MEMAKNAI DAN EKSISTENSI RUH
Pendahuluan Al Qur'an telah membahas tentang hakekat asal-usul manusia yang di awali dari proses kejadian manusia yaitu dar...

https://rohman-utm.blogspot.com/2016/05/memaknai-dan-eksistensi-ruh.html
Pendahuluan
Al Qur'an telah membahas tentang hakekat asal-usul
manusia yang di awali dari proses kejadian manusia yaitu dari segumpal darah
(QS. 96:1-5), dan setelah melewati beberapa tahapan dan sempurna kejadiannya, dihembuskan-Nyalah
kepadanya ruh ciptaan Tuhan (QS. 38:71-72).1
Dari ayat-ayat di atas menjadi jelas bahwa hakekat
manusia terdiri dari dua unsur pokok yakni, gumpalan tanah (materi/badan) dan
hembusan ruh (immateri). Di mana antara satu dengan satunya merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan agar dapat di sebut manusia. Dalam
perspektif sistem nafs, ruh menjadi faktor penting bagi aktivitas nafs manusia
ketika hidup di muka bumi ini, sebab tanpa ruh, manusia sebagai totalitas tidak
dapat lagi berpikir dan merasa.2
Ruh adalah zat murni yang tinggi, hidup dan hakekatnya
berbeda dengan tubuh. Tubuh dapat diketahui dengan pancaindra, sedangkan ruh
menelusup ke dalam tubuh sebagaimana menyelusupnya air ke dalam bunga, tidal
larut dan tidak terpecah-pecah. Untuk memberi kehidupan pada tubuh selama tubuh
mampu menerimanya. Sudah lama "kemisteriusan" ruh menjadi perdebatan
di kalangan ulama Islam (teolog, filosof dan ahli sufi) yang berusaha
menyingkap dan menelanjangi keberadaannya. Mereka mencoba mengupas dan mengulitinya
guna mendapatkan kepastian tentang hakekat ruh.
Pembahasan
Dalam bahasa Arab, kata ruh mempunyai banyak arti.
- Kata روح untuk ruh
- Kata ريح (rih) yang berarti angin
- Kata روح (rawh) yang berarti rahmat.
Ruh dalam bahasa Arab juga digunakan untuk menyebut
jiwa, nyawa, nafas, wahyu, perintah dan rahmat.3 Jika kata ruhani dalam bahasa Indonesia
digunakan untuk menyebut lawan dari dimensi jasmani, maka dalam bahasa Arab
kalimat
روحانيون *
روحاني
Digunakan untuk menyebut semua jenis makhluk halus
yang tidak berjasad, seperti malaikat dan jin.4
Dalam al-Qur'an, ruh juga digunakan bukan hanya satu
arti. Term-term yang digunakan al-Qur'an dalam penyebutan ruh, bermacam-macam.
Diantaranya ruh di sebut sebagai sesuatu:
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ
إِلَّا قَلِيلًا
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah:
"Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit". (QS. Al-Isra': 85)
Hanya saja, ketika ruh manusia diyakini sebagai zat
yang menjadikan seseorang masih tetap hidup
الروح انه ما
به حياة النفس
atau seperti yang dikatakan al-Farra' [5]
الروح هو
الذي يعيش به الإنسان
Serta jawaban singkat al-Qur'an atas pertanyaan itu
(lihat QS. Al-Isra': 85), menunjukkan bahwa ruh akan tetap menjadi
"rahasia" yang kepastiannya hanya bisa diketahui oleh Allah semata.
Selanjutnya al-Qur'an juga banyak menggunakan kata ruh
untuk menyebut hal lain, seperti:
- Malaikat Jibril, atau malaikat lain dalam QS. Al-Syu'ara' 193, al-Baqarah 87, al-Ma'arij 4, al-Naba' 38 dan al-Qadr 4.
(الروح الأمين , روح القدس , (والروح
الملئكة
- Rahmad Allah kepada kaum mukminin dalam QS. al-Mujadalah 22
وأيدهم بروح منه
- Kitab suci al-Qur'an dalam QS. Al-Shura 52.6
وكذلك أوحينا إليك روحا من امرنا
Tentang bagaimana hubungan ruh itu sendiri dengan nafs,
para ulama berbeda pendapat mengenainya. Ibn Manzur mengutip pendapat Abu
Bakar al-Anbari yang menyatakan bahwa bagi orang Arab, ruh dan nafs
merupakan dua nama untuk satu hal yang sama, yang satu dipandang mu'anath
dan lainnya mudhakkar.7
Makalah berikut ini berusaha menjelaskan beberapa
pendapat 'ulama Islam yang berusaha menjelaskan pengertian, kedudukan dan
hubungan ruh dengan nafs dalam diri manusia, berdasarkan rentang urutan hidup
mereka:
Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M)
Ibnu Sina mendefinisikan ruh sama dengan jiwa (nafs).
Menurutnya, jiwa adalah kesempurnaan awal, karena dengannya spesies (jins)
menjadi sempurna sehingga menjadi manusia yang nyata. Jiwa (ruh) merupakan
kesempurnaan awal, dalam pengertian bahwa ia adalah prinsip pertama yang
dengannya suatu spesies (jins) menjadi manusia yang bereksistensi secara
nyata. Artinya, jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh. Sebab, tubuh
sendiri merupakan prasyarat bagi definisi jiwa, lantaran ia bisa dinamakan jiwa
jika aktual di dalam tubuh dengan satu perilaku dari berbagai perilaku8 dengan mediasi alat-alat tertentu yang
ada di dalamnya, yaitu berbagai anggota tubuh yang melaksanakan berbagai fungsi
psikologis.
Ibnu Sina membagi daya jiwa (ruh) menjadi 3 bagian
yang masing-masing bagian saling mengikuti, yaitu
- Jiwa (ruh) tumbuh-tumbuhan, mencakup daya-daya yang ada pada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Jiwa ini merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanistik, baik dari aspek melahirkan, tumbuh dan makan.
- Jiwa (ruh) hewan, mencakup semua daya yang ada pada manusia dan hewan. Ia mendefinisikan ruh ini sebagai sebuah kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik dari satu sisi, serta menangkap berbagai parsialitas dan bergerak karena keinginan.9
- Jiwa (ruh) rasional, mencakup daya-daya khusus pada manusia. Jiwa ini melaksanakan fungsi yang dinisbatkan pada akal. Ibnu Sina mendefinisikannya sebagai kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, dimana pada satu sisi ia melakukan berbagai perilaku eksistensial berdasarkan ikhtiar pikiran dan kesimpulan ide, namun pada sisi lain ia mempersepsikan semua persoalan yang bersifat universal.10
Imam Ghazali (450-505 H/1058-1111 M)
Sebagaimana Ibn Sina, al-Ghazali membagi jiwa menjadi
tiga golongan, yaitu:
- Jiwa nabati (al-nafs al-nabatiyah), yaitu kesempurnaan awal baqgi benda alami yang hidup dari segi makan, minum, tumbuh dan berkembang.
- Jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan iradat (kehendak).
- Jiwa insani (al-nafs al-insaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda yang hidupdari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum.11
Jiwa insani inilah, menurut al-Ghazali di sebut
sebagai ruh (sebagian lain menyebutnya al-nafs al-natiqah/jiwa manusia).
Ia sebelum masuk dan berhubungan dengan tubuh disebut ruh, sedangkan setelah
masuk ke dealam tubuh dinamakan nafs yang mempunyai daya (al-'aql),
yaitu daya praktik yang berhubungan dengan badan daya teori yang berhubungan
dengan hal-hal yang abstrak. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa kalb,
ruh dan al-nafs al mutmainnah merupakan nama-nama lain dari al-nafs
al-natiqah yang bersifat hidup, aktif dan bisa mengetahui.12
Ruh menurut al-Ghazali terbagi menjadi dua, pertama
yaitu di sebut ruh hewani, yakni jauhar yang halus yang terdapat pada rongga
hati jasmani dan merupakan sumber kehidupan, perasaan, gerak, dan penglihatan
yang dihubungkan dengan anggota tubuh seperti menghubungkan cahaya yang
menerangi sebuah ruangan. Kedua, berarti nafs natiqah, yakni memungkinkan
manusia mengetahui segala hakekat yang ada. Al-Ghazali berkesimpulan bahwa
hubungan ruh dengan jasad merupakan hubungan yang saling mempengaruhi.13 Di sini al-Ghazali mengemukakan hubungan
dari segi maknawi karena wujud hubungan itu tidak begitu jelas. Lagi pula
ajaran Islam tidak membagi manusia dalam kenyataan hidupnya pada aspek jasad,
akal atau ruh, tetapi ia merupakan suatu kerangka yang saling membutuhkan dan
mengikat; itulah yanmg dinamakan manusia.
Ibn Tufail (Awal abad IV/580 H/ 1185
M)
Menurut Ibn Tufail, sesungguhnya jiwa yang ada pada
manusia dan hewan tergolong sebagai ruh hewani yang berpusat di jantung. Itulah
faktor penyebab kehidupan hewan dan manusia beserta seluruh perilakunya. Ruh
ini muncul melalui saraf dari jantung ke otak, dan dari otak ke seluruh anggota
badan. Dan inilah yang yang menjadi dasar terwujudnya semua aksi anggota badan.14
Ruh berjumlah satu. Jika ia bekerja dengan mata, maka
perilakunya adalah melihat; jika ia bekerja dengan telinga maka perilakunya
adalah mendengar; jika dengan hidung maka perilakunya adalah mencium dsb.
Meskipun berbagai anggota badan manusia melakukan perilaku khusus yang berbeda
dengan yang lain, tetapi semua perilaku bersumber dari satu ruh, dan itulah
hakikat zat, dan semua anggota tubuh seperti seperangkat alat".15
Ibn Taimiyah ( 661-728 H/1263-1328
M)
Ibn Taimiyah berpendapat bahwa nafs tidak tersusun
dari substansi-substansi yang terpisah, bukan pula dari materi dan forma.
Selain itu, nafs bukan bersifat fisik dan bukan pula esensi yang merupakan
sifat yang bergantung pada yang lain.16 Sesungguhnya nafs berdiri sendiri dan
tetap ada setelah berpisah dari badan ketika kematian datang.
Ia menyatakan bahwa kata al-ruh juga digunakan
untuk pengertian jiwa (nafs). Ruh yang mengatur badan yang ditinggalkan setelah
kematian adalah ruh yang dihembuskan ke dalamnya (badan) dan jiwalah yang
meninggalkan badan melalui proses kematian. Ruh yang dicabut pada saat kematian
dan saat tidur disebut ruh dan jiwa (nafs). Begitu pula yang diangkat ke langit
disebut ruh dan nafs. Ia disebut nafs karena sifatnya yang mengatur
badan, dan disebut ruh karena sifat lembutnya. Kata ruh sendiri identik dengan
kelembutan, sehingga angin juga disebut ruh.17
Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa kata ruh dan nafs
mengandung berbagai pengertian, yaitu:
- Ruh adalah udara yang keluar masuk badan.
- Ruh adalah asap yang keluar dari dalam hati dan mengalir di darah.
- Jiwa (nafs) adalah sesuatu itu sendiri, sebagaimana firman Allah SWT: ... Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang ... (QS. al-'An'am, 54).
- Jiwa (nafs) adalah darah yang berada di dalam tubuh hewan, sebagaimana ucapan ahli fiqih, "Hewan yang memiliki darah yang mengalir dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir".
- Jiwa (nafs) adalah sifat-sifat jiwa yang tercela atau jiwa yang mengikuti keinginannya.18
Tentang tempat ruh dan nafs di dalam tubuh, Ibn
Taimiyah menjelaskan: "Tidak ada tempat khusus ruh di dalam jasad, tetapi
ruh mengalir di dalam jasad sebagaimana kehidupan mengalir di dalam seluruh
jasad. Sebab, kehidupan membutuhkan adanya ruh. Jika ruh ada di dalam jasad,
maka di dalamnya ada kehidupan (nyawa); tetapi jika ruh berpisah dengan jasad,
maka ia berpisah dengan nyawa".19
Ibn Taimiyah menyatakan bahwa jiwa (nafs/ruh) manusia
sesungguhnya berjumlah satu, sementara al-nafs al-ammarah bi al-su',
jiwa yang memerintahkan pada keburukan akibat dikalahkan hawa nafsu sehingga
melakukan perbuatan maksiat dan dosa, al-nafs al-lawwamah, jiwa yang
terkadang melakukan dosa dan terkadang bertobat, karena didalamnya terkandung
kebaikan dan keburukan; tetapi jika ia melakukan keburukan, ia bertobat dan
kembali ke jalan yang benar. Dan dinamakan lawwamah (pencela) karena ia
mencela orang yang berbuat dosa, tapi ia sendiri ragu-ragu antara perbuatan
baik dan buru, dan al-nafs al-mutmainnah, jiwa yang mencintai dan
menginginkan kebaikan dan kebajikan serta membenci kejahatan.20
Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751
H/1292-1350 M)
Ibn Qayyim al-Jauziyah Menggunakan istilah ruh dan nafs
untuk pengertian yang sama. Nafs (jiwa) adalah substansi yang bersifat nurani 'alawi
khafif hayy mutaharrik atau jism yang mengandung nur, berada di
tempat yang tinggi, lembut, hidup dan bersifat dinamis. Jizm ini
menembus substansi anggota tubuh dan mengalir bagaikan air atau minyak zaitun
atau api di dalam kayu bakar. Selama anggota badan dalam keadaan baik untuk
menerima pengaruh yang melimpah di atasnya dari jism yang lembut ini,
maka ia akan tetap membuat jaringan dengan bagian-bagian tubuh. Kemudian
pengaruh ini akan memberinya manfaat berupa rasa, gerak dan keinginan.21
Ibn Qayyim menjelaskan pendapat banyak orang bahwa
manusia memiliki tiga jiwa, yaitu nafs mutmainnah, nafs lawwamah dan nafs
amarah. Ada orang yang dikalahkan oleh nafs mutmainnah, dan ada yang dikalahkan
oleh nafs ammarah.
Mereka berargumen dengan firman Allah:
Wahai jiwa yang tenang (nafs mutmainnah) ...
(QS. Al-Fajr: 27).
Aku sungguh-sungguh bersumpah dengan hari kiamat dan aku benar-benar bersumpah dengan jiwa lawwamah
(QS. al-Qiyamah: 1-2)
Sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada keburukan (nafs ammarah)
(QS. Yusuf: 53)
(QS. Al-Fajr: 27).
Aku sungguh-sungguh bersumpah dengan hari kiamat dan aku benar-benar bersumpah dengan jiwa lawwamah
(QS. al-Qiyamah: 1-2)
Sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada keburukan (nafs ammarah)
(QS. Yusuf: 53)
Ibn Qayyim menjelaskan bahwa sebenarnya jiwa manusia
itu satu, tetapi memiliki tiga sifat dan dinamakan dengan sifat yang
mendominasinya. Ada jiwa yang disebut mutmainnah (jiwa yang tenang) karena
ketenangannya dalam beribadah, ber-mahabbah, ber-inabah, ber-tawakal, serta
keridhaannya dan kedamaiannya kepada Allah. Ada jiwa yang bernama nafs
lawwamah, karena tidak selalu berada pada satu keadaan dan ia selalu
mencela; atau dengan kata lain selalu ragu-ragu, menerima dan mencela secara
bergantian. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nafs lawwamah
dinamakan demikian karena orangnya sering mencela. Sedangkan nafs ammarah
adalah nafsu yang menyuruh kepada keburukan.22
Jadi, jiwa manusia merupakan satu jiwa yang terdiri
dari ammarah, lawwamah dan mutmainnah yang menjadi tujuan kesempurnaan dan
kebaikan manusia. Sehingga ada kemiripan antara pendapat Ibn Qayyim dengan
pendapat Ibn Taimiyah tentang tiga sifat jiwa ini.
Ibn Qayyim juga menjelaskan dan membagi menjadi tiga
kelompok kaum filosof yang terpengaruh oleh ide-ide Plato. Ia menyebutkan tiga
jenis cinta pada masing-masing kelompok tersebut, yaitu:
- Jiwa langit yang luhur (nafs samawiyah 'alawiyah) dan cintanya tertuju pada ilmu pengetahuan, perolehan keutamaan dan kesempurnaan yang memungkinkan bagi manusia, dan usaha menjauhi kehinaan.
- Jiwa buas yang penuh angkara murka (nafs sab'iyyah ghadabiyyah) dan cintanya tertuju pada pemaksaan, tirani, keangkuhan di bumi, kesombongan, dan kepemimpinan atas manusia dengan cara yang batil.
- Jiwa kebinatangan yang penuh syahwat (nafs hayawaniyyah shahwaniyyah) dan cintanya tertuju pada makanan, minuman dan seks.23
Dari konteks pembicaraan Ibn Qayyim ini, dapat
dipahami bahwa ketiga macam jiwa ini bukan berdiri sendiri dan bukan pula
berarti jiwa yang yang tiga, tetapi ia merupakan tiga daya untuk satu jiwa.24
Filosof Lain
- Al-Nazzam berpendapat bahwa ruh adalah jism dan jiwa. Ia hidup dengan sendirinya. Ia masuk dan bercampur dengan badan sehingga badan tersebut menjadi bencana, mengekang dan mempersempit ruang lingkupnya. Keberadaannya dalam badan adalah untuk menghadapi kebinasaan badan dan menjadi pendorong bagi badan untuk memilih. Seandainya ruh telah lepas dari badan, maka semua aktivitas badan hanyalah bersifat eksidental dan terpaksa.
- Al-Jubba'i berpendapat bahwa ruh adalah termasuk jism, dan ruh itu bukan kehidupan. Sebab kehidupan adalah a'rad (kejadian). Ia beranggapan bahwa ruh tidak bisa ditempati a'rad.
- Abu al-Hudhail beranggapan bahwa jiwa adalah sebuh definisi yang berbeda dengan ruh dan ruhpun berbeda dengan kehidupan, karena menurutnya kehidupan adalah termasuk a'rad. Ia menambahkan, ketika kita tidur jiwa dan ruh kita kadang-kadang hilang, tetapi kehidupannya masih ada.
- Sebagian mutakallimin lain meyakini bahwa ruh adalah definisi kelima selain panas, dingin, basah dan kering. Tetapi mereka berbeda ketika membahas tentang aktivitas ruh. Sebagian berpendapat aktivitas ruh bersifat alami, tetapi sebagian lain berpendapat bersifat ikhtiyari.25
Penutup
Dalam filsafat dan tasawuf Islam, di samping istilah
ruh dan al-nafs, ditemukan juga istilah al-qalb dan al-'aql.
Empat istilah ini tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat ibarat kacang
dengan kulit arinya.
Para ulama di atas hampir semua sepakat bahwa
pengertian ruh adalah sama dengan nafs (kecuali Abu Hudhail). Hanya
saja, ketika mereka berusaha mengupas lebih dalam lagi tentang peran,
macam-macam, fungsi ruh dan tujuan penciptaan ruh bagi kehidupan manusia
terkesan berbeda. Meskipun perbedaan tersebut amat tipis sekali karena
kesemuaan pembahasan diatas saling berkaitan satu dengan yang lainnya yang
terkadang pada proses dan fase tertentu mereka mendefinisikannya sama.
Terlepas dari pro dan kontra berbagai pendapat
mengenai ruh dan hal-hal yang terkait dengannya, satu hal yang pasti, bahwa
kebenaran tentang hakekat dari ruh itu sendiri tetap menjadi rahasia Allah
semata dan Ia hanya membukakan sedikit celah pintu bagi manusia untuk mencoba
membuka dan menyingkapnya secara utuh.
Bibliografi
Amin, Ahmad,
Hayy bin Yaqzan li Ibn Sina wa Ibn
Tufail wa al-Suhrawardi, cet. III, Kairo: Dar al-Ma'arif, 1966.
al-Asy'ari,
Imam Abu Hasan Ali bin Isma'il,
Maqalat al-Islamiyin wa Ikhtilaf
al-Mushallin, terj.
Rosihan Anwar, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Damej, M.
Amin,
Majmu'ah al-Rasail al-Muniriyah, juz 2, 1970.
al-Jauziyah,
Ibn Qayyim,
Kitab al-Ruh, ditahkikkan oleh Sayyid Jamili,
cet. I, Bairut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1986.
Al-Jauziyah,
Ibn Qayyim,
Raudah al-Muhibbin wa Nuzah
al-Mushtaqin, Kairo: Dar
al-Fikr al-'Arabi tt.
Lane, Edward
William,
Arabic-English Lexicon, London: Islamic Texts Society
Trust, 1984.
Manzur, Ibn,
Lisan al-'Arab, ttp, Dar al-Ma'arif, t.th..
Mubarok,
Achmad,
Jiwa dalam Al-Qur'an, Jakarta: Paramadina, 2000.
Najati M.
'Uthman,
Al-Dirasah al-Nafsaniyyah 'inda
al-'Ulama' al-Muslimin, terj., Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Othman, Ali
Issa,
Manusia menurut Al-Ghazali, cet. II, Bandung: Pustaka, 1987.
Redaksi,
Dewan,
Ensklopedi Islam vol. 4, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1993.
Sina, Ibn,
Ahwa al-Nafs, ditahkik oleh Ahmad Fuasd
al-Ahwani Kaira: Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, 1952.
Taimiyah,
Ibn,
Risalah fi al-'Aql wa al-Ruh, tt.
Warson,
Ahmad Warson,
Al-Munawwir, Yogyakarta: Pesantren Al-Munawwir,
1984.
1 Materi manusia merupakan saripati tanah liat yang
merupakan cikal bakal Nabi Adam dan keturunannya. Materi atau sel benih (nutfah)
ini, yang semula adalah tanah liat, setelah melewati berbagai proses, akhirnya
menjadi manusia. Tanah liat berubah menjadi makanan (melalui tanaman dan
hewan). Makanan menjadi darah, darah menjadi sperma dan indung telur. Sperma
kemudian bersatu dengan indung telur dalam suatu wadah (QS. 23:14) hasil dari
persatuan yang terjadi di dalam rahim, setelah melalui proses transformasi yang
panjang sehingga menjadi resam tubuh yang harmonis (jibillah) dan
menjadi cocok untuk menerima ruh. Adapun penerimaan ruh ini semuanya langsung
dari Allah, dan ini diberikan tatkala embrio sudah siap dan cocok untuk
menerimanya. Lihat Ali Issa Othman, Manusia menurut Al-Ghazali, cet. II
(Bandung: Pustaka, 1987), 115.
2 Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur'an (Jakarta:
Paramadina, 2000), 128.
3 Ibn Manzur, Lisan al-'Arab, ttp (Dar
al-Ma'arif, t.th), 1763-1771. Lihat juga, Ahmad Warson M., Al-Munawwir
(Yogyakarta: Pesantren Al-Munawwir, 1984), 1232.
4 Ibn Manzur, Lisan...
5 Edward William Lane, Arabic-English Lexicon
(London: Islamic Texts Society Trust, 1984), 1182.
6 Jiwa Dalam Al-Qur'an, 128.
7 Ibn Manzur, Lisan..., 1768.
8 'Uthman, Najati, M., Al-Dirasah al-Nafsaniyyah
'inda al-'Ulama', al-Muslimin, terj. (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), 144.
9 Ibn Sina, Ahwa al-Nafs, ditahkik oleh Ahmad
Fuasd al-Ahwani (Kaira: Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, 1952), 258.
10 Ahwa al-Nafs, 62-65.
11 Dewan Redaksi, Ensklopedi Islam vol. 4
(Jakarta:Ichtiar Baru van Hoeve, 1993), 174.
12 Ensiklopedi Islam, 147.
13 Ensiklopedi Islam vol. 4, 176.
14 Ahmad Amin, Hayy bin Yaqzan li Ibn Sina wa Ibn Tufail
wa al-Suhrawardi, cet. III (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1966), 37-38.
15 Hay bin Yaqwzan, 149.
16 Ibn Taimiyah, Risalah fi al-'Aql wa al-Ruh
dalam M. Uthman Najati, al-Dirasah..., 342.
17 Majmu'ah al-Rasail al-Muniriyyah, 1970, 36-37.
18 M. Amin Damej, Majmu'ah al-Rasail al-Muniriyah,
juz 2, 1970, 39-41 dimuat dalam al-Dirasah...,343.
19 Al-Dirasah...,47-48.
20 Al-Dirasah...,41
21 Ibn Qayyim al-Jauziyah, Kitab al-Ruh,
ditahkikkan oleh Sayyid Jamili, cet. Iv (Bairut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1986),
276.
22 Kitab al-Ruh, 330.
23 Ibn Qayyim al-Jauziyah, Raudah al-Muhibbin wa
Nuzah al-Mushtaqin (Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi tt.), 259-287.
24 Ibid, 252-255.
25 Imam Abu Hasan Ali bin Isma'il Anwar (Bandung
al-Asy'ari, Maqalat al-Islamiyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, terj.
Rosihan: Pustaka Setia, 1999), 69-71.