rohmans

MENYOAL GAJI DOSEN ASING Solusi atau Masalah?

Rencana Pemerintah akan mengimpor tenaga pengajar untuk perguruan tinggi di Tanah Air terus menuai pro kontra. Menteri Riset dan Tekn...



Hasil gambar untuk gaji dosen  asing
Rencana Pemerintah akan mengimpor tenaga pengajar untuk perguruan tinggi di Tanah Air terus menuai pro kontra. Menteri Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Riset Dikti) Mohamad Nasir mengatakan, Indonesia memerlukan 200 tenaga dosen asing agar masuk reputasi dunia di bidang pendidikan, dengan menyediakan gaji besar kepada 200 dosen asing yang akan diundang mengajar di Indonesia. Besarannya akan beragam, dan maksimal USD 5000 atau Rp 65 juta (bila kurs USD1 = Rp13,000). Jumlah yang cukup fantastik  itu jauh lebih besar daripada rata-rata gaji dosen lokal pada umumnya. Jika dibandingan gaji dosen dalam negeri dapat berbading sepuluh kali lipat, bahkan lebih.
Niat baik pemerintah mendatangkan dosen asing diharapkan menaikkan kualitas kinerja universitas secara umum di tanah air. Sebenarnya tidak perlu diragukan lagi, jika kesenjangan tidak terlalu lebar. Karena gaji 65 juta tersebut disesuaikan dengan yang berlaku di tingkat global. Akan tetapi niat baik itu bisa menimbulkan masalah baru, dan belum pasti memberikan solusi terhadap masalah seperti yang diharapkan. 
Masalah atau Solusi
Sesungguhnya masalah sebenarnyanya bukan terletak pada jumlah gaji dosen asing mencapai 65.000.000.-/bulan, atau kesenjangan yang terjadi dengan gaji dosen lokal. Akan tetapi terletak pada adanya pembedaan kategori dosen lokal/asing. Jika pemerintah membutuhkan tenaga pendidik profesional dengan nilai kerja unggulan sesuai dengan tingkat global, seharusnya pemerintah memberikan peluang kepada seluruh dosen lokal maupun asing yang memenuhi persyaratan akademik, tanpa memperdulikan kewarga-negaraan mereka. Sehingga pemerintah terkesan fair, tidak ada kesan dikotomi antara asing dan lokal, semua berhak mendapatkan kesempatan mendaftar dan diuji mutunya dengan kriteria internasional oleh sebuah tim yang juga berkualitas dan berskala global.
Rencana menarik pemerintah untuk dosen asing didasarkan pada asumsi nilai jasa mereka jauh lebih tinggi daripada dosen lokal. Asumsi ini bukannya tanpa dasar yang kuat. Tetapi tetap harus diterima sebagai asumsi. 
Salah satu solusi terbaik membuktikan validitas asumsi itu adalah dengan usulan yang sudah disebutkan di atas. Kesempatan seharusnya terbuka untuk semua dosen lokal dan internasional. Seleksi dilakukan secara ketat dengan kriteria internasional. Jika ternyata tidak ada dosen lokal yang lulus seleksi, hasilnya tidak bisa diprotes sebagai produk asumsi belaka, atau diskriminasi berbasis nasionalitas atau ras.
Usulan di atas sama sekali tidak istimewa. Proses seleksi tersebut sudah lama berlaku pada sebagian besar (tidak semua) universitas unggul di dunia. Setidaknya demikian di antara mereka yang saya kenal sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris dalam lingkungan kerja. Lowongan kerja mereka dibuka untuk siapa saja, termasuk warga lokal di negara mereka sendiri, dan yang internasional, termasuk warga Indonesia. 
Menurut sebuah sumber terpercaya, sekitar 2.000 tenaga ahli dari Indonesia saat ini bekerja di berbagai lembaga asing di dunia mengisi lowongan kerja yang diseleksi secara global demikian. Rincian angka statistiknya bisa diperdebatkan. Tetapi, secara kasaran kenyataan tersebut menunjukkan dua hal. 
Pertama, tidak sedikit tenaga ahli Indonesia yang unggul bersaing secara global di bidang keahlian mereka. Apakah orang-orang seperti ini masih dianggap “asing” atau “lokal” dalam program pemerintah mendatangkan “dosen asing” tadi? Mereka ini menaklukkan banyak calon pelamar kerja lokal di luar Indonesia sana. Yang kalah bersaing, harus mencari kerja di tempat lain. Bukan tidak mungkin mereka ini punya peluang menjadi “dosen asing” di Indonesia.
Kedua, kenyataan di atas juga menunjuk kenyataan bahwa pemerintah belum cukup berhasil menyediakan lingkungan kerja yang nyaman dan berkualitas internasional bagi tenaga ahli Indonesia di tanahair sendiri. Padahal pemerintah menuntut para dosen lokal berprestasi secara initernasional. Ini sebuah kontradiksi yang bisa menjadi salah satu pendorong kaburnya tenaga ahli terbaik bangsa sendiri. Tapi bukan hanya gaji yang mendorong mereka bekerja di tanah kelahiran atau merantau.
Masalah Perbandingan Gaji
Dari sebagian diskusi sejumlah dosen-dosen bahwa salah satu masalah yang harus dibenahi bukan kurangnya dosen asing yang istimewa di Indonesia, tetapi rendahnya status sosial dan gaji para dosen di Indonesia sendiri. Ini bisa menjadi sebab dan sekaligus akibat rendahnya tingkat kinerja mereka di antara rekan-rekannya di sekitar Asia Tenggara, apalagi dunia. Sebuah lingkaran setan.
Tentu, gaji bukan satu-satunya faktor penting yang mendorong cerdik cendekia Indonesia bekerja sebagai dosen. Juga bukan satu-satunya penyebab atau akibat rendahnya tingkat kinerja mereka di tingkat dunia. 
Banyak rekan dosen di Indonesia mengeluh banyaknya beban administrasi yang menumouk dan beban mengajar yang melampaui batas SKS sehingga menguras tenaga dan waktu yang mereka butuhkan untuk penelitian. Yang tidak kurang memprihatinkan bagi kerja akademik di Indonesia adalah merasuknya pertarungan partai politik dalam kehidupan kampus sehari-hari.
Hal-hal tersebut layak dipertimbangkan dalam kerangka besar program pemerintah mendatangkan dosen asing. Para professor unggulan dunia yang menjadi “bintang” di bidang mereka menerima gaji jauh lebih besar ketimbang yang ditawarkan pemerintah. Selain gaji besar, mereka juga mendapatkan berbagai kemudahan lain dari univeritas dan pemerintah mereka. 
Jadi, seandainya professor senior unggulan dari manca-negara itu diundang bekerja dengan gaji Rp 65 juta, dosen lokal berhak iri, sementara yang diundang belum tentu tertarik. Kecuali dosen asing ini sedang mencari kerja, karena kalah bersaing di negara asal mereka. Atau mereka yang merasa tidak nyaman di tempat kerjanya.
Kalau pun gaji yang diterima selama ini di tempat kerjanya sama dengan yang ditawarkan pemerintah, mereka akan mempertimbangkan suasana dan lingkungan kerja seperti apa yang tersedia di Indonesia. Misalnya, kebebasan akademik, sarana perpustakaan, sarana teknologi penelitian atau pengajaran. 
Mereka juga wajar mempertimbangkan apakah mereka tetap bisa menikmati kualitas hidup sehari-hari yang sama, hampir sama atau lebih baik di Indonesia nantinya? Misalnya kebersihan udara, kepadatan lalu-lintas, keamanan di tempat umum untuk keluarga. 
Singkat kata, pembinaan pendidikan dan penelitian di universitas merupakan sebuah masalah yang mendesak, tetapi kompleks. Program pemerintah untuk mengundang dosen asing dengan gaji besar layak dipahami dengan wawasan makro. Sebaiknya niat baik itu dipertimbangkan, didukung atau dikritik, tidak secara semp

Related

Artikel 113268120163326964

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Profile

About Me
Dr. Abdurrohman S.Ag. M.EI
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura. . Selengkapnya

Total Pageviews

Recent Posts

Random

Comments

Contact Us

Name

Email *

Message *

Populer

item