FALSAFAH KEADILAN DAN PENEGAKKAN HUKUM
Diambil dari berbagai sumber.. Hukum sebagai suatu instrumen yang keberadaannya sangat dibutuhkan dan melekat pada setiap kehidupan...

https://rohman-utm.blogspot.com/2013/04/falsafah-keadilan-dan-penegakkan-hukum.html
Diambil dari berbagai
sumber..
Hukum sebagai
suatu instrumen yang keberadaannya sangat dibutuhkan dan melekat pada setiap
kehidupan sosial masyarakat. Hukum diperlukan untuk mewujudkan dan menjaga
tatanan kehidupan bersama yang harmonis. Tanpa adanya aturan hukum, maka
kehidupan masyarakat akan
tercerai-berai dan tidak dapat lagi disebut sebagai satu kesatuan kehidupan
sosial yang harmonis.
A. Konsep Keadilan
Teori-teori hukum alam sejak Scorates tetap mempertahankan keadilan sebagai
mahkota hukum. Teori hukum alam mengutamakan the search for justice.[1] Terdapat
macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini
menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran.
Diantara teori-teori itu dapat disebut teori keadilan Aristoteles dan teori
keadilan sosial John Rawl.
1. Teori Keadilan Aristoteles
Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam
karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric.
Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya
ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles mesti
dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya karena hukum hanya bisa ditetapkan
dalam kaitannya dengan keadilan.[2] Yang
sangat penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami
dalam pengertian kesamaan.
Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan
kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai
satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang
kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan
hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai
dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini
Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.
Lebih lanjut Aristoteles membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif
dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik yang kedua dalam
hukum perdata dan pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan
terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam
kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa
imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang
kedua yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh,
misalnya pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,
kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam
masyarakat. Dengan mengesampingkan pembuktian matematis jelaslah bahwa apa yang
ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain
berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh
jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya yakni nilainya
bagi masyarakat.[3]
Di sisi lain,
keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu
pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan maka keadilan korektif berusaha
memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan, jika suatu
kejahatan telah dilakukan maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada
si pelaku. Bagaimanapun ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya
kesetaraan yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas
membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan
korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan
bidangnya pemerintah. [4]
Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan
antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan
pada watak manusia yang umum dan lazim dengan vonis yang berlandaskan pandangan
tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampur-adukkan
dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan
hukum adat. Karena berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang
terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada
komunitas tertentu sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan
dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika bisa
didapatkan dari fitrah umum manusia.[5]
2. Keadilan Sosial menurut John Rawls
John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan
teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the
principle of fair equality of opportunity. Inti the difference
principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar
memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung.
Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada
ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan,
pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality
of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai
peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka
inilah yang harus diberi perlindungan khusus.
Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai
alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan
Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut
prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula
bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat
bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh
masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum tetapi
tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari
orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat.
Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian
rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal
ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin
maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi
masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi
yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan
diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya
kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan
pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan
perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.
Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang
berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan yaitu
pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling
luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur
kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi
keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi
setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak
beruntung.[6]
Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat
sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama
kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang
yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan
untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap
kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan
institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua,
setiap aturan harus memposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan
kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
B. Aliran Positivisme
Positivisme adalah aliran
sejak awal abad ke 19 amat mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai
bidang ilmu tentang kehidupan manusia terutama dalam kajian bidang hukum.
Aliran positivisme mengklaim bahwa ilmu hukum adalah sekaligus juga ilmu pengetahuan
tentang kehidupan dan perilaku warga masyarakat (yang mestinya tertib
mengikuti norma-norma kausalitas), maka mereka yang menganut aliran ini mencoba
menuliskan kausalitas-kausalitas itu dalam wujudnya sebagai perundang-undangan. [7]
Hubungan-hubungan
kausalitas itu dihukumkan atau dipositifkan sebagai norma dan tidak pernah dideskripsikan
sebagai nomos, norma hanya bisa bertahan atau dipertahankan sebagai
realitas kausalitas manakala ditunjang oleh kekuatan struktural yang dirumuskan
dalam bentuk ancaman-ancaman pemberian sanksi. [8]
Legal positivisme
memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral, hukum
bercirikan rasionalistik, teknosentrik, dan universal. Dalam kacamata
positivisme tidak ada hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivis
legalisme menganggap bahwa hukum identik dengan undang-undang. Hukum dipahami
perspektif yang rasional dan logis, keadilan hukum bersifat formal dan prosedural.
Secara umum legal
positivisme merupakan suatu aliran yang melakukan kritik terhadap
kelemahan-kelemahan teori hukum kodrat yang mengutamakan kekuatan moral yaitu
hidup sesuai dengan hukum yang tertulis dalam kodrat manusia, sementara legal
positivisme tidak mempersoalkan kandungan subtantif yang normatif, etis maupun
estetis, disamping itu juga mengajarkan bahwa hukum positiflah yang merupakan
hukum yang berlaku dan hukum positif disini adalah norma-norma yudisial yang
telah dibangun oleh otoritas negara. [9]
Diantara ajaran
positivisme yang terpenting adalah ajaran hukum positif yakni analytical
jurisprudence (ajaran hukum analitis) oleh Jhon Austin dan Teori hukum
murni menurut Hans Kelsen.
1. Teori Hukum John Austin
Menurut ajaran ini hukum adalah perintah penguasa negara. Hakikat hukum
terletak pada unsur perintah. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap,
logis dan tertutup. Dimana hukum dibagi dalam dua jenis yaitu hukum dari tuhan
untuk manusia dan hukum yang dibuat oleh manusia. Hukum yang dibuat oleh
manusia dibedakan menjadi hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak
sebenarnya. Hukum yang sebenarnya (hukum positif) mempunyai empat unsur yaitu
perintah, kewajiban, sanksi dan kedaulatan. Hukum yang tidak sebenarnya adalah
hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. [10]
2. Teori Hukum Murni Hans Kelsen
Pembahasan utama dalam teori hukum murni adalah membebaskan ilmu hukum dari
unsur-unsur ideologis misalnya keadilan dipandang sebuah ide yang tidak
rasional, dan teori hukum murni, ia mempertahankan, tidak bisa menjawab
pertanyaan tentang apa yang membentuk keadilan karena pertanyaan ini sama
sekali tidak bisa dijawab secara ilmiah. Jika keadilan harus di identikan
dengan legalitas dalam arti tempat keadilan berarti memelihara sebuah tatanan
(hukum) positif melalui aplikasi kesadaran atasnya.
Teori hukum murni menurut
Kelsen adalah sebuah teori ilmu hukum positif yang berusaha menjawab pertanyaan
apa hukum itu, tetapi bukan pertanyaan apa hukum itu seharusnya. Teori hukum
murni mengkonsentrasikan diri pada hukum semata-mata dan berusaha membebaskan
ilmu pengetahuan dari campur tangan ilmu-ilmu pengetahuan asing seperti
psikologi dan etika. Hukum tidak bisa dijadikan obyek penelitian sosial karena
itu obyek tunggalnya adalah menentukan apa yang dapat diketahui secara teroritis
tentang tiap jenis hukum pada tiap waktu dan dalam tiap keadaan. [11]
C. Asas Legalitas
Jika kita berbicara
mengenai kepastian hukum maka terlebih dahulu seyogyanya kita membahas tentang
asas legalitas yang merupakan refleksi dari paham positivisme, dimana asas
tersebut memberikan pengaruh yang sangat besar dalam penegakan dan kepastian
hukum atau dapat dijelaskan bahwa adanya penegakan hukum yang merupakan wujud
nyata dari kepastian hukum dilaksanakan berdasarkan berlakunya asas legalitas.
Dalam hukum Romawi kuno yang menggunakan bahasa Latin, tidak dikenal apa
yang disebut asas legalitas.[12] Pada saat itu
dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang
berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang. Diantara criminal
extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan
durjana/jahat).[13]
Dalam
sejarahnya, criminal extra ordinaria ini di adopsi raja-raja
yang berkuasa. Sehingga terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya
secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu
perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana.[14] Dari sini timbul
batasan-batasan kepada negara untuk menerapkan hukum pidana.
Menurut Jan
Remmelink, agar dipenuhinya hak negara untuk menegakkan ketentuan pidana (jus
puniendi), diperlukan lebih dari sekadar kenyataan bahwa tindakan yang
dilakukan telah memenuhi perumusan delik. Tetapi diperlukan lagi norma lain
yang harus dipenuhi, yaitu norma mengenai berlakunya hukum pidana. Di
antaranya, berlakunya hukum pidana menurut waktu (tempus) di
samping menurut tempat (locus). Norma ini sangat penting untuk
menetapkan tanggung jawab pidana.[15]
Bila
suatu tindakan telah memenuhi unsur delik yang dilarang tetapi ternyata
dilakukan sebelum berlakunya ketentuan tersebut, tindakan itu bukan saja tidak
dapat dituntut ke muka persidangan tetapi juga pihak yang terkait tidak dapat
dimintai pertanggungjawabannya. Harus ada ketentuannya terlebih dahulu yang
menentukan bahwa tindakan tersebut dapat dipidana. Norma seperti inilah yang
disebut sebagai asas legalitas atau legaliteitbeginsel atau Principle
of Legality.
Ajaran asas legalitas ini sering dirujuk sebagai nullum delictum,
nulla poena sine praevia lege poenali, artinya tiada delik, tiada pidana,
tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan. Walaupun
menggunakan bahasa Latin, menurut Jan Remmelink, asal-muasal adagium di atas
bukanlah berasal dari hukum Romawi Kuno. Akan tetapi dikembangkan oleh juris
dari Jerman yang bernama von Feuerbach, yang berarti dikembangkan pada abad
ke-19 dan oleh karenanya harus dipandang sebagai ajaran klasik.
Dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch
des Peinlichen Rechts (1801), Feuerbach mengemukakan teorinya mengenai
tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie). Feuerbach
beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya
tindak pidana. Apabila orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam
pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk
melakukan perbuatan tersebut.[16] Oleh karena itu
harus dicantumkan dalam undang-undang.
Jauh sebelum asas ini muncul,
seorang filsuf Inggris Francis Bacon (1561-1626) telah memperkenalkan adagium moneat
lex, priusquam feriat, artinya: undang-undang harus memberikan peringatan
terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya.[17] Dengan demikian,
asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan yang memuat perbuatan dilarang harus
dituliskan terlebih dahulu.
Dalam tradisi sistem civil law, menurut Roelof H Haveman ada
empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu: Peraturan
perundang-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex
certa, dan analogi.[18]
1. Lex Scripta
Dalam tradisi civil law, aspek pertama adalah penghukuman harus
didasarkan pada undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang
tertulis. Undang-undang (statutory, law) harus mengatur
mengenai tingkah laku (perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa
undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, maka perbuatan
tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Hal ini berimplikasi bahwa
kebiasaan tidak bisa dijadikan dasar menghukum seseorang.
Tidak bisanya kebiasaan menjadi dasar penghukuman bukan berarti kebiasaan
tersebut tidak mempunyai peran dalam hukum pidana. Ia menjadi penting dalam
menafsirkan element of crimes yang terkandung dalam tindak
pidana yang dirumuskan oleh undang-undang tersebut.
2. Lex Certa
Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat undang-undang (legislatif)
harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan
tindak pidana (kejahatan, crimes)[19].
Hal inilah yang disebut dengan asas lex certa atau bestimmtheitsgebot.
Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum
crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu
mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi.
Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan
ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana)
karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti
itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku.[20]Tidak
bisanya kebiasaan menjadi dasar penghukuman bukan berarti kebiasaan tersebut
tidak mempunyai peran dalam hukum pidana. Ia menjadi penting dalam menafsirkan element
of crimes yang terkandung dalam tindak pidana yang dirumuskan oleh
undang-undang tersebut.
Namun demikian, dalam prakteknya tidak selamanya pembuat undang-undang dapat
memenuhi persyaratan di atas. Tidak jarang perumusan undang-undang di
terjemahkan lebih lanjut oleh kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat
apabila norma tersebut secara faktual dipermasalahkan.[21]
3. Non-retroaktif
Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan
yang merumuskan tindak pidana tidak dapat diberlakukan secara surut (retroaktif).
Pemberlakuan secara surut merupakan suatu kesewenang-wenangan, yang berarti
pelanggaran hak asasi manusia.Seseorang tidak
dapat dituntut atas dasar undang-undang yang berlaku surut. Namun demikian,
dalam prakteknya penerapan asas legalitas ini terdapat
penyimpangan-penyimpangan.
Sebagai contoh pada kasus Bom Bali, kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Timor-Timur, dan kasus Tanjung Priok. Dimana dalam kasus-kasus tersebut asas
legalitas disimpangi dengan memberlakukan asas retroaktif. Jika
ditinjau lebih jauh, penerapan asas retroaktif ini dikarenakan
karakteristik kejahatan-kejahatan dalam kasus tersebut yang sangat berbeda
dengan jenis kejahatan biasa.
Sejalan dengan itu, menurut Prof. Dr. Romli Atmasasmita, prinsip hukum non-retroaktiftersebut
berlaku untuk pelanggaran pidana biasa, sedangkan pelanggaran hak asasi manusia
bukan pelanggaran biasa, oleh karenanya prinsip non-retroaktif tidak
bisa dipergunakan.
4. Analogi
Seperti disebutkan di sebelumnya, asas legalitas membatasi secara rinci dan
cermat tindakan apa saja yang dapat dipidana. Namun demikian dalam penerapannya
ilmu hukum memberi peluang untuk dilakukan interpretasi terhadap
rumusan-rumusan perbuatan yang dilarang tersebut.[22]Dalam
ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode atau cara penafsiran, yaitu
penafsiran tata bahasa atau gramatikal, penafsiran logis, penafsiran
sistematis, penafsiran historis, penafsiran teleologis atau sosiologis,
penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran memperluas, dan
penafsiran analogi.[23]
Dari
sekian banyak metode penafsiran tersebut, penafsiran analogi[24] telah
menimbulkan perdebatan di antara para yuris yang terbagi ke dalam dua kubu,
menerima dan menentang penafsiran analogi. Secara ringkas,
penafsiran analogi adalah apabila terhadap suatu perbuatan yang pada saat
dilakukannya tidak merupakan tindak pidana, diterapkan ketentuan hukum pidana
yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang
sama dengan perbuatan tersebut, sehingga kedua perbuatan tersebut dipandang
analog satu dengan lainnya.
Menurut Prof. Andi Hamzah, ada dua macam analogi, yaitu: gesetz analogi dan recht
analogi. Gesetz analogi adalah analogi terhadap perbuatan
yang sama sekali tidak terdapat dalam ketentuan pidana. Sementara recht
analogi adalah analogi terhadap perbuatan yang mempunyai kemiripan
dengan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan hukum pidana.
Beberapa alasan yang menyetujui dipakainya analogi, di antaranya adalah karena
perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat sehingga hukum pidana harus
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu. Sementara yang menentang
mengatakan bahwa penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat menyebabkan
ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, pembatasan dan
penggunaan analogi ini tergantung pada sistem hukum yang dianut suatu negara.[25]
Menurut Jan Remmelink, inti dari penafsiran analogis singkatnya bagi
pendukung pendekatan ini tidak membatasi pengertian suatu aturan hanya dalam
batas-batas polyseem kata-kata. Bila diperlukan, mereka akan
siap sedia mengembangkan dan merumuskan aturan baru (hukum baru), tentu tidak
dengan sembarang melainkan dalam kerangka pemikiran, rasio ketentuan yang bersangkutan.[26] Dalam
perkembangannya, karena trauma pada saat pemerintahan Nazi, timbul keengganan
yang besar terhadap penggunaan metode ini di seluruh Eropa dan Belanda.
A.
Falsafah Keadilan, Kepastian Hukum dan Penegakan Hukum
1. Falsafah Keadilan
Falsafah Keadilan merupakan kata yang berasal dari bahasa yunani yaitu
philos yang artinya cinta dan sophia yang artinya kebijaksanaan. Dalam
perkembangannya falsafah disebut filsafat yaitu pandangan hidup seseorang atau
sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang
dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang
sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin
melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa falsafah ialah mencari
kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran tentang segala sesuatu yang
dimasalahkan, dengan berpikir secara sistematik dan menyeluruh. Apabila
seseorang berfikir demikian dalam mengahadapi masalah dalam hubungannya dengan
kebenaran maka orang itu telah memasuki falsafah. Penuturan dan uraian-uraian
yang tersusun oleh pemikirannya itu adalah falsafah-falsafah.
Sedangkan keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu
hal, baik menyangkut benda atau orang serta keadilan merupakan perkataan yang
di agungkan dan di idamkan oleh setiap orang dimanapun mereka berada. Dari
pengertian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa falsafah keadilan yaitu
kebijaksanaan yang bersifat adil dan diinginkan oleh masyarakat.
Dalam perkembangannya falsafah keadilan sering dikaitkan dengan salah satu
bidang pranata kehidupan yaitu hukum karena keadilan merupakan tujuan yang
paling utama dari hukum. Problematik bila hukum ternyata tidak mampu mewujudkan
nilai keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Keadilan adalah tolak ukur baik
buruknya suatu hukum.
Pemikiran tentang filsafat hukum dewasa ini diperlukan untuk menelusuri
seberapa jauh penerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup sehari-hari juga
menunjukan ketidaksesuaian antara teori dan praktek hukum sehingga tidak
tercapainya keadilan yang di inginkan. Manusia memanipulasi kenyataan hukum
yang baik menjadi tidak bermakna karena ditafsirkan untuk mencapai kepentingan
tertentu, hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya kasus hukum yang tidak
terselesaikan karena kebenaran hukum dan keadilan dimanipulasi dengan cara yang
sistematik sehingga peradilan tidak mampu menemukan keadaan yang sebenarnya.
Falsafah keadilan adalah untuk mencari jalan keluar dari belenggu kehidupan
secara rasional dengan menggunakan hukum yang berlaku untuk mencapai keadilan
dalam hidupnya. Peranan filsafat keadilan tak pernah selesai terkait dengan
persoalan hukum yang selalu mencari keadilan, hukum dan keadilan adlaah dua hal
yang berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan. Hukum dibuat dan
ditetapkan adalah agar orang yang berada dibawah naungan hukum tersebut
menikmati dan merasakan keadilan.
Akan tetapi kenyataannya hukum dapat atau
sering kali bertentangan dengan nilai keadilan. Hal ini menimbulkan pertanyaan
bagaimana kaitan antara keduanya, serta dalam kondisi mana hukum sebagai
perangkat paling khas dalam masyarakat untuk menciptakan tata kehidupan
masyarakat dan melaksanakan kebijakan dapat dipakai untuk tujuan keadilan
sosial.
Peribahasa latin, berbunyi fiat justisia et pereat mundus (ruat coelum) yang
artinya hukum yang berkeadilan harus dilaksanakan sekalipun dunia harus kiamat
(sekalipun juga langit runtuh karenanya). Pribahasa latin tersebut menyiratkan
suatu komitmen yang sangat tinggi untuk mewujudkan keadilan di dalam kehidupan
bersama. Kehidupan yang memiliki kehendak kuat untuk menyajikan seperangkat
teks keadilan berdasarkan cita-cita hukum suatu bangsa. Lebih dari itu untuk
meletakkan fondasi konseptual keadilan selalu dipaksa untuk berdaptasi dengan
struktur sosial dan karakteristik problem sosialnya. Untuk alasan inilah, hukum
sangat dinamis dalam mewujudkan keadilan sebagai hasil akhir dari nilai yang
diperjuangkan.
Hukum dan keadilan adalah permasalahan lama akan tetapi selalu menarik
pertalian antara keduanya. Meskipun secara aktual setiap kali kita dihadapkan
dengan sikap kritis terhadap hukum dan keadilan, namun tidak dapat disangkal
bahwa kehidupan bersama tetap memerlukan hukum dan keadilan itu. Pada dasarnya
manusia selalu memerlukan keadilan, kebenaran dan hukum, karena hal itu
merupakan nilai dan kebutuhan asasi bagi masyarakat manusia yang beradab.
Keadilan adalah milik dan untuk semua orang serta segenap masyarakat dan tidak
adanya keadilan akan menimbulkan kehancuran dan kekacauan keberadaan serta
eksistensi masyarakat itu sendiri. Bahkan perbedaan sikap dan kebencian
terhadap orang lain tidak boleh mengakibatkan sikap yang tidak adil.
Apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas, pemikiran mengenai keadilan itu
berkembang dengan pendekatan yang berbeda-beda, karena perbincangan tentang
keadilan yang tertuang dalam banyak literatur itu, tidak mungkin tanpa
melibatkan tema-tema moral, politik, dan teori hukum yang ada. Oleh sebab itu
menjelaskan mengenai keadilan secara tunggal hampir sulit untuk dilakukan.
Namun pada garis besarnya perdebatan mengenai keadilan terbagi atas dua arus
pemikiran, yang pertama adalah keadilan metafisik, diungkapkan oleh Plato,
kemudian dimensi keadilan rasional yang diwakili oleh Aristoteles. Keadilan
yang rasional pada dasarnya mencoba menjawab prihal keadilan dengan cara
menjelaskannya secara ilmiah. Sementara keadilan yang metafisik, mempercayai
eksistensi keadilan sebagai sebuah kualitas atau suatu fungsi di atas dan di
luar makhluk hidup dan oleh sebab itu tidak dapat dipahami menurut kesadaran
manusia berakal.
Sifat relativitas keadilan yang diungkapkan di atas merupakan ragam dalam
pemberian makna secara konseptual terhadap nilai keadilan. Jhon Rawls misalnya,
teori keadilan sosial bertujuan memberikan dasar-dasar bagi kerja sama sosial
masyarakat bangsa pluralistik modern. Berbeda dari masyarakat tradisional,
mereka berpendapat masyarakat modern tak terelakkan menjadi masyarakat
pluralistik dengan kepentingan nilai hidup berbeda-beda, bahkan mungkin
bertentangan. Bagaimanapun pengaturan masyarakat pluralistik modern itu tidak
boleh didasarkan atas suatu nilai hidup tertentu, melainkan haruslah
dikendalikan oleh prinsip yang menjamin dan mengekspresikan kepentingan bersama.
Prinsip itu adalah keadilan sosial.
Konsep keadilan menurut rawls, ialah suatu upaya untuk mentesiskan paham
liberalisme dan sosialisme. Sehingga secara konseptual rawls menjelaskan
keadilan sebagai fairness, yang mengandung asas-asas, bahwa
orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan
kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada
saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka
untuk memasuki perhimpuan yang mereka hendaki.
Namun secara umum, unsur-unsur formal dari keadilan yang dikatakan oleh Rawls
pada dasarnya harus memenuhi nilai unsur hak dan unsur manfaat. Dengan nilai
keadilan yang demikian, yang dikaitkan dengan unsur hak dan manfaat ditambah
bahwa dalam diskursus hukum, perihal realisasi hukum itu berwujud lahiriah,
tanspa mempertanyakan terlebih dahulu itikad moralnya. Maka
nilai keadilan di sini mempunyai aspek empiris juga, di samping aspek idealnya.
Maksudnya adalah diaktualisasikan secara konkret menurut ukuran manfaatnya.
2. Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan suatu hal yang hanya bisa dijawab secara normatif
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan sosiologis, tapi
kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis dalam artian
tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam arti menjadi
sistem norma dengan norma yang lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan
konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian. Kepastian hukum merupakan
suatu keadaan dimana perilaku manusia baik individu, kelompok maupun organisasi
terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum.
Dalam praktek kita melihat ada undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada
undang-undang yang tidak dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap
orang tidak mematuhi undang-undang dan undang-undang itu akan kehilangan
maknanya. Ketidakefektifan undang-undang cenderung mempengaruhi waktu sikap dan
kuantitas ketidakpatuhan serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku hukum,
termasuk perilaku pelanggar hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan
hukum yang menjamin kepastian dan keadilan dalam masyarakat.
Kepastian hukum dapat kita lihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum
itu sendiri dan kepastian karena hukum. Kepastian dalam hukum dimaksudkan bahwa
setiap norma hukum itu harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat di
dalamnya tidak mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Akibatnya akan membawa
perilaku patuh atau tidak patuh terhadap hukum. Dalam praktek banyak timbul
peristiwa-peristiwa hukum, di mana ketika dihadapkan dengan substansi norma
hukum yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau kurang sempurna sehingga
timbul penafsiran yang berbeda-beda yang akibatnya akan membawa kepada
ketidakpastian hukum.
Sedangkan kepastian karena hukum dimaksudkan bahwa karena hukum itu sendirilah
adanya kepastian, misalnya hukum menentukan adanya lembaga daluarsa, dengan
lewat waktu seseorang akan mendapatkan hak atau kehilangan hak. Berarti hukum
dapat menjamin adanya kepastian bagi seseorang dengan lembaga daluarsa akan
mendapatkan sesuatu hak tertentu atau akan kehilangan sesuatu hak tertentu.
Namun demikian, jika hukum diidentikkan dengan perundang-undangan, maka salah
satu akibatnya dapat dirasakan adalah kalau ada bidang kehidupan yang belum
diatur dalam perundang-undangan, maka dikatakan hukum tertinggal oleh
perkembangan masyarakat. Demikian juga
kepastian hukum tidak identik dengan dengan kepastian undang-undang. Apabila
kepastian hukum diidentikkan dengan kepastian undang-undang, maka dalam proses
penegakan hukum dilakukan tanpa memperhatikan kenyataan hukum (Werkelijkheid)
yang berlaku.
Para penegak hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil
yang ada dalam undang-undang (law in book’s), akan cenderung mencederai
rasa keadilan masyarakat. Seyogyanya penekanannya di sini, harus juga bertitik
tolak pada hukum yang hidup (living law). Lebih jauh para penegak hukum
harus memperhatikan budaya hukum (legal culture) untuk memahami sikap,
kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam
sistim hukum yang berlaku.
3. Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan bentuk nyata dalam melaksanakan hukum demi
mewujudkan keadilan dan kepastian hukum yang dilaksanakan oleh struktur hukum
yakni aparat penegak hukum terhadap materi atau substansi hukum itu sendiri
bagi para pelanggar hukum.
Penegakan hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup
kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum seta melakukan tindakan hukum
terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subyek
hukum, baik melalui prosedur peradilan maupun melalui abitrase dan mekanisme
penyelesaian sengketa lainnya (Alternative despute or conflicts resolution). [27]
Dalam pengertian yang lebih luas, kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala
aktivitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif yang
mengatur dan mengikat pada subjek hukum dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan
sebagaimana mestinya. [28]
Penegakan hukum dalam arti sempit menyangkut kegiatan penindakan terhadap
setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan,
khususnya melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran serta aparat
kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara dan badan-badan peradilan karena
itu aktor-aktor utama yang peranannya sangat menonjol dalam proses penegakan
hukum adalah polisi, jaksa, pengacara dan hakim. [29]
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberikan jaminan kepastian
hukum serta manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun
di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk
mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa
apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya
apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berguna bagi
masyarakat.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu
tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang,
bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa
membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif,
individualistis dan tidak menyamaratakan. Adil bagi seseorang belum tentu
dirasakan adil bagi orang lain.
Para
penegak hukum harus menerapkan hukum tanpa kehilangan ruh keadilan. Hanya
dengan demikian hukum akan menemukan wajah aslinya, sebagai instrumen yang
diperlukan untuk memenuhi dan melindungi manusia dan tatanan kehidupan bermasyarakat
bukan sebaliknya mengorbankan manusia dan masyarakat yang menjadi tempat
keberadaan hukum serta tidak kehilangan roh keadilan yang menjadi tujuan
keberadaan dan penegakan hukum itu sendiri.
Mencermati pendapat Hans Kelsen, penegakan hukum oleh hakim itu terikat pada
teori positivisme yaitu bahwa keadilan itu lahir dari hukum positif yang
ditetapkan manusia. Dalam hal ini Hans Kelsen menekankan bahwa konsep keadilan
itu mencakup pengertian yang jernih dan bebas nilai. Dimana hakim terikat
dengan hukum positif yang sudah ada berdasarkan paham legisme dalam konsep
positivisme, hakim hanya sebagai corong undang-undang, artinya mau tidak mau
hakim harus benar-benar menerapkan suatu kejadian berdasarkan konsep hukum yang
sudah ada.
Dalam prakteknya konsep positivisme dalam penegakan hukum ini ternyata sangat
jauh dari keadilan karena sering sekali hukum positif itu ketinggalan dengan
perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi sehingga dalam penerapan teori
positivisme tidak bisa serta merta dilaksanakan dengan paham legisme.
Hakim boleh menerapkan teori ini pada kasus yang aturan hukumnya jelas sehingga
tinggal menerapkan saja pada peristiwa konkret, namun dalam hal peristiwa yang
tidak ada aturan hukumnya hakim harus menemukan dan menggunakan analogi untuk
penemuan hukum. Hukumnya harus diupayakan dengan cara menelusuri peraturan yang
mengatur peristiwa khusus yang mirip dengan peristiwa yang hendak dicari
hukumnya dengan jalan argumentasi.
B.
Penegakan Hukum yang Berkeadilan dan menjamin Kepastian Hukum
Secara
teoretis terdapat tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
Keadilan dapat dikatakan sebagai tujuan utama yang bersifat universal. Keadilan
adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang beradab.
Hukum
diciptakan agar agar setiap individu anggota masyarakat melakukan sesuatu
tidakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan
kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang
dapat merusak tatanan keadilan. Jika tindakan yang diperintahkan tidak
dilakukan atau suatu larangan dilanggar, tatanan sosial akan terganggu karena
terciderainya keadilan. Untuk mengembalikan tertib kehidupan bermasyarakat,
keadilan harus ditegakkan. Setiap pelanggaran akan mendapatkan sanksi sesuai
dengan tingkat pelanggaran itu sendiri.
Keadilan
memang merupakan konsepsi yang abstrak. Namun demikian di dalam konsep keadilan
terkandung makna perlindungan hak, persamaan derajat dan kedudukan di hadapan
hukum, serta asas proporsionalitas antara kepentingan individu dan kepentingan
sosial. Sifat abstrak dari keadilan adalah karena keadilan tidak selalu dapat
dilahirkan dari rasionalitas tetapi juga ditentukan oleh atmosfir sosial yang
dipengaruhi oleh tata nilai dan norma lain dalam masyarakat. Oleh karena itu keadilan
juga memiliki sifat dinamis yang kadang-kadang tidak dapat diwadahi dalam hukum
positif.
Kepastian
hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya
mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau
penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan.
Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan
dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk
mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.
Namun
demikian antara keadilan dan kepastian hukum dapat saja terjadi gesekan.
Kepastian hukum yang menghendaki persamaan di hadapan hukum tentu lebih
cenderung menghendaki hukum yang statis. Apa yang dikatakan oleh aturan hukum
harus dilaksanakan untuk semua kasus yang terjadi. Tidak demikian halnya dengan
keadilan yang memiliki sifat dinamis sehingga penerapan hukum harus selalu
melihat konteks peristiwa dan masyarakat di mana peristiwa itu terjadi
Dalam
praktek penegakan hukum saat ini, rasa keadilan masyarakat kerap terusik.
Keadilan tidak selalu sejalan dengan hukum meskipun penegakan hukum itu sendiri
harus sedekat mungkin dengan keadilan. Sejak lama para pencari keadilan
mendambakan penegakan hukum yang adil. Berbagai putusan pengadilan sepertinya
menggambarkan kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
Biasanya
para penegak hukum telah menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan main yang
ada dalam artian aturan main yang formal. Contoh pada kasus tindak pidana
korupsi, sesuai hukum yang berlaku penyidik Polri atau jaksa sudah melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan ke pengadilan. Pengacara sudah
menjalankan fungsinya untuk membela dan mempertahankan hak-hak tersangka. Dan
hakim sudah mendengar kedua belah pihak, sehingga dikeluarkanlah putusan
pengadilan. Semua aturan hukum yang relevan sudah dipertimbangkan dan
diterapkan. Serta semua formalitas dan tata cara yuridis sudah diikuti
Persoalannya
mengapa terhadap penegakan hukum yang demikian masih saja banyak masyarakat
yang tidak puas dan masih saja dikatakan bahwa penegakan hukum di Indonesia
ditengarai sangat rendah dan sudah mencapai titik nadir. Inilah masalahnya,
yakni tidak terpenuhinya nilai keadilan, terutama keadilan masyarakat. Mimbar
pengadilan telah terisolasi dengan pemahaman makna kepastian hukum saja, tanpa
mau membuka diri dan menggali nilai-nilai keadilan yang ada di masyarakat.
Seorang
Filsuf terkenal bernama Socrates yang hidup pada tahun 469 - 399 SM, filsuf dan
kritikus yang paling berpengaruh di Yunani pernah menyatakan hakekat hukum
adalah keadilan. Socrates dalam usahanya menemukan dan mengajarkan
prinsip-prinsip keadilan menyebutkan bahwa keadilan yang sesungguhnya serta
hukum yang benar itu tidak akan ditemui dalam undang-undang yang dibentuk
penguasa-penguasa Negara. Akan tetapi keadilan bertempat tinggal di dalam diri
dan dalam kesadaran manusia itu sendiri.
Selanjutnya
Socrates menyebutkan bahwa dalam nurani tiap insan bersemayamlah keadilan yang
hakiki atau sesungguhnya di situ mereka dapat mendengar bagaimana irama dari
degup jantung yang merah, bersih dan suci. Hanya dengan degupan yang bersih,
organ yang suci ini (nurani) menjadi terlindungi dari kungkungan kabut
keserakahan, kelicikan, kecurangan, dan lain sebagainya.
Sehingga
hukum serta perasaan keadilan dalam pengertian sesungguhnya itu hanya akan
ditemukan di dalam nurani tiap-tiap insan, dan ia akan selalu mendampingi,
terutama manakala mereka menetapkan atau mengambil sebuah keputusan (termasuk
keputusan hukum itu sendiri). Apa yang disampaikan filsuf besar pada masanya
tersebut sesungguhnya banyak terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia saat
ini.
Penegakan
hukum saat ini cenderung lebih menekankan pada kepastian hukum dibandingkan
dengan keadilan. Penerapan hukum lebih bersifat positif legalistis yaitu cara
berhukum berdasarkan pada undang-undang. Akibat penerapan hukum positif
legalistis ini akan menggiring penegakan hukum pada legisme. Hakim tidak boleh
berbuat selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas. Hakim
hanya sekedar terompet undang-undang. Hanya menyuarakan bunyi undang-undang tanpa
mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Begitu
pentingnya nilai keadilan dalam masyarakat ini ditegakkan di samping nilai
kepastian hukum, haruslah menjamin keadilan dan kepastian hukum serta
bermanfaat. Selain itu penegakan hukum diterapkan tanpa diskriminasi. Penegakan
hukum yang tidak mengindahkan prinsip equality before the law sehingga
menghasilkan perilaku diskriminatif akan merusak tatanan sistem, sekaligus akan
menciderai serta kegagalan dalam melaksanakan sistem yang menimbulkan citra
buruk pada semua kalangan masyarakat.
Dalam
kajian filsafat hukum yang memfokuskan diri pada hakikat dan cita-cita hukum
yaitu bagaimana mencapai keadilan subtantif, pada kenyataannya makna keadilan
saat ini telah terkikis oleh paradigma yang sangat kaku, hanya melihat sisi
keadilan pada ejaan pasal-perpasal dalam mewujudkan keadilan prosedural. Salah
satu pendekatan yang dapat dilakukan dalam mencapai penegakan hukum yang
berkeadilan substantif dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan paradigma
hukum progresif.
Apa
yang akan penulis ketengahkan sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang baru,
berangkat dari pemahaman gagasan brillian Satjipto Rahardjo yaitu
paradigma hukum progresif yang mana lahir sebagai oposisi keilmuan
terhadap paham postivisme hukum.Gagasan ini kemudian muncul kepermukaan dan
menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih lanjut. Apa yang digagas oleh
Satjipto Rahardjo ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi
kelumpuhan hukum di Indonesia. Progresif berasal dari kata progress yang
berarti kemajuan.
Hukum
hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman
dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat
dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum
itu sendiri.
Dilihat
dari kemunculannya hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan
sesuatu yang lahir tanpa sebab dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit.
Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah
berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai yang sedang mencari jati
diri bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat
berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan
hukum yang sedang terjadi dewasa ini.
Dalam
proses pencariannya itu, Satjipto Rahardjo kemudian berkesimpulan bahwa salah
satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia dalam
melaksanakan tugasnya sebagai aparat penegak hukum adalah dominasi terhadap
paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat pada paham
tersebut sehingga mempengaruhi kualitas dari penegakan hukum.
Dalam
kaitannya dengan mencari alternatif nilai keadilan di tengah-tengah rapuhnya
penegakan hukum Indonesia saat ini, menurut pemahaman penulis dalam rangka
menuju suatu keadilan substantif sesuai dengan paradigma hukum progresif
yang pada aktualisasinya selalu percaya diri dengan prinsip-prinsip kebenaran.
Keadilan substantif akan selalu mencerminkan diri pada kenyataan hukum di
masyarakat.
Setidaknya
keadilan substantif sesuai dengan hukum progresif ini secara konseptual harus
berdiri atas tiga pemikiran pokok yaitu pertama menempatkan diri sebagai
kekuatan yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang
legalistik-dogmatis, analitis-positivistik dan lebih mengutamakan tujuan
daripada prosedural.
Kemudian yang kedua
didasarkan pada logika kepatutan sosial dan tidak semata-mata berdasarkan pada
logika peraturan perundang-undangan yang bersifat normatif. Sehingga
dalam hal ini keadilan substantif menurut hukum progresif dapat menjunjung
tinggi moralitas. Hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong
sekaligus pengendali aktivitas penegakan hukum ini.
Dan yang ketiga,
paling utama keadilan substantif menurut hukum progresif banyak bertumpu pada
kualitas dan kemampuan sumber daya manusia penegak hukumnya. Faktor modalitas
aparat penegak hukum menjadi amat penting seperti empati, kejujuran dan
keberanian. Faktor-faktor itulah yang harus dikedepankan daripada hanya sekedar
menjalankan peraturan perundang-undangan yang bersifat normatif secara
mekanistis dan prosedural dalam hal mencari kebenaran hakiki oleh aparat
penegak hukum demi mewujudkan penegakan hukum yang memenuhri rasa keadilan masyarakat.
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan-pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1.
a. Falsafah Keadilan adalah berpikir secara mendalam dan menyeluruh dalam upaya untuk mencari
dan menemukan hakikat kebenaran terhadap sesuatu permasalahan guna mendapatkan
jalan keluar secara rasional dengan menggunakan hukum sebagai instrumennya
untuk mewujudkan keadilan yaitu kondisi dimana kebenaran ideal secara moral
mengenai sesuatu permasalahan yang sedang dihadapi.
b. Kepastian Hukum adalah suatu keadaan dimana
perilaku manusia baik individu maupun kelompok dalam masyarakat yang terikat
dan berada dalam koridor yang sudah digariskan dan ditetapkan oleh aturan hukum
yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Penegakan Hukum adalah upaya melaksanakan dan
menerapkan hukum demi mewujudkan keadilan dan menjamin adanya kepastian hukum
yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum terhadap setiap pelanggaran atau
penyimpangan oleh subyak hukum terhadap materi atau substansi hukum yang
tertuang didalam peraturan perundang-undangan sehingga menciptakan rasa
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum dalam menjaga ketertiban dalam
masyarakat..
2.
Penegakan hukum yang berkeadilan dan menjamin kepastian hukum adalah upaya
untuk melaksanakan, menerapkan, mempertahankan dan menegakan hukum dalam bentuk
peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
dan rasa keadilan sebagai tujuan utama hukum dengan tetap memberikan jaminan
adanya kepastian hukum serta manfaat bagi masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku-Buku
Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat
Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung.
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana :
Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT
Gramedia Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 2009, Menuju
Negara Hukum yang Demokrasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
John Rawls, A Theory of Justice, London,
Oxford University Press, 1973, terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair
Fauzan dan Heru Prasetyo, 2006, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Muh. Muslehuddin, 1991, Filsafat
Hukum Islam dan Pemikiran Orientasi, Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Tiara
Wacana.
M. Karfawi, 1987, Asas Legalitas
dalam usul Rancangan KUHP (Baru) dan Masalah-masalahnya, Jurnal Arena
Hukum.
M. Karjadi dan R.Soesilo, 1988, Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Politea,
Bogor.
Moeljatno, 2000, Asas-asas Hukum
Pidana, Rieneka Cipta, Cetakan Ketujuh
R. Soesilo, 1988, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor
Roelof. H. Heveman, 2002, The legality of Adat Criminal Law in
Modern Indonesia, Tata Nusa, Jakarta
Sofyan Sastrawidjaja, 1995, Hukum
Pidana : Asas Hukum Pidana Sampai pada Peniadaan Pidana, Armica,
Bandung.
Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum
dalam lintasa sejarah, cet VIII, Kanisius,
Yogyakarta
W. Friedman, 1998, Teori-teori Filsafat Hukum, Kanisius,
Yogyakarta.
[1] Theo Huijbers, Filsafat
Hukum dalam lintasa sejarah, cet VIII, Yogyakarta, Kanisius, 1995 hal
196
[2] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung,
Nuansa dan Nusamedia, 2004 hlm 24
[6] John Rawls, A Theory of Justice, London, Oxford University
Press, 1973, terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru
Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006
[7] Soetandyo Wignjosoebroto, Positivisme dan Doktrin Positivisme dalam
Ilmu Hukum dan Kritik-kritik terhadap Doktrin Ini, Jakarta, 2007, hlm
1-2.
[9] Ade Maman Suherma, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Civil Law,
Common Law, Hukum Islam, Cet 2, Raja Grafindo Persada, 2006, hlm 37
[11] Muh.
Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientasi, Studi
Perbandingan Sistem Hukum Islam, Tiara Wacana, 1991, hlm 29.
[16] Lihat M, Karfawi, Asas Legalitas dalam usul Rancangan KUHP (Baru)
dan Masalah-masalahnya, Jurnal Arena Hukum, 1987, hlm 9-15
[18] Lihat Roelof. H.
Heveman, The legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Tata
Nusa, Jakarta, 2002, hlm 50
[19] Dalam Rancangan KUHP tidak lagi dikenal dengan sebutan pelanggaran dan
kejahtan, kedua istilah ini disebut dalam satu istilah tindak pidana
[20] Jan Remmelink, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting
dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT Gramedia Jakarta, 2003, hlm
358
[22] Lihat Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana : Asas Hukum Pidana Sampai
pada Peniadaan Pidana, Armica, Bandung, 1995, hlm 67
[27] Jimly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokrasi, PT. Bhuana
Ilmu Populer, Jakarta, 2009, Hlm 22