Filosofi Begal dari Zaman Ken Arok ke Ahok dalam Sejarah Kekuasaan
Fomena filosofi begal sebagai hukum dan kekuatan dimulai sejak zaman Ken Arok. Rupanya filososi fenome...
https://rohman-utm.blogspot.com/2018/03/filosofi-begal-dari-zaman-ken-arok-ke.html
Inilah kelima perwujudan filosofi begal. Kini, fenomena filosofi begal mewujud dipraktekkan menjadi alat (1) tirani kekuasaan, (2) kejayaan golongan, (3) kekuatan ekonomi, (4) stratafikasi sosial, (5) dan hukum.
Fenomenal. Ken Arok sebagai peletak dasar keturunan raja-raja di Jawa dan Nusantara adalah pelaku filososi begal paling terkenal. Jauh sebelum itu, hampir semua perebutan kekuasaan dilakukan dengan pembegalan. Para kerajaan direbut dan dikuasai dengan pertumpahan darah. Namun, memang yang paling fenomenal adalah filosofi begal ala Ken Arok.
(Sejarah para raja sejak Ken Arok, Pajang, Mataram Islam, sampai perebutan kekuasan oleh eyang saya Presiden Soeharto dilalui dengan perilaku filosofi begal: pertumpahan darah. Sekitar 1 juta nyawa menjadi korban pembegalan politik paling kelam dalam sejarah Nusantara. Semua itu bermula dengan pembegalan pelintiran Supersemar yang disalah-artikan dan disalahgunakan oleh eyang saya Presiden Soeharto.
Peralihan kekuasan dari eyang saya Presiden Soeharto ke Habibie pun dilakukan dengan pembegalan kekuasaan dengan mana menurunkan eyang saya Presiden Soeharto secara paksa: filososi pembegalan hukum, atas nama reformasi.
Gus Dur pun dibegal oleh Amien Rais dan poros tengah yang memaksanya turun; dosa noda ini menetes di Amien Rais dan tak termaafkan oleh warga Nahdliyin sampai kapan pun. Maka PAN tidak akan pernah menjadi partai besar.
Pun, kekuasan SBY didapatkan dengan secara filosofis membegal nama baik Mega yang dikesankan medzolimi SBY sehingga SBY menang. Mega tak memaafkan SBY karena merasa kehormatannya dibegal oleh SBY.
Peralihan kekuasaan auto-pilot SBY ke Presiden Jokowi pun diwarnai oleh perilaku filosofi perlawananan begal. Perlawanan terhadap capres Prabowo yang didukung oleh begal ekonomi alias calon koruptor seperti Suryadharma Ali, Jero Wacik, Sutan Bhatoegana, dan lain-lain. Prabowo yang hebat itu kalah Pilpres karena adanya begal ekonomi dan korban filosofi begal.
Kini, upaya memertahankan kekuasaan pun Presiden Jokowi dengan sempurna memraktekkan perilaku filososi begal melalui keturunannya: raja Mataram dan darah Majapahit Jokowi. Devide et impera digunakan untuk menghancurkan lawan politik. Itu hakikat kekuasaan dan penggunaan kekuasaan yakni dengan membegal untuk kepentingan kekuasaan itu sendiri. Dan, lagi-lagi, itu sah.)
Ken Arok dengan filososi begalnya menjadi sangat fenomenal karena memenuhi semua unsur kebutuhan manusia. Kisah Ken Arok adalah wujud manusiawinya manusia dan penguasa. Ken Arok adalah anak seorang pendeta atau resi dengan selingkuhan keturunan putri Akuwu atau raja kecil. Untuk menutupi aib, Ken Arok dibuang dan akhirnya dibesarkan oleh pemimpin perampok alias begal: Lembu Gajah Sora. (Lembu Gajah Sora ini yang diyakini juga menjadi akar keturunan maha patih terhebat Majapahit yakni Gajah Mada.)
Sempurna sudah lingkungan Ken Arok yakni kalangan (1) darah suci pendeta atau resi, (2) keturunan kerajaan, dan (3) begal. Dalam diri Ken Arok menjelma mitos sebagai keturunan orang suci (resi), keturunan terhormat raja kecil, dan kekuatan yakni begal. Intrik mengangkat pencitraan Ken Arok sebagai keturunan dewa Siwa untuk publik dibangun dengan bantuan resi (yang sebenarnya ayah kandung Ken Arok). Kekuatan dibangun dari perlindungan oleh pentolan begal: yang melahirkan filosofi begal.
Dalam kondisi seperti itu, Ken Arok dengan mudah masuk ke lingkungan Akuwu Tunggul Ametung. Ken Arok menjadi pengawal kepercayaan. Maka dengan intrik politik tingkat tinggi, Ken Arok membegal kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung. Ken Arok sebagai begal memanfaatkan Kebo Ijo untuk membegal nyawa Akuwu Tunggul Ametung.
Untuk menyempurnakan nafsunya sebagai manusia yang manusiawi, lambang kekuasaan yakni wanita, Ken Dedes pun diperistri. (Plus, sebelumnya telah dibumbui oleh mitos yang diciptakan oleh ayah kandung Ken Arok, pendeta atau resi, yang menyebutkan Ken Dedes adalah pintu kemuliaan. Siapa yang menikahi Ken Dedes maka dia akan menjadi penguasa.)
Maka dalam pandangan sejarah panjang pembunuhan untuk merebut kekuasaan dan menurunkan keturunan dan kekuasan menjadi ciri berikutnya. Sirkulasi karma itu tak terputus. Dalam kondisi normal pun maka keempat hal di atas mewarnai perjalanan negeri.
Kini dalam era Ahok dan Jokowi, fenomena filosofi ala begal menjadi semakin nyata dan relevan. Senantiasa, penguasa dan perebutan kekuasan adalah untuk alat (1) tirani kekuasaan, (2) kejayaan golongan, (3) kekuatan ekonomi, (4) stratafikasi sosial, (5) dan hukum.
Pertama, tirani kekuasaan. Potret kisruh yang mewarnai koalisi Prabowo dan koalisi Jokowi menggambarkan keempat hal tersebut. Persaingan untuk berkuasa, kepentinga partai dan golongan, kepentingan ekonomi menciptakan kirsuh KPK versus Polri, DPRD DKI melawan Ahok, kisruh Golkar dan kisruh PPP, dan pula perlawanan lain untuk membegal Presiden Jokowi melalui angket, interpelasi dan bahkan ancaman pemakzulan. Semua itu sebenarnya adalah gambaran tirani kekuasaan. Yang berkuasa berupaya meraih seluruh kemenangan atas nama kekuasaan.
Kedua, kejayaan golongan. Golongan di Indonesia saat ini berkecenderungan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama golongan ekonomis (semua partai nasionalis) dan kedua golongan idelologis-ekonomis (PKS dan PBB). Mereka berjuang untuk kejayaan golongan dengan membegal atau dibegal lewat persaingan politik dan hukum - serta ekonomi. Yang kalah (koalisi Prabowo) tidak diberi akses ekonomi secara adil. Sementara pemenang (koalisi Jokowi) hanya lebih memikirkan kelompok dan golongan. Lagi-lagi itu wajar.
Ketiga, terkait kekuatan ekonomi. Gambaran ekonomi Indonesia adalah ekonomi liberal yang dikuasai oleh para begal ekonomi. Kelompok begal dibagi dua: begal kecil ala motor dan begal dalam lingkungan mafia.
Para mafia ini menguasai sumber daya pangan, energi, sumber daya mineral, hutan, dan pertanian. Praktik begal ekonomi ini terjelmakan di dalam pemerintahan (banyak kepala daerah korup), praktik Banggar di DPR/D yang mengatur proyek. Dalam kasus pemerintahan Ahok, dana siluman yang merupakan wujud pembegalan ekonomi oleh anggota DPRD DKI Jakarta.
Keempat, stratafikasi sosial. Sejak lama, kalangan berpunya di Indonesia dianggap sebagai yang terhormat. Kekuatan ekonomi dianggap parallel dengan status sosial. Maka benda seperti rumah, mobil, kendaraan, peliharaan, batu akik, berlian, tas, sepatu, jam tangan, perempuan cantik dan lelaki ganteng, dianggap sebagai lambang kehormatan dan tingginya status sosial.
Maka para koruptor yang gemerlap tetap dihormati dan dipuja oleh masyarakat. Koruptor Labora Sitorus yang memiliki triliunan uang pun dipuja dan dilindungi. Bahkan para pengacara paling senang membela para koruptor karena duitnya banyak. Maka kemuliaan pun dibegal atas nama stratafikasi sosial. Yang kayalah yang dianggap terhormat. Tak peduli asal kekayaan.
Kelima, begal hukum. Hukum adalah alat kekuasaan. Siapa yang kuat dan berkuasa, maka menjadikan hukum sebagai alat untuk memraktikkan pembegalan di bidang hukum. Maka terlahirlah kriminalisasi terhadap Budi Gunawan, Abraham Samad, Bambang Widjajanto serta Denny Indrayana. Begal hukum paling spektakuler tergambar dalam bentuk praperadilan paling cerdas: Sarpin Rizaldi.
Atas nama negara, Sarpin memraktikkan kekuasaan hakim semau dirinya. Akibatnya, para koruptor dan calon koruuptor mengajukan pra peradilan seperti Suryadharma Ali dan Sutan Bhatoegana. Dua upaya praperadilan itu dipastikan akan ditolak oleh pengadilan. Keputusan Sarpin pun akan dibatalkan dan dikoreksi dalam proses hukum oleh Mahkamah Agung dalam bentuk PK (peninjauan kembali).
Maka, melihat sejarah begal Ken Arok, peralihan kekuasaan, maka tak perlu sedu sedan itu ketika MenhukHAM Yasona Laoly mengeluarkan surat pengakuan terhadap Golkar Agung Laksono. Itu wujud pemanfaatan kekuasaan lewat filosofi begal dalam sejarah kekuasan di Nusantara dan Indonesia. Dan, itu sah. Kenapa? Hukum adalah kekuasaan, dan kekuasaan adalah hukum. Itu yang perlu digarisbawahi.
Begal dianggap sebagai wujud kekuatan dan hukum. Maka dalam sejarah panjang raja-raja di Jawa, pembunuhan dan pengelabuhan, intrik politik-hukum, politik dan hukum menjadi alat pembegalan. Begal ekonomi pun muncul di DPRD DKI. Begal hukum muncul dalam kisruh Golkar. Begal ekonomi muncul dalam aneka mafia, migas, pertanian, mineral dan tambang, impor, dan sebagainya.
Itulah kisah panjang begal dalam sejarah Nusantara dan Indonesia. Begal bukanlah fenomena, namun perilaku panjang sejarah bangsa ini yang telah menjadi bagian dari filosofi begal sejak zaman Ken Arok.
Salam bahagia ala saya.