Konsep Desa Wisata Halal (Tinjaun Ontologi dan Aksiologi)
Konsep Desa Wisata Halal ( Tinjaun Ontologi dan Aksiologi ) Abdur Rohman [1] Universitas Trunojoyo Madura abdur.rohman@trunojoy...

Konsep Desa Wisata Halal
(Tinjaun
Ontologi dan Aksiologi)
Abdur Rohman[1]
Universitas
Trunojoyo Madura abdur.rohman@trunojoyo.ac.id
Abstrak
Tujuan penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan tentang konsep desa
wisata halal baik secara ontology maupun aksiologi. Mengingat konsep halal
sekarang ini sudah menjadi gaya hidup bagi sebagian besar penduduk Indonesia.
Jenis penulisan ini termasuk dalam kategori penulisan kepustakaan yaitu
penulisan yang data dan informasinya diperoleh dari sumber pustaka yang berasal
dari buku-buku, hasil penelitian, jurnal dan bahan-bahan bacaan lainnya yang
masih ada relevansinya dengan topik penulisan ini.Sehingga diharapkan tulisan
ini memiliki kontribusi signifikan terhadap peningkatan pemahaman tentang
konsep wisata desa. Desa Wisata Halal merupakan implementasi perwujudan dari
nuansa religiusitas yang tercakup di dalam aspek mu’amalah sebagai pengejawantahan
aspek kehidupan sosial budaya dan sosial ekonomi yang berlandaskan
prinsip-prinsip syariah. Maka diperlukan kajian antologi dan aksiologi secara
lebih mendalam. Fenomena Desa Wisata
Halal di Indonesia saat ini menjadi salah satu bukti fleksibilitas hukum Islam
dalam tataran praktis gaya hidup masa kini melalui integrasi nilai halal dan thoyyib dalam sektor pariwisata untuk menunjang perekonomian daerah
yang islami.
Kata Kunci: Ontologi,aksiologi, desa wisata, dan desa wisata
halal.
A.
Pendahuluan
Akhir-akhir ini pariwisata telah menjadi satu industri andalan utama
dalam menghasilkan devisa di berbagai negara. Dalam suasana kelesuan
perdagangan komunitas, pariwisata tetap mampu menunjukkan trend yang terus meningkat.
Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan dan keindahan alam yang luar
biasa, memiliki potensi pariwisata yang
cukup besar dibandingkan negara-negara lain. Apalagi bila dihubungkan dengan
jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia, diproyeksikan Indonesia akan menjadi
pelopor pariwisata syariah dunia di masa yang akan datang.
Seiring perkembangan ekonomi Islam dari tahun ke tahun hingga 2018
dewasa ini. Konsep halal telah mengambil
peranan penting sekaligus dijadikan tren dalam perkembangan ekonomi islam di
Indonesia, mulai dari munculnya produk halal (makanan dan minuman), halal
kosmetik, halal fashion dan halal tourism hingga gaya hidup (halal lifestyle). Konsep halal dalam
bebagai bidang ekonomi tidak hanya menjadi tren di Indonesia akan tetapi sudah merambah
ke negara asing yang notabene bukan negara mayoritas berpenduduk muslim seperti
Jepang, Australia, Thailand, Selandia Baru.
Data dari State of The Global
Islamic Economy 2016 menyebutkan indikator tren bisnis halal terlihat pada
lima bidang industri terus menunjukkan kemajuan. Antara lain jasa keuangan
islami (Islamic finance), makanan
halal, busana muslim, media dan rekreasi halal, serta farmasi dan kosmetik
halal. Sayangnya, Indonesia menempati urutan kesepuluh dari negara-negara
pelaksana ekonomi Islam itu. Kesepuluh besar negara tersebut adalah Malaysia,
Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Yordania, Pakistan
dan Indonesia. Kondisi ini menandakan bahwa industri halal di Indonesia masih
tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, bahkan dengan
negara-negara non muslim. Padahal potensinya begitu besar. Peringkat tertinggi
untuk negara produsen makanan halal dikuasai oleh Malaysia, Brasil, Uni Emirat
Arab dan Amerika Serikat[2]
Laporan akhir Kajian Pengembangan Data Syariah Kementerian Pariwisata
pada tahun 2016 menunjukan bahwa ekonomi Islam adalah bagian penting dari
ekonomi global saat ini. Ada tujuh sektor ekonomi Islam yang telah meningkat
secara signifikan, yaitu kuliner, keuangan Islam, industri asuransi, fashion,
kosmetik, farmasi, hiburan, dan pariwisata. Dimana keseluruhan sektor itu
mengusung konsep halal dalam setiap produknya. Terdapat beberapa hal yang
menjadi motor pertumbuhan pasar muslim global, yaitu demografi pasar muslim
yang berusia muda dan berjumlah besar, pesatnya pertumbuhan ekonomi negara
mayoritas muslim mendorong tumbuhnya bisnis islami salah satunya adalah wisata
halal.
Berdasarkan data dari Kementrian Pariwisata sektor ekonomi Islam yang telah
mengalami pertumbuhan yang signifikan dalam produk lifestyle di sector pariwisata adalah pariwisata
syariah[3] Pariwisata secara umum merupakan salah satu
sektor yang memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah.
Adanya pengembangan sektor pariwisata diharapkan dapat mendorong terjadinya
peningatan kesejahteraan masyarakat lokal melalui penyediaan lapangan kerja
bagi masyarakat. Tidak hanya itu, pengembanagan pariwisata juga dapat
menumbuhkan industri pendukung lain, sehingga dapat membangun integrasi baik
antar sektor pariwisata ataupun dengan sektor lain di suatu wilayah.
Terkait dengan peranan sektor pariwisata, pengembangan sekor pariwisata
tidak hanya mendukung pembangunan ekonomi saja melainkan juga dapat mendukung
pembangunan dari aspek sosial dan budaya. Salah satu bentuk upaya dalam
mendukung perkembangan sektor pariwisata adalah melalui pengembangan desa
wisata. Pada tahun 2011 jumlah desa yang dikembangkan menjadi desa wisata
adalah sebanyak 569 desa yang kemudian meningkat pada tahun 2012 menjadi 978
desa wisata dan pada tahun 2013 menjadi 980 desa wisata.
Sementara itu pada tahun 2014 Kemenparekraf menargetkan
pengembangan 2000 desa wisata di Indonesia untuk menjadi desa wisata mandiri.
Upaya ini juga merupakan target dari Kemenpar pada tahun 2019 mendatang.[4]
taah
Dan Peningkatan jumlah desa wisata di indonesia dapat dilihat pada
gambar berikut:
Gambar 1: Grafik Peningkatan Jumlah Desa Wisata di Indonesia
Tujuan dari pengembangan desa wisata tersebut adalah untuk membentuk
masyarakat yang memahami dan sadar mengenai adanya potensi pariwisata di
wilayah mereka sendiri sehingga dapat menciptakan suatu objek wisata yang
kreatif.
Berdasarkan data tersebut konsep desa wisata halal belum banyak
ditemukan diberbagai literatur. Gagasan tentang desa wisata syariah pada akhir
tahun 2015 telah muncul di Bali. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Masyarakat
Ekonomi Syariah (MES) Provinsi Bali, Dr Dadang Suherman, akan tetapi gagasan
ini
ditolak oleh masyarakat Bali sehingga desa wisata syariah di pulau Dewata tidak
dapat diimplementasikan karena mayoritas masyarakatnya beragama non muslim.
Bercermin dari kasus tersebut penulis ingin menggali lebih detail
tentang konsep wisata desa wisata halal melalui kajian ontologi dan aksiologi
denganharapan tulisan ini dapat memberikan kontribusi akademik serta menambah
hazanah keilmuan ekonomi Islam pada bidang halal
lifestyle khususnya pada kajian desa
wisata yang berbasiskan halal product dan halal mindset.
B.
Definisi Halal
dalam kajian Turats
Dalam Islam setidaknya lima hal yang harus diketahui setiap
muslim, yaitu halal, haram, syubhat, makruh dan mubah. Terhadap barang yang
halal secara mutlak disuruh Allah untuk memakannya. Karena makanan yang halal
itu dapat menambah cahaya iman dan membuat terkabul do’anya.[5]
Sedang makna Kata “halal” merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab
yang berarti diijinkan atau sesuai dengan hukum. Selanjutnya, kata “haram” yang
juga berasal dari kosa kata Arab mengandung arti lawan dari halal, yakni
dilarang atau tidak sesuai dengan hukum[6]. Dengan
kata lain halal adalah sesuatu yangjika digunakan tidak mengakibatkan
mendapatkan siksa (dosa).
Kata halal berasal dari akar kata yang berarti lepas atau tidak terikat.
Sesuatu yang halal artinya sesuatu yang terlepas dari ikatan bahaya duniawi dan
ukhrawi. Dalam bahasa hukum, kata halal juga berarti boleh. Kata thayyib dari
segi bahasa berarti lezat, baik, sehat, menentramkan dan yang paling utama.
Dalam konteks makanan, thayyib artinya makanan yang tidak kotor dari segi
dzatnya atau kedaluarsa (rusak) atau dicampuri benda najis.[7]
Secara singkat dapat dikatakan bahwa makanan thayyib adalah makanan yang
sehat, proporsional dan aman (halal). Untuk dapat menilai suatu makanan itu
thayyib (bergizi) atau tidak harus terlebih dahulu diketahui komposisinya.
Bahan makanan yang thayyib bagi umat Islam harus terlebih dahulu memenuhi
syarat halal, karena bahan makanan yang menurut ilmu pengetahuan tergolong
baik, belum tentu termasuk makanan yang halal.
Halal merupakan segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syariat untuk
dikonsumsi/digunakan. Sedangkan haram adalah sesuatu yang oleh Allah, dilarang
dilakukan dengan larangan tegas di mana orang yang melanggarnya diancam siksa
oleh Allah di akhirat. Sehingga Wisata halal dapat
didefinisikan sebagai tempat wisata yang apabila dikunjungi tidak mengakibatkan
mudhorot (dosa). Karena, menurut Nabi Muhammad Saw. mengkonsumsi yang haram
menyebabkan dosa yang dipanjatkan tidak akan dikabulkan dan segala amal ibadah
yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah. Atas dasar itu, bagi umat Islam,
sejalan dengan ajaran Islam, menghendaki agar segala produk yang akan digunakan
dijamin kehalalan dan kesuciannya. Menurut Islam mengkonsumsi yang halal, suci
dan baik (thayyib) merupakan perintah
agama dan hukumnya adalah wajib[8]
Sedangkan produk halal menurut Majlis Ulama Indonesia (MUI) adalah
produk yang memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut: (Tim Penyusun: 2003,
2).
1) Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal
dari babi
2) Tidak
mengandung bahan-bahan yang diharamkan, antara lain bahan yang diambil dari
organ manusia, kotoran, dan darah
3)
Semua hewan halal yang disembelih sesuai dengan
tuntunan syariat Islam
4) Seluruh
penyimpanan, penjualan, pengolahan, pengelolaan dan transportasi bahan tersebut
bukan bekas dipakai untuk babi, kecuali setelah dibersihkan dengan tata cara
syariat Islam
5)
Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamr.
Islam memperkenalkan konsep halal, haram dan mubazir sebagai prinsip
dasar dalam mengatur kebutuhan hidup manusia baik yang bersifat dharuriyat (primer), hajiyat (sekunder) maupun tahsiniyat (tersier)[9] .Segmentasi
pasar produk halal saat ini sangat potensial, perkiraan konsumennya mencapaidua
miliar Muslim di dunia membutuhkan produk halal dan potensi produk halal global
600 miliar dolar AS dan meningkat 20-30 persen per tahun.
Adapun lembaga halal yang ada di Indonesia terdiri dari (1) LPPOM MUI:
Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
(LPPOM MUI) berdiri pada 6 Januari 1989. Lembaga ini berfungsi melindungi
konsumen Muslim dalam penggunaan produk-produk makanan, obat-obatan, dan
kosmetik. (2) Badan Halal Dunia (WHC) atau World
Halal Council (WHC) berdiri pada 1999 di Jakarta yang diinisiasi oleh
sejumlah negara, termasuk Indonesia.Badan ini berfungsi sebagai federasi badan
sertifikasi halal di seluruh dunia setelah mendapat- kan penerimaan
internasional dan global untuk sertifikasi dan akreditasi proses halal mereka.
C.
Pengertian
Wisata Syariah (Halal Tourism)
Istilah wisata dalam Undang-Undang Republik Indonesia adalah kegiatan
perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela
serta bersifat sementara untuk menikmati obyek atau daya tarik. Sedangkan,
pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk
pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait dibidang
tersebut.
Terminologi wisata syariah di beberapa negara ada yang menggunakan
istilah seperti Islamic tourism, halal
tourism, halal travel, ataupun as
moslem friendly destination. Yang dimaksud syariah adalah prinsip-prinsip
hukum Islam sebagaimana yang diatur
fatwa dan/atautelah disetujui oleh Majelis Ulama Indonesia. Istilah syariah
mulai digunakan di Indonesia pada industri perbankan sejak tahun 1992. Dari
industri perbankan berkembang ke sektor lain yaitu asuransi syariah, pengadaian
syariah, hotel syariah, dan pariwisata syariah.
Selain istilah wisata syariah, dikenal juga istilah halal tourism atau wisata halal. Definisi pariwisata syariah adalah
kegiatan yang didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan
masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah yang memenuhi
ketentuan syariah [10].Pariwisata
syariah dimanfaatkan oleh banyak orang karena karakteristik produk dan jasanya
yang bersifat universal. Produk dan jasa wisata, objek wisata, dan tujuan
wisata dalam pariwisata syariah adalah sama dengan produk, jasa, objek dan
tujuan pariwisata pada umumnya selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan
etika syariah. Jadi pariwisata syariah tidak terbatas hanya pada wisata religi.
Definisi wisata syariah lebih luas dari wisata religi yaitu wisata yang
didasarkan pada nilai-nilai syariah Islam. Seperti yang dianjurkan oleh World Tourism Organization (WTO), konsumen wisata syariah bukan hanya
umat muslim tetapi juga non-muslim
yang inginmenikmati kearifan local[11] .Wisata
syariah merupakan salah satu bentuk wisata berbasis budaya yang mengedepankan
nilai-nilai dan norma syariat Islam sebagai landasan dasar. Sebagai konsep baru
didalam industri pariwisata, tentunya wisata syariah memerlukan pengembangan
lebih lanjut serta pemahaman yang lebih lanjut serta pemahaman yang lebih
komprehensif terkait dengan nilai-nilai keislaman yang diterapkan didalam
kegiatan pariwisata. Dengan penduduk muslim terbesar di dunia maka Indonesia
merupakan pasar industri wisata syariah terbesar di dunia dan seharusnya
disadari oleh pelaku bisnis pariwisata di Indonesia hal ini dikarenakan
pengembangan wisata syariah yang berkelanjutan akan memberikan kotribusi
ekonomi yang cukup signifikan bagi seluruh pelaku yang terlibat di dalamnya.
Konsep wisata syariah adalah sebuah proses pengintegrasian nilai-nilai
keislaman kedalam seluruh aspek kegiatan wisata. Nilai syariat islam sebagai
suatu kepercayaan dan keyakinan yang dianut umat muslim menjadi acuan dasar
dalam membangun kegiatan pariwisata. Wisata syariah memertimbangkan nilai-nilai
dasar umat muslim didalam penyajian mulai dari akomodasi, restoran yang selalu
mengacu kepada norma-norma keislaman[12] Konsep
wisata syariah merupakan aktualisasi dari konsep ke-Islaman dimana nilai halal
dan haram menjadi tolak ukur utama, hal ini berarti seluruh aspek kegiatan
wisata tidak terlepas dari sertifikasi halal yang harus manjadi acuan bagi
setiap pelaku pariwisata[13] (Chookaew, Sureerat, et all. 2015. “Increasing Halal Tourism
Potential at Andaman Gulf in Thailand for Muslim Country”. dalam Journal of Economics, Business and Management. Vol. 3. No. 7.). Konsep wisata
Syariah dapat juga diartikan sebagai kegiatan wisata yang berlandaskan ibadah
dan dakwah disaat wisatawan Muslim dapat berwisata serta mengagungi hasil
pencipataan Allah SWT (tafakur alam) dengan tetap menjalankan kewajiban sholat
wajib sebanyak lima kali dalam satu hari dan semua ini terfasilitasi dengan
baik serta menjauhi segala yang dilarang oleh-Nya[14]
Hal yang fundamental dari wisata syariah tentunya adalah pemahaman makna
halal disegala aspek kegiatan wisata mulai dari hotel, sarana transportasi,
sarana makanan dan minuman, sistem keuangan, hingga fasilitas dan penyedia jasa
wisata itu sendiri. Sebagai contoh hotel syariah tidak akan menerima pasangan
tamu yang akan menginap jika tamu tersebut merupakan pasangan yang bukan
muhrimnya (tidak dapat menunjukkan surat nikah) selain itu hotel yang mengusung
konsep syariah tentunya tidak akan menjual minuman beralkohol serta makanan
yang mengandung daging babi yang diharamkan didalam Islam. Selain itu pemilihan
destinasi wisata yang sesuai dengan nilai-nilai syariah Islam juga menjadi pertimbangan
utama didalam mengaplikasikan konsep wisata syariah, setiap destinasi wisata
yang akan dituju haruslah sesuai dengan nilai-nilai keisalaman seperti memiliki
fasilitas ibadah masjid maupun mushola yang memadai, tidak adanya tempat
kegiatan hiburan malam serta prostitusi, dan juga masyarakatnya mendukung
implementasi nilai-nilai Syariah Islam seperti tidak adanya perjudian, sabung
ayam maupun ritual-ritual yang bertentangan dengan ajaran Islam[15]
D.
Potensi
Pariwisata Halal di Indonesia
Perkembangan wisata halal kedepannya dinilai menjanjikan dan potensial.
Konsep pariwisata halal ini kedepannya akan menjadi bisnis yang banyak dilirik
oleh para pelaku bisnis wisata. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Utomo pada tahun 2014, diketahui bahwa potensi pariwisata dinilai baik dan
wisatawan setuju dengan konsep pariwisata syariah. Dari segi konsep, 48%
responden setuju dengan konsep pariwisata syariah. Dari segi kebutuhan, 68%
responden menekankan bahwa pariwisata syariah memiliki urgensi yang tinggi
dalam pelaksanaannya. Dari segi kesesuaian, 60% responden setuju bahwa
pariwisata syariah sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Berdasarkan hal
tersebut, nilai yang sesuai dengan kebutuhan wisatawan adalah harapan atas
kenyamanan dan ketenangan dalam berwisata tanpa melupakan nilai-nilai
keislamannya. Nilai ini didukung dengan bertambahnya masyarakat middle class moslem yang memiliki kesadaran tinggi dalam kehalalan suatu produk[16]. Hal
itu menjadikan pariwisata syariah memiliki potensi besar untuk dikembangkan
mengikuti permintaan pasar yang ada.
Pengembangan pariwisata syariah memerlukan pengenalan pasar pariwisata
syariah yang jelas untuk memancing para pelaku bisnis wisata agar terlibat
langsung ke industri. Selain itu, keberagaman destinasi wisata di Indonesia
mendukung pariwisata syariah walaupun destinasi yang difokuskan disini masih
terfokus pada wisata religi dan destinasi wisata lainnya yang juga didukung
dengan fasilitas ibadah seperti Masjid[17]. Oleh
karena itu, desa wisata halal bisa menjadi destinasi baru dalam berwisata untuk
mengembangkan pariwisata halal di Indonesia.
Potensi jumlah wisatawan Indonesia dapat dilihat dari State of the Global Islamic Economy 2013 Report, bahwa tingkat belanja wisatawan
Indonesia mencapai 12,5 persen dari
keseluruhan nilai belanja pariwisata dunia. Prosentase tersebut belum termasuk
belanja untuk umrah dan haji. Diperkirakan pada tahun 2018 belanja wisatawan
muslim untuk keperluan wisata menembus US$ 181 miliar. Tingkat pertumbuhan
muslim yang beriwisata di dunia lebih banyak dibandingkan tingkat pertumbuhan
wisatawan mancanegara yang lain. Sebagai catatan, wisatawan mancanegara yang
masuk ke Indonesia mencapai 8,8 juta turis, dengan total US$ 1,66 miliar.
Namun, para ahli mengamati industri perjalanan dan pariwisata halal di
negara-negara non-muslim lebih baik daripada di negara-negara muslim[18]
Pertumbuhan pariwisata halal ini juga memunculkan ghiroh dari Negara lainnya. Dubai bercita-cita menjadikan Negaranya
sebagai pusat rujujukan ekonomi Islam di kancah internasional, Dubai memiliki
strategi ekonomi dibangun di atas tujuh pilar utama yaitu keuangan Islam,
industri halal, pariwisata halal, ekonomi Islam digital, seni dan desain Islam,
standarisasi dan sertifikasi ekonomi Islam, dan pusat internasional untuk
informasi dan pendidikan Islam. Bahkan, pada bulan Maret 2016 Kroasia telah
menjadi tuan rumah pariwisata halal dan kongres perdagangan sebagai bagian dari
perayaannya ulang tahun 100 tahun dari isu “Law
of recognition of Islam as the equal religion to all other religions”. Selanjutnya, Pemerintah
Kordoba telah meluncurkan proyek yang disebut
“Cordoba Halal”, yang merupakan bagian dari Rencana Strategis Pariwisata
Kordoba yang bertujuan untuk mengembangkan pariwisata halal di kota Kordoba.
Pariwisata di Indonesia mengalami peningkatan seperti yang ditunjukkan
pada grafik berikut ini:
Gambar 2: Peningkatan Kunjungan Wisatawan Triwulan 2018
Sumber: BPS 2018
Berdasarkan
grafik di atas dapat diketahui bahwa hingga periode Juli 2015 berada pada
5.472.050 kunjungan atau meningkat sebesar +143.318 kunjungan dengan besaran
+2,69% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Hingga periode
Agustus 2015 berada pada 6.322.592 kunjungan atau meningkat sebesar +167.039
kunjungan dengan besaran +2,71% dibandingkan periode yang sama pada tahun
sebelumnya. Hingga periode September 2015 berada pada 7.191.771 kunjungan atau
meningkat sebesar +244.922 kunjungan dengan besaran +3,53% dibandingkan periode
yang sama pada tahun sebelumnya[19]
Pariwisata Syariah merupakan tujuan wisata baru di dunia saat ini. Utilizing the World Tourism Organization (UNWTO)
menunjukkan bahwa wisatawan muslim mancanegara berkontribusi
126 miliar dolar AS pada 2011. Jumlah itu mengalahkan wisatawan dari Jerman,
Amerika Serikat dan Cina. Menurut data Global
Muslim Traveler, wisatawan muslim Indonesia masuk dalam 10 besar negara
yang paling banyak berwisata. Namun, Indonesia tidak termasuk dalam 10 tempat
destinasi kunjungan muslim[20]. Ironis, Indonesia tidak dapat dan bermayoritas muslim
ini hanya menjadi konsumen saja.
Kemenparekraf RI sejauh ini telah mengembangkan dan mempromosikan usaha
jasa di bidang perhotelan, restoran, biro perjalanan wisata dan spa di 12
destinasi wisata syariah. Pengembangan tersebut dilakukan di sejumlah kota yakni
Aceh, Sumatera Barat, Riau, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Semarang, Jawa Timur, NTB serta Sulawesi Selatan (Alamsyah, I. E: 2018).
Provinsi Jawa Tengah dan Semarang merupakan salah satu destinasi wisata syariah
yang mempunyai banyak obyek obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi.
Didukung dengan transportasi yang memadai, obyek-obyek wisata tersebut
sangatmudah untuk dikunjungi.
Berbagai upaya dilakukan untuk mempersiapkan produk pariwisata ini
bersama pemangku kepentingan, salah satu cara memperkenalkan Wisata Syariah di
Indonesia kepada masyarakat dan dunia Internasional, Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia menyelenggarakan
Global Halal Forum bertema “Wonderful Indonesia as Moslem Friendly Destination”
pada 30 Oktober 2013 di JIExpo Kemayoran, Jakarta.[21]
Upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengembangkan wisata syariah
adalah mempersiapkan 13 (tiga belas) provinsi untuk menjadi destinasi wisata
syariah, yakni Nusa Tenggara Barat (NTB), Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat,
Riau, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa
Timur, Sulawesi Selatan, dan Bali. Namun dari ke-13 provinsi tersebut yang
dinyatakan siap yaitu Jakarta, Jawa Barat, NTB, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Gambar 3. Destinasi Wisata Syariah di Indonesia
Meskipun konsep halal sudah menjadi gaya hidup bagi sebagian besar
penduduk Indonesia, namun wisata halal kurang berkembang di
Indonesiadikarenakan fasilitasi, tidak mudah memastikan makanan halal,
sertifikasi halal, dan promosi yang kurang. Hal tersebut tampak dari hasil
laporan lembaga riset dan pemeringkat industri pariwisata halal Crescentrating bersama Master Card, Global Muslim Travel Index (GMTI)
2015, Indonesia berada di urutan
keenam tujuan wisata halal dunia, di bawah Malaysia dan Thailand. Crescentrating
menilai Indonesia harus berusaha lebih keras jikaingin melangkahi Malaysia dan
Thailand dalam mengembangkan wisata halal.Menurut pendiri dan CEO
Crescentrating Fazal Bahardeen bahwaIndonesia belum begitu agresif dalam
mempromosikan wisata halal sepertinegara tetangga Malaysia dan
Thailand.Indonesia juga belum mengintegrasikan promosi pariwisata halal ke
dalam program pariwisata nasional, dan membuat paket khusus wisata halal.
Fakta yang ada pariwisata syariah di Indonesia pada tahun 2013 yaitu hotel
syariah besertifikat baru 37 hotel.Sebanyak 150 hotel menuju operasional
syariah. Begitu juga dengan restoran, dari 2.916 restoran, baru 303 yang
bersertifikat halal. Sebanyak 1.800 mempersiapkan diri sebagai restoran halal.
Sedangkan tempat relaksasi, SPA kini baru berjumlah tiga unit. Sebanyak 29
sedang proses untuk mendapatkan sertifikat[22]
E.
Kajian
Ontologi Desa Wisata Halal
Desa wisata merupakan suatu wilayah pedesaan yang memiliki keunikan dan
daya tarik yang khas (baik berupa daya tarik/keunikan fisik lingkungan alam
pedesaan maupun kehidupan sosial budaya kemasyarakatan), yang dikelola dan
dikemas secara alami dan menarik dengan pengembangan fasilitas pendukung wisata
dalam suatu tata lingkungan yang harmonis dan pengelolaan yang baik dan terencana
Sehingga daya tarik pedesaan tersebut mampu menggerakkan kunjungan wisatawan ke
desa tersebut, serta menumbuhkan aktifitas ekonomi pariwisata yang meningkatkan
kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat setempat[23].
Sedangkan yang dimaksud dengan Desa Wisata Menurut Pariwisata Inti Rakyat (PIR)
adalah suatu kawasan pedesaaan yang menawarkan keseluruhansuasana yang
mencerminkan keaslian perdesaaan baik dari kehidupansosial ekonomi, sosial
budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur
tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik
serta mempunyai potensi untukdikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan,
misalnya: atarksi, akomodasi, makanan-minuman, dan kebutuhan wisata lainnya.[24]Desa
wisata dalam konteks wisata pedesaan tersebut dapat disebut sebagai aset
kepariwisataan yang berbasis pada potensi pedesaan dengan segala keunikan dan
daya tariknya yang dapat diberdayakan dan dikembangkan sebagai produk wisata
untuk menarik kunjungan wisatawan ke lokasi desa tersebut.
Pada dasarnya, tipologi desa wisata didasarkan atas karakteristik sumber
daya dan keunikan yang dimilikinya dapat dikelompokkan dalam 4 (empat)
kategori, yaitu:
1) Desa
wisata berbasis keunikan sumber daya budaya lokal (adat tradisi kehidupan
masyarakat,artefak budaya, dan sebagainya ) sebagai daya tarik wisata utama.
Yaitu wilayah pedesaan dengan keunikan berbagai unsur adat tradisi dan kekhasan
kehidupan keseharian masyarakat yang melekat sebagai bentuk budaya masyarakat
pedesaan, baik terkait dengan aktifitas mata pencaharian, religi maupun bentuk
aktifitas lainnya.
2) Desa
wisata berbasis keunikan sumber daya alam sebagai daya tarik utama (pegunungan,
agro/perkebunan dan pertanian, pesisir-pantai, dsbnya). Yaitu wilayah pedesaan
dengan keunikan lokasi yang berada di daerah pegunungan, lembah, pantai,
sungai, danau dan berbagai bentuk bentang alam yang unik lainnya, sehingga desa
tersebut memiliki potensi keindahan view dan lansekap untuk menarik kunjungan
wisatawan.
3) Desa
wisata berbasis perpaduan keunikan sumber daya budaya dan alam sebagai daya
tarik utama. Yaitu wilayah pedesaan yang memiliki keunikan daya tarik yang
merupakan perpaduan yang kuat antara keunikan sumber daya wisata budaya (adat
tradisi dan pola kehidupan masyarakat) dan sumber daya wisata alam (keindahan
bentang alam/lansekap).
4) Desa
wisata berbasis keunikan aktifitas ekonomi kreatif (industri kerajinan, dsb)
sebagai daya tarik wisata utama. Yaitu wilayah pedesaan yang memiliki keunikan
dan daya tarik sebagai tujuan wisata melalui keunikan aktifitas ekonomi kreatif
yang tumbuh dan berkembang dari kegiatan industri rumah tangga masyarakat
lokal, baik berupa kerajinan, maupun aktifitas kesenian yang khas.
Adapun desa wisata syariah atau desa wisata halal merupakan sebuah pemikiran atau gagasan
tentang integrasi antara desa wisata, wisata syariah dan kearifan lokal,
karakteristik sumber daya dan keunikan yang dimiliki oleh desa tertentu. Konsep integrasi pemikiran ini dapat
digambarkan pada gambar berikut ini:
Integrasi
Konsep
Desa Wisata
Konsep
Wisata Halal
Desa Wisata Kea rifan
Lokal, Karakteristik
Sumber
Daya dan Keunikan
Desa
Wisata
Syariah/Halal
Integrasi
Gambar 4. Integrasi Desa Wisata
dan Desa Halal
F.
Aksiologi
Konsep Desa Wisata Halal
Masyarakat desa memiliki peran yang sangat signifikan dalam pengelolaan
proses desa wisata halal. Paradigma baru pada kajian desa wisata halal (DWH)
berkaitan erat mengenai persoalan manusia dengan masyarakat, manusia dengan
alam, bahkan manusia dengan Tuhan. Hal ini menyangkut berbagai alasan yaitu: [25]
1. Pariwisata
bukanlah suatu kegiatan berada diruang hampa namun bersentuhan langsung dengan
hidup dan kehidupan\
2. Pariwisata
bersifat dinamis dan kreatif
3. Pariwisata
tidaklah eklusif, maksudnya pariwisata tidak hanya menyangkut suatu bangsa
tertentu
4. Pariwisata
lebih mempertemukan dua atau kebudayaan yang berbeda
Berdasarkan paradigma baru dalam pembangunan pariwisata tersebut maka
urgensi aspek sumber daya manusia sebagai wisatawan atau sebagai tuan rumah
menjadi sangat relevan untuk menunjang keberhasilan pengelolaan daerah tujuan
wisata (dalam hal ini desa wisata halal).
Selain masyarakat desa, peran pemerintah juga sangat diperlukan dalam
mewujudkan DWH. Hal ini selaras
dengan tugas utama yang harus diemban Pemerintah Desa, yaitu menciptakan
kehidupan demokratis, dan memberikan pelayanan sosial yang baik, sehingga dapat
membawa warganya pada kehidupan yang sejahtera, tentram, aman dan berkeadilan.
Oleh karena itu, idealnya setiap
pemerintah/aparatur desa mampu memberdayakan seluruh potensi masyarakatnya.
Menurut United Nations tujuan utama
pemberdayaan masyarakat adalah membangun rasa percaya diri masyarakat dan rasa
percaya diri merupakan modal utama masyarakat untuk berswadaya. Berdasarkan
perspektif tersebut maka tujuan dari pemerintah desa dalam meningkatkan
keberdayaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat hendaknya dicapai dengan
pembinaan diberbagai bidang, dengan adanya pembinaan diharapkan masyarakat bisa
menjadi mandiri[26]
Pengembangan menuju DWH menjadi sangat strategis mengingat
pengembangannya didasarkan pada alam, kearifan lokal (‘urf) dan SDM setempat. Hubungan kearifan lokal (‘urf) dalam sektor pariwisata merupakan
aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam rangka menjawab berbagai
masalah dalam pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Misalnya dalam masyarakat yang
tinggal di kawasan objek wisata Toraja Utara. Kearifan lokal diwujudkan dalam
bentuk mitos, legenda, adat, tradisi, kepercayaan, relief-relief yang
dipahatkan rumah adat Tongkonan, peti mati, kain tenun dan
organisasi-organisasi sosial lainnya. Semua hal tersebut dapat dijadikan
sebagai sumber pendapatan jika dikemas dengan “desa wisata”. Oleh karenanya,
hal ini menjadikan eksplorasi dan pengembangan desa wisata untuk menghasilkan
produk-produk kepariwisataan berkualitas yang dikemas secara syariah dan
dilaksanakan sesuai dengan kondisi sosial budaya (‘urf) setempat yang dapat diakses dengan mudah karena didukung oleh
infrastrukrur yang memadai[27]
Selain dari pada itu, masyarakat desa berperan penting dalam pembentukan
Desa Wisata Halal karena sumber daya alam dan keunikan tradisi dan budaya yang
berdasarkan kearifan lokal melekat pada mereka dan hal ini merupakan unsur
penggerak utama kegiatan Desa Wisata Halal yang memiliki nilai islami. Proses
pemberdayaan masyarakat secara teoritis dapat dilakukan melalui proses
emansipatif yaitu dari masyarakat, oleh rakyat dan untuk masyarakat, serta
didukung oleh pemerintah bersama masyarakat [28]. Oleh
karenanya, apabila masyarakat diberdayakan untuk mengelola suatu aktivitas
program tertentu, biasanya masyarakat pedesaan mampu mengatasi persoalan yang
dihadapi[29].
Sebagaimana dalam program aktivitas Desa Wisata Halal yang berbasis kepada
kearifan lokal. Saat ini masyarakat desa semakin siap dengan sumber daya yang
dimiliki. Kesiapan mereka dalam menangani program Desa Wisata Halal disebabkan
oleh beberapa hal. Diantaranya ialah telah banyak bermunculan desa wisata yang
dikelola oleh Pemerintah Desa dan trend wisata halal/wisata syariah yang sedang
berkembang (naik daun).
Penerapan konsep “Desa Wisata Halal” tergantung pada tingkat penerimaan
dan dukungan masyarakat sekitar. Karena sifatnya yang emansipatif maka
masyarakat lokal berperan sebagai tuan rumah dan menjadi pelaku penting dalam
pengembangan Desa Wisata Halal dalam keseluruhan tahapan mulai tahap perencanaan,
pengawasan, dan implementasi. Masyarakat lokal berkedudukan sama penting dengan
pemerintah baik di tingkat desa maupun daerah dan pihak swasta sebagai salah
satu pemangku kepentingan dalam implementasi konsep Desa Wisata Halal.
Desa Wisata Halal merupakan sebuah kawasan pedesaan yang memiliki
karakteristik khusus untuk menjadi daerah tujuan melihat, mempelajari, dan
membeli semua produk/jasa halal di sebuah Desa. Masyarakat diajak untuk
berkreasi menciptakan wisata dan produk halal dari potensi yang ada di Desa
dilengkapi dengan keunikan serta nilai sejarah yang ada di Desa. Praktek bisnis
DWH yang dibimbing oleh visi spiritual diharapkan mampu mengantarkan seseorang
untuk mencapai makna, tujuan dan nilai yang lebih agung. Diantara tujuan
berwisata dalam al-Quran adalah 1) untuk mengenal Allah SWT sebagai Al-Khaliq dan meningkatkan nilai
spiritual, 2) berbisnis, membuka peluang usaha sebagai salah satu pemberdayaan potensi daerah, dan 3) menambah
wawasan keilmuan[30]
Akhirnya, jika konsep Desa Wisata Halal sudah terbentuk dan
diimplementasikan maka dengan sendirinya keindahan alam serta kearifan lokal di
desa tersebut akan mampu menjadi ciri khas yang menambah mashlahat bagi
masyarakat setempat dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, dilihat dari beberapa
literatur dan teori yang sudah dipaparkan, seyogyanya pelaksanaaan program Desa
Wisata Halal berdasarkan keindahan alam dan keunikan kearifan lokal dengan
basis pemberdayaan masyarakat lokal yang berlandaskan syariah bisa menjadi
diversifikasi produk/jasa pariwisata syariah di Indonesia.
G.
Kesimpulan
Wisata desa Halal merupakan implementasi perwujudan dari nuansa
religiusitas yang tercakup di dalam aspek mu’amalah sebagai pengejawantahan
aspek kehidupan sosial budaya dan social ekonomi yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah. Kajian Ontologi dan axiologi terhadap desa
wisata dalam perspektif syariah senantiasa
dilandaskan terwujudnya kebaikan (maslahah)
bagi masyarakat baik maslahat. Oleh karena itu, dengan adanya Desa
Wisata Halal ini seyogyanya akan menjadi salah satu bukti fleksibilitas syariah
Islam dalam tataran praktis gaya hidup masa kini (current lifestyle) melalui integrasi nilai halal dan thoyyib dalam
sektor pariwisata untuk
menunjang perekonomian daerah yang barokah.
Daftar Pustaka
Alim, Haidar
Tsany, dkk. 2015.
“Analisis Potensi Pariwisata
Syariah dengan
Mengoptimalkan Industri
Kreatif di Jawa Tengah dan
Yogyakarta”.
Artikel. dikutip dari http://eprints.undip.ac.id/45828/1/Artikel.pdf.
Amin, Ma’ruf. 2011. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta:
Elsas.
Andriani, Dini,
dkk. 2015. Laporan Akhir Kajian
Pengembangan Wisata Syariah., Jakarta:
Deputi Bidang Pengembangan Kelembagaan Kepariwisataan.
Arifin, Johar. 2015. “Wawasan Al-Quran dan Sunnah Tentang Pariwisata”.
dalam Jurnal An-Nur. Vol. 4. No. 2.
Arsiyah, Heru Ribawanto dan Sumartono. 2009. “Pemberdayaan Masyarakat
Dalam Pembangunan Ekonomi Desa (Studi Kasus Pemberdayaan Masyarakat Industri
Kecil Krupuk Ikan di Desa Kedungrejo, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo)”. Jurnal Wacana. Vol. 12. No. 2.
Chookaew, Sureerat,
et all. 2015. “Increasing Halal Tourism Potential at Andaman Gulf in Thailand
for Muslim Country”. dalam Journal of
Economics, Business and Management. Vol.
3. No. 7.
Hidayat, Asep Syarifuddin dan Mustolih Siradj. 2015. “Sertifikasi Halal
dan Sertifikasi Non Halal pada Produk Pangan Industri”. dalam Jurnal Ahkam. Vol. XV. No. 2.
http://gayahidup.republika.co.id/berita/gaya-hidup/wisata-halal/17/01/18/ojyxnf384-membangun-wisata-tanpa-riba,
diakses pada tanggal 12 Januari 2018.
http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/detil_page/8/24204, diakses
pada tanggal 12 Januari 2018.
http://www.parekraf.go.id/asp/detil.asp?c=16&id=814,
diakses pada tanggal 12 Januari 2018.
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/17/10/01/ox52at382-bni-syariah-kembangkan-desa-wisata-halal,
diakses pada tanggal 12 Januari 2018.
http://www.republika.co.id/berita/koran/islam-digest-koran/14/08/10/na385a-definisi-halal, diakses
pada tanggal 12 Januari 2018.
http://www.republika.co.id/berita/koran/syariah/koran/14/06/12/n71rm615-wisata-syariah-butuh-dukungan-pemda.
diakses pada tanggal 12 Januari 2018.
Ismail, Hairul Nizam. 2013. “Islamic Tourism: the Inpacts To Malaysia’s
Tourism Industry”. dalam International
Conference of Tourism Development (ICTD).
Jaelani, Aan.
2017. “Halal tourism industry in Indonesia: Potential and Prospects”. dalam Munich Personal RePEc Archive. Paper No.
76237.
Kadir, Abdul, dkk. 2015. Analisis
Kunjungan Wisatawan Mancanegara Pada Kawasan
3 Great Triwulan III-2015. Jakarta: Asdep Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Kepariwisataan.
Karim, Adiwarman Azhar. 2011. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: Rajawali
Press.
Kemenparekraf. 2013. Indonesia as Moslem Friendly Destination. Jakarta:
Kementrian Prawisista dan Ekonomi
Kreatif.
Muhammad. 2004. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam.
Yogyakarta: BPFE.
Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia No. 2 Tahun
2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah.
Priasukmana, Soetarso dan R. Mohamad Mulyadin. 2001. “Pembangunan Desa
Wisata: Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Daerah”. dalam Info Sosial Ekonomi. Vol.
2. No. 1.
Priyadi, Unggul. 2016. Pariwisata Syariah Prospek dan Perkembangan.
Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Qardhawi, Yusuf. 2003. Halal Haram dalam Islam. terj. Wahid
Ahmadi dkk.
Solo: Era Intermedia.
Ridwan, Masri, Ach. Fatchan, I Komang Astina. 2016. “Potensi Objek
Wisata Toraja Utara Berbasis Kearifan Lokal Sebagai Sumber Materi Geografi
Pariwisata”. dalam Jurnal Pendidikan:
Teori, Penelitian, dan Pengembangan.
Volume: 1. Nomor: 1.
Saefudin, Akhmad.
2015. “Wisata Berbasis Syariah”. dikutip dari http://berita.suaramerdeka.com
/smcetak/wisata-berbasis-syariah/ diakses pada tanggal 12 Januari 2018.
Sofyan, Riyanto. 2012. Prospek Bisnis Pariwisata Syariah.
Jakarta: Republika.
Solekhan, Moch. 2012. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Malang: Setara Press.
State of the Global Islamic
Economy Report 2015/16 diakses pada tanggal 12 Januari 2018.
Suherlan, Ade. 2015. “Persepsi
Masyarakat Jakarta Terhadap Islamic Tourism”.
dalam The Journal of Tauhidinomics. Vol. 1. No. 1.
Sulistyono, Prasetyo Adi. 2016. “Analisis Atribut Islam, Faktor
Pendorong dan Faktor Penarik Terhadap Motivasi Wisatawan Muslim Berkunjung ke
Provinsi Aceh”. dalam Jurnal Ilmiah. dikutip dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=405038&val=6467.
diakses pada tanggal 12 Januari 2018.
Sutiyono. 2008. “Pemberdayaan Masyarakat Desa Dalam Pelaksanaan Program
Desa Wisata Di Daerah Istimewa Yogyakarta”. dalam Laporan Pengabdian.
dikutip dari http://eprints.uny.ac.id/id/eprint/3893.
diakses pada tanggal 12 Januari 2018.
Tim Penyusun. 2003. Tanya Jawab
Seputar Produk Halal. Jakarta: Departemen Agama.
Tim Penyusun. 2014. Laporan Akhir Kajian Pengembangan Desa
Wisata di DIY.
Yogyakarta: Dinas Pariwisata DIY.
Ulumiyah, Ita, dkk.
2013. “Peran Pemerintah Desa dalam Memberdayakan Masyarakat Desa (Studi pada
Desa Sumberpasir Kecamatan Pakis Kabupaten Malang)”. Jurnal Administrasi Publik (JAP). Vol. 1. No. 5.
Undang-Undang No. 9 tahun 1990
Tentang Kepariwisataan.
Widagdyo, Kurniawan Gilang. 2015.
“Analisis Pasar Pariwisata Halal Indonesia”.
dalam The Journal of Tauhidinomics. Vol. 1. No. 1.
48
[1] Dosen ekonomi syariah prodi ekonomi syariah Fakultas
Keislaman Universitas Trunojoyo Madura
[2] Lihat https://www.kompasiana.com/ceu_/5a548be5dd0fa87ec662cca2/seberapa-besar-peluang-indonesia-diantara-produsen-halal-kelas-dunia
[3] Dini Andriani, dkk. Laporan Akhir
Kajian Pengembangan Wisata Syariah., Jakarta:
Deputi Bidang Pengembangan Kelembagaan Kepariwisataan.
1-2. 2015
[4] https://www.jawapos.com/entertainment/travelling/18/10/2017/wow-kemenpar-bakal-kembangkan-2000-desa-wisata-mandiri
[5] Al-Ghazali, Benag
Tipis antara Halal dan Haram, (Surabaya
: Putra Pelajar, 2002), 9.
[6] Yusuf Qardhawi, Halal Haram dalam
Islam, (Surakarta: Era Intermedia, 2011), 30.
[7] Ahsin W, Fiqih Kesehatan, (Jakarta:
Amzah, 2007), 165.
[8] Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem
Hukum Islam. (Jakarta: Elsas, 2011.), 43
[9] Muhammad. Ekonomi Mikro dalam
Perspektif Islam. (Yogyakarta: BPFE. 2004),152-153
[10] Aan Jaelani, “Halal tourism industry in
Indonesia: Potential and Prospects”. dalam Munich
Personal RePEc Archive. 2017. 13
[11] Sofyan, Riyanto Prospek Bisnis
Pariwisata Syariah, (Jakarta:
Republika. . 2012), 33
[12] Ade. Suherlan, “Persepsi Masyarakat Jakarta Terhadap Islamic
Tourism”.dalam The Journal of
Tauhidinomics. Vol. 1. No. 1. 2015, 63
[13] Chookaew, Oraphan Chanin, Jirapa Charatarawat, Pingpis Sriprasert, and
Sudarat Nimpaya: 2015, 739
[14] Hairul Nizam Ismail “Islamic Tourism:
the Inpacts To Malaysia’s Tourism Industry”. dalam International Conference of Tourism Development (ICTD). .
2013), 397-405
[15] Kurniawan Gilang Widagdyo, “Analisis Pasar Pariwisata Halal Indonesia”.
dalam The Journal of Tauhidinomics. Vol. 1. No. 1. 2015. 74-75
[16] Haidar Tsany Alim,
dkk. 2015. “Analisis Potensi
Pariwisata Syariah dengan
Mengoptimalkan
Industri Kreatif di Jawa
Tengah dan Yogyakarta”. Artikel. dikutip dari , 2-15, 5
[17] Unggul Priyadi, Pariwisata Syariah Prospek dan Perkembangan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. 2016, 94-95
[18] Prasetyo Adi Sulistyono, 2016. “Analisis Atribut Islam, Faktor Pendorong dan Faktor Penarik Terhadap
Motivasi Wisatawan Muslim Berkunjung ke Provinsi Aceh” . dalam Jurnal Ilmiah. dikutip dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=405038&val=6467.
diakses pada tanggal 02 Nopember 2018. 3
[19] Abdul Kadir, dkk. Analisis Kunjungan Wisatawan Mancanegara
Pada Kawasan 3 Great Triwulan
III-2015. Jakarta: Asdep Penelitian
dan Pengembangan Kebijakan
Kepariwisataan. 2015, 11
[20] Ahmad Saefudin, 2015. “Wisata Berbasis Syariah”. dikutip dari
http://berita.suaramerdeka.com /smcetak/wisata-berbasis-syariah/ diakses pada tanggal 12 Januari 2018. Bandingkan
dengan tulisn Haidar Tsany,
dkk. 2015. “Analisis
Potensi Pariwisata Syariah
dengan Mengoptimalkan Industri Kreatif
di Jawa Tengah dan Yogyakarta”. Artikel.
dikutip dari http://eprints.undip.ac.id/45828/1/Artikel.pdf.
[21] Pentingnya dikembangkan potensi wisata syariah disampaikan Mantan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat peluncuran Gerakan Ekonomi Syariah
(GRES) di kawasan silang Monas, tanggal 17 November 2013. Presiden Indonesia
saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan bahwa Indonesia mempunyai
banyak alasan untuk mengembangkan potensi wisata syariah, antara lain
keberadaan ekonomi syariah penting untuk mengurangi kerentanan antara sistem keuangan
dengan sektor riil, sehingga menghindari penggelembungan ekonomi; menghindari
pembiayaan yang bersifat fluktuatif, dan dapat memperkuat pengaman sosial.
[22] Dini Andriani, dkk. , Laporan
Akhir Kajian Pengembangan Wisata Syariah.,
Jakarta: Deputi Bidang Pengembangan Kelembagaan Kepariwisataan. 2015, 16
[23] Tim Penyusun. 2003. Tanya Jawab Seputar Produk Halal.
Jakarta: Departemen Agama.
[24] Soetarso Priasukmana dan R. Mohamad Mulyadin. “Pembangunan Desa
Wisata: Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Daerah”. dalam Info Sosial Ekonomi. Vol.
2. No. 1. 2001, 38
[25] Unggul Priyadi, Pariwisata Syariah Prospek dan Perkembangan.
Yogyakarta: UPP STIM YKPN. 2016,122
[26] Ita Ulumiyah dkk “Peran Pemerintah
Desa dalam Memberdayakan Masyarakat Desa (Studi pada Desa Sumberpasir Kecamatan
Pakis Kabupaten Malang)”. Jurnal
Administrasi Publik (JAP). Vol. 1. No. 5. 2013. 45 Undang-Undang No. 9
tahun 1990 Tentang Kepariwisataan.
[27] Unggul Priyadi” Pariwisata Syariah Prospek dan Perkembangan.
Yogyakarta: UPP STIM YKPN. 2016. 152-153
[28] Arsiyah, Heru Ribawanto dan
Sumartono. 2009. “Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pembangunan Ekonomi Desa (Studi
Kasus Pemberdayaan Masyarakat Industri Kecil Krupuk Ikan di Desa Kedungrejo,
Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo)”. Jurnal
Wacana. Vol. 12. No. 2.
[29] Sutiyono. 2008. “Pemberdayaan
Masyarakat Desa Dalam Pelaksanaan Program Desa Wisata Di Daerah Istimewa
Yogyakarta”. dalam Laporan Pengabdian. dikutip dari http://eprints.uny.ac.id/id/eprint/3893. diakses
pada tanggal 12 Januari 2018.
[30] Arifin, Johar. “Wawasan Al-Quran
dan Sunnah Tentang Pariwisata”. dalam Jurnal
An-Nur. Vol. 4. No. 2. 2015. 154-155