MENYOAL HADIS “KEMISKINAN ITU MENJADI KEKAFIRAN”
Sering sekali kalimat para muballigh, khotib dan da’I menggunakan hadis ini “ Hampir-hampir kemiskinan itu menjadi kekafiran” sebagai ...
https://rohman-utm.blogspot.com/2018/06/menyoal-hadis-kemiskinan-itu-menjadi.html
Sering sekali kalimat para muballigh,
khotib dan da’I menggunakan hadis ini “
Hampir-hampir kemiskinan itu menjadi kekafiran” sebagai argument ceramahnya,
dengan tanpa menyebutkan posisi hadis ini sebenarnya. Berikut adalah hadisnya.
Dari
Anas bin Malik Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
كادَ الفَقْرُ أنْ يَكُوْنَ
كُفْرًا
“Hampir-hampir
kefakiran (kemiskinan) itu menjadi kekafiran”
Hadits
ini dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab “Syu’abul
Iman”
(no. 6612), Abu Nu’aim Al-Ashbahani dalam “Hilyatul auliyaa’” (3/53 dan 109),
Al-Qudha-‘i dalam “Musnadusy Syihab” (no. 586), Al-‘Uqaili
dalam “Adh-Dhu’afaa’” (no. 1979) dan Ibnu
‘Adi dalam “Al-Kamil” (7/236), semuanya dari berbagai jalur,
dari Yazid bin Aban ar-Raqa-syi, dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu,
dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Hadits
ini adalah hadits yang lemah, karena dalam sanadnya ada Yazid bin Aban
Ar-Raqasyi, dia dinyatakan lemah oleh para ulama Ahli hadits, seperti Imam
Ahmad, Yahya bin Ma’in, an-Nasa-i, ad-Daraquthni1,
adz-Dzahabi2 dan
Ibnu Hajar al-‘Asqalani3.
Hadits
ini dihukumi lemah, karena lemahnya perawi di atas, oleh Imam Ibnul Jauzi4,
al-‘Iraqi5dan
as-Sakhawi6.
Adapun
Syaikh al-Albani, beliau menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, karena
dalam sanad yang beliau nukil ada rawi yang suka memalsukan hadits7.
Di tempat lain, beliau menghukumi hadits ini sebagai hadits yang lemah8.
Hadits
ini juga diriwayatkan dari jalur lain, dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu,
dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dengan redaksi yang
senada. Dikeluarkan oleh Imam ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul ausath” (4/225,
no. 4044).
Tapi
hadits ini juga lemah,
karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama ‘Amr bin ‘Utsman al-Kilabi, Imam
adz-Dzahabi9 dan
Ibnu Hajar10 menyatakannya
sebagai rawi yang lemah, bahkan Imam al-Haitsami mengatakan bahwa dia
ditinggalkan (riwayat haditsnya karena kelemahannya yang fatal)11.
Hadits ini dinyatakan lemah oleh Imam al-‘Iraqi12 dan
al-Haitsami13.
Hadits
ini juga diriwayatkan dari Shahabat lain, yaitu ‘Umar bin al-Khattab Radhiallahu’anhu,
dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dikeluarkan oleh Imam
ath-Thabrani dalam “ad-Du’a’” (hal. 319-320, no. 1048)n dan al-‘Uqaili dalam
“adh-Dhu’afaa’” (no. 1978).
Hadits
ini juga lemah, dalam
sanadnya ada rawi yang bernama Ma’mar bin Zaidah, dia rawi yang lemah dan
riwayat haditsnya tidak didukung dengan riwayat lain, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Imam al-‘Uqaili dan dengan sebab inilah beliau menghukumi
hadits ini sebagai hadits yang lemah14.
Hadits
ini juga diriwayatkan dari Shahabat lain, yaitu ‘Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu dan
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhum, tapi kedua hadits ini sangat lemah
dan palsu15.
Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits
yang lemah dari semua jalur periwayatannya16,
bahkan sebagiannya sangat lemah dan palsu, sebagaimana penjelasan di atas.
Karena
hadits ini lemah maka tidak boleh dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil (argumentasi) untuk
menetapkan bahwa kemiskinan harta itu tercela dan mudah membawa seorang manusia
kepada kekafiran.
Syaikh
Al-Qari berkata tentang hadits ini: “Hadits ini sangat lemah, kalaupun dianggap
shahih, maka maknanya dibawa kepada arti kemiskinan hati (hati yang tidak qana’ah/tidak
pernah puas dengan pemberian Allah Ta’ala), yang ini akan
melahirkan (sifat selalu) berkeluh kesah dan takut (hidup miskin), dan ini akan
menimbulkan (sifat) tidak ridha dengan ketentuan takdir Allah dan menolak
pembagian (rezki dari Allah Ta’ala) Yang maha menguasai langit dan
bumi. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Bukanlah
kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan
(yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati)”17.
Bahkan
banyak hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang
menyebutkan keutamaan orang miskin dan tidak punya harta dengan syarat dia
bersabar dalam kemiskinannya dan selalu bersangka baik kepada Allah Ta’ala,
sebagaimana banyak hadits shahih yang menyebutkan keutamaan orang kaya dan
memiliki banyak harta dengan syarat dia bersyukur dan menggunakan hartanya di
jalan Allah Ta’ala.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan
kebanyakan (ulama) jaman sekarang tentang siapakah yang lebih utama: orang kaya
yang bersyukur atau orang miskin yang bersabar? Sebagian dari para ulama dan
ahli ibadah menguatkan pendapat pertama (orang kaya yang bersyukur lebih
utama), sementara ulama dan ahli ibadah yang lain menguatkan pendapat kedua
(orang miskin yang bersabar lebih utama). Kedua pendapat ini (juga) dinukil
dari Imam Ahamad.
Adapun
para Sahabat dan Tabi’in Radhiallahu’anhum, maka tidak ada satupun
nukilan dari mereka (tentang) keutamaan salah satu dari dua golongan tersebut
dibanding yang lain.
Sekelompok
ulama lainnya berkata: “Masing-masing dari keduanya tidak ada yang lebih utama
dibanding yang lain kecuali dengan ketakwaan. Maka yang paling kuat iman dan
takwanya itulah yang paling utama, kalau iman dan takwa keduanya sama maka
keutamaan keduanya pun sama.
Inilah
pendapat yang paling benar, karena dalil-dalil dari al-Qur-an dan hadits
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menunjukkan (bahwa) keutamaan
(manusia di sisi Allah Ta’aladicapai) dengan keimanan dan ketakwaan.
Allah Ta’ala berfirman:
{إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى
بِهِمَا}
“Jika
ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu (keadaan) keduanya” (QS an-Nisaa’: 135).
Di
antara para Nabi ‘Alaihimussalam dan para Sahabat Radhiallahu’anhum yang
terdahulu dan pertama (masuk Islam) ada orang-orang kaya yang keutamaannya (di
sisi Allah Ta’ala) lebih besar dibandingkan kebanyakan orang-orang
miskin (setelah mereka), sebagaimana di antara mereka ada orang-orang miskin
yang keutamaannya (di sisi Allah Ta’ala) lebih besar dibandingkan
kebanyakan orang-orang kaya (setelah mereka).
Orang-orang
yang sempurna (keimanan dan ketakwaannya) mampu menegakkan dua sifat agung
tersebut (syukur dan sabar) secara sempurna (dalam semua kondisi), seperti
gambaran yang ada pada diri Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam,
dan pada diri (dua Sahabat) Abu Bakar Radhiallahu’anhu dan
‘Umar Radhiallahu’anhu.
Akan
tetapi terkadang seseorang lebih baik baginya (dalam keimanan) jika diberi
kemiskinan, sementara orang lain lebih baik baginya jika mendapatkan kekayaan,
sebagaimana kesehatan lebih baik bagi sebagian manusia dan penyakit lebih baik
bagi yang lain…”18.
Pendapat
inilah yang dipilih oleh dua murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yaitu Imam
Ibnu Qayyimil Jauziyyah19 dan
Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi20.
Demikian
sekilas tentang pemahaman tentang hadis ini, semoga ada manfaatnya Wallahu a’lam
bi al showab : diambil
dari berbagai sumber
Catatan Kaki
1 Semuanya dinukil oleh Imam Ibnu Hajar
dalam kitab “Tahdziibut tahdziib” (32/67-69).
2 Kitab “al-Kaasyif” (2/380).
3 Kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 599).
4 Kitab “al’Ilalul mutanaahiyah” (2/804).
5 “Takhiirju ahaadiitsil Ihya’” (no.
3152).
6 Kitab “al-Maqaashidul hasanah” (hal. 497).
7 Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (4/377, no.
1905).
8 Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (9/77, no. 4080).
9 Kitab “al-Kaasyif” (2/83).
10 Kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 424).
11 Kitab “Majma’uz zawaa-id” (8/149).
12 “Takhiirju ahaadiitsil Ihya’” (no.
3152).
13 Kitab “Majma’uz zawaa-id” (8/149).
14 Kitab “adh-Dhu’afaa’” (no. 1978).
15 Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsidh
dha’iifah wal maudhuu’ah” (9/78).
16 Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (4/542).
17 HSR al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim
(no. 120).
18 Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam
kitab “’Uddatush shaabiriin” (hal. 149-150).
19 Dalam kitab “’Uddatush shaabiriin”
(hal. 146 dan 149).
20 Dalam kitab “al-Aadaabusy syar’iyyah”
(3/468-469).