KAREKTERISTIK EKONOMI ISLAM
Sebutan “Ekonomi Islam” melahirkan kesan beragam. Bagi sebagian kalangan, kata ‘Islam’ memposisikan Ekonomi Islam pada tempat yang sang...

https://rohman-utm.blogspot.com/2011/04/karekteristik-ekonomi-islam.html
Sebutan “Ekonomi Islam”
melahirkan kesan beragam. Bagi sebagian kalangan, kata ‘Islam’ memposisikan
Ekonomi Islam pada tempat yang sangat esklusif, sehingga menghilangkan nilai
kefitrahannya sebagai tatanan bagi semua manusia. Bagi lainnya, Ekonomi Islam digambarkan
sebagai ekonomi hasil racikan antara aliran kapitalis dan sosialis, sehingga
ciri khas khusus yang dimiliki oleh Ekonomi Islam itu sendiri hilang
Padahal sebenarnya Ekonomi
Islam adalah satu sistem yang mencerminkan fitrah dan ciri khasnya sekaligus.
Dengan fitrahnya Ekonomi Islam merupakan satu sistem yang dapat mewujudkan
keadilan ekonomi bagi seluruh umat. Sedangkan dengan ciri khasnya, Ekonomi
Islam dapat menunjukkan jati dirinya dengan segala kelebihannya - pada setiap
sistem yang dimilikinya.
Ekonomi Rabbani menjadi ciri
khas utama dari model Ekonomi Islam. Chapra menyebutnya dengan Ekonomi Tauhid.
Tapi secara umum dapat dikatakan sebagai “divine economics”. Cerminan
watak “Ketuhanan” ekonomi Islam bukan pada aspek pelaku ekonominya -- sebab
pelakunya pasti manusia -- tetapi pada aspek aturan atau sistem yang harus
dipedomani oleh para pelaku ekonomi. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa semua
faktor ekonomi termasuk diri manusia pada dasarnya adalah kepunyaan Allah, dan
kepadaNya (kepada aturanNya) dikembalikan segala urusan[1]. Melalui aktivitas ekonomi, manusia dapat
mengumpulkan nafkah sebanyak mungkin, tetapi tetap dalam batas koridor aturan
main..”Dialah yang memberi kelapangan atau membatasi rezeki orang yang Dia
kehendaki”[2]. Atas hikmah Ilahiah, untuk setiap makhluk
hidup telah Dia sediakan rezekinya selama ia tidak menolak untuk mendapatkannya[3] Namun Allah tak pernah menjamin kesejahteraan
ekonomi tanpa manuisia tadi melakukan usaha.
Sebagai ekonomi yang ber-Tuhan maka Ekonomi Islam -- meminjam istilah dari
Ismail Al Faruqi -- mempunyai sumber “nilai-nilai normatif-imperatif”, sebagai
acuan yang mengikat.. Dengan mengakses kepada aturan Ilahiah, setiap perbuatan
manusia mempunyai nilai moral dan ibadah. Setiap tindakan manusia tidak boleh lepas
dari nilai, yang secara vertikal merefleksikan moral yang baik, dan secara
horizontal memberi manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya. Nilai moral
“samahah” (lapang dada, lebar tangan dan murah hati) ditegaskan dalam Hadits
riwayat Imam Bukhari dan Muslim, sebagai prasyarat bagi pelaku ekonomi untuk
mendapatkan rahmat Ilahi, baik selaku pedagang, konsumen, debitor maupun
kreditor. Dengan demikian, posisi Ekonomi Islam terhadap nilai-nilai moral
adalah sarat nilai (value loaded), bukan sekadar memberi nilai tambah
(added value) apalagi bebas nilai (value neutral). Bagi paham ekonomi
naturalistis sumber daya alam adalah faktor paling penting. Sedangkan bagi
aliran monetaris yang terpenting adalah modal finansial. Tapi bagi ekonomi
Islam sumber daya manusialah (humane capital), yang ternilai, sebagai
kuncinya. Al Quran memposisikan manusia sebagai pusat sirkulasi manfaat ekonomi
dari berbagai sumber daya yang ada[4]
Sekaligus sebagai penerima amanah “khilafah” dari Allah SWT, memakmurkan
kehidupan di muka bumi dengan mengolah sumber daya yang Dia sediakan[5]
(11: 61)
Karakter ini merupakan
derivasi dari karakter ummat Islam sebagai “Ummatan Wasathan”(Umat
Moderat)[6] yang mengemban tugas sebagai “syuhada” yakni
rujukan kebenaran dan standar kebaikan bagi umat manusia[7]. Dalam pencermatan beberapa kitab tafsir,
posisi “wasathan” mempunyai lebih dari satu konotasi makna. Yang pertama maknanya
“tawassuth” yakni moderat. Kedua bermakna “tawazun” yakni seimbang
(balance ) Ketiga bermakna “khairan” yakni terbaik dan alternatif. Itu
artinya, dalam Islam dan ekonomi Islam tidak ada tempat untuk ekstrimitas. Baik
ekstrimitas kapitalis maupun sosialis. Ekonomi Islam memuji “si kaya” yang
mengelola hartanya secara benar, tetapi juga sangat peduli utuk memberdayakan
“fuqara”. Kebijakan politik ekonomi Islam tak pernah segan untuk menindak si
kaya yang tidak menunaikan hak-hak sosial dari hartanya, dan “menjewer”
fuqara yang meminta belas kasihan karena malas. Ini menempatkan Ekonomi Islam
sebagai ekonomi alternatif atau “khairan”, dan nilai lebih itu diakomodasikan
tanpa keraguan
Islam memerintahkan kepada
manusia untuk berkoperasi dalam segala hal, kecuali dalam perbuatan dosa secara
vertikal dan permusuhan horizontal [8]Pelaksanaannya dapat dilakukan secara bilateral,
multilateral, dari tingkat lokal hingga global, tanpa harus dihambat oleh
perbedaan apapun juga[9] Perwujudan pola kerjasama yang dianjurkan Islam
dapat dilakukan dalam skema apapun, tetapi tetap berlandaskan adanya upaya
perealisasian wujud tolang-menolong yang sesungguhnya. Demi tegaknya keadilan,
Allah telah meletakkan “mizan”, suatu timbangan akurat yang paling
objektif. Siapapun tidak boleh melanggarnya [10]Siapapun tidak diperkenal menjadi korban
ketidakadilan.
Itulah Ekonomi Islam, yang bersifat
Ilahiah-insaniah, terbuka tapi selektif, toleran tapi tak kenal kompromi dalam
menegakkan keadilan. Semua itu untuk kesejahteraan umum di dunia dan
kebahagiaan di akhirat