KAPAN MAU HIJRAH ?
(Disampaikan pada Peringatan Tahun Baru Hijriah 1340 : LDK MKMI Universitas Trunojoyo Madura) Apa Sih yang Dimaksud Hijrah? Para a...

https://rohman-utm.blogspot.com/2018/09/kapan-mau-hijrah.html
(Disampaikan pada Peringatan Tahun Baru Hijriah 1340 : LDK
MKMI Universitas Trunojoyo Madura)
Apa Sih yang Dimaksud Hijrah?
Para ahli bahasa berbeda
pendapat dalam mengartikan kata “hijrah” namun kesemuanya berkesimpulan bahwa
hijrah adalah menghindari/menjauhi diri dari sesuatu, baik dengan raga, lisan
dan hati. Hijrah dengan raga berarti pindah dari suatu tempat menuju tempat
lain. Hijrah dengan lisan berarti menjauhi perkataan kotor dan keji. Sementara
hijrah dengan hati berarti menjauhi sesuatu tanpa menampakkan perbuatan.
Secara etimologi, hijrah adalah lawan dari kata washal (bersambung). Maksud hijrah di
sini adalah berpisahnya seseorang entah berpisah dengan badan, dengan lisan,
dengan hati.
Asal hijrah di sini bermakna meninggalkan, yaitu meninggalkan
berbicara atau meninggalkan perbuatan. Tidak berbicara pada orang lain, itu
bermakna hajr.
Sedangkan kalau membahas hijrah, ada dua maksud:
- Hijrah hissi, yaitu berpindah tempat, yaitu berpindah dari negeri kafir ke negeri Islam atau berpindah dari negeri yang banyak fitnah ke negeri yang tidak banyak fitnah. Ini adalah hijrah yang disyari’atkan.
- Hijrah
maknawi (dengan hati), yaitu
berpindah dari maksiat dan segala apa yang Allah larang menuju ketaatan.
Setiap manusia mesti berhijrah, yaitu menjadi lebih baik dari
sebelumnya. Yang akan diulas dalam tulisan ini adalah berhijrah dari maksiat
pada ketaatan.
Ingatlah, Tujuan Kita Diciptakan
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا
لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Allah tidak menciptakan kita sia-sia, pasti ada suatu perintah
dan larangan yang mesti kita jalankan dan mesti kita jauhi. Allah Ta’ala berfirman,
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا
وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami
menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan
dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mu’minun: 115).
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, “Apakah kalian diciptakan
tanpa ada maksud dan hikmah, tidak untuk beribadah kepada Allah, dan juga tanpa
ada balasan dari-Nya?” (Madarij As-Salikin, 1: 98)
Jadi beribadah kepada Allah adalah tujuan diciptakannya jin,
manusia dan seluruh makhluk. Makhluk tidak mungkin diciptakan begitu saja tanpa
diperintah dan tanpa dilarang. Allah Ta’ala berfirman,
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja
(tanpa pertanggungjawaban)?” (QS. Al-Qiyamah: 36).
Imam Asy Syafi’i mengatakan,
لاَ يُؤْمَرُ وَلاَ يُنْهَى
“(Apakah mereka diciptakan) tanpa diperintah dan dilarang?”.
Ulama lainnya mengatakan,
لاَ يُثاَبُ وَلاَ يُعَاقَبُ
“(Apakah mereka diciptakan) tanpa ada balasan dan siksaan?”
(Lihat Madarij As-Salikin, 1: 98)
Menjadi Manusia Ideal
Manusia ideal tentu saja yang merealisasikan tujuan
penciptaannya di atas. Ia menjalankan yang diperintahkan oleh Allah dan
menjauhi larangan-larangan-Nya. Perintah dan larangan ini dalam hal hubungan
dengan Allah dan hubungan dengan sesama. Manusia ideal adalah yang baik terhadap
Allah dan terhadap manusia. Kriteria ini masuk dalam kriteria orang shalih.
Ibnu Hajar berkata, “Shalih sendiri berarti,
الْقَائِم بِمَا يَجِب عَلَيْهِ مِنْ حُقُوق
اللَّه وَحُقُوق عِبَاده وَتَتَفَاوَت دَرَجَاته
“Orang yang menjalankan kewajiban terhadap Allah dan kewajiban
terhadap sesama hamba Allah. Kedudukan shalih pun bertingkat-tingkat” (Fath
Al-Bari, 2: 314).
Karena Rasul tidak hanya diutus untuk membetulkan ibadah, namun
juga mengajarkan akhlak sesama. Disebutkan dalam hadits, dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ
الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlak.”
(HR. Ahmad, 2: 381. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Mendekati Ideal
Dari hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata,
إِنّمَا النَّاسُ كَالإِبْلِ المِائَةِ لاَ
تَكَادُ تَجِدُ فِيْهَا رَاحِلَةٌ
“Sesungguhnya manusia seperti unta sebanyak seratus,
hampir-hampir tidaklah engkau dapatkan di antara unta-unta tersebut, seekor pun
yang layak untuk ditunggangi.” (HR. Bukhari, no. 6498).
Maksud hadits, tak ada memang yang sempurna. Namun tetap memang
ada yang mendekati ideal atau kesempurnaan.
Karena Rasul juga mengatakan bahwa yang terbaik bukanlah orang
yang tidak pernah berbuat dosa. Setiap manusia pernah berbuat salah. Yang
paling baik dari mereka adalah yang mau bertaubat.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ
الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap manusia pernah berbuat salah. Namun yang paling baik
dari yang berbuat salah adalah yang mau bertaubat.” (HR. Tirmidzi no. 2499;
Ibnu Majah, no. 4251; Ahmad, 3: 198. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits
ini hasan)
Kata Ibnu Rajab dalam Fathul Barinya, yang dimaksud at-tawwabun
adalah:
أَيْ الرَّجَّاعُونَ إِلَى اللَّهِ
بِالتَّوْبَةِ مِنْ الْمَعْصِيَةِ إِلَى الطَّاعَةِ .
“Orang yang mau kembali pada Allah dari maksiat menuju
ketaatan.“ Artinya, mau berhijrah dari maksiat dahulu menjadi lebih baik saat
ini.
Tentu saja hijrah tersebut haruslah tulus lillah, tulus karena
Allah …
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى
اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah
dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At Tahrim: 8)
Ibnu Katsir menerangkan mengenai taubat yang tulus sebagaimana
diutarakan oleh para ulama, “Taubat yang tulus yaitu dengan menghindari dosa
untuk saat ini, menyesali dosa yang telah lalu, bertekad tidak mengulangi dosa
itu lagi di masa akan datang. Lalu jika dosa tersebut berkaitan dengan hak
sesama manusia, maka ia harus menyelesaikannya atau mengembalikannya.” (Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7: 323).
Hudzaifah pernah berkata,
بحسب المرءِ من الكذب أنْ يقول : أستغفر الله ،
ثم يعود
“Cukup seseorang dikatakan berdusta ketika ia mengucapkan, “Aku
beristighfar pada Allah (aku memohon ampun pada Allah) lantas ia mengulangi
dosa tersebut lagi.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 411).
Siapa Saja yang Mau Berhijrah
Siapa saja yang mau berhijrah, Allah akan menerima hijrahnya.
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى
أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ
الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas
terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar: 53).
Tentu saja setelah berhijrah, seseorang harus punya tekad
menjadi baik dan bertekad tidak mengulangi lagi maksiat yang dahulu dilakukan.
ثَوَابُ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا
“Balasan dari kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.”
Begitu juga dalam ayat disebutkan,
وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah
mendapat petunjuk.” (QS. Maryam: 76)
Agar Bisa Istiqamah dalam Berhijrah?
Ingatlah kalau bisa istiqamah, itu benar-benar suatu karunia
yang besar. Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah disampaikan oleh muridnya Ibnul
Qayyim dalam Madarij As-Salikin,
أَعْظَمُ الكَرَامَةِ لُزُوْمُ الاِسْتِقَامَةِ
“Karamah yang paling besar adalah bisa terus istiqamah.”
Kiat agar bisa terus istiqamah adalah:
- Harus
dimulai dengan niatan yang ikhlas.
- Meninggalkan
maskiat dahulu yang dilakukan.
- Bertekad
untuk jadi lebih baik.
- Mencari
lingkungan bergaul yang baik.
- Berusaha
terus menambah ilmu lewat majelis ilmu.
- Memperbanyak
doa.
Terutama masalah teman, ini teramat penting. Karena tanpa teman
yang baik, kita sulit untuk berubah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ
يُخَالِلُ
“Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh
karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian”. (HR.
Abu Daud, no. 4833; Tirmidzi, no. 2378; Ahmad, 2: 344. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shahihul Jaami’ 3545).
Teman-teman shalih bisa didapat di majelis ilmu. Kata Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ
السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ
مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ
الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang
yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi.
Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya
atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau
tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat
baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari, no. 2101, dari Abu Musa)
Yang jelas hijrah tersebut harus ikhlas karena Allah, bukan
karena cari ridha manusia.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وما لا يكون له لا ينفع ولا يدوم
“Segala sesuatu yang tidak didasari ikhlas karena
Allah, pasti tidak bermanfaat dan tidak akan kekal.” (Dar-ut Ta’arudh
Al ‘Aql wan Naql, 2: 188).
Para ulama juga memiliki istilah lain,
ما كان لله يبقى
“Segala sesuatu yang didasari ikhlas karena Allah, pasti akan
langgeng.”
Juga jangan lupa untuk panjatkan doa pada Allah. Karena tanpa
pertolongan-Nya, kita tak berdaya dengan berbagai godaan. Do’a yang paling
sering nabi panjatkan agar bisa terus istiqamah adalah,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى
دِينِكَ
“Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang
Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”
Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, kenapa do’a tersebut yang sering beliau baca. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam seraya menjawab,
يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ
إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ
أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ
“Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di
antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan
berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa
menyesatkannya.”
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّ الْقُلُوبَ بِيَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
يُقَلِّبُهَا
“Sesungguhnya hati berada di tangan Allah ‘azza wa jalla, Allah
yang membolak-balikkannya.”
Kapan Mau Hijrah?
Allah Ta’ala menyeru kita,
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ
وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang
yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133)
Dalam ayat di atas disuruh bersegera bertaubat. Ini berarti
disuruh pula untuk segera meninggalkan maksiat dan raihlah ampunan Allah. Ini
maksud yang sama yang berisi perintah untuk segera berhijrah.
Imam Asy-Syaukani dalam Fath Al-Qadir menyatakan,
سارعوا إلى ما يوجب المغفرة من الطاعات
“Bersegeralah meraih ampunan Allah dengan melakukan ketaatan.”
Semoga kita bisa semangat terus dalam berhijrah, menjadi lebih
baik mulai saat ini dan bisa terus istiqamah.