APA YANG DIMAKSUD DENGAN KREDIT SYARI’AH ? Terkait dengan kredit syari’ah , sebelum mengkajinya lebih jauh, tentu harus dipahami terl...
https://rohman-utm.blogspot.com/2012/07/kredit-syariah-sebuah-pengenalan-awal.html
Terkait
dengan kredit syari’ah, sebelum mengkajinya lebih jauh, tentu harus
dipahami terlebih dahulu terminologi kredit. Untuk itu, berikut
adalah defisinisi kredit yang dikutif dari kamus besar bahasa
Indonesia.
Kredit Adalah:
“1 cara menjual barang dng pembayaran
secara tidak tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur); 2 pinjaman uang dng
pembayaran pengembalian secara mengangsur; 3 penambahan saldo rekening, sisa
utang, modal, dan pendataan bagi penabung; 4 pinjaman sampai batas jumlah
tertentu yg diizinkan oleh bank atau badan lain; 5 sisi kanan neraca (di
Indonesia);”
Secara
umum, istilah kredit bisa dipahami sebagai sebuah
mekanisme pembayaran yang dilakukan secara bertahap/berangsur, baik objeknya
berupa barang maupun uang. Mekanisme pembayaran seperti ini, sudah sangat
lazim terjadi di masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah mekanisme pembayaran
seperti ini sesuai dengan ketentuan syari’ah atau tidak? Salah satu ayat yang berkaitan
dengan tema yang sedang dikaji ini ada dala QS. Al Baqarah [2] ayat 275, dalam
ayat tersebut dikatakan bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba”. Jual beli dengan riba, pada dasarnya sama. Yaitu salah satu pihak
mengharapkan kelebihan dari apa yang mereka transaksikan. Akan tetapi, dalam
konteks jual beli, kelebihan tersebut merupakan margin keuntungan yang
diimbangi dengan usaha serta nilai manfaat dari barang yang diperjual belikan.
Sedangkan dalam konteks riba, kelebihan tersebut tidak diimbangi dengan
transaksi penyeimbang. Misalnya, meminjam ayam, kemudian orang yang meminjamkan
ayam tersebut mensyaratkan untuk mengembalikan ayam yang dipinjam, ditambah
dengan 1 ekor anak ayam. Pinjam meminjam, pada dasarnya dilakukan dalam bingkai
tolong menolong. Pengembalian barang yang dipinjamkan dengan menambah syarat
tertentu tidak sesuai dengan nilai yang terkandung dalam ayat di atas. Maka
dari itu, mengapa jual beli itu boleh, sedangkan riba haram.
Mekanisme pembayaran dengan cara diangsur,
pada dasarnya tidak ada nash yang melarangnya. Akan tetapi, pada prakteknya,
ada upaya yang mengarah pada indikasi aktivitas ribawi. Contoh, ketika meminjam
uang di bank, maka cicilan yang harus dibayar tiap bulan adalah akumulasi
cicilan bulanan ditambah dengan bunga. Lalu mengapa dalam bank syari’ah, tambahan tersebut tidak
masuk dalam kategori bunga? Padalah sama-sama ada kelebihan dari pokok
pinjaman? Mari kita urai perbedaannya pada sub tema di bawah!
Contoh
1:
A meminjam uang kepada Bank konvensional
untuk membeli kendaraan roda 4 senilai 200jt, dengan bunga sebesar 1% / bulan.
Pembayaran dilakukan sebanyak 36x cicilan, sesuai dengan kesepakatan.
Contoh
2:
B mengajukan pembiayaan kepada bank
syari’ah untuk membeli kendaraan roda 4, dengan spesifikasi tenterntu, senilai
200jt dengan margin keuntungan 20jt. Pembayaran dilakukan sebanyak 36x cicilan.
Apa
yang membedakan kedua contoh di atas? Contoh 1, bank mendapat kelebihan dana berupa
% bunga. Sedangkan pada contoh 2, bank mendapat margin keuntungan sebesar
20jt. Secara kasat mata, kedua contoh di atas sama-sama mengandung unsur
kelebihan dari pokok. Akan tetapi, secara syar’i, contoh pertama merupakan
contoh dari aktivitas ribawi yang diharamkan Islam. Dalam Islam, uang
bukan alat komoditas. Imam al Ghazali mengatakan bahwa "uang itu seperti
cermin, dia tidak memiliki warna, akan tetapi bisa merefleksikan seluruh warna.
uang merupakan alat ukur, sehingga dia tidak bisa dan tidak perlu
dinilai".
Contoh
kedua merupakan contoh aktivitas jual beli dan dibolehkan dalam Islam.
Konsekuensi dari contoh nomor 2 adalah harus ada perpindahan
kepemilikan terlebih daruhu dari pihak produsen/penjual kepada pihak bank. Baru
pihak bank menjual kembali kepada danasah yang mengajukan permohonan. Dalam
konteks jual beli, berapapun margin keuntungan dalam sebuah transaksi, tidak
dilarang selama melalui mekanisme yang sesuai dengan syari’ah, serta didasarkan
pada rasa saling ridho. Dari contoh ini, maka perbedaan antara kredit syari’ah dengan
kredit konvensional adalah:
1.
Dalam kredit syari’ah, kelebihan didasarkan pada margin keuntungan.
Sedangkan dalam kredit konvensional, didasarkan pada bunga.
2.
Kredit syari’ah, berbasis pada mekanisme jual beli. Sedangkan kredit
konvensional, berbasis pada bunga / riba.
3. Kredit syari’ah, yang menjadi
pokok dalam transaksi adalah barang. Sedangkan dalam kredit konvensional, yang
menjadi pokok transaksinya adalah jumlah uang.
MENGAPA KREDIT SYARI’AH HALAL SEDANGKAN KREDIT
KONVENSIONAL ITU HARAM?
Untuk
memaparkan sub judul ini, cukup dengan mengulang sedikit pemaparan yang telah
diuraikan di atas. Mengapa kredit syari’ah itu halal, karena
memang dalam kredit syari’ah berbasis pada model transaksi
jual beli, hanya saja pembayaran dilakukan dengan cara cicilan dalam tempo
tertentu. Mengapa kredit kovensional diharamkan? Karena memang dalam kredit
konvensional, basis operasionalnya adalah pinjaman uang yang ditambah dengan
unsur bunga. Dimana para ulama telah bersepakat bahwa bunga bank merupakan riba
yang diharamkan dalam Islam.
Semoga tulisan ini bisa mengubah
paradigma mengenai apa itu kredit, bagaimana kredit yang sesuai dengan
syari’ah. Bagi para pembaca yang memiliki akses serta kemampuan untuk ikut
mengontrol kesyari’ahan bank syari’ah, melalui tulisan ini semoga bisa
memanfaatkan kemampuannya untuk menjaga bank syari’ah agar tetap syar’i.