MENYOAL GAJI DOSEN ASING Solusi atau Masalah?
Rencana Pemerintah akan mengimpor tenaga pengajar untuk perguruan tinggi di Tanah Air terus menuai pro kontra. Menteri Riset dan Tekn...
https://rohman-utm.blogspot.com/2018/05/menyoal-gaji-dosen-asing-solusi-atau.html
Rencana Pemerintah akan mengimpor tenaga pengajar untuk
perguruan tinggi di Tanah Air terus menuai pro kontra. Menteri Riset dan
Teknologi Pendidikan Tinggi (Riset Dikti) Mohamad Nasir mengatakan, Indonesia
memerlukan 200 tenaga dosen asing agar masuk reputasi dunia di bidang
pendidikan, dengan menyediakan gaji besar kepada 200 dosen asing yang akan
diundang mengajar di Indonesia. Besarannya akan beragam, dan maksimal USD 5000
atau Rp 65 juta (bila kurs USD1 = Rp13,000). Jumlah yang cukup fantastik itu jauh lebih besar daripada rata-rata gaji
dosen lokal pada umumnya. Jika dibandingan gaji dosen dalam negeri dapat
berbading sepuluh kali lipat, bahkan lebih.
Niat baik pemerintah mendatangkan dosen asing diharapkan
menaikkan kualitas kinerja universitas secara umum di tanah air. Sebenarnya
tidak perlu diragukan lagi, jika kesenjangan tidak terlalu lebar. Karena gaji 65
juta tersebut disesuaikan dengan yang berlaku di tingkat global. Akan tetapi
niat baik itu bisa menimbulkan masalah baru, dan belum pasti memberikan solusi
terhadap masalah seperti yang diharapkan.
Masalah atau Solusi
Sesungguhnya masalah sebenarnyanya bukan terletak pada jumlah
gaji dosen asing mencapai 65.000.000.-/bulan, atau kesenjangan yang terjadi dengan
gaji dosen lokal. Akan tetapi terletak pada adanya pembedaan kategori dosen
lokal/asing. Jika pemerintah membutuhkan tenaga pendidik profesional dengan
nilai kerja unggulan sesuai dengan tingkat global, seharusnya pemerintah memberikan
peluang kepada seluruh dosen lokal maupun asing yang memenuhi persyaratan
akademik, tanpa memperdulikan kewarga-negaraan mereka. Sehingga pemerintah
terkesan fair, tidak ada kesan dikotomi antara asing dan lokal, semua berhak
mendapatkan kesempatan mendaftar dan diuji mutunya dengan kriteria
internasional oleh sebuah tim yang juga berkualitas dan berskala global.
Rencana menarik pemerintah untuk dosen asing didasarkan pada
asumsi nilai jasa mereka jauh lebih tinggi daripada dosen lokal. Asumsi ini
bukannya tanpa dasar yang kuat. Tetapi tetap harus diterima sebagai
asumsi.
Salah satu solusi terbaik membuktikan validitas asumsi itu
adalah dengan usulan yang sudah disebutkan di atas. Kesempatan seharusnya
terbuka untuk semua dosen lokal dan internasional. Seleksi dilakukan secara
ketat dengan kriteria internasional. Jika ternyata tidak ada dosen lokal yang
lulus seleksi, hasilnya tidak bisa diprotes sebagai produk asumsi belaka, atau
diskriminasi berbasis nasionalitas atau ras.
Usulan di atas sama sekali tidak istimewa. Proses seleksi
tersebut sudah lama berlaku pada sebagian besar (tidak semua) universitas
unggul di dunia. Setidaknya demikian di antara mereka yang saya kenal
sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris dalam lingkungan kerja. Lowongan kerja
mereka dibuka untuk siapa saja, termasuk warga lokal di negara mereka sendiri,
dan yang internasional, termasuk warga Indonesia.
Menurut sebuah sumber terpercaya, sekitar 2.000 tenaga ahli
dari Indonesia saat ini bekerja di berbagai lembaga asing di dunia mengisi
lowongan kerja yang diseleksi secara global demikian. Rincian angka
statistiknya bisa diperdebatkan. Tetapi, secara kasaran kenyataan tersebut
menunjukkan dua hal.
Pertama, tidak sedikit tenaga ahli Indonesia yang unggul bersaing secara global
di bidang keahlian mereka. Apakah orang-orang seperti ini masih dianggap
“asing” atau “lokal” dalam program pemerintah mendatangkan “dosen asing” tadi?
Mereka ini menaklukkan banyak calon pelamar kerja lokal di luar Indonesia sana.
Yang kalah bersaing, harus mencari kerja di tempat lain. Bukan tidak mungkin
mereka ini punya peluang menjadi “dosen asing” di Indonesia.
Kedua, kenyataan di atas juga menunjuk kenyataan bahwa pemerintah belum
cukup berhasil menyediakan lingkungan kerja yang nyaman dan berkualitas
internasional bagi tenaga ahli Indonesia di tanahair sendiri. Padahal
pemerintah menuntut para dosen lokal berprestasi secara initernasional. Ini
sebuah kontradiksi yang bisa menjadi salah satu pendorong kaburnya tenaga ahli
terbaik bangsa sendiri. Tapi bukan hanya gaji yang mendorong mereka bekerja di
tanah kelahiran atau merantau.
Masalah Perbandingan Gaji
Dari sebagian diskusi sejumlah dosen-dosen bahwa salah satu
masalah yang harus dibenahi bukan kurangnya dosen asing yang istimewa di
Indonesia, tetapi rendahnya status sosial dan gaji para dosen di Indonesia
sendiri. Ini bisa menjadi sebab dan sekaligus akibat rendahnya tingkat kinerja
mereka di antara rekan-rekannya di sekitar Asia Tenggara, apalagi dunia. Sebuah
lingkaran setan.
Tentu, gaji bukan satu-satunya faktor penting yang mendorong
cerdik cendekia Indonesia bekerja sebagai dosen. Juga bukan satu-satunya
penyebab atau akibat rendahnya tingkat kinerja mereka di tingkat dunia.
Banyak rekan dosen di Indonesia mengeluh banyaknya beban
administrasi yang menumouk dan beban mengajar yang melampaui batas SKS sehingga
menguras tenaga dan waktu yang mereka butuhkan untuk penelitian. Yang tidak
kurang memprihatinkan bagi kerja akademik di Indonesia adalah merasuknya
pertarungan partai politik dalam kehidupan kampus sehari-hari.
Hal-hal tersebut layak dipertimbangkan dalam kerangka besar
program pemerintah mendatangkan dosen asing. Para professor unggulan dunia yang
menjadi “bintang” di bidang mereka menerima gaji jauh lebih besar ketimbang
yang ditawarkan pemerintah. Selain gaji besar, mereka juga mendapatkan berbagai
kemudahan lain dari univeritas dan pemerintah mereka.
Jadi, seandainya professor senior unggulan dari manca-negara
itu diundang bekerja dengan gaji Rp 65 juta, dosen lokal berhak iri, sementara
yang diundang belum tentu tertarik. Kecuali dosen asing ini sedang mencari
kerja, karena kalah bersaing di negara asal mereka. Atau mereka yang merasa
tidak nyaman di tempat kerjanya.
Kalau pun gaji yang diterima selama ini di tempat kerjanya
sama dengan yang ditawarkan pemerintah, mereka akan mempertimbangkan suasana
dan lingkungan kerja seperti apa yang tersedia di Indonesia. Misalnya,
kebebasan akademik, sarana perpustakaan, sarana teknologi penelitian atau
pengajaran.
Mereka juga wajar mempertimbangkan apakah mereka tetap bisa
menikmati kualitas hidup sehari-hari yang sama, hampir sama atau lebih baik di
Indonesia nantinya? Misalnya kebersihan udara, kepadatan lalu-lintas, keamanan
di tempat umum untuk keluarga.
Singkat kata, pembinaan pendidikan dan penelitian di
universitas merupakan sebuah masalah yang mendesak, tetapi kompleks. Program
pemerintah untuk mengundang dosen asing dengan gaji besar layak dipahami dengan
wawasan makro. Sebaiknya niat baik itu dipertimbangkan, didukung atau dikritik,
tidak secara semp