PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABDUL MANAN
A. Biografi Singkat Abdul Mannan Muhammad Abdul Mannan lahir di Bangladesh tahun 1938. Pada tahun 1960, ia mendapat gelar Master ...
https://rohman-utm.blogspot.com/2011/12/pemikiran-ekonomi-islam-abdul-manan.html
A.
Biografi Singkat Abdul Mannan
Muhammad Abdul Mannan lahir di
Bangladesh tahun 1938. Pada tahun 1960, ia mendapat gelar Master di bidang
Ekonomi dari Rajashi University dan bekerja di Pakistan. Tahun 1970, ia
meneruskan belajar di Michigan State University dan mendapat gelar Doktor pada
tahun 1973.
Setelah mendapat gelar doctor,
Mannan mengajar di Papua Nugini. Pada tahun 1978, ia ditunjuk sebagai Profesor
di International Centre for Research in Islamic Economics di Jeddah.
B.
Karya Abdul Mannan
Sebagian karya Abdul Mannan
adalah Islamic Economics, Theory and Practice, Delhi, Sh. M. Ashraf,
1970. Buku ini oleh sebagian besar mahasiswa
dan sarjana ekonomi Islam dijadikan sebagai buku teks pertama ekonomi Islam.
Penulis memandang bahwa kesuksesan Mannan harus dilihat di dalam konteks dan
periode penulisannya. Pada tahun 1970-an, ekonomi Islam baru sedang mencari
formulanya, sementara itu Mannan berhasil mengurai lebih seksama mengenai
kerangka dan ciri khusus ekonomi Islam.
Seiring dengan berlalunya waktu,
ruang lingkup dan kedalaman pembahasan Ekonomi Islam juga berkembang. Hal
tersebut mendorong Abdul Mannan menerbitkan buku lagi pada tahun 1984 yakni The Making of Islamic Economiy. Buku tersebut menurut Mannan dapat dipandang sebagai upaya yang lebih serius dan
terperinci dalam menjelaskan bukunya yang pertama.
C.
Asumsi Dasar Ekonomi Islam Abdul Mannan
Abdul Mannan mengemukakan
beberapa asumsi dasar dalam ekonomi Islam, sebagai berikut[1]; pertama, Mannan tidak percaya kepada “harmony of interests” yang terbentuk
oleh mekanisme pasar seperti teori Adam Smith. Sejatinya harmony of interests
hanyalah angan-angan yang utopis karena pada dasarnya setiap manusia mempunyai
naluri untuk menguasai pada yang lain. Oleh karena itu, Mannan menekankan pada
perlunya beberapa jenis intervensi pasar. Dari sini dapat dipahami bahwa
manusia secara pribadi tidak bisa menciptakan keadilan yang sesungguhnya.
Kedua, penolakannya pada Marxis. Teori perubahan Marxis tidak akan mengarah pada perubahan yang lebih
baik. Teori Marxis hanyalah reaksi dari kapitalisme yang jika ditarik garis
merah tidak lebih dari solusi yang tidak tuntas. Bahkan lebih jauh, teori
Marxis ini cenderung tidak manusiawi karena mengabaikan naluri manusia yang
fitrah, dimana setiap manusia mempunyai kelebihan antara satu dan lainnya dan
itu perlu mendapatkan reward yang berarti.
Ketiga, Mannan menyebarkan gagasan perlunya melepaskan diri dari paradigma kaum neoklasik positivis, dengan menyatakan
bahwa observasi harus ditujukan kepada data historis dan wahyu. Jadi rupanya
Mannan sangat menaruh perhatian pada norma wahyu dalam setiap observasi
ekonominya. Ini dapat dipahami bahwa ekonomi Islam dibangun dari pondasi utama
yaitu dalil-dalil syara’ yang notabene sebagai wahyu. Oleh karena itu semua
observasi ekonomi yang meninggalkan wahyu akan kehilangan ruh dari ekonomi
Islam tersebut.
Keempat, Mannan menolak gagasan kekuasaan produsen atau kekuasaan konsumen. Hal tersebut menurutnya akan memunculkan
dominasi dan eksploitasi.
Kelima, dalam hal pemilikan individu dan swasta, Mannan berpendapat bahwa Islam mengizinkan pemilikan swasta sepanjang
tunduk pada kewajiban moral dan etik. Dia menambahkan bahwa semua bagian
masyarakat harus memiliki hak untuk mendapatkan bagian dalam harta secara keseluruhan.
Namun, setiap individu tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan yang dimilikinya
dengan cara mengeksploitasi pihak lain. Mannan telah menjelaskan norma bahwa
kekayaan tidak boleh terkonsentrasi pada tangan orang-orang kaya saja.
Menurutnya, zakat dan shadaqah memegang peranan penting untuk memainkan peranan
distributifnya, sehingga paham Kapitalis yang mengarah pada individualisme
tidak ada dalam ekonomi Islam.
Keenam, dalam mengembangkan ilmu ekonomi Islam, langkah pertama Mannan adalah menentukan basic economic functions yang secara sederhana meliputi tiga fungsi
yaitu konsumsi, produksi dan distribusi. Ada lima prinsip dasar yang berakar
pada syariah untuk basic economic
functions berupa fungsi konsumsi yakni prinsip righteousness, cleanliness,
moderation, beneficence dan morality. Perilaku konsumsi seseorang dipengaruhi oleh kebutuhannya sendiri
yang secara umum adalah kebutuhan manusia terdiri dari necessities, comforts dan luxuries.
D.
Kerangka Institusional Ekonomi Islam
Berdasarkan asumsi dasar di atas,
Mannan membahas sifat, ciri dan kerangka institusinal ekonomi Islam, sebagai
berikut :
Pertama, keterpaduan antara individu, masyarakat dan negara. Abdul Mannan menekankan bahwa ekonomi
berpusat pada individu, karena menurutnya, masyrakat dan negara ada karena
adanya individu. Oleh karena itu ekonomi Islam harus digerakkan oleh individu
yang patuh pada agama dan bertanggungjawab pada Allah SWT dan masyarakat.
Menurutnya, kebebasan individu dijamin oleh kontrol
social dan agama. Kebebasan individu adalah kemampuan untuk menjalankan
semua kewajiban yang digariskan oleh Syari’ah. Mannan menjamin tidak ada
konflik antara individu, masyarakat dan negara, karena Syariah telah meletakkan
peranan dan posisi masing-masing dengan jelas. Bahkan antara kebebasan individu
dan kontrol masyarakat dan Negara akan saling melengkapi karena mempunyai
tujuan dan maksud baik yang bersama-sama diupayakan dalam menjalankan sistem
ekonomi Islam.
Kedua, Mekanisme pasar dan peran negara. Dalam upaya pencapaian titik temu antara sistem harga dengan perencanaan
negara, Mannan mengusulkan adanya bauran yang optimal antara persaingan,
kontrol yang terencana, dan kerjasama yang bersifat sukarela. Mannan tidak
menjelaskan lebih lanjut bagaimana bauran ini dapat tercipta. Sekali lagi
Mannan telah memunculkan pemikiran normatif elektis yang masih sangat
membutuhkan tindakan kongkrit untuk merelaisasikan norma tersebut dengan
teknik-teknik dan pendekatan tertentu. Tapi yang jelas, Mannan tidak setuju
dengan mekanisme pasar saja untuk menentukan harga dan output. Hal itu akan
memunculkan ketidakadilan dan arogansi.
Ketiga, kepemilikan swasta yang bersifat relatif dan kondisional. Isu dasar dari setiap pembahasan ekonomi,
termasuk juga ekonomi Islam adalah masalah kepemilikan. Dalam hal ini, Mannan
mendukung pandangan yang menyatakan bahwa kepemilikan absolut terhadap segala
sesuatu hanyalah pada Allah SWT saja.[2] Manusia
dalam posisinya sebagai khalifah di muka bumi bertugas untuk menggunakan semua
sumberdaya yang telah disediakan oleh-Nya untuk kebaikan dan kemaslahatannya.
Keempat, implementasi zakat. Mannan memandang bahwa zakat merupakan sumber utama penerimaan negara, namun tidak dipandang sebagai
pajak melainkan lebih sebagai kewajiban agama, yaitu sebagai salah saatu rukun Islam.[3] Karena itulah maka zakat
merupakan poros keuangan Negara Islam. Sungguhpun demikian, beberapa pengamat
ekonomi Islam melakukan kritik terhadap zakat yang menyatakan bahwa sekalipun
dalam konotasi agama, kaum Muslimin berupaya menghindari pembayaran zakat itu.[4]
Kedudukan zakat dalam kebijakan
fiskal perlu dikaji lebih mendalam. Salah satunya dengan melakukan penelusuran
sejarah masyarakat Muslim sejak masa Rasulullah SAW sampai sekarang.[5] Hal itu
penting karena zakat memiliki dua fungsi, yaitu fungsi spiritual dan fungsi
sosial (fiskal). Fungsi spiritual merupakan tanggungjawab seorang hamba kepada
Tuhannya yang mensyariatkan zakat. Sedangkan fungsi sosial adalah fungsi yang
dimainkan zakat untuk membiayai proyek-proyek sosial yang dapat juga diteruskan
dalam kebijakan penerimaan dan pengeluaran negara.[6]
Kelima, Pelarangan riba. Sistem ekonomi Islam melarang riba. Seperti juga ahli ekonomi yang lainnya,
Mannan sangat menekankan penghapusan sistem bunga dalam sistem ekonomi Islam.
Ide Mannan tersebut pada akhirnya
juga mengilhami pendirian bank-bank syariah yang saat ini menjamur di dunia dan
termasuk di Indonesia. Keunggulan perbankan syariah dapat dibuktikan dengan
kebalnya terhadap krisis karena mampu menjaga keseimbangan sektor riil dan
sektor moneter. Jadi segala konsepsi ekonomi Islam mampu menghindari bubble economic yang sangat rentan terjadi dalam sistem ekonomi
konvensional.
E.
Keadilan Dalam Distribusi Sebagai Basis
Abdul Mannan memandang kepedulian
Islam secara realistis kepada si miskin demikian besar sehingga Islam
menekankan pada distribusi pendapatan secara merata dan merupakan pusat
berputarnya pola produksi dalam suatu Negara Islam.[7] Mannan
menyatakan bahwa dalam ekonomi Islam, inti masalah bukan terletak pada harga
yang ditawarkan oleh pasar, melainkan terletak pada ketidakmerataan distribusi
kekayaan.[8]
Pembahasan tentang kepemilikan
yang paling menonjol dibahas oleh Mannan adalah tentang kepemilikan tanah
sebagai salah satu faktor produksi yang paling penting. Menurut Mannan, secara
umum tanah dapat dimiliki melalui kerja seseorang.[9]139 Mannan juga berpendapat bahwa seorang penggarap juga punya hak atas
kepemilikan tanah. Implikasi dari pendapatnya itu, maka pemilik tanah
diperbolehkan untuk menyewa maupun berbagi hasil tanaman, sekalipun ia lebih
setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa tanah sebaiknya tidak disewakan
dan lebih baik digarap dengan sistem bagi hasil.
F.
Produksi Sebagai Upaya Mensejahterakan Masyarakat
Mannan berpendapat bahwa produksi
terkait dengan utility atau penciptaan nilai guna. Agar dapat dipandang sebagai
utility dan mampu meningkatkan kesejahteraan, maka barang dan jasa yang
diproduksi harus berupa hal-hal yang halal dan menguntungkan, yaitu hanya
barang dan jasa yang sesuai aturan syariah. Menurut Mannan, konsep Islam
mengenai kesejahteraan berisi peningkatan pendapatan melalui peningkatan
produksi barang yang baik saja, melalui pemanfaatan sumber-sumber tenaga kerja
dan modal serta alam secara maksimal maupun melalui partisipasi jumlah penduduk
maksimal dalam proses produksi.
Pandangan Mannan yang menekankan
pada kualitas, kuantitas dan maksimalisasi dan partisipasi dalam proses
produksi, menjadikan rumah tangga produksi memiliki fungsi yang berbeda dalam
ekonomi. Rumah tangga produksi atau firm
bukan hanya sebagai pemasok komoditas, namun juga sebagai penjaga kebersamaan
antara pemerintah bagi kesejahteraan ekonomi dan masyarakat.
Dalam sistem ekonomi Islam,
surplus produksi diperlukan sebagai persediaan generasi sekarang dan generasi
yang akan datang. Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis
yang cenderung rakus dengan konsentrasi kekayaan pada mereka yang mampu
menguasai faktor produksi. Ekonomi Islam menekankan pada individu dan
pemerintah untuk berperan banyak dalam kegiatan produksi.
Tahap akhir dari pandangan Mannan
tentang produksi adalah produksi sebagai suatu proses sosial. Mannan mengajukan
gagasannya bahwa penawaran harus berdasarkan kapasitas potensial yang akan
mengakomodasi pemberian kebutuhan dasar kepada semua anggota masyarakat,
khususnya golongan menengah ke bawah (miskin).[10]
Berdasarkan asumsi ini maka produsen tidak hanya melakukan reaksi dari harga
pasar, melainkan juga atas perencanaan nasional untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia. Oleh karena itu, pembagian kerja dan spesialisasi untuk berproduksi
harus berjalan secara efisien dan adil serta secara konstan menekankan perlunya
humanisasi proses produksi.
1.
Pemikiran Ekonomi Islam Muhammad Nejatullah Siddiqi
A.
Biografi Singkat Nejatullah Siddiqi
Mohammad Nejatullah Siddiqi lahir
di Gorakhpur, India pada tahun1931. Siddiqi merupakan ekonom India yang
memenagkan penghargaan dari “King Faizal
Internasional Prize” dalam bidang studi Islam. Siddiqi menempuh
pendidikannya di Aligarh Muslim University. Beliau tercatat sebagai murid dari
Sanvi Darsgah Jamaat-e-Islami Hind, Rampur. Beliau juga menuntut ilmu di
Madrasatul Islah, Saraimir, Azamgarh.
Karir Siddiqi dimulai ketika
beliau menjabat sebagai Associate Professor Ekonomi dan Profesor Studi Islam di
Aligarh University dan sebagai Profesor Ekonomi di Universitas King Abdul Aziz
Jeddah. Kemudian beliau juga mendapat jabatan sebagai fellow di Center for NearEastern Studies di University of California,
Los Angeles. Beliau juga menjadi
pengawas sarjana di Islamic Research & Training Institute, Islamic
Development Bank, Jeddah.
B.
Karya Nejatullah Siddiqi
Adapun karya Siddiqi tentang
Ekonomi Islam, antara lain;
The Economic Enterprise in Islam,
Perusahan Ekonomi dalam Islam (1971),
Some Aspects of The Islamic Economy, Beberapa
Aspek Ekonomi Islam (1978), Muslim
Economic Thinking, Berpikir Ekonomi Islam
(1981), Banking Without Interest, Perbankan
Tanpa Bunga (1983), Insurance in an Islamic Economy, Asuransi dalam Ekonomi Islam (1985), Teaching Economics in Islamic
Perspective, Pengajaran Ekonomi dalam Perspektif Islam (1996), Role of
State in Islamic Economy, Peran Negara
dalam Ekonomi Islam (1996), Dialogue
in Islamic Economics, Dialog Ekonomi
Islam (2002).
Selama karir akademiknya, Siddiqi
telah mengawasi dan menguji sejumlah tesis dari calon professor di
universitas-universitas di India, Arab Saudi dan Nigeria. Ia juga mendapat
beberapa penghargaan di bidang pendidikan seperti Shah Waliullah Award in New
Delhi (2003), A prolific writer in Urdu on subjects as Islami Adab (1960),
Muslim Personal Law (1971), Islamic Movement in Modern Times (1995) selain
penghargaan King Faisal International Prize untuk Studi Islam yang berhasil
diraihnya.
C.
Pemikiran Ekonomi Islam Nejatullah Siddiqi
1.
Filosofi
Perbankan
Dalam pandangan Mohammad
Nejatullah Siddiqi, pemikiran ekonomi Islam merupakan suatu pemikiran yang
terinspirasi dari ketetapan-ketetapan yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah, terutama dalam hubungan kehidupan
ekonomi interpersonal, proses berpikir dalam kemanusian, bagaimanapun, ajaran
ekonomi dari al-Qur’an dan Sunnah.
Siddiqi menolak determinisme
ekonomi Marx. Baginya, ekonomi Islam itu modern, memanfaatkan teknik produksi
terbaik dan metode organisasi yang ada. Sifat Islamnya terletak pada basis
hubungan antar manusia, di samping pada sikap dan kebijakan-kebijakan sosial
yang membentuk sistem tersebut. Ciri utama yang membedakan perekonomian Islam
dan sistem-sistem ekonomi modern yang lain, menurutnya, adalah bahwa di dalam
suatu kerangka Islam, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi merupakan sarana
untuk mencapai tujuan spritual dan moral. Oleh karena itu, ia mengusulkan
modifikasi teori ekonomi Neo-Klasik konvensional dan peralatannya untuk
mewujudkan perubahan dalam orientasi nilai, penataan kelembagaan dan tujuan
yang dicapai.
Muhammad Nejatullah Siddiqi
memperkenalkan Bank Islam, Shiddiqi Smenjelaskan fungsi sistem perbankan Islam
dalam buku sederhananya yang menjadi jiwa pemikiran lahirnya Bank Syari'ah,
Bank Islam," Banyak penyimpan uang mengadakan kontrak mudharabah pribadi dengan suatu usaha perbankan, yang diorganisasi
berdasarkan modal saham, dengan kontrak-kontrak yang mensyaratkan pembagian
laba dari usaha perbankan" :
Pertama, Bank menawarkan jasa dengan
memungut biaya dan komisi. Kedua, Bank berperan sebagai sumber pemberi
modal dengan melakukan pemilihan yang adil terhadap kaum wiraswatawan yang
mencari modal dari bank tersebut.
2.
Tujuan ekonomi Islam
Selanjutnya Muhammad Nejatullah
Siddiqi menguraikan tujuan ekonomi Islam, ia mengemukakan ciri utama yang
membedakan perekonomian Islam dan sistem-sistem ekonomi modern yang lain.
Menurutnya, di dalam suatu kerangka Islam, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi
merupakan sarana untuk mencapai tujuan spritual dan moral. Oleh karena itu, ia
mengusulkan modifikasi teori ekonomi Neo-Klasik konvensional dan peralatannya
untuk mewujudkan perubahan dalam orientasi nilai, penataan kelembagaan dan
tujuan yang dicapai.[11]
Bagi Siddiqi, tujuan aktivitas
ekonomi yang sempurna menurut
Islam
dapat diringkas sebagai berikut:
Memenuhi
kebutuhan hidup seseorang secara sederhana
Memenuhi
kebutuhan keluarga
Memenuhi
kebutuhan jangka panjang
Menyediakan
kebutuhan keluarga yang ditinggalkan
Memberikan
bantuan sosial dan sumbangan menurut jalan Allah[12]
Keadilan dan kebajikan juga
mempunyai pengaruh penting terhadap aktivitas perdagangan. Keadilan dan
kemurahan hati dapat berfungsi dengan baik dengan membentuk seorang pengusaha
sedemikian rupa agar dia berkenan untuk menjalankan tanggung jawabnya untuk
kepentingan masyarakat.
Aspek penting tentang aktivitas
pengusaha dalam masyarakat Islam bertumpu pada tujuan untuk mendapatkan
keuntungan yang memuaskan, melayani masyarakat dan mengamalkan sikap kerjasama.
Pemahaman yang menyeluruh mengenai kenyataan ekonomi Islam hanya dapat dicapai
dengan adanya praktek ekonomi yang sebenarnya. Semangat kerjasama dan peranan
pemIbn aan yang positif dari Negara akan menghindarkan berlakunya segi negatif
dari persaingan kapitalis dan selanjutnya Negara dapat membentuk dasar yang
dapat menguntungkan masyarakat.[13]
Ciri tunggal yang paling penting
dalam ekonomi Islam ialah penghapusan system “bunga”, dan implikasinya terhadap
sistem ekonomi Islam yang memerlukan suatu analisa.
3.
Kerangka Institusional Masyarakat Islam
Kerangka institusional suatu
masyarakat Islam yang diajukan oleh M. Nejatullah Siddiqi dalam artikelnya yang
berjudul “Teaching Economics in An Islamic Prespective”146 adalah:
Meskipun kepemilikan mutlak
adalah milik Allah SWT. Namun dalam Islam diperkenankan suatu kepemilikan
pribadi, dimana dibatasi oleh kewajiban dengan sesama dan batasan-batasan moral
yang diatur oleh syari’ah.
Kebebasan untuk berusaha dan
berkreasi sangat dihargai, namun tetap mendapatkan batasan-batasan agar
merugikan pihak lain dalam hal ini kompetisi yang berlangsung persaingan sehat.
Usaha gabungan (joint
enterprise) haruslah menjadi landasan utama dalam bekerjasama, dimana
system bagi hasil dan sama-sama menanggung risiko yang mungkin timbul
diterapkan.
Konsultasi dan musyawarah
haruslah menjadi landasan pertama utama dalam pengambilan keputusan publik. Negara bertanggung jawab dan mempunyai
kekuasaan untuk mengatur individu dalam setiap keputusan dalam rangka mencapai
tujuan Islam.
Dari kerangka institusional
tersebut, selanjutnya terdapat empat nilai utama yang bisa ditarik dari ekonomi
Islam, yaitu;
Ø Peranan positif dari negara, sebagai regulator yang
mampu memastikan kegiatan ekonomi berjalan dengan baik sehingga tidak ada pihak
yang merasa dirugikan oleh orang lain.
Ø Batasan moral atas kebebasan yang dimiliki,
sehingga setiap individu dalam setiap melakukan aktivitasnya akan mampu pula
memikirkan dampaknya bagi orang lain.
Ø Kesetaraan kewajiban dan hak, hal ini mampu
menyeimbangkan antara hak yang diterima dan kewajiban yang harus dilaksanakan.
Ø Usaha untuk selalu bermusyawarah dan bekerja sama,
sebab hal ini menjadi salah satu fokus utama dalam ekonomi Islam.
4.
Tujuan Produksi dalam Islam
Menurut
Nejatullah Siddiqi, secara luas tujuan produksi dalam Islam
adalah:
a. Memenuhi kebutuhan manusia seimbang. Memenuhi
kebutuhan manusia secara seimbang jasmani dan ruhani adalah tujuan utama.
b. Memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat
adalah kebutuhan kolektif yang proses pemenuhannya dilakukan secara bersama
atau oleh negara.
c. Mempersiapkan persedian hari depan. Produsen dalam
Islam berkepentingan menjaga keluhuran eksistensi manusia masa sekarang dan
akan datang. Dalam hal ini, strategi investasi dan kepemilikan sarana produksi
menjadi instrumen untuk meningkatkan kapasitas ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat.
d. Memenuhi persedian bagi generasi yang akan datang.
Eksistensi sumber daya ekonomi ditujukan untuk manusia dalam arti luas.
e. Mencukupi sarana kegiatan sosial dan ibadah. Hasil
produksi dalam Islam selalu memiliki makna religiusitas dan sosial yang tinggi.
Islam tidak hanya menekankan profit tetapi juga benefit.
[1] Muhammad Abdul Mannan, The Making of An Islamic Economic Society, (Cairo : International
Association of Islamic Banks 1984), 7-24.
[5] Sohrab Behdad, ‘Property Right in Contemporary Islamic Economic Thought: A Critical
Perspective’, Review of Social Economy. 1989. 135
[6] Nurudin Muhammad Ali, Zakat sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal, (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 2006).9
[12] Muhammad Nejatullah Siddiqi, The Economic Enterprise in Islam, Alih
bahasa: Anas Sidik, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 15