Membunuh untuk Membela Diri Dalam Islam
Baru-baru ini viral di media masa kasus pembelaan diri atas begal dan menyerang balik hingga tewas awalnya ditetapkan menjadi tersangk...
https://rohman-utm.blogspot.com/2018/05/membunuh-untuk-membela-diri-dalam-islam.html
Baru-baru
ini viral di media masa kasus pembelaan diri atas begal dan menyerang balik
hingga tewas awalnya ditetapkan menjadi tersangka (28/5/18), dan akhirnya tanggal 31/5/2018 mendapatkan penghargaan dari Kapolres Bekasi Kota. Artikel dibawah ini hanya ingin menjelaskan bagaimana sebenarnya hukum membunuh dalam rangka mempertahankan diri dalam islam. Semoga bermanfaat.
Dalam Islam pencurian dan pembunuhan keduanya merupakan jarimah (tindak kriminal), pelakunya diancam dengan hukuman yang berat sebagaimana ditetapkan syariat. Islam menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri dan qishas (hukum mati) bagi seorang pembunuh. Bedanya, pencurian merupakan hudud, sehingga setelah kasus itu di ajukan kepengadilan tidak seorang pun yang bisa memberikan pemaafan (pembatalan hukuman), walau pun diberikan oleh korban itu sendiri . Sementara pembunuhan merupakan jinayat, dimana syariat memberikan hak pemaafan kepada sang korban, agar tidak diterapkan qishas kepada pembunuh, namun cukup diganti dengan membayar diyat.
Dalam Islam pencurian dan pembunuhan keduanya merupakan jarimah (tindak kriminal), pelakunya diancam dengan hukuman yang berat sebagaimana ditetapkan syariat. Islam menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri dan qishas (hukum mati) bagi seorang pembunuh. Bedanya, pencurian merupakan hudud, sehingga setelah kasus itu di ajukan kepengadilan tidak seorang pun yang bisa memberikan pemaafan (pembatalan hukuman), walau pun diberikan oleh korban itu sendiri . Sementara pembunuhan merupakan jinayat, dimana syariat memberikan hak pemaafan kepada sang korban, agar tidak diterapkan qishas kepada pembunuh, namun cukup diganti dengan membayar diyat.
Dengan pelaksanaan hukum syariat di atas, niscaya
tindakan-tindakan kriminal bisa diminimalisasi bahkan dihilangkan. Sebab sanksi
dalam Islam, selain dapat menggugurkan atau menebus dosa pelaku dari siksa di
akhirat (al-jabru), sanksi itu pun dengan ketegasannya akan
mampu memberikan efek jera (al-jazru) bagi
masyarakat, khususnya mereka yang berniat melakukan kejahatan serupa.
Namun, pelaksanaan hukum di atas tidak bisa dilepaskan
dari ketentuan-ketentuan pelaksanaanya (al-ahkam al-wadh’iyyah al-muta’alliqah
bih) seperti: syarat, sebab, mani’ (pencegah), ada atau tidak adanya rukhsoh
(keringanan), dan lain-lain.
Sedang Dalam kejahatan pembegalan dalam fikih Islam, dikenal
diistilahkan dengan hirabah. Hirabah secara tata bahasa arab berasal dari kata harb (حرب) yang bererti perang, yang merupakan perkataan berlawan dari as-silmu (السّلم) yang bermakna perdamaian. Secara istilah, hirabah mendefinisikan
sekelompok manusia yang membuat keonaran, pertumpahan darah, merampas harta,
merusak kehormatan, merampas tatanan, merusak tanaman, peternakan, citra agama,
akhlaq, dan ketertiban umum, baik dari kalangan muslim, maupun kafir [dzimmiy maupun
harbiy][1].
Lantas Bagaimana dengan kasus pembunuhan yang dilakukan
seorang untuk membela diri di atas, baginya tidak akan diberlakukan hukum qishas ataupun diyat. Sebab,
membela diri, harta dan kehormatan dari seorang pembunuh (daf’u ash-shoil) merupakan rukshoh (keringan) yang ditetapkan syariat kepada
korban sebagaimana akan kami jelaskan dalam tulisan ini.
Hukum Pembelaan Terhadap Diri, Harta dan
Kehormatan
Orang yang merasa bahwa kehormatan, harta, dan dirinya
dalam bahaya, secara syar’iy berhak melakukan pembelaan (ad-difaa’ as-syar’iy). Sebagai contoh, ketika seseorang
berhadapan dengan pelaku kriminal yang mengarahkan senjata api atau menghunus
senjata tajam, bermaksud membunuhnya atau mengambil harta miliknya atau
merenggut kehormatannya, maka ia disyariatkan untuk melakukan pembelaan.
Begitupun, ketika seseorang melihat orang lain dalam
kondisi tersebut, maka ia pun berhak melakukan pembelan terhadapnya. Namun,
pembelaan tersebut harus dilakukan sesuai dengan kadar bahaya yang dihadapinya.
Kalau seseorang yang bermaksud jahat itu cukup diingatkan dengan kata-kata,
seperti memintanya beristigfar, atau teriakan meminta pertolongan kepada
orang di sekitar tempat kejadian, maka haram bagi korban melakukan pemukulan.
Begitu pun jika ia dapat melakukan pembelaan itu cukup
dengan memukul, maka ia tidak dibenarkan untuk menggunakan senjata. Namun bila
pembelaan atas dirinya tidak mungkin dilakukan kecuali dengan senjata yang
dapat melumpuhkannya, seperti dengan pentungan misalnya, maka ia boleh
melakukannya, namun tidak dibenarkan baginya untuk membunuh. Akan tetapi, bila
pembelaan itu hanya mungkin dilakukan dengan membunuhnya, seperti dalam kondisi
yang di contohkan di atas, dimana pelaku sudah menghunus senjata tajam atau
mengacungkan pistol misalnya, maka bagi korban berhak untuk membunuhnya.[2]
Sebagaimana bila ia dapat menyelamatkan dirinya dengan
melarikan diri atau berlindung kepada orang lain, maka dalam kondisi seperti
ini ia tidak boleh secara sengaja membunuh pelaku. Ini adalah pandangan madzhab al-Syafiiyah, Malikiyah, dan
Hanabilah. Dengan kata lain hendaknya korban melakukan pembelaan dengan cara
yang paling mudah, sesuai kondisi yang dihadapinya,[3]
Dalil masalah ini adalah firman Allah Swt:
فمن اعتدى
عليكم فاعتدوا عليه بمثل ما اعتدى عليكم، واتقوا الله ، واعلموا أن الله مع
المتقين
“Oleh sebab itu barang siapa
yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.
Bertaqwalah kepada Allah dan ketauhilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang
bertaqwa”. (QS. 2:194)
Perintah al-taqwa dalam ayat ini menjadi dalil akan
keharusan adanya kesamaan dalam menuntut balas atau melakukan pembelaan (al-mumatsalah)
dan pentahapan (at-tadarruj) dalam pelaksanaannya, mulai dari yang
paling ringan dan mudah, hingga yang paling sulit dan berat konsekuensi,
seperti membunuh.
Sementara dalam as-Sunnah, Rasulullah Saw. bersabda:
من قتل
دون دينه فهو شهيد، ومن قتل دون دمه فهو شهيد، ومن قتل دون ماله فهو شهيد، ومن قتل
دون أهله فهو شهيد (رواه أصحاب السنن الأربعة)
“Siapa saja yang terbunuh karena
membela agamanya maka ia syahid, siapa saja yang terbunuh karena membela
jiwanya maka ia syahid, siapa saja yang terbunuh karena membela
hartanya maka ia syahid, dan siapa saja yang terbunuh karena membela kehormatan
keluarganya maka ia syahid” [4]
Sifat syahid yang dilekatkan kepada
orang yang terbunuh demi membela agama, jiwa, harta, dan kehormatannya
menunjukan kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan meski harus membunuh
sang pelaku.
Adapun dalil kebolehan melakukan pembelaan dan
perlawanan demi harta, jiwa, dan kehormatan orang lain, antara lain adalah:
Hadits
Pertama
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ جَاءَ
رَجُلٌ يُرِيدُ أَخْذَ مَالِى قَالَ « فَلاَ تُعْطِهِ مَالَكَ ». قَالَ أَرَأَيْتَ
إِنْ قَاتَلَنِى قَالَ « قَاتِلْهُ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلَنِى قَالَ «
فَأَنْتَ شَهِيدٌ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلْتُهُ قَالَ « هُوَ فِى النَّارِ
»
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada seseorang yang
menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika ada seseorang yang
mendatangiku dan ingin merampas hartaku?”
Beliau
bersabda, “Jangan kau beri padanya.” Ia bertanya lagi, “Bagaimana pendapatmu
jika ia ingin membunuhku?”Beliau bersabda, “Bunuhlah dia.” “Bagaimana jika ia
malah membunuhku?”, ia balik bertanya. “Engkau dicatat syahid”, jawab
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Bagaimana jika aku yang
membunuhnya?”, ia bertanya kembali. “Ia yang di neraka”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Muslim no. 140).
Hadits
Kedua
عَنْ قَابُوسَ بْنِ مُخَارِقٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
وَسَمِعْتُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيَّ يُحَدِّثُ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ الرَّجُلُ
يَأْتِينِي فَيُرِيدُ الِي قَالَ ذَكِّرْهُ بِاللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ
يَذَّكَّرْ قَالَ فَاسْتَعِنْ عَلَيْهِ مَنْ حَوْلَكَ مِنْ الْمُسْلِمِينَ قَالَ
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ حَوْلِي أَحَدٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ قَالَ فَاسْتَعِنْ
عَلَيْهِ بِالسُّلْطَانِ قَالَ فَإِنْ نَأَى السُّلْطَانُ عَنِّي قَالَ قَاتِلْ
دُونَ مَالِكَ حَتَّى تَكُونَ مِنْ شُهَدَاءِ الْآخِرَةِ أَوْ تَمْنَعَ مَالَكَ
Dari Qabus bin Mukhariq, dari bapaknya, dari ayahnya,
ia berkata bahwa ia mendengar Sufyan Ats Tsauri mengatakan hadits berikut ini,
Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,
“Ada seseorang datang kepadaku dan ingin merampas hartaku.”
Beliau bersabda, “Nasehatilah dia supaya mengingat
Allah.”
Orang itu berkata, “Bagaimana kalau ia tak ingat?”
Beliau bersabda, “Mintalah bantuan kepada orang-orang
muslim di sekitarmu.”
Orang itu menjawab, “Bagaimana kalau tak ada orang
muslim di sekitarku yang bisa menolong?”
Beliau bersabda, “Mintalah bantuan penguasa (aparat
berwajib).”
Orang itu berkata, “Kalau aparat berwajib tersebut
jauh dariku?”
Beliau bersabda, “Bertarunglah demi hartamu sampai kau
tercatat syahid di akhirat atau berhasil mempertahankan hartamu.” (HR. An
Nasa’i no. 4086 dan Ahmad 5: 294. Hadits ini shahih menurut
Al Hafizh Abu Thohir)
Hadits
Ketiga
عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله
عليه وسلم- قَالَ : « مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ
دُونَ أَهْلِهِ أَوْ دُونَ دَمِهِ أَوْ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ »
Dari Sa’id bin Zaid, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Siapa yang dibunuh karena membela hartanya maka ia syahid. Siapa
yang dibunuh karena membela keluarganya maka ia syahid. Siapa yang dibunuh
karena membela darahnya atau karena membela agamanya, ia syahid.”
(HR. Abu Daud no. 4772 dan An Nasa’i no. 4099. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan
bahwa sanad hadits ini shahih).
Hadis keempat
hadis riwayat Anas Ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw
bersabda :
انصر أخاك
ظالماً أو مظلوماً، قيل: كيف أنصره ظالماً؟ قال: تحجزه عن الظلم، فإن ذلك نصره
(رواه البخاري وأحمد والترمذي)
“Tolonglah saudaramu yang dzalim dan terdzalimi. Lalu
ketika Anas bertanya: “bagaimana cara aku menolong orang yang dzalim.?”. Beliau
menjawab: “kau cegah ia untuk melakukan kedzaliman itu, sesunggunya dengan itu
kau telah menolongnya” (HR. Bukhari, Ahmad, dan at-Tirmidzi).
Hadis kelima
Dalam hadis lain Rasulullah Saw. bersabda:
من أذل
عنده مؤمن، فلم ينصره، وهو يقدر على أن ينصره، أذله الله على رؤوس الأشهاد يوم
القيامة (رواه أحمد)
”Siapa saja yang menyaksikan
seorang mukmin dihinakan, lalu ia tidak menolongnya padahal ia mampu untuk
melakukannya, niscaya Allah Saw. akan menghinakannya di hari kiamat di hadapan
manusia” (HR. Ahmad)
Adapun status kedua hak di atas, yakni hak untuk
membela jiwa, harta dan kehormatan diri sendiri, serta hak untuk membela jiwa,
harta dan kehormatan orang lain, apakah merupakan hak yang sifatnya wajib (haqun wajib), ataukah sekedar boleh (haqun ja’iz), maka dalam hal ini terdapat
perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha dalam aspek rinciannya.
Pembelaan atas diri/jiwa hukumnya mubah (boleh)
menurut madzhab al-hanabilah dan wajib menurut pandangan jumhur fuqoha
(al-malikiyyah, al-hanafiyyah, dan as-syafiiyah). Hanya saja madzhab syafiiy
memberikan taqyid (batasan) kewajiban tersebut, yakni jika pelakunya orang
kafir, sementara jika yang melakukan penyerangan itu sesama muslim maka
hukumnya boleh (tidak wajib), dengan dalil sabda Rosulullah Saw:
كن خير
ابني آدم (رواه أبو داود)
“jadilah sebaik-baiknya bani
adam (HR. Abu Daud).
Perintah untuk menjadi sebaik-baik bani Adam dalam
hadis ini adalah isyarah pada kisah Qabil dan Habil, dimana Habil terbunuh
tanpa melakukan perlawanan. Sikap seperti ini pula yang mashur ditengah-tengah
para sahabat, tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya, sebagaimana kasus
pembunuhan ‘Utsman Ibnu ‘Affan. Selain itu, dalil lain yang dijadikan dasar
oleh madzhab as-Syafiiy adalah bahwa
membela diri sendiri, sama wajibnya dengan membela diri sesama muslim,
karena ta’arudh (pertentangan) inilah mereka berpendapat
bahwa hukum membela diri dalam kontek ini hukumnya hanya mubah. Sementara
madzhab jumhur yang lain berpegang pada firman Allah Swt:
{ولا تلقوا
بأيديكم إلى التهلكة}
“Dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan (QS. 2:195)
Dan firman Allah Swt:
{فقاتلوا
التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله }
“Maka perangilah golongan yang
berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah,
(QS. 49:9)
‘Alakullihal, melakukan
pembelaan atas keselamatan diri dari pelaku kejahatan bukanlah perkara yang
dilarang, meski ada perbedaan pendapat apakah hukumnya wajib atau sekedar
boleh. Begitupun melakukan pembelaan atas harta hukumnya mubah menurut
pandangan jumhur fuqaha (tidak wajib), meski pembelan itu harus dilakukan
dengan cara membunuh pelaku, dengan ketentuan sebagaimana dijelaskan di atas,
yakni keharusan tadarruj (bertahap) mulai dari cara yang lebih ringan dan
mudah. Adapun pembelaan atas kehormatan, yakni kehormatan perempuan
perempuan muslimah, para fuqaha sepakat bahwa hukumnya wajib, baik menyangkut
kehormatan diri sendiri atau orang lain. Sebab pembiaran atas terenggutnya
kehormatan seroang muslim merupakan perkara haram,[5]
Ilustrasi Sholat di Masjid, sumber matadunia.net
Tidak Ada Sanksi
Para fuqha sepakat bahwa siapa saja yang membunuh
pelaku kejahatan (as-shoil) demi melakukan pembelaan,
maka tidak ada sanksi baginya, baik berupa qishash maupun diyat. Sebab, hal itu merupakan rukhsoh
(keringanan) yang diberikan syara’ sebagaimana dijelaskan di atas. Selain
dalil-dalil yang menjadi dasar adanya rukhsoh tadi, juga terdapat dalil-dalil
khusus terkait kehalalan darah para sang pelaku. Di antaranya sabda Rasulullah
Saw:
من شهر
سيفه ثم وضعه فدمه هدر (رواه الإمام الحاكم)
”siapa saja yang menghunus
pedang kemudian memukulkannya (kepada orang lain) maka halal darahnya (HR.
al-hakim)
Imam ad-Dzahabi memberikan ta’liq (komentar) dalam
kitab at-Talkhis, bahwa hadis ini shohih berdasarkan kriteria Imam Bukhari dan
Muslim, meski keduanya tidak men-takhrij hadis ini dalam kitab shahihnya.
Terkait orang yang membunuh karena membela hartanya,
Abu Hurairah meriwayatkan sebuah hadis, bahwa ada seorang laki-laki datang
kepada Rasulullah Saw. lalu bertanya:
يا رسول
الله ، أرأيت إن جاء رجل يريد أخذ مالي؟ قال: فلا تعطه مالك، قال: أرأيت إن
قاتلني؟ قال: قاتله، قال: أرأيت إن قتلني؟ قال: فأنت شهيد، قال: أرأيت إن قتلتُه؟
قال: هو في النار (رواه مسلم)
“Wahai Rasulullah: “bagaimana
menurutmu jika ada seseorang yang hendak mengambil hartaku.?”. Beliau menjawab:
“jangan kau berikan”. Laki-laki itu bertanya lagi: “Bagaimana jika ia
menyerangku”.?. Beliau menjawab: “Engkau lawan”. Ia bertanya lagi: “Bagaimana
jika ia berhasil membunuhku.?”. Beliau menjawab: “kamu syahid”. Ia bertanya
lagi: “Bagaimana jika aku yang berhasil membunuhnya..?”. Beliau menjawab: “Dia
masuk neraka” (HR. Muslim).
Kebolehan membunuh pelaku yang ditegaskan Rasulullah
Saw. menunjukan hilangnya sanksi bagi pembunuh karena membela hartanya itu.
Sebab, sanksi tidak diterapkan dalam perkara yang mubah. Begitupun
pembelaan terhadap kehormatan, dalil-dalil di atas sudah cukup sebagai dasar
dihilangkannya sanksi dari pembunuh dengan alasan membela kehormatan. Bahkan,
ulama empat madzhab sepakat bahwa siapa saja yang mendapati istrinya berzina
dengan laki-laki lain, lalu ia membunuh laki-laki tersebut, maka tidak ada
qishash atau pun diyat baginya,[6] Namun,
pelaksanaan hukum ini tentu perlu dibuktikan di pengadilan, apakah benar bahwa
seseorang itu membunuh karena membela diri, atau bukan. Jika terbukti bahwa ia
membunuh karena membela diri, harta, dan kehormatannya maka ia terbebas dari
hukuman qishash dan diyat, baik pembuktian tersebut melalui keberadaan dua orang
saksi, pengakuan keluarga terbunuh, atau indikasi-indikasi lain yang menunjukan
bahwa pelaku membunuh korban karena membela diri, seperti ancaman sang korban
dimuka umum, atau ia terkenal di tengah-tengah masyarakat sebagai penjahat dan
pelaku kriminal. Wallahu a’lam bi as-showab. Diambiil dari berbagai
sumber. Semoga ada nilai manfaat.
[1]http://rohman-utm.blogspot.com/2018/04/begal-dalam-kajian-kitab-turats.html].[2] Wahbah az-Zuhailiy, Fiqhul Islamiy Wa Adillatuha, 6/597
[3] al-Badai’: 7/93, mughnil
muhtaj: 4/1966-197, Bidayatul Mujtahid, 2/319, al-Mughni:
329-331, ).
[6] (Lihat: Ibnu Quddamah, al-Mugni, 8/332).