PUASA DAN PEMBENTUKAN HAMBA BERKARAKTER
Abdur Rohman.S.Ag,.MEI (Disampaikan di Masjid al-Takbir Perumnas Kamal Bangkalan 7/5/16) “Puasa itu tidak sekedar menahan lapar dan d...

https://rohman-utm.blogspot.com/2016/06/puasa-dan-pembentukan-hamba-berkarakter.html
Abdur Rohman.S.Ag,.MEI
(Disampaikan di Masjid al-Takbir
Perumnas Kamal Bangkalan 7/5/16)
“Puasa itu tidak sekedar menahan lapar dan dahaga, melainkan juga menahan
hawa nafsu dari segala yang membatalkannya. Puasa adalah maskan li al-tarbiah
al-syahsiah menjadikan pribadi berkarakter.
Melalui karakter yang kuat, Indonesia akan semakin maju dan beradab.”
“Marhabab ya ramadlan ….Selamat datang
Ramadhan. Alhamdulillah, pada tahun ini kembali berjumpa dengan bulannya Allah;
bulan yang sungguh istimewa—selalu dinanti-nanti seluruh orang di penjuru
negeri. Sebagai euphoria tahunan, tak heran jika masyarakat menyambutnya dengan
penuh kegembiraan. Sungguhpun demikian, ada yang begitu memiriskan hati—sama
seperti tahun-tahun sebelumnya, puasa tahun ini 2016, Bangsa Indonesia dalam
keadaaan dlarurat Narkoba, darurat seksual dan darurat pornografi. krisis
akhlak yang kian merajalela patut diwaspadai.
Tak disangkal lagi,
kita semua sepakat bahwa Pembunuhan, pemerkosaan, hampir tak pernah absen dalam
keseharian. Masyarakat masih begitu mudah berpecah belah. Harta dan jabatan
masih menjadi thogut (Tuhan) dalam kehidupan. Toleransi sudah tak ada lagi. Kekerasan
dijadikan satu-satunya solusi memecahkan masalah. Bukan perkara mudah menemukan
orang jujur karena akhlak kita (masyarakat) perlahan hancur. Sungguh Ironis!
Bangsa kita masih saja terjatuh dalam lubang yang sama; digerus degradasi
karakter bangsa. Lalu kemanakah jerih payah puasa yang dilakukan selama ini?
Sebagai suatu kewajiban, Allah SWT memerintahkan
hamba-Nya yang beriman untuk melaksanakannya (puasa). Tujuannya hanya satu,
yaitu untuk membina jiwa-jiwa agar menjadi insan yang berkarakter takwa. Namun
nyatanya? Berkaca dari puasa-puasa pada tahun sebelumnya, lapar dan dahaganya
(baca:puasa) masyarakat kita hanyalah menjadi sekedar ritual tahunan tak bermakna. Puasa yang dijalani hanya sekedar
menjalankan perintah tanpa adanya esensi berarti di dalamnya. Akibatnya, tak
dinyanah ketika nanti puasa Ramadhan berlalu, karakter-karakter keburukan
kembali datang dan merasuk ke dalam jiwa-jiwa yang semestinya sudah
“murni”—sehingga bisa kita kira, sia-sia sajalah puasanya.
Sebagai bangsa dengan
jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia—puasa sebenarnya dapat menjadi media
yang sangat ampuh untuk mengatasi segala problema kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang melanda negeri kita. Namun faktanya? Walaupun
penduduk Muslim Indonesia begitu besar adanya, toh tak mengubah apa-apa.
Sebabnya, masih saja banyak di antara kita yang menganggap puasa hanyalah
sekedar formalitas—hanya sekedar persyaratan keimanan keagamaan saja yang musti
dituruti agar kita (Muslim) dapat dikatakan manusia “beragama” dalam pandangan
Muslim lainnya. Sangat sedikit sekali di antara kita yang memahami bahwa
berpuasa itu hakikatnya bukanlah hanya sekedar menahan lapar dan dahaga,
melainkan pula menahan diri dari hawa nafsu (sifat-sifat keburukan) sebagaimana
yang telah disabdakan Rosulullah SAW.
Manfaat Puasa
Tak diragukan lagi—sebagai suatu
kewajiban yang sumbernya langsung dari Allah—tentunya perintah berpuasa
mengandung kebaikan untuk manusia baik bagi raga maupun jiwanya. Bagi raga,
telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa puasa itu memang sangat baik
untuk kesehatan. Tak diragukan lagi, puasa dapat membantu seseorang mengurangi
beban kerja organ-organ tubuhnya. Puasa juga dapat membersihkan tubuh dari
berbagai jenis racun dan juga dapat membantu mempercepat proses penyembuhan
bermacam-macam penyakit.
Bagi jiwa, berpuasa
sangat bermanfaat sebagai alat pengendalian diri (kontrol) bagi individu.
Pengendalian diri dalam arti mencegah keinginan (hawa nafsu) untuk melakukan
perbuatan yang keji dan mungkar. Adanya larangan-larangan yang harus dijauhi
bagi orang-orang yang berpusa, seperti berdusta, bergosip, berzina, korupsi,
membunuh, dll—menjadikan puasa begitu efektif untuk membentuk karakter bangsa
yang beriman, bertakwa, dan beradab. Seseorang yang berpuasa tentu akan
terbiasa untuk menahan emosi atau amarah. Selain itu, kebaikan-kebaikan yang
dilakukan selama bulan suci, seperti bersedekah, membantu sesama, sholat lima
waktu, mengaji—semakin menempa manusia menjadi pribadi yang senantiasa
mengamalkan kebaikan-kebaikan dalam kesehariannya.
Contoh sederhana
saja, secara kasat mata, kita tentu dapat membandingkan betapa kondusifnya
kehidupan bermasyarakat di bulan puasa dibandingkan dengan sebelas bulan
lainnya. Jika di bulan-bulan sebelumnya, masyarakat kita begitu bringas dalam
bersikap maupun bertindak, di bulan puasa sikap maupun tindak masyarakat kita
berubah menjadi santun dan penuh kasih sayang. Tak hanya itu, tingkat
kriminalitas yang begitu tinggi pada bulan-bulan sebelumnya, di bulan puasa
tingkat keriminalitas itu setidaknya semakin berkurang.
Alasannya mudah saja—masyarakat kita berlomba-lomba berbuat kebajikan dan juga
berlomba-lomba menjauhkan keburukan.
Puasa dan Pembentukan Karakter Bangsa
Sejarah membuktikan, kehancuran suatu
bangsa diawali dengan hancurnya moralitas masyarakatnya. Bangsa yang
bermartabat dan maju, tentunya dapat dilihat dari adat, sikap, dan perilaku
masyarakatnya. Ki Supriyoko dalam tulisannya Membangun Kembali Karakter Bangsa,
pernah mengutip sebuah kalimat bijak "When wealth is lost,
nothing is lost; when health is lost, something is lost; (but) when
character is lost everything is lost". Maksudnya "Ketika kekayaan
hilang, tidak ada yang hilang; ketika kesehatan hilang,ada sesuatu yang hilang;
(namun) ketika karakter hilang, segalanya telah hilang. Benar adanya, jika
karakter yang seharusnya melekat pada jati diri masyarakat sudah hilang, tak
tahu lagi akan jadi apa bangsa kita ini.
Sebagai media
pembentukan karakter bangsa, puasa merupakan pendidikan atau palatihan yang
sangat tepat. Sebulan puasa, sudah cukup ampuh untuk menempah jiwa-jiwa penuh
dosa menjadi jiwa-jiwa yang murni. Puasa akan mengembalikan manusia kepada
fitrah (kesucian), seperti awal penciptaannya di dunia. Puasa adalah alat untuk
memanusiakan manusia; menjadikan manusia yang selalu penuh cinta baik kepada
seesama maupun pada alam sekitarnya.
Tak dapat dipungkiri,
puasa yang berdimensi horisontal memang sangat erat kaitannya dengan kesalehan
sosial. Pahala yang berlipat-lipat yang diberikan oleh Allah SWT bagi siapa
saja yang melakukan kebaikan (walaupun sebiji zarrah), menjadikan kita
berlomba-lomba melakukan amal ibadah. Berderma, menyantuni fakir miskin, dan
anak yatim, bersikap sabar dalam menerima setiap cobaan—secara tidak langsung
menjadikan diri kita sebagai pribadi yang kritis; yang peduli akan sesama.
Puasa yang begitu sarat dengan pesan moral, seperti pengendalian diri,
kejujuran, kesabaran, tenggang rasa, dan dan solidaritas untuk menolong
sesamanya yang kesusahan akan membentuk karakter masyarakat kita menjadi
masyarakat (bangsa) yang saleh, bersatu dan teguh.
Akhirnya, kembali
mengutip hadis Rosulullah SAW "Beberapa banyak orang yang berpuasa namun
hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja " (HR Ibnu Majah). Sudah saatnya,
bukan hanya masyarakat namun juga Indonesia—bersama-sama kita berpuasa dengan sebenar-benarnya.
Jangan sampai puasa kita tahun ini hanya menjadi seperti yang diriwayatkan
Rosulullah tadi. Bukankah kita tidak ingin jika setelah bersusah-susah payah
berpuasa sebulan lamanya—kita menjadi insan yang suci di hari yang
fitri. Dengan kesucian yang kita dapatkan itu menjadikan pribadi kita sebagai
pribadi yang berkarakter bangsa. Karakter yang kuat menjadikan Indonesia maju
dan bermartabat. Selamat berpuasa!