Refleksi Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW
Disampaikan di Masjid al-Ihsan Kamal Bangkalan Teologi Kepemimpinan Isra’ Mi’raj Peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad menjadi ...
https://rohman-utm.blogspot.com/2018/04/refleksi-isra-dan-miraj-nabi-muhammad.html
Disampaikan di Masjid al-Ihsan Kamal
Bangkalan
Peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad menjadi momen
strategis bagi refleksi kepemimpinan kita. Saat ini bangunan kepemimpinan kita
berada di ambang kehancuran. Terungkapnya skandal suap sejumlah pejabat negara,
baik di tingkatan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif menjadi bukti nyata
betapa kian memprihatinkannya para pemimpin bangsa ini. Fenomena tersebut
merupakan event of experience yang menyedihkan dan kian meneguhkan citra
negatif pemimpin bangsa ini, yang dalam istilah William Change dikatakan telah
terjadi “demoralisasi” di lingkungan wakil rakyat.
Para pemimpin kita saat ini telah kehilangan
identitas. Kualitas kepemimpinan tertutup oleh kepentingan-kepentingan individu
dan kelompoknya semata. Tidak lagi mewarisi nilai-nilai ketulusan, kebenaran,
dan keadilan, sebagaimana pernah diperkenalkan dan diimpikan oleh para pemimpin
ideal, sejak rasulullah hingga sekurang-kurangnya khalifah yang yang empat.
Pemimpin kita sedang berada dalam situasi krisis spiritualitas dan kehilangan
fondasi keagamaan.
Krisis spiritualitas para pemimpin membuat suasana
kehidupan masyarakat kian goncang, tercekam, ketakutan, dan kemiskinan yang
tidak terpikirkan. Kepentingan politik individu dan kelompok telah
menelantarkan kemaslahatan masyarakat. Persoalan-persoalan kebangsaan, seperti
nasib TKI di luar negeri, para buruh, serta fakir-miskin yang kian terlantar,
sama sekali tidak disentuh oleh pemerintah.
Spirit Isra’ Mi’raj
Di sinilah pentingnya memperingati Isra’ Mi’raj, yakni
untuk merefleksikan spirit teologi kepemimpinan Nabi Muhammad selama hidupnya.
Sudah bukan waktunya lagi kita memaknai Isra’ Mi’raj hanya semata perjalanan
Muhammad di malam hari untuk menerima perintah shalat. Kita mesti menyeret
makna peristiwa itu pada konteks yang lebih rill. Sebab, Isra’ Mi’raj penuh
labirin dan makna simbolik, baik pada tatanan kemanusiaan atau pun teologi
kepemimpinan.
Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan spiritualitas
terpenting yang menjadi salah satu tonggak sejarah perjuangan Nabi Muhammad
dalam membangun peradaban, keadilan, dan kemakmuran bagi seluruh umatnya.
Proyeksi awal dari peristiwa Isra’ Mi’raj adalah menciptakan jalan pencerahan
untuk membebaskan diri dari sisi gelap (dark side) pengamalan dan sejarah
kemanusiaan. Shalat lima waktu yang diprintahkan Tuhan dalam peristiwa Isra’
Mi’raj tidak semata-mata ditafsiri sebagai kewajiban yang sifatnya ritual an
sich, melainkan wahana untuk menegakkan kebenaran dan merobohkan bangunan-bangunan
kemungkaran di muka bumi.
Jika dicermati, ada banyak hal yang dapat kita jadikan
motivasi untuk lebih bersungguh-sungguh memaknai peristiwa agung ini sebagai
spirit kepemimpinan. Pertama, spirit penyucian hati. Telah diriwayatkan, bahwa
sebelum Nabi Muhammad dibawa Malaikat Jibril, beliau dibaringkan, kemudian
dibelah dadanya; hatinya dibersihkan dengan air zamzam. Penyucian hati
Rasulullah ini bermakna bahwa setiap manusia tidak akan pernah lepas dari
kekhilafan. Setiap kali melakukan kekhilafan, setiap kali pula hatinya ternoda
hingga menjadikannya hitam pekat, karena itu penting di sucikan.
Dalam konteks kekinian, jika seorang pemimpin
melakukan tindakan yang dapat menyebabkan hati kotor, semisal melakukan
suap-menyuap, maka penting juga disucikan, bahkan kalau perlu direndam (dalam
penjara). Pemimpin yang hatinya kotor mustahil memiliki keinginan untuk
memperjuangkan nasib rakyat. Alih-alih mereka hanya mementingkan kepentingan
pribadinya.
Kedua, spirit keteladanan. Ketika di Baital Maqdis, misalnya,
Nabi Muhammad ditawari dua gelas minuman yang berisi susu dan khamar, beliau
memilih susu. Hal ini mengindikasikan bahwa pemimpin harus mampu memberikan
yang terbaik dan bernilai positif bagi dirinya dan umatnya. Spirit keteladanan
nabi Muhammad itu bisa dipraktekkan dengan menjauhi tindakan korupsi, skandal
suap dan sek yang akhir-akhir ini kian merebak di kalangan wakil rakyat. Karena
tindakan-tindakan tersebut lebih parah dari pada sekedar minum khamar.
Ketiga, prinsip keadilan. Proses negosiasi yang
dilakukan nabi Muhammad dalam menerima kewajiban shalat juga menjadi cerminan
bahwa esensi seorang pemimpin adalah berusaha meringankan beban yang dihadapi
umatnya. Al-Ghazali mengungkapkan bahwa seluruh ajaran ibadah yang diwajibkan
kepada umat Islam merupakan fondasi yang wajib dilaksanakan untuk menemukan
saripati dan esensi agama, yakni agama sebagai rahmat bagi semua bangsa.
Masyarakat Madani
Keempat, spirit dan etos membangun peradaban yang
kuat. Sejarah mencatat, tidak lama setelah Isra’ Mi’raj, Rasulullah dengan para
pengikutnya hijrah ke Madinah. Dengan spirit dan etos yang lahir dari Isra’
Mi’raj, Nabi Muhammad SAW berhasil menyampaikan risalah kenabian di Madinah.
Lebih dari itu, Beliau juga berhasil membangun sebuah negara kota yang disebut
Al Farabi sebagai negara yang adil, makmur, sejahtera, aman, dan damai. Negara
seperti itu adalah sebuah negeri ideal sebagaimana dicita-citakan para ahli
dari Yunani, seperti Plato dan Aristoteles.
Kepemimpinan Nabi di Madinah dinilai sebagai
kesuksesan memadukan antara nilai-nilai keislaman dengan spirit demokrasi, yang
dalam bahasa Robert N. Bellah disebut sebagai masyarakat madani (civil
society). Menurut Gus Dur, ada lima hal yang diperjuangkan Islam untuk
membangun civil society, yaitu pertama, melindungi keselamatan fisik warga
masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, kedua, melindungi
keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan untuk berpindah
agama, ketiga, menjaga keselamatan keluarga dan keturunan, keempat, memberikan
jaminan keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan
kelima, menjamin keselamatan profesi. Lima hal itulah yang diperjuangkan Nabi
selama memimpin Madinah.
Kesuksesan nabi Muhammad dalam memimpin Madinah
mendapat apresiasi serius di kemudian hari. Filsuf George Bernand Show
berkeyakinan seandainya Muhammad diserahi untuk memimpin dunia modern, tentu
berhasil menyelesaikan persoalan dengan cara yang dapat membawa dunia yang
dapat membawa dunia ke dalam kesejahteraan dan kebahagiaan. Bernand juga
meramalkan, akidah yang dibawa Muhammad akan diterima dengan baik oleh Eropa di
kemudian hari. Maka tak heran, jika salah seorang sejarawan barat, Michael H.
Hart, menempatkan Muhammad sebagai tokoh nomor wahid yang paling berpengaruh
sepanjang sejarah umat manusia.
Spirit kepemimpinan nabi Muhammad menemukan momentum
untuk diinternalisasikan dalam jiwa-jiwa pemimpin kita saat ini. Momentum Isra’
Mi’raj dapat menggugah bangsa Indonesia dalam menegakkan nilai-nilai keadilan,
kemanusiaan, kesejahteraan, dan keimanan, yang pada titik klimaksnya akan lahir
sosok pemimpin yang memiliki integritas kebangsaan dan spirit religiusitas yang
agung.
Spirit Membangun Moralitas Bangsa
27 Rajab tahun 620 M silam, Muhammad sebagai rasul
menceritakan kepada para sahabat, bahwa ia telah menempuh perjalanan dari
Masjidil Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsa (Palestin), dan naik ke langit yang
tujuh hanya dalam satu malam. Ini sebuah kabar menakjubkan serta merupakan awal
pencerahan dalam dunia Islam. Malam inspiratif yang sanggup menggugah kesadaran
dan menantang intelektualitas serta kreatifitas manusia, sekaligus sebagai
tingkat pengukur kecerdasan umat manusia secara luar dalam. Peristiwa tersebut
oleh Umat Islam diperingati sebagai Isra mikraj. Kejadian luar biasa itu
membuka pintu gerbang pencerahan dunia dan prosesnya mengawal manusia menuju
kemajuan peradaban.
Secara implisit perjalanan jarak jauh yang dialami
oleh nabi, membawa Sahabat pada garis rasionalitas tingkat tinggi yang
mengkomparasikan daya pikiran akal dan hati nurani untuk mampu menerimanya
dengan sepenuh hati. Ini pertama dialami oleh sahabat Abu Bakar, ketika
mendengarkan tutur nabi tentang perjalanan panjang melewati batas batas langit
hanya dalam tempo satu malam, hati kecilnya tidak ada ruang untuk menolak
seperti yang dilakukan oleh Abu Jahal dan kawan kawannya. Abu Bakar sebagai
penerus kepemimpinan nabi, sebelumnya telah mampu membaca apa yang ada di
sekelilingnya dilihat melalui dua aspek yaitu yang nyata dilihat dengan mata
zahir dan yang batin dilihat dengan mata hati.
Menurut Ibnu Athoillah dalam Al-Hikam,Elemen alam dan
sekalian gerak peristiwanya, adalah perutusan yang membawa kabar tentang
kekuasaan Tuhan. Kabar itu tidak didengar telinga atau dilihat dengan mata. Ia
adalah kabar batin yang menyentuh jiwa secara khusus. Sentuhan batin pada jiwa
itulah yang membuat hati mendengar tanpa telinga, melihat tanpa mata. Hati
hanya mengerti setiap perutusan yang disampaikan oleh supranaturalitas
kepadanya dan hati menerimanya dengan yakin. Keyakinan itulah yang menurut
Thomas Aquinas akan menjadi kunci pada telinga, mata dan akal. Ketika kunci itu
telah terbuka, segala suara alam yang didengar, sekalian elemen alam yang
dilihat dan seluruh alam maya yang direnungi akan membawa pada kebanaran
tentang kekuasaan Tuhan.
Kecerdasan hati seperti yang dimiliki sang Khalifah
Pertama, sangat penting untuk dilatih dan diaplikasikan para pemimpin bangsa
kita. pasalnya, para pemimpin sekarang yang mendapatkan amanah dari rakyat,
belum sepenuh hati memahami suasana keinginan hati rakyat yang terkait dengan
kekuasaan Tuhan. Kasus korupsi masih sering membuat layu jiwa dan harapan
rakyat. Para pejabat tinggi negara menjadi tertutup mata hatinya karena materi
duniawi. Akibatnya, tindak korupsi secara sembunyi ataupun berjamaah mereka
lakukan tanpa merasa bersalah. Para pemimpin bangsa harus berani menunjukan
kepemimpinan adil, tegas, membela kepentingan rakyat dan menujukan mereka jalan
menuju kesejahteraan hidup bersama.
Cita-cita Luhur
Perjalanan isra mikraj yang penuh misi dan makna
tersebut, telah menuai hasil istimewa yang terbingkai dalam solat lima waktu.
Menurut Al Jabiri, Solat sendiri mempunyai dua dimensi tak terpisahkan. Yakni
dimensi spiritual yang membimbing manusia memasuki alam kesadaran, bahwa ia
hanyalah mahluk lemah yang tidak patut untuk sombong ataupun menang sendiri.
Dimensi sosial mengajarkan manusia tentang nilai-nilai adiluhung demi menjadi
manusia seutuhnya. Manusia yang berkepribadian utama, berakhlakul karimah,
serta memahami setiap hak dan kewajiban dalam hidup berkomunitas.
Peresapan terhadap nilai nilai isra mikraj mampu
mendalamkan karakter seorang mengarah pada profesionalisme diri. Dalam konteks
Indonesia, kasus korupsi oleh pejabat tinggi yang massif mengisi berita
utama media masa, terjadi karena para pemimpin masih terjebak dalam titik titik
butanya sendiri (blinds spot). Bagaimana mungkin untuk keluar dari kemelut
korupsi, kalau pemimpin masih terhanyut oleh nafsu dan tidak mau menyelami
ajaran moralitas. Para penegak hukum; Polisi, jaksa, hakim yang seharusnya
bertanggungjawab menegakkan bendera keadilan dalam mengentaskan problematika
masyarakat, malah berkomplot (untuk memperkaya diri sendiri) (Tempo, 20-6-10).
Betapa pilu menyaksikan relitas negatif oleh pemimpin
kita, yang perlu dibangun untuk mengembalikan sinergitas kesejahteraan bersama
antara pemerintah dengan rakyat adalah, sikap utamanya kejujuran dan saling
terbuka, karena sekecil apapun kejahatan terselubung itu pasti akan terkuak
juga. Seperti ditulis J.E. Sahetapy (2010), Para penguasa harus sadar
bahwa tidak ada dusta yang bertahan selamanya, demikian pula bahwa kekuasaan
hanya semantara.
Ketika praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang
merugikan Negara dan hajat orang banyak masih menjadi hobi pejabat dan
penguasa, secara langsung mereka telah “berhianat” terhadap bangsa dan Negara.
Seorang penghianat lebih berbahaya daripada barisan pasukan tempur yang rela
mati. Koruptor yang menggelapkan uang Negara, ia telah merampas kesejahteraan
ribuan warga hanya sebatas nafsu untuk memperoleh kemegahan. Seperti kasus
korupsi pajak Gayus Tambunan, dana misterius direkening para pejabat Polri.
Jika semua itu benar, betapa besar panghianatannya terhadap Negara, ia telah
menghacurkan loyalitas publik, mencemarkan nama Indoneisa di mata dunia
Internasional.
Isra mikraj sangat tepat menjadi momentum refleksi
bagi segenap pemerintah. Bagaimana menempatkan kembali moralitas dan
profesionalitas sebagai seorang pemimpin yang bermartabat. Pemimpin yang telah
mengerti pesan sosial isra mikraj, akan bersemi dalam jiwanya amanat memimpin,
disiplin dan rasa sosial yang kompleks, serta keluar dari lingkaran KKN dan
menjadi negara yang berperadaban luhur. Seperti termaktub dalam al Isra [15]
:1, kalimat “barakna haulahu” akan terwujud dalam diri pemimpin dengan
senantiasa memberi berkah di setiap langkah keberadaannya, dan cita-cita “li
nuriyahu” atau “pencerahan” akan terejawantahkan dalam kesejahteraan sosial
masyarakat dan bernegara yang demokratis.
Isra’ Mi’raj dan Nilai Kepemimpinan
16-12 bulan sebelum hijrah ke Madinah (Yatsrib), Nabi
Muhammad SAW mengalami peristiwa dahsyat. Beliau diperjalankan (isra’) oleh
Allah SWT dari Masjidil Haram di Makkah menuju Baitul Maqdis di Jerusalem, lalu
naik (mi’raj) ke Sidratul Muntaha (akhir penggapaian), bahkan melampauinya,
serta kembali lagi ke Makkah dalam waktu yang amat singkat.
Ini merupakan bukti bahwa ‘ilm (ilmu) dan qudrat
(kekuasaan) Allah meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite
(terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa dipengaruhi oleh ruang dan waktu.
Ruang dan waktu adalah statistika manusia, perhitungan
makhluk, sementara Tuhan adalah Sang Penguasa ruang yang tiada pernah dibatasi
oleh ruang, Sang Penguasa waktu yang tiada pernah dipengaruhi oleh waktu.
Di tengah perdebatan tak berujung tentang segala hal
yang menyelimuti Isra’ Mi’raj, pendekatan di atas mutlak dikedepankan untuk
mendedah misteri perjalanan spektakuler Muhammad SAW dan meneguhkan keimanan
umat Islam. Pendekatan imani ini telah dicontohkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq
tatkala mendengar pengakuan langsung Isra’ Mi’raj dari bibir sang Nabi Agung.
Perdebatan tak berpungkasan tersebut biasanya seputar:
apakah perjalanan Isra’ dan Mi’raj Muhammad itu dengan ruh saja, atau ruh dan
jasad? Berapa kali Rasulullah Isra’ dan kapan waktu tepatnya? Mengapa pula
perjalanan Isra’ mesti dilakukan ke Bait al-Maqdis?
Pun, tentang hakikat tujuh langit, Sidrat al-Muntaha,
serta Buraq (kendaraan Muhammad ketika Mi’raj). Juga pertanyaan, bagaimana
ihwal Rasulullah bertemu dan melihat Tuhannya (ru’yatullah) dalam mi’raj?
Serta, masih banyak lagi sederet pertanyaan yang digulirkan untuk mendedah
misteri perjalanan sakral-transendental Muhammad.
Al-Qur’an memang tidak pernah membeberkan peristiwa
itu secara rinci dan sharih (gamblang). Al-Qur’an hanya mengisahkannya sekilas
dan global. Sehingga, terbukalah ruang interpretasi yang luas bagi siapa pun
yang ingin menguak misteri Peristiwa Agung itu.
Tak mengejutkan jika kemudian muncul kubu-kubu yang
berseberangan: kubu doktrinal dan rasional, kubu literal dan liberal, serta
kubu tekstual dan kontekstual. Semoga saja perbedaan ini hanyalah bagian dari
dinamika wacana keilmuan, yang pada muaranya tetap bertujuan ke titik yang
sama, yakni peneguhan iman.
Wahyu dan Akal
Kaum empirisis rasionalis, yang melepaskan diri dari
bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan
melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi
dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan
material yang dilalui Muhammad tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang
merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri
dari gravitasi bumi?
Mengenai ini, acapkali kita (manusia) tidak bisa
membedakan antara: (a) yang mustahil menurut akal dengan yang mustahil menurut
kebiasaan, (b) yang bertentangan dengan akal dengan yang tidak atau belum
dimengerti oleh akal, dan (c) yang rasional dan irasional dengan yang
suprarasional. Mengapa demikian? Karena manusia adalah makhluk yang serba
terbatas.
Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh
eksistensialisme, menyatakan: “Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu,
tetapi karena ia tidak tahu.” Dan itu pula sebabnya, mengapa Immanuel Kant
berkata: “Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu
bagi hatiku untuk percaya.”
Nilai Kepemimpinan
Isra’ dan Mi’raj sejatinya memuat pelajaran agung bagi
siapa pun dan dalam konteks apa pun, termasuk bagi pemimpin dalam konteks
keindonesiaan. Di antaranya: Pertama, purifikasi untuk mencapai integritas
moral (akhlaqul karimah), sebagaimana tercermin dalam pembuka surat al-Isra’,
yang dimulai dengan ”tasbih”, juga peristiwa pembersihan dada Nabi dengan air
zamzam dan disempurnakan dengan wudlu. Dalam konteks keindonesiaan, hal ini
dapat diwujudkan dengan reformasi moral yang dimulai dari tingkat aparaturnya.
Kedua, yang tak kalah pentingnya adalah komunikasi
yang harmonis dan menghargai sejarah. Ini terefleksi dalam singgahnya
Rasulullah di tempat-tempat penting dan bersejarah, kemudian menemui para nabi
pendahulunya. Dengan ini kontiunitas kesejarahan dan perjuangan dapat terus
dipertahankan bahkan dikembangkan.
Dari hormonisasi kesejarahan inilah seorang pemimpin
bisa belajar bagaimana menyikapi umatnya di masa sekarang agar lebih baik.
Dalam ungkapan kaidah fiqh, ”Memelihara nilai lama yang baik dan mengambil
nilai baru yang lebih baik” (Al-muhafazatu ‘alal qadimis shalih wal akhdzu bil
jadidil ashlah).
Ketiga, dengan dua bekal di atas (integritas moral dan
belajar dari sejarah), diharapkan sebuah kepemimpinan dapat berjalan dengan
benar dan tidak mudah terjerembab dalam godaan, sebagaimana teladan Nabi ketika
menerima banyak godaan di waktu Mi’raj-nya.
Kepemimpinan seperti itu hanya bisa terwujud apabila
seluruh aparaturnya tegak lurus, berkeadilan (al-‘adalah), egaliter (al-
musawah), konsisten dan disiplin (istiqamah), bertanggung jawab dan dapat
dipercaya (amanah), serta mau merundingkan segala persoalan secara bersama
(musyawarah).
Jangan sampai menjadi pemimpin yang berlagak sok
pintar atau merasa paling tahu segala urusan (tanathu’). Pun, terhadap yang
dipimpin jangan sampai mempersulit (tasydid), dan kebijakannya tidak melewati
batas kemampuan yang ada (ghuluw) baik bagi yang dipimpin maupun sang pemimpin
itu sendiri.
Keempat, merakyat (populis). Dalam peristiwa Isra’ dan
Mi’raj, ajaran kerakyatan ini diteladankan Nabi melalui kerelaannya kembali
(turun) ke bumi setelah liqa’ (bertemu) dan ru’yat (melihat) Allah. Padahal
pertemuan dengan Allah adalah cita-cita dan tujuan akhir manusia. Mengapa sudi
kembali ke bumi? Tak lain untuk menebar misi kesejahteraan dan kasih sayang
bagi seluruh alam (rahmatan lil’alamin).
Dan kelima, perintah dari Allah untuk menegakkan
shalat, pada dasarnya merupakan simbolisme yang mengajarkan prinsip
kepemimpinan, yakni armonizáis hubungan antara hamba (manusia) dengan Tuhannya
dan antara manusia dengan sesamanya.
Kepemimpinan dalam shalat tercermin dengan adanya
seorang imam (jika berjama’ah). Apabila imam melakukan kekeliruan dalam
kepemimpinannya, makmum (pengikut/rakyat) harus menegurnya (dengan cara
tertentu yang arif).
Shalat yang diawali dengan takbir (mengagungkan Tuhan)
dan dipungkasi dengan salam (kesejahteraan) juga mengandung arti, segala
aktivitas kepemimpinan haruslah berlandaskan keagungan Tuhan (nilai-nilai
keikhlasan lillah) dan disempurnakan dengan komitmen menyejahterakan
umat/rakyat.
Menghidupkan Spirit Transformasi Islam
Di antara komitmen profetis Nabi Muhammad SAW ada
dalam peristiwa Isra’ Mi’raj yang jatuh pada malam 27 Rajab. Komitmen itu
sangat jelas ketika Nabi bersedia kembali merealitas, meruang dan mewaktu pasca
mengarungi pengalaman transendennya. Nabi diberi kesempatan oleh Allah untuk
menjelajah dunia malakut yang tak semua orang bisa menjangkaunya. Kalau Nabi
menuruti ambisi pribadi, maka beliau cukup bertahan di sana dan meninggalkan
gemuruhnya dunia material.
Tapi tidak bagi Muhammad SAW. Nabi agung itu justru
turun gunung dengan membawa misi transformasi sosial. Setelah menghadap
Tuhannya, ia segera kembali ke tengah-tengah masyarakat untuk melakukan
perbaikan masyarakat Arab yang ketika itu tengah mengalami pembusukan.
Dengan Islam, Muhammad mampu menggulirkan transformasi
sosial yang dahsyat hingga berhasil menancapkan akar peradaban besar di dunia.
Atas jasanya yang besar itu, kalau boleh meminjam bahasanya Gramsci, Muhammad
adalah seorang intelektual organik. Sosok intelektual yang tidak cukup puas
berteriak : “revolusi!” Tapi setelah itu langsung duduk di atas kursi empuk
sambil menyeruput kopi. Namun dalam hal ini ia benar-benar terjun langsung
menjadi eksekutor lapangan, bekerja keras mengorganiser kekuatan untuk melawan
ketidakadilan.
Dekadensi Ummat Islam
Namun, seiring perjalanan sejarah, misi transformasi
Islam itu kini mengalami penurunan, kalau tidak boleh dikatakan mati. Hal ini
nampak pada kondisi umat Islam yang sekarang tengah tidur panjang. Dalam
kondisi dunia yang dikuasai modal sekarang ini, di mana negara sudah tidak
mampu lagi melindungi rakyatnya dari dominasi dan hegemoni neoliberal, umat
Islam justru terkesan tenag-tenang bahkan asyik menikmati ketertindasannya.
Hal ini tercermin dalam sikap umat Islam sendiri dalam
menghadapi fenomena globalisasi. Seperti pernyataan sebagian tokoh Islam
sendiri yang menganggap bahwa globalisasi adalah sunnatullah. Kita tahu
globalisasi, dalam konbteks sosial, ekonomi dan politik, adalah strategi
neoliberal untuk melanggengkan kuku kolonialismenya di negara-negara
berkembang, termasuk negara-negara Islam. Namun anehnya fenomena semacam ini
bukan dianggap sebagai tantangan atau ancaman, tetapi justru dianggap sebagai
ketentuan Tuhan yang wajar.
Selain dari itu, banyak sekali institusi-institusi
Islam yang pola kerjanya sudah menyimpang jauh dari semangat Islam. Banyak
sebenarnya problematika sosial yang diharus digarap oleh lembaga-lembaga Islam
semacam MUI, NU, Muhammadiyyah, ICMI, OKI dan sebagainya. Masalah-masalah
sosial seperti kemiskinan struktural, kebodohan, keterbelakangan, dehumanisasi,
ketidakadilan hukum, diskriminasi, tirani mayoritas dan sejenisnya adalah
masalah-masalah umat yang sekarang mencuat di mata lembaga-lembaga agama di atas.
Namun dalam praktiknya belum ada satu lembaga keagamaan yang belum mempunyai
ghirah secara konkrit untuk menjawab problematika sosial tersebut.
Dalam konteks Indonesia, kita patut bertanya apa
tawaran solusi konkrit lembaga-lembaga keagamaan Islam semacam MUI, NU,
Muhammadiyyah dan ICMI terhadap masalah masalah yang menimpa bangsa dan
masyarakat seperti kemiskinan struktural, korupsi, penggusuran, pengangguran,
kerusakan lingkungan, mahalnya biaya pendidikan dan sebagainya. Lembaga-lembaga
keagmaan tersebut justru sibuk dengan dunia sendiri yang jauh dari hiruk pikuk
masyarakat. Bahkan tak jarang ikut terseret mendukung program atau proyek besar
neoliberal yang cenderung menindas.
Dari realitas itu kita tahu bahwa Islam tiba-tiba,
dalam pernyataan Mansour Fakih (2002), kehilangan citra diri sebagai pewaris
gerakan pembebasan dan penegak keadilan apalagi gerakan alternarif terhadap
sistem dan ideologi dehumanisasi masalalu. Hilangnya citra trnasformatif dan
liberatif Islam tersebut seolah meneguhkan statemen Marx yang menyatakan bahwa
agama adalah candu masyarakat. Islam oleh lembaga-lembaga formalnya hanya
difungsikan untuk memberi mimpi-mimpi indah berupa surga, bidadari dan pahala
dalam bentuk ritualisme absurd dan tidak memberi tawaran nyata untuk mengatasi
problemtika sosial yang menghimpit masyarakat.
Selain dari itu, dan ini yang paling naif, Islam
justru banyak dipolitisir dan dikomersialisasikan oleh para pemeluknya sendiri.
Parpol Islam banyak bermunculan, perda-perda syari’at diciptakan dan bank-bank
syari’ah didirikan, tapi semua itu hanya sebatas strategi untuk menarik massa.
Praktik dan sistem norma yang diimplementasikan justru
jauh dari spirit Islam. Di sisi lain, Islam digunakan menjadi ekspresi
kebudayaan yang dangkal. Film-film, sinetorn-sinetron dan novel-novel
islami banyak beredar, tetapi hanya memenuhi tuntutan pasar. Sehingga kualitas
seni Islam nampak sangat klise dan berselera rendah.
Spirit seni Islam seharusnya terilhami dari realitas
kehidupan yang timpang seperti kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan
sehingga mampu menjadi kritik sosial yang efektif. Namun untuk sekarang ini,
seni Islam hanya ditampilkan secara simbolik-formalis seperti jilbab,
dalil-dalil Al-Qur’an, tasbih dan bentuk formalitas lainnya. Pola ekspresi kebudayaan
yang market oriented tersebut, dalam faktanya, justru cenderung memperkuat
budaya borjuasi, konglomerasi dan konsumerisasi yang semua ini sangat
bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Saatnya Dibangkitkan Kembali
Momentum Isra’ Mi’raj ini harus dijadikan umat Islam
sebagai media perenungan dan refleksi yang dalam atas pola keagamaan yang
selama ini dipraktikkan. Melihat realitas sosial sekarang yang pengap, timpang
dan menindas, Islam harus ditampilkan sebagai agama yang penuh gairah
transformasi. Problematika sosial yang tengah menghimpit sekarang ini harus
menjadi agenda utama seluruh institusi agama Islam.
Islam, dalam semangat transformasinya, harus bisa
menjadi martil atas kuatnya sistem dan idiologi pembangunan modern. Idiologi
pembangunan modern terbukti telah gagal menciptakan keadilan dan kemakmuran.
Janji-janji kesejahteraan yang ditawarkannya hanya omong kosong. Yang terjadi
justru eksploistasi dan dominasi oleh kelompok pemodal terhadap kelompok lemah.
Dengan demikian orang-orang yang jauh dari lingkaran kapital, hidupnya semakin
termarginalkan.
Maka agenda Islam yang mendesak adalah melakukan
perlawanan terhadap sistem ketidakadilan tersebut. Dalam hal ini Islam, secara
substansial, harus berani menawarkan pola pembangunan yang holistik. Pola
pembangunan yang tidak hanya berorientasi pada kebebasan individual secara
binal tetapi juga penuh dengan kepedulian sosial tinggi.
Begitu pula bukan pembangunan yang hanya lebih
mengutamakan kesalehan ritual dan idiologi formal, tetapi yang terpenting
adalah aktif dalam proses pembinaan dan advokasi masyarakat. Standar keimanan
dan kekafiran tidak semata-mata diukur dari intensifitas dan massifitas praktik
ritualitas keagamaan, juga bukan dari persoalan idiologis Islam versus sekuler,
tetapi justru dari aspek kualitas kehidupan sosial yang berkeadilan. Oleh karena
itu, seperti kata pemikir revolusioner Islam Asghar Ali Enginer bahwa seorang
muslim rajin melakukan ritual, tetapi menutup mata terhadap problematika sosial
yang ada disekitarnya seperti maraknya kemiskinan dan penindasan, maka
sejatinya orang itu adalah kafir.
Dengan demikian, ketika negara kita sekarang dilanda
korupsi, penyalahgunaan wewenang, kemiskinan, pengangguran dan keterbelakangan
sementara kita hanya cuek saja, pantaskah diri kita menyatakan Islam?