MEMBUKA AIB ORANG LAIN SAMA DENGAN MEMAKAN BANGKAI ?
Pada dasarnya diharamkan bagi seorang muslim mengungkapkan aib saudaranya karena ini termasuk kedalam perbuatan ghibah, yaitu ...
https://rohman-utm.blogspot.com/2018/01/membuka-aib-orang-lain-sama-dengan.html
Pada
dasarnya diharamkan bagi seorang muslim mengungkapkan aib saudaranya
karena ini termasuk kedalam perbuatan ghibah, yaitu mengungkapkan aib
saudaranya sesama muslim pada saat orang itu tidak ada dihadapannya dan
saudaranya itu tidak menyukainya jika berita tersebut sampai kepadanya
tanpa adanya suatu keperluan.
Para
ulama mengharamkan ghibah ini jika dilakukan tanpa adanya suatu
kepentingan bahkah termasuk kedalam kategori dosa besar, sebagaimana
disebutkan didalam firman Allah swt :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ
بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم
بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Artinya : “Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat : 12)
Artinya : “Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat : 12)
Didalam shahih Muslim dari hadits al ‘Ala bin Abdurrahman dari ayahnya dari Abu Hurairoh bahwa Nabi saw bersabda,”Tahukah
kalian apa itu ghibah?’ para sahabat bertanya,”Allah dan Rasul-Nya lah
yang mengetahuinya.” Beliau saw bersabda,”Engkau menyebutkan apa-apa
yang tidak disukai oleh saudaramu.’ Beliau saw ditanya,’Apa pendapatmu,
jika pada saudaraku itu benar ada apa yang aku katakan?’ beliau saw
bersabda,’Jika apa yang engkau katakan itu benar (ada pada saudaramu)
maka sungguh engkau telah melakukan ghibah dan jika apa yang engkau
katakana itu tidak benar maka engkau telah berdusta.”
Namun
ghibah atau menyebutkan aib saudaranya untuk suatu kepentingan maka
dibolehkan, dan diantara hal-hal yang dibolehkannya ghibah adalah :
1. Adanya unsur kezhaliman.
Dibolehkan
bagi seorang yang dizhalimi untuk mengadukannya kepada penguasa atau
hakim atau orang-orang yang memiliki wewenang atau orang yang memiliki
kemampuan untuk menghentikan kezhaliman orang yang berbuat zhalim itu
kemudian orang itu mengatakan,”Sesungguhnya si A telah merzhalimiku,
dia telah berbuat ini kepadaku, dia telah mengambil itu dariku atau
sejenisnya.”
2.
Meminta pertolongan untuk menghentikan kemunkaran dan mengembalikan
orang-orang yang berbuat maksiat kepada kebenaran dengan penjelasannya
yang mengatakan kepada orang yang diharapkan kesanggupannya untuk
menghilangkan kemunkaran dengan mengatakan,”Si A melakukan ini dan itu
maka cegahlah dia, atau perkataan sejenisnya.” Maksudnya adalah untuk
menghilangkan kemunkaan dan jika tidak ada maksud yang demikian maka
diharamkan.
3.
Meminta fatwa, seperti penjelasannya kepada seorang mufti,”Ayahku
telah menzhalimiku atau saudaraku atau fulan dengan perbuatan ini.
Adakah balasannya ? Bagaimana caranya untuk melepaskan diri dari
perbuatan itu dan mendapatkan hakku serta mencegah kezhaliman itu
terhadapku?’ atau perkataan-perkatan seperti itu, maka hal ini
dibolehkan untuk suatu kepentingan.
Namun
yang lebih baik baginya adalah dengan mengatakan,”Bagaimana pendapatmu
tentang seorang laki-laki yang melakukan perbuatan ini dan itu, atau
seorang suami atau istri yang melakukan ini dan itu atau sejenisnya.”
Ia hanya menyampaikan substansinya tanpa menyebutkan orangnya meski
jika menyebutkan orangnya pun dibolehkan, berdasarkan hadits Hindun
yang mengatakan,”Wahai Rasulullah saw sesungguhnya Abu Sofyan adalah
seorang yang kikir…” dan Rasulullah saw tidaklah melarang Hindun.
4.
Memberikan peringatan kepada kaum muslimin dari keburukan dan
kejahatannya. Hal itu dalam lima bentuk sebagaimana disebutkan Imam
Nawawi :
a.
Mengungkapkan ‘cacat’ para perawi dan saksi yang memiliki cacat, ini
dibolehkan menurut ijma’ bahkan diwajibkan demi menjaga syariah.
b. Memberitahukan dengan cara ghibah saat bermusyawarah dalam permasalahan keluarga besan, atau yang lainnya.
c.
Apabila engkau menyaksikan orang yang membeli sesuatu yang mengandung
cacat atau sejenisnya lalu engkau mengingatkan si pembeli yang tidak
mengetahui perihal itu sebagai suatu nasehat baginya bukan bertujuan
menyakitinya atau merusaknya.
d.
Apabila engkau menyaksikan seorang yang faqih, berilmu berkali-kali
melakukan perbuatan fasiq atau bid’ah sedangkan orang itu menjadi
rujukan ilmu sementara kemudharatan yang ada didalam perbuatan itu
masih tersembunyi maka hendaklah engkau menasehatinya dan menjelaskan
perbuatannya itu dengan tujuan memberikan nasehat.
e.
Terhadap seorang yang memiliki kekuasaan (amanah) yang tidak
ditunaikan sebagaimana mestinya dikarenakan dirinya tidak memiliki
kemampuan atau karena kefasikannya maka hendaklah hal itu diungkapkan
kepada orang yang memiliki wewenang atau kemampuan untuk menggantikan
orang tersebut dengan orang lain yang lebih mampu, tidak mudah tertipu
dan istiqomah.
5.
Apabila kefasikan atau bid’ah yang dilakukannya sudah tampak terang
maka dibolehkan mengungkapkan yang tampak terang itu saja dan tidak
dibolehkan baginya mengungkapkan aib-aib selain itu kecuali jika ada
sebab lainnya.
6.
Sebagai pengenalan atau pemberitahuan… apabila seseorang telah dikenal
dengan gelar si Rabun, si Pincang, si Biru, si Pendek, si Buta, si
Buntung atau sejenisnya maka dibolehkan baginya untuk mengenalkannya
dengan perkataan itu dan diharamkan menyebutkannya dengan maksud
menghinakannya akan tetapi jika dimungkinkan untuk pengenalannya dengan
selain gelar-gelar itu maka hal ini lebih utama. (al Mausu’ah al
Fiqhiyah juz II hal 11445 – 1146)
Dengan
demikian dibolehkan mengungkapkan aib korupsi yang dilakukan para
pejabat dikarenakan adanya kemaslahatan didalamnya yaitu untuk
menghentikan kezhalimannya yang dapat merugikan negara dan
menyengsarakan masyarakat dan agar para pejabat lainnya tidak melakukan
perbuatan itu atau pun agar pejabat itu diganti dengan pejabat lainnya
yang lebih baik dan amanah.
Mentaati Pemimpin
Selain
hadits-hadits yang anda sebutkan diatas yang memerintahkan seorang
muslim untuk mendengar dan menaati pemimpinnya maka terdapat
hadits-hadits lainnya, diantaranya :
Sabda Rasulullah saw,”Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemui keadaan itu?’ Beliau saw bersabda,”Hendaklah engkau berkomitmen (iltizam) dengan jama’atul muslimin dan imam mereka.” (HR. Bukhori)
Sabda Rasulullah saw,”Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemui keadaan itu?’ Beliau saw bersabda,”Hendaklah engkau berkomitmen (iltizam) dengan jama’atul muslimin dan imam mereka.” (HR. Bukhori)
Sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa
yang melepaskan tangannya (baiat) dari suatu keaatan maka ia akan
bertemu Allah pada hari kiamat tanpa adanya hujjah (alasan) baginya.
Dan barangsiapa mati sementara tanpa ada baiat di lehernya maka ia mati
seperti kematian jahiliyah.” (HR. Muslim)
Maksud
kata “pemimpin/imam” yang harus didengar dan ditaati didalam
hadits-hadits diatas adalah pemimpin seluruh kaum muslimin atau khalifah
atau imam syar’iy yang dipilih oleh Ahlu al Halli wa al Aqdi yang
merupakan perwakilan dari seluruh kaum muslimin bukan pemimpin suatu
organisasi, jama’ah, partai, perkumpulan atau bukan pula penguasa suatu
negara, pemimpin suatu daerah atau yang sejenisnya.
Sehingga
apabila seorang pemimpin suatu organisasi atau jamaah atau seorang
penguasa suatu negeri memerintahkan kemaksiatan walaupun dirinya masih
melaksanakan shalat maka ia tidak boleh ditaati karena tidak ada
ketaatan didalam maksiat kepada Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah
saw,”Tidak ada ketaatan dalam suatu kemaksiatan akan tetapi ketaatan kepada hal yang ma’ruf.” (HR. Bukhori dan Muslim) (eramuslim)