetap tinggal pada tingkatan
subsisten (sadd ar-ramaq) dan menjadi sangat lemah, maka angka kematian akan meningkat, semua pekerjaan dan kerajinan akan berhenti, dan masyarakat akan binasa.
Selanjutnya agama akan hancur, karena kehidupan dunia adalah persiapan bagi
kehidupan akhirat[13]
Kajian
al-Ghaza>li> tentang
kebutuhan dan keinginan banyak bersentuhan dengan apa yang telah di kemukakan
oleh al-Juwayni dalam kitab al-Burha>n fi Us}u>l al-Fiqh, hal ini
wajar karena al-Juwayni al-Haramian (w 478 H) adalah guru al-Ghaza>li>. Begitu juga ulama sesudahnya seperti Imam Syatibi (w 790
H) dalam kitab al-Muwafaqat dan Ibnu Khaldun (w 808 H) dalam kitab al-Muqaddimah.
Pembahasan tingkatan kebutuhan ini menjadi menarik perhatian ulama sepanjang
zaman, karena Islam memberikan norma-norma dan batasan-batasan pada individu dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Norma-norma dan
batasan-batasan ini ada gilirannya akan membentuk gaya hidup (life sklil) dan pola prilaku
konsumsi (patterns of comsumption behaviour) tertentu yang secara lahiriyah akan
membedakan antara gaya hidup yang diilhami roh Islam dan tidak diilhami.
Gambar
Tiga macam Kebutuhan Manusia
menurut al-Ghazali

Gambaran di atas selain
menunjukkan pembagian kebutuhan tetapi sebenarnya al-Ghazali juga memberikan model keseimbangan kebutuhan hidup didunia dan
kehidupan di akhirat. Dalam bentuk keseimbangan ini, manusia sangat membutuhan
agama (al-Din) karena ia terkait dengan keimanan dan ketakwaan. Pilar
pokok keimanan dan ketakwaan terimplementasi pada lima rukun Islam yang harus dijalankan
secara sempurna. Bersamaan dengan hal tersebut manusia membutuhkan kehidupan
aman, nyaman, sehat, terpenuhi hak-haknya dan tentram yang terbingkai dalam
jiwa (al-Naf). Seiring denga agama dan jiwa manusia perlu pendidikan (al-Aql).
Tidak cukup sampai, karena manusia masih membutuhkan rumah tangga yang sakinah
( Nasl). Selanjutnya manusia masih membutuhkan harta (al-Ma>l)
dan disinilah al-Ghazali banyak membicarakan soal sandang, papan dan pangan.
Hajiyat berfungsi untuk melengkapi kebutuhan Dhuririyat sedang Tahsiniyat
berfungsi untuk menambah keindahan dan kesenangan hidup.
[2] Al-Ghazali,
Kitab al-Arbai>n Fi Us}ul al-Din,( Da>r al-Jaili: Baeru>t,
1988), 98-99 dan 154-155. Pada bab ini
al-Ghaza>li> banyak menyinggung masalah bagaimana mencari rezeki yang
halal serta kerusakan bagi yang tidak mencarinya hingga ancaman bagi mereka
yang suka menumpuk-numpuk harta. Tentang bagaimana bahaya orang yang gila harta
dibahas secara lengkap pada bab al-Bukhlu wa Hub al-Ma>l.
فإن
قلت فهل من فرق بين الهوى والشهوة؟ قلنا لا حجر في العبارات، ولكن نعني الهوى
المذموم من جملة الشهوات، دون المحمود. والمحمود من فعل الله تعالى،
وهي قوة جعلت في الإنسان لتنبعث بها النفس لنيل ما فيه صلاح بدنه، إما بإبقاء بدنه
أو بإبقاء نوعه، وإصلاحها جميعاً. والمذموم من فعل النفس الأمارة بالسوء، وهو
استحبابها لما فيه لذتها البدنية. وهذه الشهوة إذا غلبت سمّيت هوى، فإنها ستتبع
الفكرة وتستخدمها لتستغرق وقتها في الامتثال لأمرها. والفكرة مترددة بين الشهوة
والعقل، يخدمها العقل فوقها، والشهوة تحتها. فمتى مالت الفكرة نحو العقل ارتفعت
وشرفت وولدت المحاسن، وإذا مالت إلى الشهوة تسفّلت إلى أسفل السافلين، وولدت
القبائح
[7] Taqyuddin
An-Nabhani, An-Nid}a>m al-Iqtis>}adi> al-Isla>mi>, terj.
Moh.Maghfur Wachid, Membangun Ekonomi Alternatif Prespekitf Islam,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1999), 5.
[8] Artinya, ilmu ekonomi konvensional tidak terlalu risau
dengan perbedaan ini. Mereka tetap berpendirian bahwa kebutuhan adalah keinginan dan
sebaliknya. Padahal konsekuensi dari penyamaan ini berakibat pada terkurasnya
sumber-sumber daya alam secara membabi-buta dan menciptakan ketidakseimbangan
ekologi yang gawat. Maka tidak heran jika sekarang terjadi bermacam-macam
bencana alam yang mengerikan disebabkan karena doktrin keinginan sama dengan
kebutuhan.