EKONOMI DIBULAN RAMADLAN
Beberapa hari ini saya diberikesempatan untuk memberikan materi pemberdayaan ekonomi kreatif di Madura. Saat dimana ummat islam melakukan i...

https://rohman-utm.blogspot.com/2016/06/ekonomi-dibulan-ramadlan.html

Tulisan singkat ini dimaksudkan agar
kita merenung dan menghitung posisi umat dalam bidang tijarah dan iqtishad
(bisnis dan perdagangan) yang terjadi selama bulan Ramadhan. Kita mulai dengan
aspek yang menggembirakan. Tidak kurang dari 15 abad yang lalu, Rasulullah saw
bersabda, “Ramadhan adalah bulan sabar, dan sabar balasannya adalah surga,
Ramadhan adalah bulan pertolongan dan Ramadhan adalah bulan di mana kaum
Muslimin ditambahkan rezekinya.” (HR Ibn Huzaimah).
Melalui hadis ini seolah Rasulullah
memprediksi bahwa kaum Muslimin akan mengalami suatu pertumbuhan ekonomi dalam
setiap bulan Ramadhan melebihi rata-rata bulan lainnya. Benarkah prediksi
Rasulullah ini? Mari kita lihat fenomena berikut. Dari sisi pendapatan setiap
karyawan di Indonesia baik Muslim maupun non-Muslim, swasta maupun pemerintah
pasti akan bertambah menjadi 200 persen lebih banyak dari pendapan bulan-bulan
biasa. Pertambahan 100 persen ini dimungkinkan dengan adanya Tunjangan Hari
Raya (THR) yang sudah menjadi kewajiban perusahaan dan instansi serta hak
karyawan. Berbagai bonus pun seringkali diberikan pada bulan suci ini.
Pertambahan income ini terjadi pula
di sektor sosial (nonkomersial). Sesuai dengan rangsangan Allah yang tertuang
dalam sebuah hadis qudsi yang intinya menegaskan bahwa barang siapa berinfak di
bulan suci Ramadhan maka akan dilipatgandakan pahalanya menjadi 10 kali lipat
bahkan hingga 700 kali lipat lebih besar dari pahala bulan biasa. Oleh karena
itu, tidak heran kalau zakat, infaq, shadaqah yang berhasil dihimpun oleh
Dompet Dhuafa Republika, Pos Keadilan Peduli Ummat, Baitul Maal Muamalat, serta
lembaga ZIS lainnya pada bulan Ramadhan bisa mencapai empat hingga lima kali
perolehan bulan-bulan biasa. Dengan kata lain purchasing power (daya beli) umat
pada bulan suci Ramadhan bertambah tinggi minimal dua kali lipat lebih besar
dari bulan-bulan biasanya.
Berkat peningkatan purchasing power
ini kita menyaksikan fenomena kegembiraan kedua yaitu meningkatnya roda
perdagangan dan bertambahnya jumlah barang dan jasa yang dibeli umat.
Peningkatan ini terjadi di hampir semua sektor seperti angkutan, elektronika,
pakaian dan busana, kue kering dan biskuit, sirup dan minuman, kendaraan roda
dua dan empat, dan barang kebutuhan rumah tangga lainnya. Sehingga tidak jarang
tingkat inflasi pun mencapai titik tertinggi pada bulan suci ini.
Suatu hal yang sangat disayangkan
setelah kegembiraan kedua ini muncul yaitu terjadinya kesedihan atau minimal
keprihatinan ketika kita bertanya ke mana larinya dana umat tersebut? Ketika si
ibu membeli minyak goreng hampir sulit menemukan minyak goreng kemasan yang
diproduksi oleh umat, demikian juga ketika ia membeli kue kaleng dan sirup
botol untuk berbuka puasa. Ketika si bapak akan menyewa mobil untuk mudik ke
kampung bisa dipastikan seluruh merek mobil yang ada adalah buatan Jepang,
Korena Selatan, Amerika, Swedia, atau Jerman. Tak ada satu pun mobil buatan
Qatar, Kuwait, Aljazair, ataupun Indonesia.
Ironisnya ini terjadi bukan saja pada kendaraan roda empat tetapi juga pada kendaraan roda dua. Ketika kita akan mempergunakan sebagian dana THR untuk mengganti tv kita yang sudah usang maka pilihan kita hanyalah Sony, Sharp, Phillips, Samsung, JVC, atau Panasonic. Lagi-lagi buatan Mesir, Sudan, Nigeria, atau Palestina tidak ada. Apa yang bisa dilakukan Malaysia dan Indonesia masih terbatas kepada assembling dengan komponen impor yang masih tinggi dan sepenuhnya teknologi asing. Lebih dari itu ketika masjid akan mengganti sound system dan corong speaker di menara yang sudah mulai renta kita tidak menemukan produk dari Tunis, maupun Maroko. Subhanallah.
Kenyataan ini lebih jelas lagi jika kita membandingkan neraca ekspor dan impor negara-negara kaya minyak di Teluk. Negeri-negeri petrodolar tersebut hanya memiliki satu komoditas ekspor andalan yaitu minyak dan gas sementara mereka mengimpor hampir seluruh kebutuhan hidup lainnya, dari mulai beras, gandum, elektronika, kendaraan roda empat, buldozer, tv, kulkas, hingga pesawat tempur
Ironisnya ini terjadi bukan saja pada kendaraan roda empat tetapi juga pada kendaraan roda dua. Ketika kita akan mempergunakan sebagian dana THR untuk mengganti tv kita yang sudah usang maka pilihan kita hanyalah Sony, Sharp, Phillips, Samsung, JVC, atau Panasonic. Lagi-lagi buatan Mesir, Sudan, Nigeria, atau Palestina tidak ada. Apa yang bisa dilakukan Malaysia dan Indonesia masih terbatas kepada assembling dengan komponen impor yang masih tinggi dan sepenuhnya teknologi asing. Lebih dari itu ketika masjid akan mengganti sound system dan corong speaker di menara yang sudah mulai renta kita tidak menemukan produk dari Tunis, maupun Maroko. Subhanallah.
Kenyataan ini lebih jelas lagi jika kita membandingkan neraca ekspor dan impor negara-negara kaya minyak di Teluk. Negeri-negeri petrodolar tersebut hanya memiliki satu komoditas ekspor andalan yaitu minyak dan gas sementara mereka mengimpor hampir seluruh kebutuhan hidup lainnya, dari mulai beras, gandum, elektronika, kendaraan roda empat, buldozer, tv, kulkas, hingga pesawat tempur
Sesungguhnya mengkonsumsi barang dan
jasa yang diproduksi umat lain dengan dana sendiri bukanlah suatu yang aib
selama dananya diperoleh secara halal. Karena toh Rasulullah pun berdagang
dengan berbagai umat lainnya. Yang mungkin akan menjadi aib adalah bila dalam
perdagangan tersebut umat senantiasa di sisi yang defisit; kita mengkonsumsi
barang mereka lebih banyak dari mereka mengkonsumsi barang kita. Keadaan ini
akan lebih parah lagi jika kita menjadi sangat tergantung kepada mereka dan
perekonomian kita diatur oleh mereka mulai dari produksi, finansial, dan
distribusi. Umat Islam tidak lebih hanya dijadikan sebagai pasar untuk barang
dan jasa mereka dan Ramadhan adalah ajang peningkatan pemasaran dan penjualan
barang-barang tersebut. Bagi saudara-saudara yang umrah di bulan Ramadhan ini
akan dengan jelas melihat dominasi produk asing di sekitar Masjidil Haram.
Bangunan yang paling tinggi di sekitar
Sumber : Sebagaian besar tulisan
diatas dikutip dari Dr. M.Syafii Antonio